PEMBACAAN ULANG ATAS
PENDIDIKAN DALAM ISLAM
INKLUSIF - TRANSFORMATIF[1]
Oleh: Hujair AH. Sanaky[2]
I
PENDAHULUAN
Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses
memenusiakan manusia, karena itu semua aktifitas yang dilakukan dalam praktek
pendidikannya hendaknya memperhatikan hakekat manusia sebagai makhluk multidimensional
yaitu sebagai makhluk Tuhan dengan fitrah yang dimilkiki, makhluk individu dan
makhluk sosial. Ini berarti pendidikan merupakan satu kebutuhan asasi dan
merupakan bagian penting bagi kehidupan manusia.
Pendidikan adalah proses pengalihan kebudayaan (cultural
transmission) dan pengembangan manusiawi (human development).Maka
dalam proses selain memperhatikan manusia sebagai objek dan subjek, pendidikan
juga perlu memperhatikan masukan-masukan dari eksternal (external inputs)
yang sangat luas cakupannya[3] antara lain yang salama
ini dikenal dengan kebudayaan. Ini berarti, proses pendidikan tidak hanya
dilihat dari satu sudut pandang saja, tetapi harus dilihat secara holistik.
Artinya kegiatan atau proses pendidikan berlaku bagi manusia didasarkan pada
unsur-unsur esensial yang terdapat dalam pendidikan yang memahami manusia
secara holistik.
“Pendidikan adalah proses untuk memberikan manusia
berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan manusia itu sendiri.
Aspek-aspek yang biasanya paling diperhatikan dalam proses pendidikan adalah pemberdayaan, penyadaran,
pencerahan, dan perubahan perilaku manusia”.[4] Hal ini disadari bahwa
proses “pendidikan adalah upaya untuk memberikan kemampuan kepada manusia untuk
memberikan makna terhadap diri dan lingkungannya”.[5] Ini berarti pendidikan
tidak dapat dilepaskan dari diri manusia dan realitas kehidupannya. Artinya, manusia
menjadi “subjek” dari proses pendidikan dan realitas kehidupannya menjadi
“objek” dari proses pendidikan itu sendiri.
Dalam sejarah umat manusia, hampir tidak ada
sekelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan
dan peningkatan kualitas manusia, sekalipun di dalam masyarakat yang masih
terbelakang (primitf) sekalipun.[6] Pendidikan merupakan
sistem dan cara untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek
kehidupannya. Pendidikan merupakan faktor yang inheren dalam seluruh
proses pemberdayaan manusia untuk menunjang perannya baik secara individu
maupun sebagai makhluk sosial.
Dunia pendidikan sekarang ini sudah begitu maju
seiring dan atau mengikuti irama kemajuan.
Paradigma pendidikan sudah
berubah, karena siswa pada era sekarang adalah generasi yang terlahir sebagai “digital
native” (terlahir dalam generasi digital), sementara para guru dan dosen sekarang ini terlahir
sebagai “pemakai perangkat digital” (“digital immigrant”).[7]Maka pada saat ini
pendidikan di Indonesia berhadapkan dengan perkembangan dunia yang semakin
terbuka, cepat, dan transfaran. Katakan saja, hal-hal yang tadinya tidak
mungkin, menjadi mungkin, hal-hal yang tadinya tabu, sekarang menjadi profan
dan massal. Apa yang terjadi kadang-kadang sulit diprediksi.
Siswa sekarang
ini adalah kategori generasi “digital” dan “termasuk golongan Kids Zaman Now”[8]sudah memiliki penalaran, pemahaman yang berbeda. Tentu saja merekatelah dipengaruhi oleh eraglobalisasi
dan kemajuan teknologi informasi yang
begitu terbuka dan capat.Terjadi perubahan paradigma pendidikan dalam artian
proses pendidikan dituntut untuk menyesuaikan dengan irama perkembangan
tersebut.Begitu juga pendidikan dalam Islam harus melakukan perubahan ke
arah yang lebih baik dan bersifat terbuka terhadap perubahan yang ada. Bila tidak mau tertinggal dengan perkembangan
kemajuan saat ini.
Dewasa ini masyarakat dan bangsa Indonesia menghadapi
tantangan perkembangan ilmu pengetahuan yang menunjukkan percepatan sangat drastis. Hal ini tentu saja akan
menjadi indikator pembaruan dan pengembangan kurikulum pendidikan, metodologi
dan sumber daya,termasuk juga pendidikan Islam.
Misalnya saja, perkembangan teknologi “informasi internet” merupakan
faktor pendukung utama percepatan,memungkinkan tembusanya batas-batas dimensi
ruang dan waktu serta akan berpengaruh pada paradigma pendidikan termasuk
program kurikulum.
Paradigma[9] pendidikan lama dimana
ilmu pengetahuan terpusat pada lembaga pendidikan formal, dengan program
kurikulum yang muatannya terlalu berat, berorientasi pada pada produk
belajar, bukan pada “proses belajar”,
didominasi oleh masalah-masalah yang bersifat normatif, ritual dan “eskatologis”
(hal-hal terakhir),[10] akan mulai tergeser dengan
paradigma pendidikan baru.[11]Ketika,
melihat dan membaca kondisi ini, maka mau tidak mau, suka tidak suka,
pendidikan dalam Islam harus berani melalukan perubahan secara signifikan baik
aspek filosofis, visi-misi, tujuan, kurikulum, metodelogi, dan sumberdaya-nya.
Dari penjelasan di atas, maka dalam seminar ini,
sebagai narasumber akan menyampaikan cara pandangan tentang gagasan perlu
melalukan pembacaan ulangan terhadap pendidikan dalam Islam, pendidikan Islam
inklusif, dan pendidikan Islam transformatif dalam era berkemajuan ini.
II
PEMBACAAN
ULANG ATAS PENDIDIKAN DALAM ISLAM
Pembacaan ulang atas pendidikan
dalam Islam adalah sebagai upaya untuk menelaah ulang terhadap konsep pendidikan
dalam Islam. Penggunaan istilah
pendidikan dalam Islam dalam makalah ini adalah sebagai upaya untuk menghindari
pemikiran dikotomik pendidikan, sehingga tidak lagi menggunakan istilah
pendidikan Islam disatu sisi yang dilawankan dengan pendidikan.Artinya,persoalan yang selalu dihadapiadalah konsep pendidikan Islam terjebak dalam
pemikiran dan fenomena dikotomis antara ”Islamic knowledge” dan ”non-Islamic
knowledge”,[12]
menghinggapi umat Islam.
Katakan saja, pengembangan pendidikan Islam hanya dianggapberorientasi pada
keakhiratan semata, “hanya
mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan-nya dan mengajak
manusia untuk kembali kepada
kehidupan mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur”.[13]Persoalan
keduniaan dianggap kurang penting, sebab orientasi pendidikan lebih banyak pada urusan ukhrawiyah, dan nyaris lepas dari
urusan duniyawiyah.[14] Pelaksanaan
pendidikan Islam lebih banyak menekankan
pada pendalaman ilmu-ilmu
keagamaan (al-‘ulmu al-diniyah),[15]dianggap sebagai jalan tol
atau jalan lurus untuk menuju kebahagian akhirat, sementara sains (ilmu
pengetahuan) dianggap terpisah dari agama atau
sama sekali bukan menjadi urusan agama.[16]
Konsep pendidikan dalam Islam
sebenarnya tidak memisahkan kedua kedua ranah tersebut, karenakonsep pendidikan
dalam Islam menggunakan paradigama integratif. Dengan kenyataan ini, tanpaknya kita harus berani
“membongkar sistem pendidikan Islam yang terkesan dikotomik, hegomonik,
membelenggu, mengekang selama ini”,[17] menuju
pendidikan dalam Islam yang memberdayakan, mencerdaskan, kritis, kreatif,
inovatif, dan memerdekakan.
Persoalan dikotomik, realitas
pelaksanaan pendidikan Islam berbasis atau diinspirasikan dari Qur’an dan Hadis
di institusi pendidikan, juga mengalami kendala. Pelaksanaannya hanya berada
pada aspek kognitif (pengetahuan) semata, belum tercermin dalam sikap hidup dan
keterampilan hidup orang Islam, belum menjadi pandanga dan sikap hidup-perilaku
(way of life).[18]Fazlur Rahman,[19] mengatakan dokumen keagamaan revolusiner, penuh
semangat, seperti al-Qur’an itupun terkubur di bawah timbunan gramatika dan
retorika.Nilai-nilai yang terkandung dalam Qur’an dan hadis, tidak atau belum terintegrasi dalam
pelaksanaan pendidikan di institusi pendidikan Islam, baru pada batas memiliki
belum menjadi. Ide dan upaya pengintegrasian nilai dan prinsip
Islam dalam pelaksanaan pendidikan di institusi pendidikan Islam untuk
menghilangkan dikotomi atau pengkotakan,
merupakan langkah yang inovatif
untuk merekonstruksi institusi pendidikan. Ini artinya, ”pendidikan Islam
segera merubah pola-pola lama atau pola-pola konvensional yang sudah terbukti
tidak bertaji, alias ”gagal”,[20] dalam rangka menghantarkan terbentuknya
manusia-manusia muslim yang memiliki karakter cerdas, kritis, kreatif,
berkarakter dan berkeadaban.[21]
Dengan penjelasan di atas, tampaknya perlu
melakukan pembacaan ulang atas konsep pendidikan dalam Islam.Konsep pendidikan
dalam Islam merupakan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik
sosial maupun kultural.Secara makro persoalan yang dihadapi pendidikan dalam Islam
adalah bagaimana pendidikan dalam Islam mampu menghadirkan disain atau konstruksi
wacanapendidikan dalam Islam yang relevan dengan perubahan masyarakat. Kemudian disain
wacana pendidikan dalam Islam tersebut dapat dan mampu ditranspormasikan atau
diproses secara sistematis dalam masyarakat. Katakan saja, persoalan pertama lebih bersifat
filosofis, dan persoalan kedua lebih bersifat metodologis. Ini berarti
pendidikan dalam Islam perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana pada dataran
filosofis, kurikulum, metodologis, dan bagaimana cara mengkomunikasikannya.
Bila dilihat dari kerangka dasar
filosofis, tentu saja konsep pendidikan dalam Islam mesti berlandaskan pada nilai-nilai al-Qur’an
dan Hadis. Ini artinya, perumusan filosofi dan teoritis, diperlukan untuk
menyeimbangkan antara pendidikan di satu sisi, dinamika perubahan masyarakat,
dan kebudayaannya di sisi lainnya. Tanpa
adanya suatu landasan filosofis yang kuat, mungkin saja kita tidak dapat
memberikan penegasan terhadap landasan spiritual dan moral, baik bagi individu
maupun masyarakat. Tentu saja, proses pendidikan akan mengalami kesulitan dalam
mensinergikan elemen-elemen penting dalam merumuskan visi, misi, tujuan,
kurikulum, metodologi pendidikan, dan sebagainya. Ini berarti, kerangka dasar filosofis yang bersumber dari nilai-nilai
al-Qur’an dan Hadis, harus digali, dieksplorasi, agar dapat diujudkan menjdi
nilai-nilai, norma, konsep, teori, fakta, sampai pada nilai-nilai praksis
operasional.
Kurikulum pendidikan Islam yang diajarkan di sekolah, madrasah,
pesantren atau bahkan sampai perguruan tinggi, kental dengan warna atau nuansa “teologisnya”
dari pada nuansa filosofisnya. Meteri-materi pembelajaran seperti fiqih,
akhlak, tauhid, psikologi pendidikan, ilmu pendidikan kental dengan “nuansa
normatif teologis”. Dikategori nuansa teologis, karena konsep,
ide dan gagasan-gagasan
yang dikemukakan didasarkan pada “nash” dan sedikit di warnai oleh akal
dependen (qiyas) untuk dikatakan sebagai ilmu atau materi yang Islam tanpa
menghiraukan kaidah-kaidah keilmuannya.[22]
Dalam konsep pendidikan dalam Islam
diperlukan metode untuk dapat dan mampu
ditranspormasikan atau diproses secara sistematis dalam kehidupan masyarakat.
Bagaimana pendidikan dalam Islam mampu menghadirkan disain atau konstruksi
wacana pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan dan kebutuhan masyarakat.
Bagaimana pendidikan dalam
Islam dapat menjawab persoalan dan tantangan yang dihadapi masyarakat.
Artinya, bagaimana
pendidikan dalam Islam bersentuhan dengan persoalan politik, ekonomi, hak asasi
manusia, persoalan gender, sosial dan budaya, kebebasan beragama, dan
persoalan-persoalan yang menjadi diskursus hangat di kalangam umat manusia.
Dari uraian di atas, terlihat
realitas konsep pendidikan dalam Islam hanya mondar-mandir antara konsep
“langitan” dan fakta. Belum mampu menjangkau realitas kehidupan secara
oprasional. Katakan saja, konsep
filsafat pendidikan Islam dibangun dari konsep langitan/agama/qur’an/hadis
sebagai nilai absolut yang dianut, sehingga konsep pendidikannya selalu
diorientasikan kepada nilai-nilai absolut.Bila berpikir dalamkonteks filsafat,
nilai tersebut harus dibumikan dengan berkonsultasi dengan fakta, norma,
kebijakan, sehingga melahirkan konsep, teori, dan nilai-nilai praksis yang
membumi, dan dapat dioperasionalkan.Bila diamati, konsep pendidikan
Islam sekarang hanya mondar-mandir antara nilai-nilai absolut dan fakta, kurang
membumi untuk membangun konsep, teori, norma, nilai-nilai, dalam menjangkau
aspek praksis kehidupan manusia.
Kondisi yang ada sekarang ini, menunjukan pelaksanaan pendidikan Islam
selama ini tampaknya paradoks. Katakan saja, pada satu sisi dianggap maju dan
unggul, tetapi pada tataran amplikasi-operasional dan juga hasil-hasilnya belum
tampak keunggulan itu. Memang terasa ada kesenjangan yang amat lebar
antara tataran teoretik, yaitu konsep pendidikan yang dibangun atau terfokus
pada wahyu dan kenyataan-kenyataan dalam
praktik selama ini di lapangan. Artinya, pendidikan Islam belum mampu memasuki
wilayah-wilayah sosial dan humanis komtemporer.
Konsep pendidikan Islam belum dapat mengintegrasikan nilai-nilai
ideologi Islam ke dalam berbagai teori ilmu-ilmu sosial, kemanusian dan
sosiologi kontemporer.Konsep pendidikan Islam baru berputar-putar disekitar
“nas” sebagai dasar utama, belum secara utuh masuk dalam kawasan filsafat dan
ilmu pengetahuan, terpisah jauh dari ilmu-ilmu kauniyah (Iptek atau science
and technology). Itulah sebabnya,
konsep pendidikan Islam hanya berupaya untuk menjadikan manusia menghamba
kepada Allah (dimensi vertikal) sebagai tujuan akhir. Hampir melupakan
kepentingan keduniaan (dimensi horizontal) manusia itu sendiri. Maka, dapat
dikatakan bahwa ilmu-ilmu keagamaan Islam yang disajikan sekarang ini
hampir-hampir tidak dapat membekali perangkat lunah (soft) untuk
menjaga, memelihara, mengawasi,
mengontrol dengan mengkritik moralitas dan kesalehan publik.[23]
Konsep pendidikan Islam terlihat
kental dengan warna teologis dari pada nuansa filosofis. Meteri-materi yang diajarkan
bernuansa teologis. Konsep, ide-ide, dan gagasan-gagasan yang dikemukakan
didasarkan pada nash dan sedikit diwarnai oleh akal dependen (qiyas)
untuk dikatakan sebagai ilmu atau materi yang Islam tanpa menghiraukan
kaidah-kaidah keilmuannya.[24] Konsep pendidikannya terlalu abstrak, dalam arti bahwa isi atau
materi-materi yang diajarkan cenderung menjadi sedemikian normatif dan
doktriner. Belum ada upaya untuk menarik konsep-konsep normatif, ideal, dan abstrak, ke tingkat emperis atau
membumi. Tidak ada lagi
ruang tersisa untuk mengadakan inovasi, pengayaan, kajian, tafsir, serta
berbagai usaha yang dikaitkan dengan berbagai realitas kehidupan.Katakan saja,
buku-buku dan bahan ajar yang ditulis
oleh tokoh-tokoh pendidikan Islam lebih banyak bernuasa
teologis-normatif. Dalam kaca mata al-Jabiri, termasuk tipologi bayani. Artinya, hampir
semua prinsip, kaidah, dan dasar yang ditawarkan diturunkan dari ayat-ayat dan
hadis-hadis Nabi, dikembangkan dengan akal yang posisinya masih terkungkung
dalam dominasi nash itu sendiri. Peran
akal seperti itu seiring diklaim sebagai bentuk “ijtihad” tetapi intinya adalah
“qiyas”.[25]
Pendidikan dalam Islam harus
mengintegrasikan sikap inklusif kepada sivitas akademika.Tanpa adanya
sikap inklusif, termasuk inklusivitas dalam disiplin keilmuansebagai paradigma
integrasi-interkoneksi-interkolerasi ilmu, maka pemahaman dan pengembangan
pendidikan dalam Islam akan mandul, karena terbentuksejak dinidari paradigma normative-teologis.
Tanpaknya, perlu melakukan terobosan untuk mengintegrasikan ilmu Pendidikan
Agama Islam dan no-pendidikan agama Islam. Katakan saja, ilmu pengetahuan alam (IPA), ilmu
pengetahuan sosial (IPS), dan humaniora seharusnya dioptimalkan sebagai pisau
analisis dalam setiap perbincangan ilmu pendidikan dalam Islam.[26]Jika
budaya ini didukung dan dikembangkan secara maksimal, maka di masa-masa
berikutnya akan tumbuh gerenasi yang berpikir inklusif dan terhindar dari cara
berpikir enklusif.Tumbuh generasi yang mampu
mengintegrasikan-interkonesitaskan-interkoreasikan barbagai disiplin keilmuan,
sehingga tumbuh generasiyang dapat berkembang mengikuti irama perubahan zaman
yang serba cepat, bukan generasi yang tertatih-tatih dengan serangkaiansikap
defensif-apologis.
III
PENDIDIKAN ISLAM INKLUSIF-TRANSFORMATIF
1. Pendidikan Islam Inklusif
Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang terbuka dan
ramah terhadap pembelajaran dengan mengedepankan tindakan menghargai dan
merangkul perbedaan.Pendidikan inklusif
dipahami sebagai sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem
pendidikan dengan meniadakan hambatan yang dapat menghalangi setiap individu
siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan yang dilengkapi dengan
layanan pendukung.Inklusif
merupakan sebuah teologi yangmenempatkan manusia secara umum pada posisi setara
tanpamemandang perbedaan agama, etnis, ras, bahasa, dan suku.Pada tingkat ini, semua manusia diharapkan mampu menjadi khalifahTuhan
di muka bumi ini (khalifatullah fiy al-ardh) untuk melakukanperubahan ke
arah yang lebih baik dan menjaga keharmonisan semestaalam. Karena itu, peperangan, konflik agama, atau
pertengkaran harusditinggalkan dan dijauhi sebagai bentuk tanggung jawab
bersama ataskelangsungan hidup ini.[27]
Upaya untuk mengadaptasikan
nilai-nilai inklusif dalam pendidikan agamasesungguhnya sudah dilakukan oleh
pemerintah. Seperti tertuang dalam UU
Sisdiknas yang salah satu pasalnya mengharuskan setiap lembaga pendidikan (SD, SMP, SMA/SMK sederajat) mengajarkan pendidikan agama yang sesuai dengan kepercayaan peserta didik.
Salah satu mata pelajaran pendidikan agama di lembaga pendidikan tersebut yaitu
PAI.Dengan dasar UU Sisdiknas tersebut, seharusnya dalam pendidikan Agama Islam,
menanamkan sikap–sikap terbuka, toleran,
dan moderat pada peserta didik. Pada tahun 2016, Dirjen Pendidikan Islam
Kementerian Agama-pun meluncurkan kurikulum pendidikan Islam rahmatan
lil’alaminyang kehadirannya sebenarnya telah ditunggu sejak lama oleh
banyak pihak.Kurikulum baru tersebut sedang diujicobakan di sebagian sekolah
dan madrasah untuk menekankan pemahaman Islam yang damai, toleran, dan moderat.
Dari penerapan tersebut,hasilnya diharapkan mampu berkontribusi mencegah
pemahaman keagamaan yang ekstrim atau radikal.[28]
Tetapi, sayangnya pada tataran
implementatifnya, kurikulum pendidikan agama yang diajarkan di sekolah-sekolah
termasuk di perguruan tinggi, terbukti tidak cukup mampu melahirkan peserta didik yang toleran, inklusif dan
moderat seperti yang dicitakan undang-undang. Justru sebaliknya
pendidikan agama yang diajarkan di sekolah selama ini melahirkan
individu-individu yang sempit, yang hanya mau menerima kebenaran moral dari
agamanya; menjadikan agamanya sebagai patokan tertinggi kebenaran dan pada
gilirannya tidak mau menerima dimensi-dimensi kebenaran dari agama lain.
Pendidikan agama, meminjam istilah Imron Rosyidi “tidak mampu bergeser dari
pengetahuan kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang diinternalisasikan dalam
diri peserta didik untuk selanjutnya sebagai sumber motivasi bagi peserta
didikuntuk bergerak, berbuat dan berprilaku secara kongkrit, religious, dan
toleran dalam kehidupan praksis sehari-hari”.[29]
Tentunya titik lemah
pendidikan keagamaan yang berlangsung selama ini dapat terus diungkap dalam berbagai aspeknya.
Sebut saja misalkan rumusan kurikulumnya yang belum mengarah pada pembentukan
peserta didik yang toleran-inklusif. Tidak dapat dinapikan bahwa salah satu
ajaran pendidikan agama di sekolah masih saja mengajarkan claim of truth
sehingga menapikan kebenaran agama lain. Pada level materi: implementasi
pendidikan agama, jika dilihat dari segi materi, belum sepenuhnya mencerminkan
visi penghargaan terhadap perdamaian dan penghargaan terhadap agama lain. Isi
buku ajar (khususnya agama Islam) cenderung membentuk pribadi peserta yang
saleh secara individual (ritual) dan belum membentuk pribadi yang saleh secara
sosial apa lagi kebangsaan.
Pada level guru, selain masih dianggap belum memiliki
pengetahuan dan pemahaman keagamaan yang inklusif
dan toleran juga miskin dengan metode pembelajaran. Metode pengajarannya
yang masih indoktrinasi, mediapembelajaran yang masih jauh dari
konten toleransi sampai evaluasi pembelajaran yang masih didasarkan pada
kognitif dan psikomotorik dan belum menyentuh pada aspek afektif peserta
didik.Sehinga proses pembelajaran agama tidak berjalan baik dan efektif sesuai tujuan pendidikan
yang dirumuskan.Paham-paham
keagamaan para guru lebih terefleksikan dalam pelajaran mereka dan
berkontribusi menumbuhkan konservatisme dan radikalisme agama di masyarakat,
khususnya di kalangan muda. Karenanya, penulis berpandangan, berbagai upaya
deradikalisasi pendidikan agama tidak akan bermakna signifikan atau bahkan akan
sia-sia, jika tidak diimbangi dengan kesiapan guru agama (selaku pelaksana dan
perancang pengajaran), pada aspek paradigma keagamaanya, maupun metode
pengajarannya dari doktrinasi menuju dialogis.
Kegagalan dalam menumbuhkembangkan sikap inklusif
dalam pendidikan agama hanya akan melahirkan sayap radikal dalam beragama.
Meminjam filsafat pendidikan Paulo Freire, sudah saatnya pendidikan agama
diarahkan pada arena pembebasan dari belenggu doktrin-doktrin agama yang
eksklusif dan intoleran menuju formulasi pendidikan agama yang inklusif. Karena
sejak awal pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakkan
budaya yang serba eksklusif.[30]Bila kita semua
sepakat bahwa pendidikan agama Islam perlu dibenahi dan dibongkar secara total
dari berbagai aspeknya atau dengan kata lain dilakukan deradikalisasi
pendidikan agama/keagamaan. Filosofi pendidikan agama yang hanya membenarkan
agamanya sendiri, tanpa bersedia menerima kebenaran agama lain perlu dikritisi
untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Materi pembelajaran agama yang
terjebak pada truth of claim, iman-kafir, muslim non-muslim yang sangat
berpengaruh pada cara pandang masyarakat pada agama lain perlu di hapus dalam
pandangan peserta didik untuk
selanjutnya dikontekstualisasi dengan berbagai isu global seperti Human
Rights (Hak-hak Asasi Manusia), demokrasi climate change, dan
lain-lain. Dengan begitu tidak akan membentuk
cara bernalar yang absurd bagi
umat beragama. Ini merupakan tugas guru-guru agama dalam pembelajaran.
Di samping ajaran normatif, mestinya doktrin keagamaan
yang dikembangkan adalah wacana-wacana kemanusiaan dan aspek keilmuannya, bukan
mistifikasi teks-teks keagamaan. Sebuah cara berpikir yang partikularistik
dan ritualistik sehingga nilai-nilai agama tidak berperan sebagai citra atau
etos kemanusiaan dan blueprint perkembangan peradaban.[31]Masalahnya
sekarang tentu harus ada prioritas dari aspek mana pembenahan tersebut harus
dimulai.Solusi yang kerap dimunculkan sering dimulai pada aspek kurikulum; redesign
kurikulum pendidikan agama yang berperspektif inklusif dan pluralis.
Menitikberatkan lewat pembenahan
kurikulum tentu tidaklah salah. Karena kurikulum sebagaimana dikemukakan
Nana Syaodih Sukmadinata[32] mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh
proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan
demi tercapainya tujuan pendidikan. Selain itu kurikulum juga suatu rencana pendidikan yang memberikan
pedoman dan pegangan tentang jenis,
lingkup urutan isi dan proses pendidikan.Kurikulum bukan sekadar rencana
tertulis bagi pengajaran tetapi juga sesuatu yang fungsional yang beroprasi
dalam kelas, yang memberi pedoman dan mengatur lingkungan dan kegiatan yang
berlangsung di dalam kelas. Usaha-usaha pembenahan dalam aspek kurikulum sering
dipandang sebagai upaya mendesak yang harus dilakukan.
Dalam pandangan penulis, redisain kurikulum sebagai
solusi yang mendesak dilakukan, tidak
akan efektif, tanpa membenahi dua aspek: pertama perspektif keagamaan guru dan kedua pengayaan metode
pembelajarannya. Dalam berbagai kesempatan sering penulis menyatakan pandangan
senada bahwa redisain kurikulum dalam konteks pendidikan keagamaan di Indonesia
tidak efektif membentuk pribadi toleran tanpa terlebih dahulu membenahi dari kedua
aspek ini.Guru-dosen yang notabenenya
selaku pelaksana dan perancang pengajaran, keberadaannya jelas menjadi ujung
tombak penyampai pesan-pesan kurikulum.Sayangnya kedua aspek tersebut, justru
nyaris tidak tersentuh oleh gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus
pemikiran keagamaan di seputar isu toleransi, pluralism, dan dialog antar
agama.[33]
Dari kerangka pemikiran di atas, maka dapat dikatakan
bahwa prinsip pendidikan Inklusif adalah pendidikan yang terbuka, adil, tanpa
diskriminasi, peka terhadap setiap perbedaan, relevan dan akomodatif terhadap
cara belajar, memperhatikan setiap kebutuhan dan keunikan setiap individu
peserta didik, bersifat inovatif dan fleksibel, mengoptimalkan dan
mengefektifkan potensi peserta didik dengan potensi lingkungan. Artinya, dalam
mengajarkan apapun dalam dunia pendidikan, terutamapendidikan dalam Islam tidak
diperkenankan seseorang mencela agama lain. Harus diajarkan adalah bagaimana
menghormatiorang lain dengan agama dan kepercayaannya, memanusiakan manusia,
menjelaskan pada peserta didik agarmenjadi mahkluk yang berguna, keranadalam Islam tidak
mengenal diskriminasi, manusia paling mualia adalah orang yang bertaqwa.
Dari uraian di atas, maka prinsip-prinsip penyelenggaraan
pendidikan inklusif adalah: Pertama, Pendidikan yang ramah: Konsep
Pendidikan yang mengakomudasi lingkungan pembelajaran yang ramah berarti ramah
terhadap peserta didik dan pendidik, yaitu anak dan guru belajar bersama
sebagai suatu komunitas belajar, menempatkan anak sebagai pusat pembelajaran,
mendorong partisipasi anak dalam belajar, dan guru memiliki minat untuk
memberikan layanan pendidikan yang terbaik. Kedua, Mengakomodasi kebutuhan:Konsep pendidikan
yang mengakomodasi kebutuhan setiap peserta didik merupakan salah satu upaya
meningkatkan kualitas pendidikan. Maka sekolah dalam penyelenggara pendidikan harus
dapat mengakomodasi kebutuhan setiap peserta didik dengan cara sebagai berikut:
(a) memerhatikan kondisi peserta didik, yaitu kemampuan dan kebutuhan yang
berbeda-beda serta gaya dan tingkat belajar yang berbeda; (b) menggunakan
kurikulum yang fleksibel; (c) menggunakan metodologi pembelajaran bervariasi
dan pengorganisasian kelas yang bisa menyentuh pada semua anak dan menghargai
perbedaan; (d) memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar; dan (e)
melakukan kerja sama dengan berbagai pihak yang terkait. Ketiga, Konsep Pendidikan yang mengembangkan potensi peserta
didik seoptimal mungkin. Sekolah inklusif
berupaya memberikan pelayanan pendidikan seoptimal mungkin, agar peserta didik
yang memiliki hambatan dapat mengatasi masalahnya dan dapat mengikuti proses
pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.[34]
Persoalannya
sekarang adalah bagaimana para guru menggunakan metode-metode pembelajaran
untuk “menyemai” (menanam-menaburkan
benih) nilai-nilai agama yang inklusif dalam
pembelajaran di kelas. Bagaimana
menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, mengajar secara
interaktif, melibatkan orang tua dalam proses perencanaan, menerapkan kurikulum
yang multilevel, dan bekerja secara tim. Sapon-Sevin,
menyebutkan ada lima profil pembelajaran inklusif, yaitu:
(a)
Pembelajaran inklusi berarti menciptakan
dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan
menghargai perbedaan.
(b) Pembelajaran inklusi berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multi
modalitas.
(c) Pembelajaran inklusi berarti menyiapkan dan
mendorong guru untuk mengajar secara interaktif. Perubahan dalam kurikulum
berkaitan erat dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional
yang menempatkan satu atau seorang guru yang berjuang secara mandiri untuk
memenuhi kebutuhan semua anak harus diganti dengan model pembelajaran bersama,
siswa-siswa bekerja sama, saling mengajar, dan secara aktif berpartisipasi
dalam pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya.
(d)
Pembelajaran inklusi berarti penyediaan
dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus-menerus dan penghapusan hambatan
yang berkaitan dengan isolasi profesi. Aspek terpenting dari pendidikan inklusi
meliputi: (1) pengajaran dengan tim; (2) kolaborasi dan konsultasi; (3)
berbagai cara mengukur keterampilan, pengetahuan, dan (4) bantuan individu yang
bertugas mendidik sekelompok anak. (e) Pembelajaran inklusi berarti melibatkan
orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan.[35]
2. Pendidikan Islam Transformatif
Pengertian Pendidikan
Transformatif: Definisi dari kata
"transformatif"[36] menurut kamus besar
bahasa Indonesia (KBBI) online dan menurut para ahli Bahasa adalah “bersifat berubah-ubah bentuk
(rupa, macam, sifat, keadaan, dsb)”.[37] Dari pengertian kata tranformatif tersebut,
dapat dikatakan bahwa pendidikan transfomatif merupakan pendidikan yang melakukan proses perubahan ke arah
yang lebih baik. Proses
perubahan bagi dirinya (self transformation) maupun perubahan bagi
lingkungannya (environment transformation). Konsep pendidikan
transformatif menawarkan cita-cita ideal bagi dunia pendidikan, sehingga orientasi pendidikan akan selalu mengarah pada idealisme pendidikan
yaitu pada aspek landasan filosofis, visi-misi, tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan,
metode pembelajaran, dan sumber daya manusia pendidikan itu sendiri.
Proses Pendidikan adalah proses pembebasan dan sekaligus proses untuk
mengakui akan keterbatasan manusia. Manusia
diarahkan pada norma-norma untuk menghayati eksistensinya yang serba terbatas.
Pendidikan transformatif menekankan kepada pentingnya partisipasi dengan sesama
manusia. Partisipasi dengan sesama manusia menuntut tindakan-tindakan atau
kelakuan yang mau menerima sesama manusia sebagai mana adanya. Tanggung jawab,
toleransi, kerjasama, saling membantu, saling menghormati sesama orang lain,
dan berbagi sikap dan kelakuan manusia yang membuat kerja sama manusia,
merupakan nilai-nilai yang mendapatkan prioriotas didalam proses pendidikan
transformatif.
Pendidikan transformatif adalah pendidikan yang menempatkan penghormatan
kepada hak asasi manusia, yang berarti pula pengakuan terhadap kewajiban asasi
manusia untuk saling menghormati manusia dan masyarakat yang berbeda dengan
kita. Pendidikan
transformatif merupakan pendidikan humanistis dan sekaligus pendidikan anti
kekerasan.[38]Hal ini dapat dicermati
dari pandangan filosofis pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, yang berpijak
pada basis kebudayaan dan kemerdekaan manusia yang dapat dijadikan contoh.Maka
dalam konsep pancadharma Ki Hajar Dewantara, ditegaskan bahwa filosofis
pendidikan untuk mengembangkan kodrat alam, kemerdekaan, kebangsaan,
kebudayaan, dan kemanusiaan[39] itu
sendiri. Ini berarti pendidikan transformatif adalah pendidikan
yang mengakses perubahan dengan tetap berpijak pada nilai-nilai dasar yang
terkandung dalam pandangan hidup tersebut[40] berupa kemanusian,
kemerdekaan, dan kebudayaan. Pendidikan yang berorientasi pada kemandirian
manusia atau anak didik dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya
baik di dalam kelas maupun dalam lingkungannya.
Dasar Pendidikan Transformatif: Strategi
pembaharuan pendidikan merupakan perspektif baru dalam dunia pendidikan yang
mulai dirintis sebagai alternatif untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan
yang belum diatasi secara tuntas. Jadi pembaharuan pendidikan dilakukan untuk
memecahkan masalah-masalah yang ada dalam dunia pendidikan dan menyongsong arah
perkembangan dunia pendidikan yang lebih memberikan harapan kemajuan kedepan.
Strategi pembaharuan pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan agar pendidikan
dapat berjalan lebih efektif dan efisien untuk mencapi tujuan pendidikan.[41] Dalam proses
perubahan pendidikan paling tidak pendidikan memiliki dua peran, yang harus
diperhatikan yaitu; “(1) Pendidikanakan berpengaruh terhadap perubahan
masyarakat, dan (2) Pendidikan harus memberikan sumbangan optimal terhadap
proses transformasi menuju terwujudnya masyarakat berkemajuan”. [42]
Dasar
pendidikan transformatif adalah konsep pendidikan yang di dasarkan pada
filsafat, khususnya filsafat manusia. Dari filsafat manusia inilah dapat
disimak orientasi terhadap kebudayaan, terhadap pendidikan dan khususnya
terhadap proses belajar dan perkembangan individu. Orientasi kependidikan menunjukkan bahwa
tindakan kependidikan merupakan pula tindakan kebudayaan, sebab proses
pendidikan terjadi di dalam konteks kebudayaan. Dalam kontesk ini, tentu saja
“manusia mempunyai hubungan interaktif dengan kebudayaannya-manusia
berkeadaban. Maka terbangun di
dalam proses belajar adalah didasarkan kepada prinsip pemberdayaan, dialog,
kreatif, kritis, dan partisipatif”.[43]
Secara konseptual pendidikan dalam Islam sebenarnya sudah cukup komprehensif,
karena bertujuan untuk membentuk pribadi muslim sempurna, mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, meskipun lebih cenderung bersifat normatif.
Maka dalam realitasnya praktik
pendidikan Islam cenderung “idealis” dan kurang bersentuhan dengan problem
realitas-empirik-kurang membumi. Hal
ini antara lain disebabkan oleh adanya anggapan bahwa segala aktifitas hidup
umat Islam, termasuk pendidikan, harus didasarkan pada wahyu yang given dari
Tuhan dalam pengertian harfiah sehingga cenderung kurang melihat aspek realitas
yang empirik-historis.
Jika paradigma perubahan pendidikan
dalam Islam diterima dengan beberapa penyesuaian, maka yang perlu dipikirkan
adalah tindak lanjut secara praktis, mulai dari perumusan orientasi pendidikan
Islam, pembaharuan kurikulum, penyiapan sumber daya manusia, diversifikasi
strategi pembelajaran, perubahan model evaluasi, evaluasi kebijakan, dan
perubahan secara signifikan manajemen pengelolaan di lembaga pendidikan mulai
dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi.[44]
Orientasi Pendidikan Transformatif: Dalam hal orientasi, pendidikan Islam seharusnya tidak sekedar membentuk
kesalehan individual semata, atau kesadaran mistik semata, tetapi juga
harus membentuk kesalehan sosial.[45] Orientasi pendidikan diarahkan untuk membentuk
individu muslim yang mempunyai kesadaran “profetik”(kenabian) dengan karakter emansipatif, liberatif, dan
transendental yang mampu membaca problem empirik di sekitarnya sehingga ia
mampu terlibat dalam penyelesaian problem. Tetapi, di sisi lain, dia
juga mampu menyelesaikan setiap problem yang menimpanya.Pendidikan dalam Islam
mengandung nilai humanisasi, liberasi dan transendensi. Meminjam konsep
Kuntowijoyo yang berhasil
mengkontruksi ilmu sosial profetik yang berlandaskan pada humanisasi, liberasi,
dan liberasi yang memiliki konsen pada kepentingan sosial (social
significance), termasuk pendidikan. Mungkin saja, ketiga elemen utama konsep Kuntowijoyo
tersebut dapat diadopsi kedalam konsep pendidikan Islam profetik. Mengingat
ketiganya dapat digunakan untuk meminimalis praktik-praktik
dehumanisasi-deliberasi-detransendensi.[46]
Dalam konteks Pendidikan dalam
Islam, membangun “orientasi dan arah kehidupan manusia menurut al-Quran adalah
iman, ihsan dan taqwa sebagai kualitas ke-Islam-an seseorang yang terpola dalam
laku ibadah dan kehidupan. Dengan pola tersebut, maka pendidikan Islam adalah
tindakan sadar diri secara sosial yang dilakukan secara terencana guna
mengarahkan seluruh manusia kepada Islam yang berkualifikasi iman, ihsan dan
taqwa yang membentuk pola kelakuan ibadah[47] dalam kehidupan.Pendidikan
dalam Islam tidak melepaskan diri dari ketiga domainpendidikan (kognitif, afektif, psikomotor) kebebasan
dalam Islam diukurmenurut kriteria agama, akhlak, tanggung jawab dan kebenaran.
Keempatinilah yang menjadi pembatas agar kebebasan tidak mengarah kepadaanarki.
Tetapi pendidikan Islam juga harus mampu mengantisipasimasa depan umat Islam
yang akan berhadapan dengan berbagai idiologibesar dan tantangan-tantangan lain
seperti disintegrasi sosial, makinmelajunya proses sekulerisasi dan
spesialisasi kecenderunganmaterialisme.[48]
Ini berarti, tujuan Pendidikan Islam
Transformatif tidak hanya berorientasi secara vertikal dengan ritual individual
dan kesalihan yakni taqwa jugamempunyai makna kesalihan individual kepada Tuhan
Yang Maha Esa,tetapi berorientasi horizontal, yakni bagaimana keberimanan
danketakwaan peserta didik mempunyai imbas kepada “perilaku sosial”
merekadi masyarakat. Hubungan manusia-Tuhan, akan melahirkan kesalehanpribadi,
dalam perspektif pendidikan-iman-takwa, harus mampu melahirkan hubungan sosial
antarmanusia yang berlandaskan pada nilai-nilai ke-Tuhanan. Kesalehan individu
harus mempunyai imbas kepada kesalehansosial.[49]
Secara luas orientasi atau tujuan
pendidikan Islam adalah: Pertama, Pendidikan harus mampu membangun
keilmuan dan kemajuan kehidupan yang
integrative antara nilai sepiritual, moral dan materialbagi kehidupan manusia. Kedua, Pendidikan harus mampu
membangun kompetisi manusia danmempersiapkan kehidupan yang lebih baik berupa
manusiademokratis, kompetitif, inovatif bedasarkan nilai-nilai Islam. Ketiga, Pendidikan harus disusun atas dasar kondisi ligkungan
masyarakat,baik kondisi masa kini maupun kondisi pada masa akan datang,
karenaperubahan kondisi lingkungan merupakan tantangan dan peluang yangharus di
proses secara cepat dan tepat. Keempat, Pembaharuan pendidikan harus diupayakan untuk
memberdayakanpotensi umat yang disesuaikan dengan kebutuhan
kehidupanmasyarakat. Kelima, pendidikan harus lebih diorientasikan pada upaya “pendidikan
sebagaiproses pembebasan, pendidikan sebagai proses pencerdasan,pendidikan
menjunjung tinggi hak-hak anak, Pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian,
pendidikan sebagai prosespemberdayaan potensi manusia, pendidikan menjadikan
anakberwawasan integrative, pendidikan sebagai wahana membangunwatak persatuan,
pendidikan menghasilkan manusia demokratik,pendidikan menghasilkan manusia
peduli terhadap lingkungan.[50]
Konsep pendidikan dalam Islam tranformatif
adalah pendidikan yang mengakses perubahan yang juga sarat dengan nilai
humanisasi, liberasi, dan transendensi yang bersifat profetik. Kuntowijoyo
berhasil mengkontsuksi ilmu sosial profetik yang berlandaskan padahumanisasi,
liberasi dan transendensi yang memiliki konsen pada kepentingan sosial (social
significance), termasuk Pendidikan. Gagasan pendidikan profetik Kuntowijoyo,
berpijak pada tiga elemen utama yang merupakan implementasi dari paradigma
humanisme-teosentris atau teo-antroposentris. Ketiga elemen tersebut dapat
diadopsi oleh pendidikan dalam Islam, mengingat dapat membantu untuk meminimalir
parakter-paraktek dehumanisasi, diliberasi, dan detransendensi. Ketiga elemen
tersebut,yaitu:
Pertama, elemen humanisasi; akan
mempengaruhi perubahan sikap dan pemikiran “eksklusif” dan menghantarkan manusia
kepada sikap inklusif. Tentu saja berpijak
pada kemerdekaan dan keadilan dengan penggunaan pendekatan simpati dan empati,
penanaman nilai etis humanistik untuk mengurangi tindakan penindasan-dehumanisasi.
Humanisasi juga merupakan
proses pemberdayaan peserta didik melalui transfer of knowledge, transfer of
value,transfer of cultural, dan transfer of methodology, sehingga
kecerdasan peresta didik dapat berimbang. Sedangkandalam konsep fitrah,
memandang manusiasebagai
makhluk yang memeiliki potensi-potensi tauhidiyah, insania (SDM) yangdapat
dikembangkan sehingga mampu berperan sebagai khalifahAllah di bumi dan dapat
mendekatkan diri kepada Tuhan. Humanisasi dalam konteks Islam adalah memberikan
penghargaan yang tinggiterhadap harkat dan martabat manusia dalam rangka
pengembangan SDMyang dimilikinya.
Kedua, elemen liberasi; menuntut pendidikan memberdayakan,
membebaskan, dialogis, dan membuka peluang untuk tumbuh kembangnya daya kritis
dan kreatif perserta didik melalui pola piker emperik historis, bukan deduktif
normatif, melalui proses penyadaran atau konsientisasi dalam istilah Paulo Freire”.[51]Pendidikan liberasi adalah membebaskan manusia dari
segala bentuk penindasan-dehumanisasi dan pembebasan dari kebodohan dan
keterbelakangan. Dalam “perspektif kritis urusan pendidikan adalah melakukanreflektif
kritis, terhadap “the dominant ideology” ke arah transformasisosial”.
Artinya, “tugas utama Pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis
terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan
advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan harus mampu
menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan
kritis untuk transformasi social.[52]Dengan kata lain, tugas
utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami
dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Ketiga, adalah elemen transendensi; berarti
mengembalikan segala sesuatu pada hakikat yang paling mendasar. Upaya manusia
untuk mencapai derajat yang lebih tinggi dan muliadari apa yang dicapainya. Mengembalikan fitrah manusia kepada Tuhan (teosentris)
melalui pendidikan keimanan dengan pendekatan tauhidiyah sebagai tumpuan
dan pangkal tolak segala sesuatu atau muara kehidupan. Menurut Kuntowijoyo,“agama tidak boleh sekedar
memberi legitimasi terhadap sistem sosial, tetapi harus memperhatikan dan
mengontrol atau menjadi alat ukur perilaku manusia”.[53]“Pendidikan dalam Islam
dapat dikembangkan berdasarkan paradigm filsafat teo-antroposentris-cosmologis.
Pendidikan berbsis tauhidiyah (keimanan), berakhlak, berbudaya,
mencerdaskan, berketerampilan, memberdayakan, membebaskan manusia dari belenggu
keduniaan”.[54]
Dengan demikian nilai “transendensi yang bersifat profetik adalah pemberianmakna
ubudiyah dalam proses liberasi dan humanisasi”.[55]
Dari
penjelasan di atas, dapat dikatan bahwa
pendidikan dalam Islam harus berorientasi kepada pembangunan dan
pembaruan, pengembangan kreativitas,
intelektualitas, keterampilan, kecakapan penalaran yang dilandasai dengan
keluhuran moral dan kepribadian, sehingga pendidikan dalam Islam akan mampu
mempertahankan relevansinya di tengah-tengah laju pembangunan dan pembaruan
paradigma sekarang ini, sehigga pendidikan dalam Islam akan melahirkan manusia yang belajar terus (long
life education), mandiri, disiplin, terbuka, inovatif, mampu memecahkan dan
menyelesaikan berbagai problem kehidupan,[56] serta
berdayaguna bagi kehidupan dirinya dan masyarakat.
Paradigma baru pendidikandalam Islam harus diorientasikan
kepada pembangunan, pembaruan, pengembangan kreativitas, intelektualisme,
keterampilan, kecakapan, penalaran, inovatif, mandiri, disiplin dan taat hukum,
terbuka dalam masyarakat plural, dan mampu menghadapi serta menyelesaikan
persoalan pada era globalisasi dengan dilandasi keanggunan moral
dan akhlak dalam usaha
membangun manusia dan masyarakat yang berkualitas bagi kehidupan dalam
masyarakat Indonesia.[57]
Untuk merekonstruksi dan mengembangkan pendidikan dalam
Islam transformatif, menurut penulisharus didasarkan pada telaah ulang dan atau
diperlukan fondasi filosofis, visi, misi, tujuan, kurikulum, metodologi,
dan al-Qur’an dan Hadis sebagai dasar
yang melatarbelakangi praktek pendidikan dalam Islam itu sendiri, yaitu:
Pertama, landasan
filosofis dan teori pendidikan dalam Islam,
harus dikembangkan dan dijabarkan atas dasar asumsi-asumsi yang kokoh
dan jelas tentang: (a) konsep dasar ketuhanan (ilahiyah), (b) konsep
dasar manusia (insaniyah), (c) konsep dasar alam semesta dan lingkungan.
Konsep ini disebut dengan
“teo-antrposentris-cosmologis”. Konsep ini harus didasarkan pada al-Qur’an dan
Hadis secara utuh, integratif dan interaktif. Kerangka dasar utama pengembangan pendidikan dalam
Islam adalah filsafat dan teori
pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam yaitu Qur’an dan Hadis. Tentu saja
konsep pendidikan dalam Islam tidak akan terlepas dari filsafat ketuhanan (ilahiyah)
“teosentris” sebagai sumber nilai (value), untuk motivasi
pemikirannya, relevan dengan kepentingan
manusia dan umat manusia. Pendidikan dalam
Islam tidak akan terlepas dari filsafat manusia “antroposentir” yang dapat membangun kehidupannya,
mengembangkan potensi manusia seutuhnya “insan kamil” yaitu manusia yang
bertaqwa, berpengetahuan, berketerampilan, merdeka, berbudaya, kristis,
toleran, taat hukum dan hak asasi, relevan dengan lingkungan dan alam semesta.
Pengembangan pendidikan dalam Islam juga tidak dapat lepas dari persoalan
lingkungan manusia dan alam semesta atau “cosmologis” yang merupakan
sumber kehidupan dan lingkungan yang selalu berubah mengikuti irama zaman dan
perubahan. Ini berarti dalam penerapan dasar filsafat dan teori pendidikan,
harus mempertimbangkan konteks dengan supra sistem, konteks dengan kepentingan,
kebutuhan manusia dan masyarakat, konteks dengan bangsa dan negara, konteks
dengan sosial budaya, konteks dengan perkembangan dan perubahan zaman.[58]
Kedua, visi dan misi
pendidikan dalam Islam, harus
dirumuskan secara jelas dan tepat, sebab misi pendidikan menentukan arah,
langkah-langkah, dan peta perjalanan
untuk mewujudkan visi dan harus dinyatakan dalam bentuk pernyataan
formal tentang tujuan utama yang akan direalisir. Visi
dirumusan dalam bentuk pikiran yang melampaui realitas sekarang. Artinya
sesuatu yang ingin diciptakan, sesuatu yang akan diwujudkan harus dinyatakan
dalam bentuk kalimat yang jelas, posetif, realis, menentang, mengundang
partipasi. Secara jelas menunjukkan asumsi tentang gambaran masa depan yang
ingin diwujudkan yang didasarkan pada nila-nilai (values) ilahiyah. Perumusan
misi dan visi pendidikan dalam Islam,
terntu saja tidak akan terpisahkan dari tugas manusia sebagai “khalifah fil ardi”
dalam rangka membangun kehidupan dunia yang makmur, sejahtera, demokrasi, adil,
dinamis, harmonis, lestasi, taat hukum, didasarkan pada nilai-nilai ilahiyah,
kemanusian, dan universal yang terwujud
dalam kehidupan. Visi yang dirumuskan
bersifat makro dan mikro. Pada tingkat
makro, bagaimana pendidikan dalam Islam
dapat menunjang transformasi menuju masyarakat yang memiliki identitas
berdasarkan nilai-nilai Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis. Pada tingkat mikro, bagimana pendidikan dalam Islam menghasilkan
manusia religius ilahiyah, humanis,
berbudaya, berperadaban dengan memiliki pengetahuan dan teknologi,
keterampilan, profesional, memiliki integritas pribadi yang merdeka, memiliki
kepribadian, moral dan akhlakul karimah, memiliki sikap toleransi kemanusia
yang tinggi, menghargai hak sasi manusia, serta memiliki orientasi global
dan berpikir lokal dalam kehidupan.[59]
Ketiga, tujuan
pendidikan dalam Islam harus didasarkan pada prinsip menyeluruh, serasi,
efisien, efektivitas, dan dinamis.
Orientasinya harus jelas, bersifat problematik, strategis, antipatif dan
menyentuh aspek praktis dan kebutuhan manusia. Tujuan pendidikan dalam Islam, membangun dan mengembangkan manusia,
masyarakat secara utuh, menyeluruh sebagai insan kamil dalam semua aspek
kehidupan yang berbudaya dan berperadaban yang tecermin dalam kehidupan manusia
bertaqwa dan beriman, berpengetahuan, berketerampilan, beramal shaleh,
berkepribadian, bermoral anggun dan berakhlakul karimah, dalam rangka
memperoleh kesejahteraan, kebahagian dan keselamatan duniawiyah dan
ukhrawiyah. Dari kerangka ini, dapat
dikatakan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam yang dirumuskan meliputi aspek ilahiyah
(teosentris), jasmaniah,
intelektual, kebebasan, mental,
akhlak, professional, karya (amaliyah) dalam rangka mewujudkan manusia sebagai “insan kamil” dalam kehidupannya,[60]memiliki orientasi global
dan berpikir lokal.
Keempat, kurikulum
pendidikan dalam Islam, dikembangkan lebih bersifat problematik, strategis,
antipatif dan aplikatif untuk memecahkan problem-problem kehidupan yang
dihadapi umat manusia. Kurikulum didasarkan pada kemampuan Islamiyah,
pengetahuan, keterampilan dan sikap dengan diorientasikan dan disesuaikan
dengan misi, visi, dan tujuan, kebutuhan peserta didik masa kini dan masa akan
datang, berkorelasi dengan pembangunan
sosial, kesejahteraan masyarakat, berkorelasi dengan budaya,
konteks lokal dan global. Kurikulum harus bersifat lentur dan adaptif terhadap perubahan untuk
menjawab tuntutan, tantangan perubahan dan kebutuhan manusia. Intinya,
disain program kurikulum Pendidikan dalam Islami harus diorientasikan
pada learning competency, yaitu competency
Islamiyah, knowledge, skill, abilty,
sosial-kultural, didasarkan pada
nilai-nilai Islam yang terdapat dalam Qur’an dan Hadis. Perlu ada perimbangan (balancing)
antara disiplin atau kajian-kajian agama dengan pengembangan intelektualitas
dalam program kurikulum pendidikan. Pendidikan dalam Islam harus menganut
integrated curriculum, artinya perpaduan, koordinasi, harmonis, dan kebulatan
materi-materi pendidikan dengan ajaran Islam, dan bukan separated subject
curriculum maunpun correlated curriculum.[61] Dengan konsep integrated curriculum,
proses pendidikan akan memberikan penyeimbangan antara kajian-kajian agama
dengan kajian lain (non-agama) dalam pembelajaran pendidikan dalam Islam yang
merupakan suatu keharusan, apabila menginginkan pendidikan dalam Islam kembali
survive di tengah perubahan masyarakat.[62]
Kelima, metode pembelajaran yang didasarkan pada leaning competency
diharpakan dapat mengembangkan dan
membangun tiga pilar keterampilan, yaitu: (1) Learning skills, yaitu
keterampilan mengembangkan dan mengola pengetahuan dan pengalaman serta
kemampuan dalam menjalani belajar sepanjang hayat. (2) Thinking skills,
yaitu keterampilan berpikir kritis, kreatif dan inovatif untuk menghasilkan
keputusan dan pemecahan masalah secara optimal. (3) Living skills, yaitu
keterampilan hidup yang mencakup
kematangan emosi dan sosial yang bermuara pada daya juang, tanggungjawab dan kepekaan
sosil yang tinggi.[63]
Keenam, pendidikan
dalam Islam harus mampu mengembangkan sumber daya manusia berkualitas yang
dilandasai dengan nilai-nilai ilahiyah, kemanusian (insaniyah), masyarakat, lingkungan, dan
berbudaya-berperadaban.Pendidikan dalam Islam harus berupaya untuk: (1) mengembangkan konsep pendidikan integralistik, yaitu pendidikan secara utuh berorientasi pada Ketuhanan
(Rabbaniyah), kemanusiaan (insaniyah) dan alam (cosmologis) pada umumnya
(alamiyah) sebagai suatu yang integralistik bagi perwujudan kehidupan yang “rahmatan
lil ‘alamin”; (2) mengembangkan konsep pendidikan humanistik, pendidikan
berorieintasi dan memandang manusia sebagai manusia (humanisasi) dengan
menghargai nilai-nilai asasi manusia, hak menyuarakan pendapat walaupun
berbeda, mengembangkan potensi berpikir, berkemauan dan bertindak sesuai dengan
nilai-nilai Islami; (3) mengembangkan
konsep pendidikan pragmatis, memandang manusia sebagai makhluk yang selalu
membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan
hidupnya baik jasmani maupun rohani. Mewujudkan manusia yang sadar akan
kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan peka terhadap masalah-masalah kemanusiaan; (4)
mengembangkan konsep pendidikan yang berakar pada budaya, akan dapat mewujudkan manusia yang mempunyai
kepribadiaan, harga diri, percaya pada kemampuan sendiri, membangun budaya
berdasarkan budaya sendiri dan berdasarkan nilai-nilai ilahiyah.[64]
Kata akhir dari makalah ini, perlu diperhatikan bahwa
kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan efek yang ditimbulkan pada era globalisasi
yang harus dihadapi oleh Pendidikan Islam seperti persaingan bisnis yang
semakin ketat,nilai-nilai agama yang semakin kabur (dekadensi moral), pergaulan
bebas (free sex) membawa penyakit HIV/AIDS, LGBT, rusaknya kelembagaan
keuangan, maraknya korupsi yang membudaya, penyalah gunaan obat, maraknya
intoleransi, krisis kepribadian atau karakter, dan penyakit social lainnya.
Menghadapi problem yang demikian, Pendidikan Islam tidak dapat menghadapinya
dengan model-model pembelajaran seperti yang ada sekarang ini. Makapendidikan dalam
Islam harus terus menerus melakukan inovasi, sambil memperbaiki kelemahan yang
ada, dan melakukan langkah-langkah baru kearah perbaikan[65]yang
menyeluruh-komprehensif.
Dari sisi pengembangan keilmuan dan berbagai macam problem yang muncul,
maka “jelas tidak dapat direspon hanya dengan ilmu-ilmu yang sudah mapan
dilembaga pendidikan Islam seperti fiqih, ilmu kalam, tasawuf, aqidah-akhlak,
tarikh dan lain sebagainya. Ilmu-ilmu tersebut tidak dapat menjawab persoalan
aktual lingkungan hidup sekarang ini”.[66]
Meminjan istilah M. Amin Abdullah[67] adalah menggunakan perspektif “outward
looking”,[68] memahami apa yang berkembang dalam dunia
global dan “teknologi informasi” saat ini dan kemudian untuk mengantisipasi
dengan upaya perbaikan ke dalam. Pendidikan dalam Islam harus membuka diri (outward
looking) untuk bersentuhan dengan ilmu-ilmu kealaman (natural sciences),
social (social scienes), humaniora, HAM, keadilan gender, dan
sebagainya.
Pendidikan dalam Islam tidak dapat berkembang dengan cepat, bila selalu
menggunakan perspektif inward looking. Pendidikan
dalam Islam membuka diri dengan menggunakan perspektif outward looking. Dengan dasar
ini, maka Fakultas Tarbiyah dan Keguruan harus mengembangkan pola keilmuan yang
sedikit keluar dari “mainstream” ilmu-ilmu
yang sudah mapan tersebut. Bila
tidak, maka “Fakultas Tarbiyah justru menjadi problem (problem maker) bagi
pengembangan Pendidikan Islam, karena selalu mereproduksi tenaga-tenaga
Pendidikan Islam yang tidak kompeten”.[69] Untuk itu, Fakultas
Tarbiyah dan keguruan harus memproduksi tenaga guru Pendidikan Agama Islam yang
kompoten-propfesional dengan memiliki keilmuan memadai yang credible
(dapat dipercaya), capable (cakap-mampu), confidence (percaya
diri), communicative (berkomunikasi secara efektif), dan uswah
(berkepribadian, berakhlak mulia). Jadilah guru dalam pembelajaran menyemai (menanam-menaburkan-benih)
nilai-nilai agama yang inklusif, proses pendidikan agama moderat, menjadi figur
(uswah),ajarkan bahwa Islam itu adalah agama kasih sayang Allah Swt sebagai ramatan
lil ‘alamin.
IV
PENUTUP
Dari uraian di atas, dapat
dikatakan bahwa prinsip pendidikan dalam Islamtransformatifadalah pendidikan
yang terbuka, adil, tanpa diskriminasi, peka terhadap setiap perbedaan, relevan
dan akomodatif, bersifat inovatif, fleksibel, mengoptimalkan dan mengefektifkan
potensi peserta didik dengan potensi lingkungan.Mengembangkan konsep pendidikan
yang menempatkan penghormatan kepada hak asasi manusia.Pendidikan yang diorientasikan
pada upaya proses pembebasan,
pencerdasan, menjunjung tinggi
hak-hak anak, pemberdayaan potensi,
menjadikan anak berwawasan integratif, membangun watak
persatuan,menghasilkan manusia demokratik, pendidikan yang menghasilkan manusia
perduli terhadap lingkungan.
Pendidikan dalam Islam membuka diri
(outward looking) untuk memahami apa yang terjadi dan berkembangan di
dunia global dan kemudian mengantisipasi dengan melakukan perubahan. Membuka
diri untuk bersentuhan dengan ilmu-ilmu kealaman (natural sciences), ilmu-ilmu
sosial (social scienes), humaniora, HAM, keadilan gender, dan
sebagainya.Maka yang dilakukan dalam mengembangkan Pendidikan Islam
transformatif adalah mengintegrasikan sikap inklusif dalam sivitas akademika,
mengintegrasikan-interkoneksitas-interkorelasi ilmu-ilmu Pendidikan Agama Islam
dengan non-pendidikan agama. Pendidikan Islam transformatif harus membangun, memupuk
budaya toleran, perduli, dan menerima keperbedaan kelompok, golongan, mazhab,
dan pemahaman atau penafsiran. Selain itu jangkauan toleransi juga diperluar
sampai dengan antar negara.
DAFTAR
PUSTAKA
Abd Abdullah, M. Amin, 2004, Kata Pengantar: dalam buku:
Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, Ar-Ruzz Media, Jogjakarta.
___ __,2004, Normativitas dan Historisitas, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
___ __,2006, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi
Pendekatan Integratif-Interkonektif, Cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
___ __,2015, Pengantar dalam buku Jasser Audada, Membumikan
Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, terjemahan: Rosidin dan Ali Abd
el-Mun’im, Mizan, Bandung.
Achmadi, 1984, Ilmu Pendidikan; Suatu Pengantar, CV. Saudara
Salatiga.
___ __,2005, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma
Humanisme Teosentris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
ArAr Arum, Khusni, 2017, “Pengembangan Pendidikan Agama
Islam Berbasis Profetik (Analisis Terhadap Pemikiran Kuntowijoyo)”, Tesis:
Proram Pascasarjana FIAI UII, Yogyakarta.
Barnadib, Imam, 2002, Filsafat
Pendidikan, AdiCita, Yogyakarta.
Fadjar,A.Malik, 1999, Reformasi
Pendidikan Islam, Fajar Dunia, Jakarta.
Hartini dan G
Kartasaputra, Gulo, 1992, Kamus Sosiologi dan Kependudukan, Bumi Aksara,
Jakarta.
http://www.ilmusaudara.com/2016/05/pengertian-qiyas-contohnya-dan-motif.html#,
pada Sabtu, 8 April 2017, jam.10.20 WIB.
https://www.academia.edu/8745022/Pengembangan
Kurikulum dalam_teori_dan_praktik.
http://syaamilquran.com.
Hodgson, Marshall G.
S., 1974, Rethinking World History: Essays on Europe, Islam and World
... The University of Chicago Press, Chicago.
Hornby, AS, 1982, Oxford
Advanced Learner's Dictionary of Current English, Oxford University Press,
tt., New York.
Ismail, Faisal, 1998, Paradigma
Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis, Tiara Ilahi Press,
Yogyakarta.
Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), Kamus versi online/daring (dalam jaringan),
http://kbbi.web.id/eskatologis, akses, Selasa, 10 November 2015, jam.20.15 WIB.
Kamus besar bahasa
Indonesia (KBBI) online, dikutip dari https://artikbbi.com/transformatif/,
diakses pada Rabu, 24 Januari 2018, jam. 09.03 WIB.
Karim,M. Rusli,1991, “Pendidikan
Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia”, dalam Musih Usa, Pendidikan Islam
di Indonesia: Antara Cita dan Fakta, PT. Tiara Wacana,Yogyakarta.
Khalil, Suhadi,
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/pendidikan-agama-monore
ligius-inklusif.
Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Cet. I, Mizan,
Bandung.
Konsep Pendidikan
Inklusif, Kementerian Pendidikan dan Kebudayan. 2015. Pendidikan Inklusif dan
Perlindungan Anak. Bahan Pelatihan Peningkatan Kompetensi bagi Pengawas Sekolah
dan Kepala Sekolah Tahun 2015.
Mas’ud, Abdurrahman,
2007, “Kata Sambutan”, dalam Buku: Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan
Islam, Graha Ilmu,Yogyakarta.
Mastuhu, 1999, Pemberdayaan
Sistem Pendidikan Islam, Strategi Budaya Menuju Masyarakat Akademis, Cet.
Pertama, Logos Wacana Ilmu, Jakarta.
Muhaimin, 2012, Paradigma
Pendidikan Islam, Rosdakarya, Bandung.
Mulkhan,Abdul Munir,1993,
Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filasat Pendidikan Islam dan Dakwah,
Sipress, Yogyakarta.
_____,2000, “Humanisasi
Pendidikan Islam”, dalam Tashwirul Afkar, No 11.
Nasution, S., 1990, Asas-Asas
Kurikulum, Penerbit Jemmars,
Bandung.
Nuryanto, M. Agus,
2008, Mazhab Pendidikan Kritis, Menyikapi
Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, Resist Book, Yogyakarta.
Priyono, AE., 2013,
“Menganalisis, Oposisi, dan Integrasi Islam Indonesia (Menyimak Pemikiran Dr.
Kuntowijoyo)”, Pengantar buku Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi
untuk Aksi, Mizan, Bandung.
Proposal “Seminar
Pendidikan Agama Islam Tema Pendidikan Islam Tranformasi”, Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon.
Rahman, Fazlur,
1982, Islam& Modernity,
Transformation of an Intellectual Tradition,The University of Chicago Press,
Chicago., terj. Ahsin Mohammad, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi
Intelektual, Pustaka, Bandung.
Rembangy, Musthofa,
2010, Pendidikan transformatif, Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di
Tengah Pusaran Arus Globalisasi, Cet. II, Teras, Yogyakarta.
Rosyidi, Imron, 2009, “Pendidikan
Berparadigma Inklusif: Upaya Memadukan Pengokohan Akidah Dengan Pengembangan
Sikap Toleransi dan Kerukunan”, UIN
Malang Press, Malang.
Sanaky,Hujair AH.,
2003, Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani Indonesia,
MSI dan Safiria Insania Press, Yogyakarta.
_____,2008,
“Permasalahn dan Penataan Pendidikan Islam Menuju Pendidikan Yang Bermutu”,
dalam El-Tarbawi, Jurnal Pendidikan Islam, No. 1 Vol. 1. 2008, ISSN:1979-9985,
Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam UII,
Yogyakarta.
______,2015, “Tantangan
Pendidikan Islam Di Era Reformasi dan Informasi, Perubahan Paradigma Pendidikan
Islam Di Indonesia”, Makalah disampaikan
dalam Formulasi Konsep Dan Implementasi Pendidikan Islami Pada Lembaga
Pendidikan Di Aceh Majelis Pendidikan Daerah Aceh Banda Aceh – Indonesia, 14 – 15 November 2015.
______,2015, Pembaruan
Pendidikan Islam: Paradigma, Tipologi, dan Pemetaan Menuju Masyarakat Madani
Indonesia, Kaukaba Dipantara, Yogyakarta.
______,2016, Dinamika
Perkembangan Pendidikan Islami di Indonesia,Kaukaba Dipantara, Yogyakarta.
Soyomukti,Nurani,2010, Teori-teori
Pendidikan (Tradisonal, neo-liberal, marxis-sosialis, post modern),
Cet.I, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta.
Sugiyanto, 2004,
“Reposisi Kesadaran Kritis”, Jurnal Edukasi,.II, 1, Januari.
Tilaar, H.A.R, 2002, Perubahan
Sosial dan Pendidikan; Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia,
Gramedia, Jakarta.
______,dan Riat
Nugroho, 2009, Kebijakan Pendidikan (Pengantar untuk memahami kebijakan
Pendidikan dan kebijakan Pendidikan sebagai kebijakan public), cet.II,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Widodo,Sembodo Ardi,2007,
“Problematika Pendidikan Islam (Suatu Tinjauan dari Aspek Epistemologi)”, dalam
Abdur Rahman Assegaf, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia, Suka Press, Yogyakarta.
[1] Makalah ini disampaiakan pada acara Seminar
Nasional dengan tema “Pendidikan Islam Transformatif” diselenggarakan oleh
Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, pada Jumat, 9 Februari 2018.
[2] Hujair AH. Sanaky, Dr.
MSI, adalah Ketua Program
Pascasarana, Dosen Program Pascasarjana FIAI UII, Dosen Prodi
Pendidikan Agama Islam FIAI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Tercatat
sebagai dosen Tetap Universitas Islam Yogyakarta sejak tahun 1983-1984 sampai
sekarang.
[3] Imam
Barnadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: AdiCita, 2002), hlm. Hlm.
1., dan baca: Hujair AH. Sanaky, Dinamika Perkembangan Pendidikan Islami di
Indonesia, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2016), hlm.2.
[4] Nurani
Soyomukti, Teori-teori Pendidikan (Tradisonal, neo-liberal, marxis-sosialis,
post modern), Cet.I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 27.
[5] H.A.R.
Tilaar dan Riat Nugroho, Kebijakan Pendidikan (Pengantar untuk
memahami kebijakan Pendidikan dan kebijakan Pendidikan sebagai kebijakan
public), cet.II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 21.
[6] Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat
Madani Indonesia, (Yogyakarta: MSI dan Safiria Insania Press, 2003), hlm.
4.
[7] Hujair AH.
Sanaky, “Tantangan Pendidikan Islam Di Era Reformasi Dan Informasi, Perubahan
Paradigma Pendidikan Islam Di Indonesia”,Makalah disampaikan dalam Formulasi
Konsep Dan Implementasi Pendidikan Islami Pada Lembaga Pendidikan Di Aceh
Majelis Pendidikan Daerah Aceh Banda
Aceh – Indonesia, 14 – 15 November 2015.
[8] Sumber:
Proposal “Seminar Pendidikan Agama Islam Tema Pendidikan Islam
Tranformasi”, Program Studi Pendidikan
Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Ambon.
[9] Paradigma
merupakan suatu skema konseptual yang dengannya seorang ilmuan memandang
persoalan yang diteliti dan metode yang digunakan untuk memecahkan persoalan
itu terutama ditentukan oleh paradigma yang relevan. Paradigma itu secara
historis selalu berubahubah dan berubahnya kadang sangat tiba-tiba serta
mencolok, dalam hal ini (paradigma) membagi dua kegiatan penemuan ilmiah;
puzzle solving dan penemuan paradigma baru. Dalam puzzle solving para ilmuan
mengadakan penelitian dan observasi. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan
untuk memecahkan masalah menimbulkan konflik suatu paradigma baru harus
ditemukan. Paradigma baru inilah yang pada nantinya yang akan mencetuskan
perubahan besar dalam ilmu pengetahuan. Lihat Sugiyanto, “Reposisi Kesadaran
Kritis”, Jurnal Edukasi,.II, 1, Januari, 2004. hlm. 14.
[10]Eskatologis/es·ka·to·lo·gis/éskatologis/ a “mengenai hal-hal
terakhir”, seperti kematian, hari kiamat, kebangkitan Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), Kamus versi online/daring (dalam jaringan),
http://kbbi.web.id/eskatologis, akses, Selasa, 10 November 2015, jam.20.15 WIB.
[11]Hujair AH. Sanaky, “Tantangan
Pendidikan Islam Di Era Reformasi dan Informasi, Perubahan Paradigma Pendidikan
Islam Di Indonesia”,Makalah disampaikan dalam Formulasi Konsep dan Implementasi
Pendidikan Islami Pada Lembaga Pendidikan Di Aceh Majelis Pendidikan Daerah
Aceh Banda Aceh – Indonesia, 14 – 15
November 2015.
[12]Abdurrahman Mas’ud, “Kata Saambutan”, dalam Buku: Syamsul Ma’arif,
Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm.viii.
[13]A.Malik Fadjar, Reformasi
Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), hlm. 28.
[14]Mastuhu, Pemberdayaan Sistem Pendidikan Islam, Strategi Budaya
Menuju Masyarakat Akademis, Cet. Pertama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), hlm. 31-32.
[15] A. Malik Fadjar, Reformasi Pendidikan…, hlm.
41.
[19]Fazlur Rahman,
Islam & Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition,
terj. Ahsin Mohammad, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual,
(Bandung: Pustaka, 1982), hlm. 42.
[22]Baca: Sembodo Ardi Widodo,
“Problematika Pendidikan Islam (Suatu Tinjauan dari Aspek Epistemologi)”, dalam
Abdur Rahman Assegaf, dkk.,Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta:
Suka Press, 2007), hlm. 27., dan baca:
M. Agus Nuryanto, Mazhab Pendidikan Kritis, Menyikapi Relasi Pengetahuan
Politik dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Resist Book, 2008), hlm.91.
[23]Baca: M. Amin Abdullah, Islamic
Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, Cetakan
I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),
hlm. 110.
[25]Baca: Qiyas menurut
istilah ushul fiqhi, ialah menyamakan suatu masalah yang tidak terdapat
ketentuan hukumnya dalam nash (Al-Qur'an dan Sunnah), karena adanya persamaan
illat hukumnya (motif hukum) antara kedua masalah itu. Pengertian Qiyas,
Contohnya dan Motif Hukumnya serta Rukun Unsurnya, dikutip dari
http://www.ilmusaudara.com/ 2016/05/pengertian-qiyas-contohnya-dan-motif.html#,
pada Sabtu, 8 April 2017, jam.10.20 WIB.
[26]Baca: Amin Abdullah, Pengatar dalam buku
Jasser Audada, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, terjemahan:
Rosidin dan Ali Abd el-Mun’im, (Bandung: Mizan, 2015), hlm.15.
[28]Dalam Suhadi Khalil, http://www.satuharapan.com/read-detail/read/pendidikan-agama-monoreligius-inklusif
[29]Imron Rosyidi, Pendidikan
Berparadigma Inklusif: Upaya Memadukan Pengokohan Akidah Dengan Pengembangan
Sikap Toleransi dan Kerukunan, (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 51
[30]Lihat:
http://liputanislam.com/kajian-islam/telaah/pendidikan-agama-inklusif/
[31]Marshall G. S. Hodgson,Rethinking World History: Essays on Europe,
Islam and World ... (Chicago: The University of Chicago Press, 1974)hlm.83 .
[32]Lihat:
https://www.academia.edu/8745022/Pengembangan Kurikulum dalam
_teori_dan_praktik.
[33] Lihat Amin Abdullah, Normativitas
dan Historisitas,(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 51
[34]Konsep Pendidikan Inklusif, diambil dan disarikan dari: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayan. 2015. Pendidikan Inklusif dan Perlindungan Anak.
Bahan Pelatihan Peningkatan Kompetensi bagi Pengawas Sekolah dan Kepala Sekolah
Tahun 2015.
[36]Dalam kamus Sosiologi dikatakan bahwa transformasi berasal dari
kata transformation yang artinya perubahan, sedangkan transformasi social
berarti perubahan menyeluruh dalam bentuk, rupa, sifat, watak dan sebagainya
dalam hubungan timbale balik antar manusia, baik sebagai individu-individu
maupun kelompok-kelompok. Lihat Hartini dan G Kartasaputra, Gulo, Kamus
Sosiologi dan Kependudukan (Jakarta: Bumi Aksara, 1992 ), hlm. 427, lihat juga
AS Hornby, Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English (New York:
Oxford University Press, tt.) hlm. 1382
[37]Kamus besar bahasa
Indonesia (KBBI) online, dikutip dari https://artikbbi.com/transformatif/,
diakses pada Rabu, 24 Januari 2018, jam. 09.03 WIB.
[38]H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatifuntuk Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 152.
[39]Musthofa Rembangy, Pendidikan
transformatif, Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus
Globalisasi, Cet. II, (Teras, Yogyakarta: 2010), hlm., 89.
[40]Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme
Teosentris, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar , 2005), hlm. 158.
[42]Ibid.
[45]Setidaknya ada lima ciri manusia yang
memiliki kesalehan individual dan sosial yang dapat diukur, yaitu; (1) manusia
yang memiliki semangat spiritualitas tinggi, diwujudkan dalam sikap kepercayaan
dan kepatuhan kepada yang gaib, yaitu Allah; (2) selalu terikat dan mematuhi norma-norma,
hukum, etika, yang diujudkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu melaksanakan
salat; (3) memiliki kepedulian sosial, yaitu sikap kesanggupan berbagi,
menolong terhadap golongan yang lemah; (4) memiliki sikap toleran, sikap mengahargai
sesama manusia, sikap solidaritas sosial, sebagai salah satu perwujudan dari
dimensi keimanan; dan (5) berorientasi ke depan, sebagai salah satu konsekuensi
dari keimanan terhadap adanya hari akhir. (http://syaamilquran.com).
[46] Baca: Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Cet. I, (Bandung: Mizan, 1991), dan baca juga: AE. Priyono, “Menganalisis, Oposisi, dan Integrasi Islam Indonesia
(Menyimak Pemikiran Dr. Kuntowijoyo)”, pangantar buku Kuntowijoyo, Paradigma
Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2013), hlm. 59-60.
[47]Abdul Munir Mulkhan,
Paradigma Intelektual Muslim: pengantar Filasat PendidikanIslam dan Dakwah (
Yogyakarta: Sipress, 1993), hlm 234
[48]M. Rusli Karim, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia,
DalamMusih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: PT.
TiaraWacana, 1991), hlm. 39.
[51]Baca: Khusni Arum, “Pengembangan Pendidikan
Agama Islam Berbasis Profetik (Analisis Terhadap Pemikiran Kuntowijoyo)”,
Tesis: Proram Pascasarjana FIAI UII, 2017, Yogyakarta, hlm.21.
[52]Lihat Wiliam F. O”neil,
Ideologi-ideologi Pendidikan, Cet. II, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008),
hlm. xvi.
[54]Hujair AH. Sanaky, Pembaruan Pendidikan
Islam:…, hlm.53.
[56]Faisal
Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis,
(Yogyakarta:Tiara Ilahi Press,1998),hlm. 97-98., dan baca: Hujair
AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam:…, hlm. 125.
[57]Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun
Masyarakat Madani Indonbesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003),
hlm. 125.
[62]Hujair AH. Sanaky, “Permasalahn dan Penataan Pendidikan
Islam Menuju Pendidikan Yang Bermutu”, dalam El-Tarbawi, Jurnal Pendidikan
Islam, No. 1 Vol. 1. 2008, ISSN:1979-9985, (Yogyakarta: Program Studi
Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam UII, 2008), 89-90.
[63]Sudjarwadi, “Ubah Wajah UGM dengan Jiwa Kepemimpinan”, Kedaulatan
Rakyat, 5 Januari 2003, hlm.10.
[65]Baca: Amin Abdullah, Kata Pengantar: dalam
buku: Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2004), hlm.xi.
[66]Ilmu-ilmu tersebut tidak dapat menjawab persoalan aktual lingkungan
hidup seperti penggundulan hutan, efek rumah kaca, pencemaran limbah beracun,
polusi udara dan yang lainnya. Padahal masalah-masalah tersebut konkret terjadi
di sekeliling kita. Amin Abdullah, Kata Pengantar: dalam buku: Pendidikan Islam
dan Tantangan Globalisasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), hlm.xi.
[67]Prof. Dr. M. Amin Abdullah, adalah Guru Besar Universitas Islam
Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar