Jumat, 03 November 2017

MATERI KULIAH PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI; P. VIII: LANGKAH-LANGKAH PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI




MATERI KULIAH
PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI

Pertemuan ke VIII
Modul : VIII

LANGKAH-LANGKAH PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI[1]
Oleh: Hujair AH. Sanaky[2]


I.     CPMK dan Indikator Capaian
1.    CPMK: mahasiswa memahami langkah-langkah pengembangan kurikulum PAI
2.    Indikator: mahasiswa dapat menjelaskan langkah-langkah pengembangan kurikulum PAI secara benar.

II.     Pendahuluan
Pengertian; langkah-langkah, dapat disebutkan sebagai tahapan-tahapan atau tingkatan-tingkatan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan tertentu.  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), langkah-langkah dapat juga diartikan sebagai tahap-tahap atau bagian-bagian untuk mencapai suatu tujuan.[3]
Pengembangan adalah menunjukkan pada suatu kegiatan yang menghasilkan sesuatu alat atau cara yang ataupun merevisi sesuatu yang telah ada menjadi baik. Selama kegiatan itu dilaksanakan dengan maksud mengadakan penyempurnaan-penyempurnaan yang akhirnya alat atau cara tersebut dipandang cukup bagus untuk digunakan seterusnya maka berakhirlah kegiatan pengembangan. Pengembangan berasal dari kata kembang yang artinya besar, luas dan banyak. Maka dari itu pengembangan merupakan suatu proses untuk menjadikan sesuatu menjadi lebih maju, lebih luas dan menjadi sempurna.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran, gedung dan fasilitas pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum merupakan suatu program yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Menurut Surachmad (1977:9-11), kurikulum sebagai suatu sistem, kurikulum mengandung beberapa komponen; (1) tujuan pendidikan yang hendak dicapai,yaitu; institutusional, kurikuler, dan instruksional.  (2) Program kurikulum, yaitu;  bidang studi, pokok bahasan, sub pokok bahasan.  (3) Organisasi kurikulum, vertikal dan horizontal.  dan (4) Strategi kurikulum, yaitu; cara penyampaian, media pembelajaran, dan cara penilaian.
Sedangkan  pengembangan kurikulum adalah upaya atau proses untuk mengarahkan kurikulum ke tujuan pendidikan yang diharapkan karena adanya berbagai pengaruh positif yang datangnya dari luar ataupun dari dalam dengan harapan agar peserta didik mampu untuk menghadapi masa depannya atau adanya perubahan/merevisi atau peralihan total dari suatu kurikulum ke kurikulum lain.[4]
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa langkah-langkah pengembangan kurikulum adalah merupakan suatu usaha untuk merevisi, memperluas, dan mengadakan penyempurnaan-penyempurnaan terhadap kurikulum yang telah ada, dengan menggunakan tahapan-tahapan dan tingkatan-tingkatan sistematis untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. 
Dengan demikian, dalam pengembngan kurikulum harus bersifat adaptif, antisipatif, dan aplikatif.  Bersifat adaptif artinya pengembangan kurikulum harus disesuaikan dengan keadaan, perkembangan zaman,  kebutuhan peserta didik dan masyarakat.  Antisipasi artinya kurikulum harus dapat selalu siap untuk tujuan jangka panjang maupun jangka pendek. Aplikatif dalam artian kurikulum dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan pendidikan.
III.    Langkah-Langkah Pengembangan Kurikulum
Setiap kurikulum mempunyai empat komponen utama, yaitu tujuan, bahan pelajaran, proses belajar-mengajar, dan penilaian. Dalam pengembangan kurikulum tiap komponen itu harus diperhatikan dan saling erat kaitannya dengan semua komponen-komponen lainnya. Misalnya, evaluasi harus sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, bahan pelajaran yang diajarkan serta proses belajar-mengajar yang dijalankan.[5]
Dalam pengembangannya, kurikulum melibatkan berbagai pihak, terutama pihak-pihak yang secara langsung ataupun tidak langsung memiliki kepentingan dengan keberadaan pendidikan yang dirancang, yaitu mulai dari ahli pendidikan, ahli bidang studi, guru, siswa, pejabat pendidikan, para praktisi maupun tokoh panutan atau anggota masyarakat lainnya.
Langkah-langkah pengembangan kurikulum adalah merupakan suatu usaha untuk merevisi, memperluas, dan mengadakan penyempurnaan-penyempurnaan terhadap kurikulum yang telah ada, dengan menggunakan tahapan-tahapan dan tingkatan-tingkatan sistematis untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Hendaknya pengembngan kurikulum harus bersifat adaptif, antisipatif, dan aplikatif.  
Adaptif disini yaitu pengembangan kurikulum harus disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan peserta didik. Antisipasi  bermakna kurikulum harus dapat selalu siap untuk tujuan jangka panjang maupun jangka pendek.  Aplikatif yaitu kurikulum dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Secara umum langkah-langkah pengembangan kurikulum terdiri atas diagnosis kebutuhan, perumusan tujuan, pemilihan dan pengorganisasian materi, pemilihan dan pengorganisasian pengalaman belajar, dan pengalaman alat evaluasi.


1.   Analisis dan Diagnosis Kebutuhan.
Kurikulum merupakan suatu rancangan pendidikan yang merupakan semua pengalaman belajar yang disediakan bagi siswa di sekolah. Maka, rancangan kurikulum disusun dengan maksud memberi pedoman kepada pelaksana pendidikan, dalam proses pembimbingan perkembangan peserta didik,  untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan peserta didik, keluarga, maupun masyarakat. [6] 
Dengan berpedoman pada rancangan kurikulum disusun dengan maksud memberi pedoman, maka langkah pertama yang dapat dilakukan dalam pengembangan kurikulum adalah menganalisis dan mendiagnosis kebutuhan.   Analisis kebutuhan dapat dilakukan dengan mempelajari tiga hal, yaitu kebutuhan siswa, tuntutan masyarakat, dunia kerja, dan harapan-harapan dari pemerintah (kebijakan pendidikan).  (1) Kebutuhan siswa dapat dianalisis dari aspek-aspek perkembangan psikologis siswa, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempengaruhi perilaku siswa; (2) Tuntutan masyarakat, dan dunia kerja dapat dianalisis dari berbagai kemajuan yang ada di masyarakat dan prediksi-prediksi kemajuan masyarakat pada masa yang akan datang; (3) Harapan pemerintah dapat dianalisis dari kebijakan-kebijakan, khususnya kebijakan-kebijakan bidang pendidikan yang dikeluarkan, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah.
Hasil analisis dari ketiga aspek tersebut, kemudian  disusun untuk menjadi serangkaian kebutuhan sebagai bahan masukan bagi kegiatan pengembangan tujuan.
Adapun pendekatan yang dilakukan untuk menganalisis ketiga kebutuhan tersebut, melalui (1) studi kebutuhan, (2) studi kompetensi, dan (3)  analisis tugas.
a.   Studi kebutuhan, dilakukan untuk  melakukan survei terhadap pengguna lulusan dalam menganalisis kebutuhan. Penyusun atau seorang pengembang kurikulum dapat melakukan wawancara dengan sejumlah orang, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, para ahli, pengguna lulusan stakeholder dan user, terkait dengan apa yang dibutuhkan siswa, masyarakat, dan pemerintah, yang berkaitan dengan kurikulum sebagai suatu program pendidikan.
b.    Studi kompetensi, dilakukan dengan mengaanalisis kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan oleh lulusan dari suatu jenis dan jenjang program pendidikan.  
c.    Pendekatan analisis tugas dilakukan dengan menganalisis setiap jenis tugas yang harus diselesaikan. Tugas tersebut bisa berkaitan dengan aspek kognitif, afektif, dan atau psikomotorik.
Dengan demikian hasil akhir dari kegiatan analisis dan diagnosis kebutuhan ini akan dijadikan data masukan bagi langkah selanjutnya dalam pengembangan kurikulum dan perumusan tujuan.

  1. Perumusan tujuan
Tujuan memegang peranan penting, karena akan mengarahkan semua kegiatan pengajaran dan mewarnai komponen-komponen kurikulum.  Tujuan di rumuskan berdasarkan analisis terhadap berbagai kebutuhan, tuntutan, dan harapan. Tujuan di rumuskan dengan mempertimbangkan faktor-faktor masyarakat, siswa itu sendiri, serta perkembanagan ilmu pengetahuan. Tujuan kurikulum dirumuskan berdasarkan dua hal. Pertama, perkembangan tuntutan, kebutuhan, dan kondisi masyarakat. Kedua, didasari oleh pemikiran-pemikiran dan terarah pada pencapaian nilai-nilai filosofis, terutama falsafah negara.[7] 
Kita mengenal beberapa kategori tujuan pendidikan, yaitu tujuan umum dan khusus, jangka panjang, menengah, dan jangka pendek.[8]  Sedangkan tujuan mengajar dibedakan atas beberapa kategori, sesuai dengan perilaku yang menjadi sasarannya.  Gage dan Briggs mengemukakan lima kategori tujuan, yaitu; intellectual skills, cognitive strategies, verbal information, motor skills and attitudes (1974, hlm. 23-24). [9]   
Benyamin S. Bloom dalam Taxonomy of Educational Objectives,  mengemukakan tiga kategori tujuan mengajar sesuai dengan  domain-domain perilaku individu, yaitu domain kognitif, afektif, dan psikomotor.  Domain kognitif berkenaan dengan penguasaan kemampuan-kemampuan intelektual atau kemampuan berpikir. Domain afektif berkenaan dengan penguasaan dan pengembangan perasaan, sikap, minat, dan nilai-nilai. Domain psikomotor berkenaan dengan penguasaan dan pengembangan keterampilan-keterampilan motorik.[10] 
Hilda Taba dalam S. Nasution memberikan beberapa petunjuk tentang cara merumuskan tujuan, antara lain:[11]
a.      Tujuan hendaknya berdimensi dua, yakni mengandung unsur proses dan produk. Termasuk unsur; (1) proses antara lain menganalisis, mengsintesa, menginterpretasi, dan sebagainya. (2) produk adalah bahan atau materi yang terdapat dalam tiap mata pelajaran. Contoh; tujuan dapat berbunyi: menafsirkan makna kejujuran, menafsirkan makna  sabar, memahami dan menghafal rumus-rumus tentang gravitasi, dan lainnya.
b.      Menganalisis tujuan yang bersifat umum dan kompleks menjadi spesifik sehingga diperoleh bentuk kelakuan yang diharapkan dapat diamati.
c.      Memberi petunjuk tentang pengalaman apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu. Misalnya menghasilkan karya sastra tidak diperoleh dengan hanya sekedar membaca karya sastra, akan tetapi dengan cara membuat suatu karangan yang mengandung corak seni.
d.      Menunjukkan bahwa suatu tujuan tidak selalu dicapai segera akan tetapi adakalanya memakan waktu yang lama, seperti berpikir kritis, menghargai seni sastra, dan sebagainya.
e.      Tujuan harus realistis dan harus dapat diterjemahkan dalam bentuuk kegiatan atau pengalaman belajar tertentu.
f.       Tujuan itu harus bersifat komprehensif, menyeluruh. Artiya meliputi segaka tujuan yang ingin dicapai disekolah, bukan hanya penyampaian informasi, akan tetapi juga ketrampilan berpikir, hubungan sosial, sikap terhadap bangsa dan negara dan lainnya.
Maka yang menjadi perhatian adalah dalam merumuskan tujuan hendaknya berdasarkan pada kebutuhan, tututan dan harapan, serta dengan mempertimbangkan berbagai faktor-faktor masyarakat, siswa sendiri dan ilmu pengetahuan.  Maka, manfaat dari terumusnya tujuan kurikulum adalah dapat membantu para  pengembang kurikulum dalam mendesain model kurikulum sehingga dapat digunakkan juga untuk membantu guru dalam mengembangkan pengajaran atau mendesain suatu pembelajaran.

3.     Pemilihan dan Pengorganisasian Materi
Secara spesifik, yang dimaksud dengan materi kurikulum adalah segala sesuatu yang diberikan kepada siswa dalam kegiatan belajar mengajar.  Menjadi “persoalan besar yang dihadapi para pengembang kurikulum adalah memilih materi pelajaran dari sekian banyak disiplin ilmu yang ada”.[12]   Sebab isi dari kegiatan pembelajaran tersebut adalah isi dari kurikulum itu sendiri. Tentu saja, tugas guru adalah mengembangkan bahan pelajaran tersebut berdasarkan tujuan instruksional yang telah disusun dan dirumuskan sebelumnya.
Dalam hal penyusunan dan penyusunan bahan pelajaran ini dikenal dengan istilah, yaitu  scope dan squence.
a)     Scope
Scope atau ruang lingkup menyangkut keluasaan dan kedalaman materi kurikulum.  Scope yaitu ruang lingkup keseluruhan pengalaman belajar yang akan diberikan kepada siswa yang sudah berbentuk bidang studi, misal bidang studi IPA untuk SMP (biologi) yang diperinci menjadi pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang mengandung ruang lingkup bahannya sendiri. Untuk mendapat bahan yang lebih jelas dapat diperoleh dari buku, buku paket atau sumber pokok dari pelajaran.[13]
Scope merupakan pemilihan pengalaman belajar yang bersifat melintang atau meluas (latitudinal axis) dan memikirkan “what” dari kurikulum, yang menurut curriculum planning tepat untuk merealisasikan tujuan pendidikan.  Sedangkan sequence mempersoalkan “when” di dalam perencanaan kurikulum.  William B. Ragan mendiskripsikan secara umum bahwa scope ditentukan kegiatan-kegiatan dasar yang dikerjakan orang, nilai-nilai dalam masyarakat, dan masalah-masalah utama yang nampak.[14]
Menentukan Scope dalam Kurikulum.  Dalam menentukan Scope, menurut S. Nasution adalah apa yang harus diajarkan merupakan masalah yang semakin sulit seiring berjalannya waktu. Maka, ada beberapa penyebabnya antara lain :
(1)              Bahan pelajaran cepat bertambah luas karena eksplosi ilmu pengetahuan.  Spesialisasi dalam pendidikan semakin meluas dan tiap spesialisasi memerlukan bahan pelajaran tambahan. Selain itu, waktu belajar terbatas demikian pula kemampuan anak untuk menguasai bahan pelajaran.
(2)              Belum ada kriteria yang pasti tentang bahan apa yang perlu diajarkan. Juga belum ada cara tentang mengorganisasi kurikulum yang dapat diterima oleh semua
(3)              Matapelajaran yang tradisional tidak lagi memadai. Timbul pula tujuan baru seperti berpikir kritis dan kreatif, memahami lingkungan social dan memahami dunia internasional, yang dianggap perlu dimasukkan dalam kurikulum.  Maka, sering mata pelajaran baru ditambahkan, sedangkan matapelajaran lama masih tetap disampaikan terus, sehingga beban belajar anak bertambah berat. Hal ini tentu saja, menambah matapelajaran dalam masa belajar  yang sama dan membuat pengetahuan anak tersebut dangkal tentang aneka ragam bidang.[15]
Bahan pelajaran: Bahan pelajaran atau subject matter teradiri dari pengetahuan, nilai-nilai, sikap, dan keterampilan. Katakan saja, “masjid” bukan bahan pelajaran, akan tetapi yang menjadi bahan pelajaran adalah “pengetahuan tentang masjid”.  Bahan pelajaran adalah sebagian dari kebudayaan. [16]
Disiplin ilmu banyak digunakan sebagai dasar penyusunan kurikulum yang berbentuk matapelajaran seperti fisika, biologi, sejarah, agama, dan sebagainya. Kurikulum serupa ini dikatakan mempunyai organisasi yang logis. Bahan pelajaran yang diajarkan dalam urutan yang logis, misalnya dalam biologi dimulai dengan binatang bersel satu, kemudian bersel banyak, selanjutnya meningkat kepada binatang yang lebih kompleks strukturnya.  Kurikulum yang logis ini sering tidak ada kaitannya dengan pengalaman anak dalam kehidupannya. Apa yang dipelajari anak sering dalam hafalan kata-kata tanpa makna, maka tidak memperkaya pribadi anak.[17]
Kurikulum dianggap lebih bermakna apabila bahan pelajaran dihubungkan atau didasarkan dengan pengalaman anak dalam kehidupan sehari-hari, misalnya bila yang diajarkan masalah kesehatan, kecelakaan lalu lintas, kemiskinan, dan sebagainya. Mungkin saja, topik ini dapat diajarkan dengan menggunakan bahan dari berbagai disiplin ilmu seperti biologi, fisika, kimia, ekonomi, matematika, geografi, dan sebagainya.  Katakan saja, pengetahuan dari disiplin ilmu itu dipakai sebagai fungsional dalam memahamai suatu masalah.
Dalam penyusunan kurikulum yang harus dipertimbangkan adalah soal luas dan kedalaman bahan pelajaran. Biasanya, makin luas bahan pelajaran makin kurang mendalam pengetahuan yang diperoleh siswa dalam jangka waktu yang sama.[18]   Maka, dalam pemilihan bahan belajaran ada bahan pelajaran yang umum dan ada bahasa pelajaran yang khusus. Pertam, bahan pelajaran yang umum, yakni hal-hal yang harus dimiliki oleh semua warga negara, misalnya mengenai pemerintahan, norma-norma dalam kelakukan yang baik, dan sebagainya. Kedua,   bahan pelajaran yang khusus, yaitu diperlukan untuk kepentingan tertentu, misalnya bersipat vokasional,[19] yang hanya diperlukan oleh orang-orang tertentu. [20]
Materi pelajaran yang dipilih tentu saja dari persedian bahan yang sangat luas yang dapat disajikan kepada anak-anak untuk dipelajari.  Tentu saja pilihan materi pelajaran itu harus dilakukan, karena luasnya bahan pelajaran yang ada, sedangkan apa yang akan dipelajari anak dalam jangka waktu tertentu sangat terbatas. Dengan demikian perlu ditentukan kriteria agar memilih bahan itu dapat dilakukan secara lebih rasional[21] dan tepat sesuai tujuan.
Kriteria penentuan bahan pelajaran: Ada sejumlah kriteria yang dapat dipertimbangkan dalam pemilihn materi kurikulum, anatar lain:
(1) Materi kurikulum harus dipilih berdasarkan tujuan yang hendak dicapai. Setiap penyususnan kurikulum dimulai dengan merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus. Setelah itu baru ditentukan materi pelajaran yang dianggap paling serasi untuk mencapai tujuan-tujuan itu.
(2) Materi kurikulum dipilih karena dianggap berharga sebagai warisan budaya  (positif) dari generasi masa lalu. Salah satu fungsi pendidikan adalah menginformasikan kebudayaan bangsa kepada generasi muda. Sebab, masih ada hal-hal yang berguna dan bernilai bagi generasi muda.
(3)  Materi kurikulum dipilih karena berguna bagi penguasaan suatu disiplin ilmu. Penguasaan disipling diperlukan sebagai prasyarakat untuk melanjutkan pelajaran sampai ketingkat yang lebih tinggi. Karena harapan anak dan orang tua, agar mereka dapat memamasuki pendidikan yang lebih tinggi, maka pengaruh pendidikan tinggi lebih besar bagi anak dan orang tua.
(4)  Materi kurikulum dipilih karena dianggap bemanfaat bagi kehidupan umat manusia, untuk berlaku masa kini dan masa akan datang. Maka harapannya, sekolah yang didirikan oleh masyarakat, harus memberikan pendidikan dalam bidang-bidang yang diperlukan oleh anak-anak dalam kehidupan mereka di masyarakat.
(5) Materi kurikulum dipilih karena sesuai dengan kebutuhan dan minat anak didik, dan kebutuhan masyarakat.[22]
Dalam memilih bahan pelajaran perlu kita perhatikan pendapat Hilda Taba.  Menurut Taba,  untuk mencapai suatu tujuan pendidikan, tidak cukup hanya memperhatikan isi atau bahan pelajaran saja, akan tetapi juga proses pelajaran atau pengalaman belajar.  Taba, berpendirian, bahan pelajaran tidak boleh dipisahkan dari pengalaman belajar.  Karena itu lebih baik pelajaran dipusatkan pada sejumlah pokok yang terbatas yang dapat mengembangkan keterampilan mental daripada berusaha meliputi sejumlah bahan yang aluas yang hanya dihafal secara mendangkal tetapi tidak mengembangkan kesanggupan mental itu.

b)     Sequence
Sequence menyangkut urutan susunan bahan kurikulum. Sequence dapat disusun dengan mempertimbangkan tiga hal, yaitu struktur disiplin ilmu, taraf perkembangan siswa, dan pembagian materi kurikulum berdasarkan tingkatan kelas.
Sequence berarti susunan atau urutan pengelompokan kegiatan atau langkah-langkah yang dilakukan dalam perencanaan kurikulum. Bila scope mengacu pada “apa” terkait dengan “keluasaan dan kedalaman materi kurikulum”,  maka sequence lebih mengacu pada “kapan” dan “di mana” pokok-pokok bahasan tersebut ditempatkan dan dilaksanakan.

Masalah urutan atau sequence sering hanya dihubungkan dengan penempatan materi pelajaran, yakni menentukan kapan materi itu harus diajarkan.  Maka diberikan pedoman seperti dari yang mudah kepada yang sulit, dekat kepada yang jauh, yang sederhana kepada kompleks, dari bagian kepada keseluruhan atau sebaliknya.[23]
Faktor-faktor dalam penempatan materi pelajaran: Dalam menentukan kapan atau kelas berapa materi pelajaran sebaiknya diajarkan ditentukan oleh bebarapa faktor. Maka faktor-faktor yang turut menentukan urutan bahan pelajaran antara lain:
(1)  Taraf kesulitan materi pelajaran atau isi kurikulum. Pada umumnya materi pelajaran dimulai dari yang mudah dan sederhana lebih dahulu diberikan daripada yang sukar dan kompleks. Katakan saja, anak mulai dari bilangan kecil sebelum angka yang besar dan seterusnya.  Tak selalu mudah menentukan yang manakah yang mudah dan yang sukar. Namun bahan pelajaran memang mempunya tingkat-tingkat kesukaran. Makin banyak unsur yang terlibat dalam suatu masalah, makin kompleks problema itu makin tinggi taraf kesulitannya. Karena kenyataan itu maka dalam penempatan bahan pelajaran perlu dipertimbangkan taraf kesulitannya.[24]
(2)   Apersepsi atau pengalaman lampau.  Sesuatu yang baru hanya dapat di pahami berdasarkan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimiliki. Karena itu diusahakan adanya kontinuitas dalam bahan pelajaran. Pelajaran yang lampau menjadi syarat untuk memahami pelajaran baru. Dalam memperoleh pemahaman, individu belajar melalui pengalaman. Cara coba-coba untuk memperoleh pemahaman erupakan suatu yang penting, karena menghasilkan pengalaman yang dapat direorganisasi manakala menghadapi situasi yang sama. Dalam mempelajari matematika misalnya, tidak hanya dilakukan dengan mempelajari jawaban soal, tetapi yang paling penting adalah mengalami proses memperoleh penyelesaian soal sehingga diperoleh pemahaman terhadap keberadaan soal itu dan mengapa penyelesaian atau jawabannya itu demikian.[25]
(3)   Kematangan dan perkembangan siswa. Kematangan diakibatkan oleh perkembangan intern dan pertumbuhan syaraf atau fisiologis. Kematangan ini dianggap tidak dapat dipengaruhi banyak faktor oleh faktor-faktor luar. Pada suatu ketika anak mulai belajar berbicara atau berjalan. Katakan saja, sebelum “waktu kematangan” usaha untuk mempercepatnya akan mengalami gagal.  Maka setelah kematangan anak “mulai belajar”. Proses belajar dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor luar. [26] 
(3) Latar belakang pengalaman atau pengetahuan.  Sesuatu yang baru hanya dapat dipahami berdasarkan pengetahuan dan atau pengalaman yang teleh dimiliki sebelumnya. Untuk itu diperlukan adanya kesinambukan dalam materi pelajaran. Materi pelajaran yang lampau menjadi syarat untuk memahami materi pelajaran yang baru. 
(4)  Tingkat intelegensi. Kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif.  Intelegensi kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Maka, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu. Untuk mengetahui intelegensi seseorang harus melalui tes disebut tes intelegensi.
(5) Minat dan kebutuhan siswa. Menjadi faktor utama dalam penentuan bahan dan urutannya di sekolah yang “child centered”.  Minat anak dapat saja berubah-ubah, sebab ada minat yang timbul karena perkembangan anak dan ada pula minta yang dipengerahui oleh lingkungan. Dalam penempatan bahan pelajaran minat anak sudah sewajarnya perlu diperhatikan, apalagi minat yang timbul sebagai akibat perkembangan anak.Minat dapat timbul berdasarkan pengatahuan yang diperoleh dari pelajaran-pelajaran lampau.[27]
(6)  Kegunaan bahan ajar.  Bahan ajar, seperangkat materi pembelajaran, disusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran.  Bahan ajar digunakan untuk membantu guru/instruktor dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas.
Menurut Hilda Taba, dalam penyusunan urutan atau sequence jangan lupakan urutan dalam proses pembelajaran. Kurikulum biasanya hanya menentukan urutan materi pelajaran saja, sedangkan untuk urutan proses pembelajaran, biasanya diserahkan sepenuhnya kepada guru. Lebih lanjut, Hilda Taba, mengatakan bahwa “bukan hanya urutan menganai materi pelajaran saja yang penting, melainkan juga urutan dalam proses pembelajaran atau pengalaman-pengalaman belajar”. [28]
Dengan demikian, urutan proses pembelajaran antara lain mengenai langkah-langkah untuk mengembangkan konsep-konsep, sikap dan kesanggupan berpikir.  Katakan saja dapat membuat petunjuk “dari hal yang konkret kepada yang abstrak” kurang memadai.  Artinya, kita tidak tahu berapa hal yang “sifatnya konkrit” harus diajarkan, agar pesaerta didik dapat menangkap pengertian yang sifatnya abstrak.[29]
Dalam penyusunan sequence untuk menentukan urutan bahan pelajaran disajikan, apa yang dahulu apa yang kemudian, dengan maksud agar proses belajar berjalan dengan baik.   Untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan, diperlukan bahan ajar atau materi pelajaran. Bahan ajar tersebut tersusun atas topik-topik dan sub-subtopik tertentu. Tentu saja topik-topik atau sub-subtopik tersebut tersusun dalam sequence tertentu yang membentuk suatu  sequence bahan ajar. 
Langkah-langkah atau beberapa cara untuk menyusun Squence bahan ajar, yaitu:
(1)  Mulai dari  paling sederhana menuju kompleks.
Menyusun bahan atau materi pelajaran dimulai dari paling sederhana menuju yang kompleks. Mulai dari yang mudah menuju kepada yang sulit.   
(2)  menurut alur kronologis;
Menysusun materi pelajaran yang mengandung urutan waktu, dapat digunakan model sequnece kronologi. Seperti peristiwa-peristiwa sejarah, perkembangan historis suatu institusi atau lembaga, penemuan-penemuan ilmiah, dan sebagainya, dapat disusun berdasarkan model sequence kronologi.
(3)  Mulai dari keadaan geografis yang dekat sampai ke yang jauh.
Menyusun materi pelajaran tentang geografis  dimulai dari keadaan geografis yang terkedat dan kemudian sampai kepada keadaan keografis terjauh.
(4)  Dari jauh menuju ke dekat.
(5)  Dari konkret ke abstrak.  
(6)  Dari umum menuju khusus, dan  
(7)  Dari khusus menuju umum.
Donald E. Orlosky dan B. Othanel Smith (Olivia, 1992) mengemukakan bahwa terdapat tiga konsep sequence yaitu sequnce menurut kebutuhan, sequence menurut makro, dan sequence mikro. Dalam proses sequnce, para pengembang kurikulum harus memperhatikan tingkat kedewasaan, latar belakang pengalaman, tingkat kematangan dan ketertarikan atau minat siswa, serta tingkat kegunaan dan kesukaran materi pelajaran.[30]

4.      Pemilihan dan Pengorganisasian Pengalaman Belajar
Setelah materi kurikulum, bahan ajar, dipilih dan diorganisasikan, maka langkah selanjutnya adalah memilih dan mengorganisasikan pengalaman belajar. Cara pemilihan dan pengorganisasian pengalaman belajar dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan, strategi, metode, serta teknik yang disesuaikan dengan tujuan dan sifat materi yang akan diberikan.
Pengalaman belajar peserta didik dapat bersumber dari pengalaman belajar visual, pengalaman belajar audio, pengalaman belajar audio-visual,  perabaan, dan penciuman.  Pengalaman belajar dipilih harus mencakup berbagai pengalaman, kegiatan mental, fisik yang menarik minat siswa, sesuai dengan tujuan pembelajaran, tingkat perkembangannya, dan merangsang siswa belajar aktif dan kreatif.

5.     Pengembangan Alat Evaluasi
Prinsip evaluasi adalah mengukur apa yang hendak diukur. Maka untuk pengembangan alat evaluasi adalah untuk menelaah kembali apakah kegiatan yang telah dilakukan itu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.  Ada dua hal yang perlu mendapat perhatian dari penilaian kurikulum, yaitu; (1) apakah kegiatan-kegiatan yang dikembangkan dan diorganisasikan itu memungkinkan untuk tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dan dicita-citakan?  dan (2) apakah kurikulum yang telah dilaksanakan dan dikembangkan dapat diperbaiki serta bagaimana cara memperbaikinya?
Penilai pada dasarnya merupakan suatu proses pertimbangan terhadap suatu hal. Scriven, dalam Nurgiyantoro (1988), mengemukakan bahwa penilaian itu terdiri atas tiga komponen, yaitu; (1) pengumpulan informasi, (2) pembuatan pertimbangan, dan (3) pembuatan keputusan. Dengan demikian, evaluasi kurikulum dapat dilakukan terhadap komponen-komponen kurikulum itu sendiri, evaluasi terhadap implementasi kurikulum, dan evaluasi terhadap hasil yang dicapai.  
Evaluasi kurikulum adalah sejauh mana efektifitas dan efesiensi kurikulum dalam mencapai tujuan. Mengevaluasi berarti memberi  atau menilai apakah sesuatu itu bernilai atau tidak, sesuatu itu tercapai atau tidak, sesuatu itu berhasil atau tidak.  Fungsi evaluasi memberikan informasi paling akurat dalam kemampuan akademik siswa, menunjukkan bagaimana murid itu tumbuh. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui seberapa besar tujuan pengembangan itu terealisasikan atau tercapai dengan baik.  Setelah mengetahui pencapaian tujuan-tujuan pendidikan yang dilakukan, langkah selanjutnya adalah perbaikan atau penyempurnaan kurikulum.
Evaluasi kurikulum mengacu pada tujuan kurikulum. Artinya, evaluasi perlu di lakukan untuk memperoleh balikan sebagai dasar dalam melakukan perbaikan. Maka, evaluasi dapat di lakukan secara terus menerus.[31] Dengan demikian, hasil evaluasi dimanfaatkan untuk mengadakan revisi yang perlu atau perubahan total kurikulum menjadi suatu kurikulum yang baru lagi.


IV.   Bahan Bacaan
Alwi Hasan, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakrta: Balai Pustaka.

Hendayat soetopo dan Wasty soemanto,1993, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, Jakarta: PT Bumi Aksara.

Iskandar Wiryokusumo dan Usman Mulyadi,1988, Dasar-dasar Pengembagan Kurikulum, Jakarta: Bina Aksara.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus versi online/daring (dalam jaringan), dikutip dari: https://kbbi.web.id/vokasional, diakses pada Sabtu, 28 Oktober 2017, jam. 8.33 WIB.

Muhammad Ali, 1992, Pengembangan Kurikulum Sekolah, Bandung: Sinar Baru.

Nana Syaodhih Sukadinata,1999, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Cetakan Kedua, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Oemar Hamalik,2008, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT Remaja Rosydakarya.

Pendidikan Vokasional Memacu Kreatifitas, dikutip dari: http://manlumajang.sch.id/?page_id=165, diakses pada Sabtu, 28 Oktober 2017, jam. 15.19 WIB.
           
S. Nasution,1994, Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara.

S. Nasution, M. A.,2011, Pengembangan Kurikulum, Cetakan Keseblas, Jakarta:Bumi Aksara.

Zaenal Arifin, 2012, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung:Rosda.




[1]    Modul Kuliah Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Pertemuan ke VIII: Materi: Langkah-Langkah Pengembangan Kurikulum PAI, oleh: Dr. Hujair AH. Sanaky, MSI.
[2]    Hujair AH. Sanaky, Dr. MSI, adalah dosen Program Pascasarjana FIAI UII dan Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam FIAI UII Yogyakarta.
[3]    Alwi Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakrta: Balai Pustaka, 2003), hlm. 83

[4]    Zaenal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. (Bandung:Rosda, 2012),hlm.31

[5]  S. Nasution, M. A. Pengembangan Kurikulum, Cetakan VI. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 139.

[6]    Nana Syaodhih Sukadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Cetakan Kedua, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), hlm.150.
[7]    Ibid. hlm.103.
[8]    Ibid. hlm.103.
[9]    Ibid. hlm.103-104.
[10]   Ibid. hlm.103-104.
[11]   S.Nasution, Kurikulum Pengajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 43-44.
[12]   Nana Syaodhih Sukadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Cetakan Kedua, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), hlm.85
[13]   Iskandar Wiryokusumo dan Usman Mulyadi, Dasar-dasar Pengembagan Kurikulum, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm. 48
[14]   Hendayat soetopo dan Wasty soemanto, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1993), hlm. 75-76.

[15]   S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, Cetakan Keseblas, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 230-231.
[16]   Ibid. hlm. 231.
[17]   Ibid.
[18]   Ibid. hlm. 231-233. Bahan pelajaran yang dituangkan dalam sejumlah besar matapelajaran demikian banyaknya sehingga tak mungkin seseorang dapat mempelajari keseluruhannya selama hidupnya. Ada matapelajaran yang dianggap perlu dipelajari oleh semua warganegara seperti membaca, menulis dan berhitung, yang sudah dapat dilakukan pada tingkah SD. Selanjutnya masih ada matapelajaran yang diwajibkan bagi semua siswa seperti bahasa nasional, pendidikan kewarganegaraan, sejarah nasional, dan lain-lain. Matapelajaran ini termasuk pendidikan umum. Tujuannya ialah agar semua warganegara mempunyai dasar pemikiran yang sama untuk menjamin keutamaan negara. S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, Cetakan Keseblas, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 232.

[19] Vokasional, bersangkutan dengan (sekolah) kejuruan; bersangkutan dengan bimbingan kejurua Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus versi online/daring (dalam jaringan), dikutip dari: https://kbbi.web.id/vokasional, diakses pada Sabtu, 28 Oktober 2017, jam. 8.33 WIB. Pendidikan vokasional merupakan penggabungan antara teori dan praktik secara seimbang dengan orientasi pada kesiapan kerja lulusannya. Kurikulum dalam pendidikan vokasional, terkonsentrasi pada sistem pembelajaran keahlian (apprenticeship of learning) pada kejuruan-kejuruan khusus (specific trades). Kelebihan pendidikan vokasional ini, antara lain, peserta didik secara langsung dapat mengembangkan keahliannya disesuaikan dengan kebutuhan lapangan atau bidang tugas yang akan dihadapinya. Sumber: Pendidikan Vokasional Memacu Kreatifitas, dikutip dari: http://manlumajang.sch.id/?page_id=165, diakses pada Sabtu, 28 Oktober 2017, jam. 15.19 WIB.

[20]  S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, hlm. 233.
[21]  Baca: S. Nasuition, Asas-asas Kurikulum, hlm. 233.
[22]   Ibid, hlm. 233-235.
[23]   Ibid, hlm. 247.
[24]   S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 244-245.
[25]    Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum Sekolah, (Bandung: Sinar Baru, 1992),hlm.41.
[26]   Baca: S. Nasuition, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011),  hlm. 244-246.
[27]   S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994),hlm. 242-246
[28]   S. Nasuition, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011),hlm. 244-246
[29]   Ibid.
[30]   Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Remaja Rosydakarya, 2008), hlm.48

[31]   Mohammad Ali, Pengembanhan Kurikulum di Sekolah,(Bandung:Sinar Baru,1992),hlm 66-67.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar