MATERI
KULIAH
PENGEMBANGAN
KURIKULUM PAI
Pertemuan
ke VIII
Modul : VIII
Oleh: Hujair AH. Sanaky[2]
I. CPMK dan Indikator
Capaian
1.
CPMK: mahasiswa
memahami langkah-langkah pengembangan kurikulum PAI
2. Indikator: mahasiswa dapat menjelaskan
langkah-langkah pengembangan kurikulum PAI secara benar.
II. Pendahuluan
Pengertian; langkah-langkah, dapat disebutkan sebagai tahapan-tahapan atau
tingkatan-tingkatan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
langkah-langkah dapat juga diartikan sebagai tahap-tahap atau bagian-bagian
untuk mencapai suatu tujuan.[3]
Pengembangan adalah menunjukkan pada suatu kegiatan yang menghasilkan
sesuatu alat atau cara yang ataupun merevisi sesuatu yang telah ada menjadi
baik. Selama kegiatan itu dilaksanakan dengan maksud mengadakan
penyempurnaan-penyempurnaan yang akhirnya alat atau cara tersebut dipandang
cukup bagus untuk digunakan seterusnya maka berakhirlah kegiatan pengembangan. Pengembangan
berasal dari kata kembang yang artinya besar, luas dan banyak. Maka dari itu
pengembangan merupakan suatu proses untuk menjadikan sesuatu menjadi lebih
maju, lebih luas dan menjadi sempurna.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran, gedung dan fasilitas
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kurikulum merupakan suatu program yang dimaksudkan untuk
mencapai tujuan pendidikan.
Menurut Surachmad (1977:9-11), kurikulum sebagai suatu sistem, kurikulum mengandung
beberapa komponen;
(1) tujuan pendidikan yang hendak dicapai,yaitu;
institutusional, kurikuler, dan instruksional.
(2) Program kurikulum, yaitu; bidang
studi, pokok bahasan, sub
pokok bahasan. (3) Organisasi
kurikulum, vertikal dan horizontal. dan (4) Strategi kurikulum, yaitu; cara
penyampaian, media pembelajaran, dan cara penilaian.
Sedangkan pengembangan kurikulum
adalah upaya atau proses untuk mengarahkan kurikulum ke tujuan pendidikan yang
diharapkan karena adanya berbagai pengaruh positif yang datangnya dari luar
ataupun dari dalam dengan harapan agar peserta didik mampu untuk menghadapi
masa depannya atau adanya perubahan/merevisi atau peralihan total dari suatu
kurikulum ke kurikulum lain.[4]
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa langkah-langkah pengembangan
kurikulum adalah merupakan suatu usaha untuk merevisi, memperluas, dan
mengadakan penyempurnaan-penyempurnaan terhadap kurikulum yang telah ada,
dengan menggunakan tahapan-tahapan dan tingkatan-tingkatan sistematis untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional.
Dengan demikian, dalam pengembngan kurikulum harus bersifat adaptif,
antisipatif, dan aplikatif. Bersifat
adaptif artinya pengembangan kurikulum harus disesuaikan dengan keadaan,
perkembangan zaman, kebutuhan peserta
didik dan masyarakat. Antisipasi artinya
kurikulum harus dapat selalu siap untuk tujuan jangka panjang maupun jangka
pendek. Aplikatif dalam artian kurikulum dapat dilaksanakan untuk mencapai
tujuan pendidikan.
III.
Langkah-Langkah Pengembangan Kurikulum
Setiap kurikulum
mempunyai empat komponen utama, yaitu tujuan, bahan pelajaran, proses
belajar-mengajar, dan penilaian. Dalam pengembangan kurikulum tiap komponen itu
harus diperhatikan dan saling erat kaitannya dengan semua komponen-komponen
lainnya. Misalnya, evaluasi harus sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, bahan
pelajaran yang diajarkan serta proses belajar-mengajar yang dijalankan.[5]
Dalam pengembangannya, kurikulum melibatkan berbagai pihak, terutama
pihak-pihak yang secara langsung ataupun tidak langsung memiliki kepentingan
dengan keberadaan pendidikan yang dirancang, yaitu mulai dari ahli pendidikan,
ahli bidang studi, guru, siswa, pejabat pendidikan, para praktisi maupun tokoh
panutan atau anggota masyarakat lainnya.
Langkah-langkah pengembangan kurikulum adalah
merupakan suatu usaha untuk merevisi, memperluas, dan mengadakan
penyempurnaan-penyempurnaan terhadap kurikulum yang telah ada, dengan
menggunakan tahapan-tahapan dan tingkatan-tingkatan sistematis untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional. Hendaknya pengembngan kurikulum harus bersifat
adaptif, antisipatif, dan aplikatif.
Adaptif disini yaitu pengembangan kurikulum harus disesuaikan
dengan keadaan dan kebutuhan peserta didik. Antisipasi bermakna kurikulum harus dapat selalu siap
untuk tujuan jangka panjang maupun jangka pendek. Aplikatif yaitu kurikulum dapat dilaksanakan
untuk mencapai tujuan pendidikan.
Secara umum langkah-langkah pengembangan kurikulum
terdiri atas diagnosis kebutuhan, perumusan tujuan, pemilihan dan
pengorganisasian materi, pemilihan dan pengorganisasian pengalaman belajar, dan
pengalaman alat evaluasi.
1.
Analisis dan Diagnosis Kebutuhan.
Kurikulum
merupakan suatu rancangan pendidikan yang merupakan semua pengalaman belajar
yang disediakan bagi siswa di sekolah. Maka, rancangan kurikulum disusun dengan
maksud memberi pedoman kepada pelaksana pendidikan, dalam proses pembimbingan
perkembangan peserta didik, untuk
mencapai tujuan yang dicita-citakan peserta didik, keluarga, maupun masyarakat. [6]
Dengan berpedoman pada rancangan kurikulum
disusun dengan maksud memberi pedoman, maka langkah pertama yang dapat
dilakukan dalam pengembangan kurikulum adalah menganalisis dan mendiagnosis
kebutuhan. Analisis kebutuhan dapat
dilakukan dengan mempelajari tiga hal, yaitu kebutuhan siswa, tuntutan
masyarakat, dunia kerja, dan harapan-harapan dari pemerintah (kebijakan
pendidikan). (1) Kebutuhan siswa dapat
dianalisis dari aspek-aspek perkembangan psikologis siswa, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang mempengaruhi perilaku siswa; (2) Tuntutan
masyarakat, dan dunia kerja dapat dianalisis dari berbagai kemajuan yang ada di
masyarakat dan prediksi-prediksi kemajuan masyarakat pada masa yang akan
datang; (3) Harapan pemerintah dapat dianalisis dari kebijakan-kebijakan,
khususnya kebijakan-kebijakan bidang pendidikan yang dikeluarkan, baik oleh
pemerintah pusat maupun daerah.
Hasil analisis dari ketiga aspek tersebut, kemudian
disusun untuk menjadi serangkaian
kebutuhan sebagai bahan masukan bagi kegiatan pengembangan tujuan.
Adapun pendekatan yang dilakukan untuk menganalisis ketiga kebutuhan tersebut,
melalui (1) studi kebutuhan, (2) studi kompetensi, dan (3) analisis tugas.
a. Studi kebutuhan, dilakukan untuk melakukan survei terhadap pengguna lulusan dalam
menganalisis kebutuhan. Penyusun atau seorang pengembang kurikulum dapat
melakukan wawancara dengan sejumlah orang, tokoh masyarakat, pejabat
pemerintah, para ahli, pengguna lulusan stakeholder
dan user, terkait dengan apa yang
dibutuhkan siswa, masyarakat, dan pemerintah, yang berkaitan dengan kurikulum
sebagai suatu program pendidikan.
b. Studi kompetensi,
dilakukan dengan mengaanalisis kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan oleh
lulusan dari suatu jenis dan jenjang program pendidikan.
c. Pendekatan analisis
tugas dilakukan dengan menganalisis setiap jenis tugas yang harus diselesaikan.
Tugas tersebut bisa berkaitan dengan aspek kognitif, afektif, dan atau
psikomotorik.
Dengan demikian hasil akhir dari kegiatan
analisis dan diagnosis kebutuhan ini akan dijadikan data masukan bagi langkah
selanjutnya dalam pengembangan kurikulum dan perumusan tujuan.
- Perumusan tujuan
Tujuan memegang peranan penting, karena akan mengarahkan semua kegiatan
pengajaran dan mewarnai komponen-komponen kurikulum. Tujuan di rumuskan berdasarkan analisis terhadap berbagai kebutuhan,
tuntutan, dan harapan. Tujuan di rumuskan dengan
mempertimbangkan faktor-faktor masyarakat, siswa itu sendiri, serta perkembanagan ilmu pengetahuan. Tujuan kurikulum dirumuskan berdasarkan dua hal. Pertama, perkembangan tuntutan,
kebutuhan, dan kondisi masyarakat. Kedua,
didasari oleh pemikiran-pemikiran dan terarah pada pencapaian nilai-nilai
filosofis, terutama falsafah negara.[7]
Kita mengenal beberapa kategori tujuan pendidikan, yaitu tujuan umum dan
khusus, jangka panjang, menengah, dan jangka pendek.[8] Sedangkan tujuan
mengajar dibedakan atas beberapa kategori, sesuai dengan perilaku yang menjadi
sasarannya. Gage dan Briggs
mengemukakan lima kategori tujuan, yaitu; intellectual
skills, cognitive strategies, verbal information, motor skills and attitudes (1974,
hlm. 23-24). [9]
Benyamin S. Bloom dalam Taxonomy of Educational
Objectives, mengemukakan tiga kategori
tujuan mengajar sesuai dengan domain-domain
perilaku individu, yaitu domain kognitif, afektif, dan psikomotor. Domain kognitif berkenaan dengan penguasaan
kemampuan-kemampuan intelektual atau kemampuan berpikir. Domain afektif
berkenaan dengan penguasaan dan pengembangan perasaan, sikap, minat, dan
nilai-nilai. Domain psikomotor berkenaan dengan penguasaan dan pengembangan keterampilan-keterampilan
motorik.[10]
Hilda Taba dalam
S. Nasution memberikan beberapa petunjuk tentang cara merumuskan tujuan, antara lain:[11]
a.
Tujuan hendaknya berdimensi dua, yakni mengandung
unsur proses dan produk. Termasuk unsur; (1) proses antara lain menganalisis, mengsintesa, menginterpretasi, dan sebagainya. (2) produk adalah bahan atau materi yang terdapat dalam
tiap mata pelajaran. Contoh; tujuan dapat
berbunyi: menafsirkan makna kejujuran, menafsirkan makna sabar, memahami dan menghafal rumus-rumus tentang gravitasi, dan lainnya.
b.
Menganalisis tujuan yang bersifat umum dan kompleks
menjadi spesifik sehingga diperoleh bentuk kelakuan yang diharapkan dapat
diamati.
c.
Memberi petunjuk tentang pengalaman apa yang
diperlukan untuk mencapai tujuan itu. Misalnya menghasilkan karya sastra tidak
diperoleh dengan hanya sekedar membaca karya sastra, akan tetapi dengan cara
membuat suatu karangan yang mengandung corak seni.
d.
Menunjukkan bahwa suatu tujuan tidak selalu dicapai
segera akan tetapi adakalanya memakan waktu yang lama, seperti berpikir kritis,
menghargai seni sastra, dan sebagainya.
e.
Tujuan harus realistis dan harus dapat diterjemahkan
dalam bentuuk kegiatan atau pengalaman belajar tertentu.
f.
Tujuan itu harus bersifat komprehensif, menyeluruh. Artiya meliputi segaka tujuan yang ingin dicapai
disekolah, bukan hanya penyampaian informasi, akan tetapi juga ketrampilan
berpikir, hubungan sosial, sikap terhadap bangsa dan negara dan lainnya.
Maka yang menjadi perhatian adalah dalam merumuskan tujuan hendaknya berdasarkan pada kebutuhan, tututan
dan harapan, serta dengan mempertimbangkan berbagai faktor-faktor masyarakat,
siswa sendiri dan ilmu pengetahuan. Maka, manfaat
dari terumusnya tujuan kurikulum adalah dapat membantu para pengembang kurikulum dalam mendesain model
kurikulum sehingga dapat digunakkan juga untuk membantu guru dalam
mengembangkan pengajaran atau mendesain suatu pembelajaran.
3. Pemilihan dan Pengorganisasian Materi
Secara spesifik, yang
dimaksud dengan materi kurikulum adalah segala sesuatu yang diberikan kepada
siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Menjadi “persoalan
besar yang dihadapi para pengembang kurikulum adalah memilih materi pelajaran
dari sekian banyak disiplin ilmu yang ada”.[12] Sebab isi dari kegiatan
pembelajaran tersebut adalah isi dari kurikulum itu
sendiri. Tentu saja, tugas guru adalah mengembangkan bahan pelajaran tersebut
berdasarkan tujuan instruksional yang telah disusun dan dirumuskan sebelumnya.
Dalam hal penyusunan dan penyusunan bahan pelajaran
ini dikenal dengan istilah, yaitu scope dan squence.
a) Scope
Scope atau ruang lingkup menyangkut keluasaan dan kedalaman
materi kurikulum. Scope
yaitu ruang lingkup keseluruhan pengalaman belajar yang akan diberikan kepada
siswa yang sudah berbentuk bidang studi, misal bidang studi IPA untuk SMP
(biologi) yang diperinci menjadi pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang
mengandung ruang lingkup bahannya sendiri. Untuk
mendapat bahan yang lebih jelas dapat diperoleh dari buku, buku paket atau
sumber pokok dari pelajaran.[13]
Scope merupakan pemilihan pengalaman belajar yang bersifat melintang atau
meluas (latitudinal axis) dan memikirkan “what” dari kurikulum,
yang menurut curriculum planning tepat untuk merealisasikan tujuan
pendidikan. Sedangkan sequence
mempersoalkan “when” di dalam perencanaan kurikulum. William B. Ragan mendiskripsikan secara umum
bahwa scope ditentukan kegiatan-kegiatan dasar yang dikerjakan orang,
nilai-nilai dalam masyarakat, dan masalah-masalah utama yang nampak.[14]
Menentukan Scope dalam Kurikulum. Dalam
menentukan Scope, menurut S. Nasution
adalah apa yang harus diajarkan merupakan masalah yang semakin sulit seiring
berjalannya waktu. Maka, ada beberapa penyebabnya antara lain :
(1)
Bahan pelajaran cepat bertambah luas
karena eksplosi ilmu pengetahuan. Spesialisasi
dalam pendidikan semakin meluas dan tiap spesialisasi memerlukan bahan
pelajaran tambahan. Selain itu, waktu belajar terbatas demikian pula kemampuan
anak untuk menguasai bahan pelajaran.
(2)
Belum ada kriteria yang pasti tentang bahan apa yang perlu diajarkan. Juga
belum ada cara tentang mengorganisasi kurikulum yang dapat diterima oleh semua
(3)
Matapelajaran yang tradisional tidak lagi
memadai. Timbul pula tujuan baru seperti berpikir kritis dan kreatif, memahami
lingkungan social dan memahami dunia internasional, yang dianggap perlu
dimasukkan dalam kurikulum. Maka, sering
mata pelajaran baru ditambahkan, sedangkan matapelajaran lama masih tetap disampaikan
terus, sehingga beban belajar anak bertambah berat. Hal ini tentu saja, menambah
matapelajaran dalam masa belajar yang
sama dan membuat pengetahuan anak tersebut dangkal tentang aneka ragam bidang.[15]
Bahan pelajaran: Bahan pelajaran atau subject matter teradiri dari
pengetahuan, nilai-nilai, sikap, dan keterampilan. Katakan saja, “masjid” bukan
bahan pelajaran, akan tetapi yang menjadi bahan pelajaran adalah “pengetahuan
tentang masjid”. Bahan pelajaran adalah
sebagian dari kebudayaan. [16]
Disiplin ilmu banyak digunakan sebagai dasar
penyusunan kurikulum yang berbentuk matapelajaran seperti fisika, biologi,
sejarah, agama, dan sebagainya. Kurikulum serupa ini dikatakan mempunyai
organisasi yang logis. Bahan pelajaran yang diajarkan dalam urutan yang logis,
misalnya dalam biologi dimulai dengan binatang bersel satu, kemudian bersel
banyak, selanjutnya meningkat kepada binatang yang lebih kompleks strukturnya. Kurikulum yang logis ini sering
tidak ada kaitannya dengan pengalaman anak dalam kehidupannya. Apa yang
dipelajari anak sering dalam hafalan kata-kata tanpa makna, maka tidak
memperkaya pribadi anak.[17]
Kurikulum dianggap lebih bermakna apabila bahan
pelajaran dihubungkan atau didasarkan dengan pengalaman anak dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya bila yang diajarkan masalah kesehatan, kecelakaan lalu
lintas, kemiskinan, dan sebagainya. Mungkin saja, topik ini dapat diajarkan
dengan menggunakan bahan dari berbagai disiplin ilmu seperti biologi, fisika,
kimia, ekonomi, matematika, geografi, dan sebagainya. Katakan saja, pengetahuan dari disiplin ilmu
itu dipakai sebagai fungsional dalam memahamai suatu masalah.
Dalam penyusunan kurikulum yang harus
dipertimbangkan adalah soal luas dan kedalaman bahan pelajaran. Biasanya, makin
luas bahan pelajaran makin kurang mendalam pengetahuan yang diperoleh siswa dalam
jangka waktu yang sama.[18]
Maka, dalam pemilihan bahan
belajaran ada bahan pelajaran yang umum dan ada bahasa pelajaran yang khusus. Pertam, bahan pelajaran
yang umum, yakni hal-hal yang harus dimiliki oleh semua warga negara, misalnya
mengenai pemerintahan, norma-norma dalam kelakukan yang baik, dan sebagainya. Kedua, bahan pelajaran yang khusus, yaitu diperlukan
untuk kepentingan tertentu, misalnya bersipat vokasional,[19] yang hanya diperlukan oleh
orang-orang tertentu. [20]
Materi pelajaran yang dipilih tentu saja dari
persedian bahan yang sangat luas yang dapat disajikan kepada anak-anak untuk
dipelajari. Tentu saja pilihan materi
pelajaran itu harus dilakukan, karena luasnya bahan pelajaran yang ada,
sedangkan apa yang akan dipelajari anak dalam jangka waktu tertentu sangat
terbatas. Dengan demikian perlu ditentukan kriteria agar memilih bahan itu
dapat dilakukan secara lebih rasional[21] dan tepat sesuai tujuan.
Kriteria penentuan bahan pelajaran: Ada sejumlah kriteria yang
dapat dipertimbangkan dalam pemilihn materi kurikulum, anatar lain:
(1) Materi kurikulum harus dipilih berdasarkan
tujuan yang hendak dicapai. Setiap penyususnan kurikulum dimulai dengan
merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus. Setelah itu baru ditentukan materi
pelajaran yang dianggap paling serasi untuk mencapai tujuan-tujuan itu.
(2) Materi
kurikulum dipilih karena dianggap berharga sebagai warisan budaya (positif)
dari generasi masa lalu. Salah satu fungsi pendidikan adalah menginformasikan
kebudayaan bangsa kepada generasi muda. Sebab, masih ada hal-hal yang berguna
dan bernilai bagi generasi muda.
(3) Materi
kurikulum dipilih karena berguna bagi penguasaan suatu disiplin ilmu.
Penguasaan disipling diperlukan sebagai prasyarakat untuk melanjutkan pelajaran
sampai ketingkat yang lebih tinggi. Karena harapan anak dan orang tua, agar
mereka dapat memamasuki pendidikan yang lebih tinggi, maka pengaruh pendidikan
tinggi lebih besar bagi anak dan orang tua.
(4) Materi
kurikulum dipilih karena dianggap bemanfaat bagi kehidupan umat manusia, untuk berlaku
masa kini dan masa akan datang. Maka harapannya, sekolah yang didirikan oleh
masyarakat, harus memberikan pendidikan dalam bidang-bidang yang diperlukan
oleh anak-anak dalam kehidupan mereka di masyarakat.
(5) Materi kurikulum dipilih karena sesuai dengan
kebutuhan dan minat anak didik, dan kebutuhan masyarakat.[22]
Dalam memilih bahan pelajaran perlu kita perhatikan pendapat Hilda Taba. Menurut Taba,
untuk mencapai suatu tujuan pendidikan, tidak cukup hanya memperhatikan
isi atau bahan pelajaran saja, akan tetapi juga proses pelajaran atau
pengalaman belajar. Taba, berpendirian, bahan
pelajaran tidak boleh dipisahkan dari pengalaman belajar. Karena itu lebih baik pelajaran dipusatkan
pada sejumlah pokok yang terbatas yang dapat mengembangkan keterampilan mental
daripada berusaha meliputi sejumlah bahan yang aluas yang hanya dihafal secara
mendangkal tetapi tidak mengembangkan kesanggupan mental itu.
b) Sequence
Sequence menyangkut urutan susunan bahan kurikulum.
Sequence dapat disusun dengan mempertimbangkan tiga hal, yaitu struktur
disiplin ilmu, taraf perkembangan siswa, dan pembagian materi kurikulum
berdasarkan tingkatan kelas.
Sequence berarti
susunan atau urutan pengelompokan kegiatan atau langkah-langkah yang dilakukan
dalam perencanaan kurikulum. Bila scope mengacu pada “apa” terkait dengan “keluasaan dan kedalaman materi kurikulum”,
maka sequence lebih mengacu pada “kapan” dan “di mana” pokok-pokok bahasan
tersebut ditempatkan dan dilaksanakan.
Masalah urutan atau sequence sering hanya
dihubungkan dengan penempatan materi pelajaran, yakni menentukan kapan materi
itu harus diajarkan. Maka diberikan
pedoman seperti dari yang mudah kepada yang sulit, dekat kepada yang jauh, yang
sederhana kepada kompleks, dari bagian kepada keseluruhan atau sebaliknya.[23]
Faktor-faktor dalam
penempatan materi pelajaran: Dalam menentukan kapan atau kelas berapa materi
pelajaran sebaiknya diajarkan ditentukan oleh bebarapa faktor. Maka faktor-faktor
yang turut menentukan urutan bahan pelajaran antara lain:
(1)
Taraf kesulitan materi pelajaran
atau isi kurikulum. Pada umumnya materi pelajaran dimulai dari yang mudah dan
sederhana lebih dahulu diberikan daripada yang sukar dan kompleks. Katakan
saja, anak mulai dari bilangan kecil sebelum angka yang besar dan seterusnya. Tak selalu mudah menentukan yang manakah yang mudah dan
yang sukar. Namun bahan pelajaran memang mempunya tingkat-tingkat kesukaran. Makin
banyak unsur yang terlibat dalam suatu masalah, makin kompleks problema itu
makin tinggi taraf kesulitannya. Karena
kenyataan itu maka dalam penempatan bahan pelajaran perlu dipertimbangkan taraf
kesulitannya.[24]
(2)
Apersepsi
atau pengalaman lampau. Sesuatu yang baru hanya dapat di pahami berdasarkan
pengetahuan atau pengalaman yang telah dimiliki. Karena itu diusahakan adanya
kontinuitas dalam bahan pelajaran. Pelajaran yang lampau menjadi syarat untuk
memahami pelajaran baru. Dalam memperoleh pemahaman, individu belajar melalui pengalaman. Cara
coba-coba untuk memperoleh pemahaman erupakan suatu yang penting, karena
menghasilkan pengalaman yang dapat direorganisasi manakala menghadapi situasi
yang sama. Dalam mempelajari matematika misalnya, tidak hanya dilakukan dengan
mempelajari jawaban soal, tetapi yang paling penting adalah mengalami proses
memperoleh penyelesaian soal sehingga diperoleh pemahaman terhadap keberadaan
soal itu dan mengapa penyelesaian atau jawabannya itu demikian.[25]
(3)
Kematangan dan perkembangan siswa. Kematangan
diakibatkan oleh perkembangan intern dan pertumbuhan syaraf atau fisiologis.
Kematangan ini dianggap tidak dapat dipengaruhi banyak faktor oleh
faktor-faktor luar. Pada suatu ketika anak mulai belajar berbicara atau
berjalan. Katakan saja, sebelum “waktu kematangan” usaha untuk mempercepatnya akan
mengalami gagal. Maka setelah kematangan
anak “mulai belajar”. Proses belajar dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor luar. [26]
(3) Latar belakang pengalaman atau
pengetahuan. Sesuatu yang baru hanya
dapat dipahami berdasarkan pengetahuan dan atau pengalaman yang teleh dimiliki
sebelumnya. Untuk itu diperlukan adanya kesinambukan dalam materi pelajaran.
Materi pelajaran yang lampau menjadi syarat untuk memahami materi pelajaran yang
baru.
(4) Tingkat intelegensi. Kemampuan
untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi
lingkungannya secara efektif. Intelegensi kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara
rasional. Maka, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung,
melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan
manifestasi dari proses berpikir rasional itu. Untuk mengetahui intelegensi seseorang harus melalui tes disebut tes
intelegensi.
(5) Minat dan kebutuhan siswa. Menjadi faktor utama
dalam penentuan bahan dan urutannya di sekolah yang “child centered”. Minat anak dapat saja berubah-ubah, sebab ada
minat yang timbul karena perkembangan anak dan ada pula minta yang dipengerahui
oleh lingkungan. Dalam penempatan bahan pelajaran minat anak sudah sewajarnya perlu
diperhatikan, apalagi minat yang timbul sebagai akibat perkembangan anak.Minat
dapat timbul berdasarkan pengatahuan yang diperoleh dari pelajaran-pelajaran
lampau.[27]
(6) Kegunaan bahan ajar. Bahan ajar, seperangkat materi pembelajaran, disusun secara sistematis,
menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan
pembelajaran. Bahan
ajar digunakan untuk membantu guru/instruktor dalam melaksanakan kegiatan
belajar mengajar di kelas.
Menurut Hilda Taba, dalam penyusunan urutan atau sequence jangan lupakan
urutan dalam proses pembelajaran. Kurikulum biasanya hanya menentukan urutan
materi pelajaran saja, sedangkan untuk urutan proses pembelajaran, biasanya
diserahkan sepenuhnya kepada guru. Lebih lanjut, Hilda Taba, mengatakan bahwa
“bukan hanya urutan menganai materi pelajaran saja yang penting, melainkan juga
urutan dalam proses pembelajaran atau pengalaman-pengalaman belajar”. [28]
Dengan demikian, urutan proses pembelajaran antara lain mengenai
langkah-langkah untuk mengembangkan konsep-konsep, sikap dan kesanggupan
berpikir. Katakan saja dapat membuat
petunjuk “dari hal yang konkret kepada yang abstrak” kurang memadai. Artinya, kita tidak tahu berapa hal yang
“sifatnya konkrit” harus diajarkan, agar pesaerta didik dapat menangkap
pengertian yang sifatnya abstrak.[29]
Dalam penyusunan sequence untuk menentukan urutan bahan pelajaran disajikan,
apa yang dahulu apa yang kemudian, dengan maksud agar proses belajar berjalan
dengan baik. Untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah
ditentukan, diperlukan bahan ajar atau materi pelajaran. Bahan ajar tersebut tersusun
atas topik-topik dan sub-subtopik tertentu. Tentu saja topik-topik atau
sub-subtopik tersebut tersusun dalam sequence tertentu yang
membentuk suatu sequence bahan ajar.
Langkah-langkah atau beberapa cara untuk menyusun Squence bahan ajar, yaitu:
(1) Mulai dari paling sederhana menuju kompleks.
Menyusun bahan atau materi pelajaran
dimulai dari paling sederhana menuju yang kompleks. Mulai dari yang mudah
menuju kepada yang sulit.
(2) menurut alur kronologis;
Menysusun materi pelajaran yang mengandung urutan
waktu, dapat digunakan model sequnece kronologi. Seperti peristiwa-peristiwa
sejarah, perkembangan historis suatu institusi atau lembaga, penemuan-penemuan
ilmiah, dan sebagainya, dapat disusun berdasarkan model sequence kronologi.
(3) Mulai dari keadaan geografis yang dekat sampai ke yang jauh.
Menyusun materi pelajaran tentang geografis dimulai dari keadaan geografis yang terkedat
dan kemudian sampai kepada keadaan keografis terjauh.
(4) Dari jauh menuju ke dekat.
(5) Dari konkret ke abstrak.
(6) Dari umum menuju khusus, dan
(7) Dari khusus menuju umum.
Donald E. Orlosky dan B. Othanel Smith (Olivia, 1992)
mengemukakan bahwa terdapat tiga konsep sequence yaitu sequnce menurut
kebutuhan, sequence menurut makro, dan sequence mikro. Dalam proses sequnce,
para pengembang kurikulum harus memperhatikan tingkat kedewasaan, latar
belakang pengalaman, tingkat kematangan dan ketertarikan atau minat siswa,
serta tingkat kegunaan dan kesukaran materi pelajaran.[30]
4.
Pemilihan dan Pengorganisasian Pengalaman Belajar
Setelah materi
kurikulum, bahan ajar,
dipilih dan diorganisasikan, maka langkah selanjutnya adalah memilih dan
mengorganisasikan pengalaman belajar. Cara pemilihan dan pengorganisasian
pengalaman belajar dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan,
strategi, metode, serta teknik yang disesuaikan dengan tujuan dan sifat materi
yang akan diberikan.
Pengalaman
belajar peserta didik dapat bersumber dari
pengalaman belajar visual, pengalaman belajar audio, pengalaman belajar audio-visual, perabaan,
dan penciuman. Pengalaman belajar dipilih harus mencakup berbagai pengalaman, kegiatan mental, fisik yang menarik minat siswa, sesuai dengan tujuan pembelajaran, tingkat perkembangannya, dan merangsang siswa belajar
aktif dan kreatif.
5. Pengembangan Alat
Evaluasi
Prinsip evaluasi adalah mengukur apa yang hendak diukur. Maka untuk pengembangan
alat evaluasi adalah untuk menelaah kembali apakah kegiatan yang telah
dilakukan itu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Ada dua hal yang perlu mendapat perhatian dari
penilaian kurikulum, yaitu; (1) apakah kegiatan-kegiatan yang dikembangkan dan
diorganisasikan itu memungkinkan untuk tercapainya tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan dan dicita-citakan? dan (2) apakah
kurikulum yang telah dilaksanakan dan dikembangkan dapat diperbaiki serta
bagaimana cara memperbaikinya?
Penilai pada
dasarnya merupakan suatu proses pertimbangan terhadap suatu hal. Scriven, dalam Nurgiyantoro (1988), mengemukakan bahwa penilaian itu terdiri atas tiga
komponen, yaitu; (1) pengumpulan
informasi, (2) pembuatan pertimbangan, dan (3) pembuatan keputusan. Dengan demikian, evaluasi kurikulum dapat dilakukan terhadap
komponen-komponen kurikulum itu sendiri, evaluasi terhadap implementasi
kurikulum, dan evaluasi terhadap hasil yang dicapai.
Evaluasi kurikulum adalah sejauh mana efektifitas dan efesiensi kurikulum dalam mencapai tujuan. Mengevaluasi berarti memberi atau menilai
apakah sesuatu itu bernilai atau tidak, sesuatu itu tercapai atau tidak,
sesuatu itu berhasil atau tidak. Fungsi
evaluasi memberikan informasi
paling akurat dalam kemampuan akademik siswa, menunjukkan bagaimana murid itu
tumbuh. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui seberapa besar tujuan pengembangan itu terealisasikan atau
tercapai dengan baik. Setelah mengetahui pencapaian
tujuan-tujuan pendidikan yang dilakukan, langkah selanjutnya adalah perbaikan
atau penyempurnaan kurikulum.
Evaluasi kurikulum mengacu pada tujuan kurikulum. Artinya, evaluasi perlu
di lakukan untuk memperoleh balikan sebagai dasar dalam melakukan perbaikan.
Maka, evaluasi dapat di lakukan secara terus menerus.[31] Dengan demikian, hasil evaluasi dimanfaatkan untuk mengadakan revisi yang perlu atau
perubahan total kurikulum menjadi suatu kurikulum yang baru lagi.
IV. Bahan Bacaan
Alwi Hasan, 2003, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakrta: Balai Pustaka.
Hendayat soetopo dan Wasty
soemanto,1993, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Iskandar
Wiryokusumo dan Usman Mulyadi,1988, Dasar-dasar
Pengembagan Kurikulum, Jakarta: Bina Aksara.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus versi
online/daring (dalam jaringan), dikutip dari: https://kbbi.web.id/vokasional,
diakses pada Sabtu, 28 Oktober 2017, jam. 8.33 WIB.
Muhammad
Ali, 1992, Pengembangan Kurikulum Sekolah, Bandung: Sinar Baru.
Nana Syaodhih Sukadinata,1999, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Cetakan Kedua, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Oemar Hamalik,2008, Dasar-dasar Pengembangan
Kurikulum, Bandung: PT Remaja Rosydakarya.
Pendidikan
Vokasional Memacu Kreatifitas, dikutip dari: http://manlumajang.sch.id/?page_id=165,
diakses pada Sabtu, 28 Oktober 2017, jam. 15.19 WIB.
S. Nasution,1994, Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara.
S. Nasution, M. A.,2011, Pengembangan Kurikulum, Cetakan Keseblas, Jakarta:Bumi Aksara.
Zaenal Arifin, 2012, Konsep
dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung:Rosda.
[1] Modul Kuliah Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam, Pertemuan ke VIII: Materi: Langkah-Langkah Pengembangan
Kurikulum PAI, oleh: Dr. Hujair AH. Sanaky,
MSI.
[2] Hujair AH. Sanaky, Dr. MSI,
adalah dosen Program Pascasarjana FIAI UII dan Dosen Prodi Pendidikan Agama
Islam FIAI UII Yogyakarta.
[5] S. Nasution, M. A. Pengembangan
Kurikulum, Cetakan VI. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 139.
[6] Nana Syaodhih Sukadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Cetakan
Kedua, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), hlm.150.
[12] Nana Syaodhih Sukadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Cetakan Kedua, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 1999), hlm.85
[13] Iskandar Wiryokusumo dan Usman Mulyadi, Dasar-dasar
Pengembagan Kurikulum, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm. 48
[14] Hendayat soetopo dan Wasty
soemanto, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 1993), hlm. 75-76.
[15] S.
Nasution, Asas-asas Kurikulum, Cetakan Keseblas, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2011), hlm. 230-231.
[18] Ibid. hlm. 231-233. Bahan pelajaran yang dituangkan dalam sejumlah besar
matapelajaran demikian banyaknya sehingga tak mungkin seseorang dapat
mempelajari keseluruhannya selama hidupnya. Ada matapelajaran yang dianggap
perlu dipelajari oleh semua warganegara seperti membaca, menulis dan berhitung,
yang sudah dapat dilakukan pada tingkah SD. Selanjutnya masih ada matapelajaran
yang diwajibkan bagi semua siswa seperti bahasa nasional, pendidikan
kewarganegaraan, sejarah nasional, dan lain-lain. Matapelajaran ini termasuk
pendidikan umum. Tujuannya ialah agar semua warganegara mempunyai dasar
pemikiran yang sama untuk menjamin keutamaan negara. S. Nasution, Asas-asas
Kurikulum, Cetakan Keseblas, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2011), hlm. 232.
[19] Vokasional, bersangkutan dengan (sekolah) kejuruan; bersangkutan dengan bimbingan kejurua Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus versi online/daring (dalam jaringan), dikutip dari: https://kbbi.web.id/vokasional, diakses pada Sabtu, 28 Oktober 2017, jam. 8.33 WIB. Pendidikan vokasional merupakan penggabungan antara teori dan praktik secara seimbang dengan orientasi pada kesiapan kerja lulusannya. Kurikulum dalam pendidikan vokasional, terkonsentrasi pada sistem pembelajaran keahlian (apprenticeship of learning) pada kejuruan-kejuruan khusus (specific trades). Kelebihan pendidikan vokasional ini, antara lain, peserta didik secara langsung dapat mengembangkan keahliannya disesuaikan dengan kebutuhan lapangan atau bidang tugas yang akan dihadapinya. Sumber: Pendidikan Vokasional Memacu Kreatifitas, dikutip dari: http://manlumajang.sch.id/?page_id=165, diakses pada Sabtu, 28 Oktober 2017, jam. 15.19 WIB.
[30] Oemar
Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Remaja
Rosydakarya, 2008), hlm.48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar