Jumat, 09 Maret 2018

MATERI KULIAH ISU-ISU PENDIDIKAN ISLAM: PEMBACAAN ULANG ATAS PENDIDIKAN DALAM ISLAM INKLUSIF - TRANSFORMATIF




PEMBACAAN ULANG ATAS PENDIDIKAN DALAM ISLAM
INKLUSIF - TRANSFORMATIF[1]

Oleh: Hujair AH. Sanaky[2]


I
PENDAHULUAN

Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses memenusiakan manusia, karena itu semua aktifitas yang dilakukan dalam praktek pendidikannya hendaknya memperhatikan hakekat manusia sebagai makhluk multidimensional yaitu sebagai makhluk Tuhan dengan fitrah yang dimilkiki, makhluk individu dan makhluk sosial. Ini berarti pendidikan merupakan satu kebutuhan asasi dan merupakan bagian penting bagi kehidupan manusia.
Pendidikan adalah proses pengalihan kebudayaan (cultural transmission) dan pengembangan manusiawi (human development).Maka dalam proses selain memperhatikan manusia sebagai objek dan subjek, pendidikan juga perlu memperhatikan masukan-masukan dari eksternal (external inputs) yang sangat luas cakupannya[3] antara lain yang salama ini dikenal dengan kebudayaan. Ini berarti, proses pendidikan tidak hanya dilihat dari satu sudut pandang saja, tetapi harus dilihat secara holistik. Artinya kegiatan atau proses pendidikan berlaku bagi manusia didasarkan pada unsur-unsur esensial yang terdapat dalam pendidikan yang memahami manusia secara holistik.
“Pendidikan adalah proses untuk memberikan manusia berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan manusia itu sendiri. Aspek-aspek yang biasanya paling diperhatikan dalam proses pendidikan adalah pemberdayaan, penyadaran, pencerahan, dan perubahan perilaku manusia”.[4] Hal ini disadari bahwa proses “pendidikan adalah upaya untuk memberikan kemampuan kepada manusia untuk memberikan makna terhadap diri dan lingkungannya”.[5] Ini berarti pendidikan tidak dapat dilepaskan dari diri manusia dan realitas kehidupannya. Artinya, manusia menjadi “subjek” dari proses pendidikan dan realitas kehidupannya menjadi “objek” dari proses pendidikan itu sendiri.
Dalam sejarah umat manusia, hampir tidak ada sekelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan peningkatan kualitas manusia, sekalipun di dalam masyarakat yang masih terbelakang (primitf) sekalipun.[6] Pendidikan merupakan sistem dan cara untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupannya. Pendidikan merupakan faktor yang inheren dalam seluruh proses pemberdayaan manusia untuk menunjang perannya baik secara individu maupun sebagai makhluk sosial.
Dunia pendidikan sekarang ini sudah begitu maju seiring dan atau mengikuti irama  kemajuan. Paradigma pendidikan sudah berubah, karena siswa pada era sekarang adalah generasi yang terlahir sebagai “digital native” (terlahir dalam generasi digital), sementara  para guru dan dosen sekarang ini terlahir sebagai “pemakai perangkat digital” (“digital immigrant”).[7]Maka pada saat ini pendidikan di Indonesia berhadapkan dengan perkembangan dunia yang semakin terbuka, cepat, dan transfaran. Katakan saja, hal-hal yang tadinya tidak mungkin, menjadi mungkin, hal-hal yang tadinya tabu, sekarang menjadi profan dan massal. Apa yang terjadi kadang-kadang sulit diprediksi. 
Siswa sekarang ini adalah kategori generasi “digital” dan “termasuk golongan Kids Zaman Now[8]sudah memiliki penalaran, pemahaman yang berbeda.  Tentu saja merekatelah dipengaruhi oleh eraglobalisasi dan  kemajuan teknologi informasi yang begitu terbuka dan capat.Terjadi perubahan paradigma pendidikan dalam artian proses pendidikan dituntut untuk menyesuaikan dengan irama perkembangan tersebut.Begitu juga pendidikan dalam Islam harus melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dan bersifat terbuka terhadap perubahan yang ada.  Bila tidak mau tertinggal dengan perkembangan kemajuan saat ini.
Dewasa ini masyarakat dan bangsa Indonesia menghadapi tantangan perkembangan ilmu pengetahuan yang menunjukkan percepatan  sangat drastis. Hal ini tentu saja akan menjadi indikator pembaruan dan pengembangan kurikulum pendidikan, metodologi dan sumber daya,termasuk juga pendidikan Islam.  Misalnya saja, perkembangan teknologi “informasi internet” merupakan faktor pendukung utama percepatan,memungkinkan tembusanya batas-batas dimensi ruang dan waktu serta akan berpengaruh pada paradigma pendidikan termasuk program kurikulum.
Paradigma[9] pendidikan lama dimana ilmu pengetahuan terpusat pada lembaga pendidikan formal, dengan program kurikulum yang muatannya terlalu berat,  berorientasi pada pada produk belajar, bukan pada “proses belajar”,  didominasi oleh masalah-masalah yang bersifat normatif, ritual dan “eskatologis” (hal-hal terakhir),[10] akan mulai tergeser dengan paradigma pendidikan baru.[11]Ketika, melihat dan membaca kondisi ini, maka mau tidak mau, suka tidak suka, pendidikan dalam Islam harus berani melalukan perubahan secara signifikan baik aspek filosofis, visi-misi, tujuan, kurikulum, metodelogi, dan sumberdaya-nya.
Dari penjelasan di atas, maka dalam seminar ini, sebagai narasumber akan menyampaikan cara pandangan tentang gagasan perlu melalukan pembacaan ulangan terhadap pendidikan dalam Islam, pendidikan Islam inklusif, dan pendidikan Islam transformatif dalam era berkemajuan ini.


II
PEMBACAAN ULANG ATAS PENDIDIKAN DALAM ISLAM

Pembacaan ulang atas pendidikan dalam Islam adalah sebagai upaya untuk menelaah ulang terhadap konsep pendidikan dalam Islam.  Penggunaan istilah pendidikan dalam Islam dalam makalah ini adalah sebagai upaya untuk menghindari pemikiran dikotomik pendidikan, sehingga tidak lagi menggunakan istilah pendidikan Islam disatu sisi yang dilawankan dengan pendidikan.Artinya,persoalan yang selalu dihadapiadalah  konsep pendidikan Islam terjebak dalam pemikiran dan fenomena dikotomis antara ”Islamic knowledge” dan ”non-Islamic knowledge”,[12]  menghinggapi umat Islam.
Katakan saja,  pengembangan pendidikan Islam hanya dianggapberorientasi pada keakhiratan semata,  “hanya mengatur hubungan   manusia    dengan   Tuhan-nya  dan  mengajak  manusia   untuk kembali kepada kehidupan mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur”.[13]Persoalan  keduniaan dianggap kurang penting, sebab orientasi pendidikan lebih banyak  pada urusan ukhrawiyah, dan nyaris lepas dari urusan duniyawiyah.[14]   Pelaksanaan  pendidikan Islam lebih banyak menekankan  pada pendalaman ilmu-ilmu keagamaan (al-‘ulmu al-diniyah),[15]dianggap sebagai  jalan tol  atau jalan lurus untuk menuju kebahagian akhirat, sementara sains (ilmu pengetahuan) dianggap terpisah dari agama atau  sama sekali bukan menjadi urusan agama.[16]
Konsep pendidikan dalam Islam sebenarnya tidak memisahkan kedua kedua ranah tersebut, karenakonsep pendidikan dalam Islam menggunakan paradigama integratif. Dengan kenyataan ini, tanpaknya kita harus berani “membongkar sistem pendidikan Islam yang terkesan dikotomik, hegomonik, membelenggu, mengekang selama ini”,[17]  menuju pendidikan dalam Islam yang memberdayakan, mencerdaskan, kritis, kreatif, inovatif, dan memerdekakan.
Persoalan dikotomik, realitas pelaksanaan pendidikan Islam berbasis atau diinspirasikan dari Qur’an dan Hadis di institusi pendidikan, juga mengalami kendala. Pelaksanaannya hanya berada pada aspek kognitif (pengetahuan) semata, belum tercermin dalam sikap hidup dan keterampilan hidup orang Islam, belum menjadi pandanga dan sikap hidup-perilaku (way of life).[18]Fazlur Rahman,[19] mengatakan dokumen keagamaan revolusiner, penuh semangat, seperti al-Qur’an itupun terkubur di bawah timbunan gramatika dan retorika.Nilai-nilai yang terkandung dalam Qur’an dan hadis, tidak atau belum terintegrasi dalam pelaksanaan pendidikan di institusi pendidikan Islam, baru pada batas memiliki belum menjadi. Ide dan upaya pengintegrasian nilai dan prinsip Islam dalam pelaksanaan pendidikan di institusi pendidikan Islam untuk menghilangkan dikotomi atau pengkotakan,  merupakan  langkah yang inovatif untuk merekonstruksi institusi pendidikan. Ini artinya, ”pendidikan Islam segera merubah pola-pola lama atau pola-pola konvensional yang sudah terbukti tidak bertaji, alias ”gagal”,[20]   dalam rangka menghantarkan terbentuknya manusia-manusia muslim yang memiliki karakter cerdas, kritis, kreatif, berkarakter dan berkeadaban.[21]
Dengan penjelasan di atas, tampaknya perlu melakukan pembacaan ulang atas konsep pendidikan dalam Islam.Konsep pendidikan dalam Islam merupakan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik sosial maupun kultural.Secara makro persoalan yang dihadapi pendidikan dalam Islam adalah bagaimana pendidikan dalam Islam mampu menghadirkan disain atau konstruksi wacanapendidikan dalam Islam yang relevan dengan perubahan masyarakat. Kemudian disain wacana pendidikan dalam Islam tersebut dapat dan mampu ditranspormasikan atau diproses secara sistematis dalam masyarakat.  Katakan saja, persoalan pertama lebih bersifat filosofis, dan persoalan kedua lebih bersifat metodologis. Ini berarti pendidikan dalam Islam perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana pada dataran filosofis, kurikulum, metodologis, dan bagaimana cara  mengkomunikasikannya.
Bila dilihat dari kerangka dasar filosofis, tentu saja konsep pendidikan dalam Islam  mesti berlandaskan pada nilai-nilai al-Qur’an dan Hadis. Ini artinya, perumusan filosofi dan teoritis, diperlukan untuk menyeimbangkan antara pendidikan di satu sisi, dinamika perubahan masyarakat, dan kebudayaannya di sisi lainnya.  Tanpa adanya suatu landasan filosofis yang kuat, mungkin saja kita tidak dapat memberikan penegasan terhadap landasan spiritual dan moral, baik bagi individu maupun masyarakat. Tentu saja, proses pendidikan akan mengalami kesulitan dalam mensinergikan elemen-elemen penting dalam merumuskan visi, misi, tujuan, kurikulum, metodologi pendidikan, dan sebagainya.  Ini berarti, kerangka dasar filosofis yang bersumber dari nilai-nilai al-Qur’an dan Hadis, harus digali, dieksplorasi, agar dapat diujudkan menjdi nilai-nilai, norma, konsep, teori, fakta, sampai pada nilai-nilai praksis operasional.
Kurikulum pendidikan Islam yang diajarkan di sekolah, madrasah, pesantren atau bahkan sampai perguruan tinggi, kental dengan warna atau nuansa “teologisnya” dari pada nuansa filosofisnya. Meteri-materi pembelajaran seperti fiqih, akhlak, tauhid, psikologi pendidikan, ilmu pendidikan kental dengan “nuansa normatif teologis”.  Dikategori nuansa teologis, karena konsep, ide dan gagasan-gagasan yang dikemukakan didasarkan pada “nash” dan sedikit di warnai oleh akal dependen (qiyas) untuk dikatakan sebagai ilmu atau materi yang Islam tanpa menghiraukan kaidah-kaidah keilmuannya.[22]
Dalam konsep pendidikan dalam Islam diperlukan metode  untuk dapat dan mampu ditranspormasikan atau diproses secara sistematis dalam kehidupan masyarakat. Bagaimana pendidikan dalam Islam mampu menghadirkan disain atau konstruksi wacana pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan dan kebutuhan masyarakat. Bagaimana pendidikan dalam Islam dapat menjawab persoalan dan tantangan yang dihadapi masyarakat. Artinya, bagaimana pendidikan dalam Islam bersentuhan dengan persoalan politik, ekonomi, hak asasi manusia, persoalan gender, sosial dan budaya, kebebasan beragama, dan persoalan-persoalan yang menjadi diskursus hangat di kalangam umat manusia.
Dari uraian di atas, terlihat realitas konsep pendidikan dalam Islam hanya mondar-mandir antara konsep “langitan” dan fakta. Belum mampu menjangkau realitas kehidupan secara oprasional. Katakan saja, konsep filsafat pendidikan Islam dibangun dari konsep langitan/agama/qur’an/hadis sebagai nilai absolut yang dianut, sehingga konsep pendidikannya selalu diorientasikan kepada nilai-nilai absolut.Bila berpikir dalamkonteks filsafat, nilai tersebut harus dibumikan dengan berkonsultasi dengan fakta, norma, kebijakan, sehingga melahirkan konsep, teori, dan nilai-nilai praksis yang membumi, dan dapat dioperasionalkan.Bila diamati, konsep pendidikan Islam sekarang hanya mondar-mandir antara nilai-nilai absolut dan fakta, kurang membumi untuk membangun konsep, teori, norma, nilai-nilai, dalam menjangkau aspek praksis kehidupan manusia. 
Kondisi yang ada sekarang ini, menunjukan pelaksanaan pendidikan Islam selama ini tampaknya paradoks. Katakan saja, pada satu sisi dianggap maju dan unggul, tetapi pada tataran amplikasi-operasional dan juga hasil-hasilnya belum tampak keunggulan itu. Memang terasa ada kesenjangan yang amat lebar antara tataran teoretik, yaitu konsep pendidikan yang dibangun atau terfokus pada wahyu dan kenyataan-kenyataan  dalam praktik selama ini di lapangan. Artinya, pendidikan Islam belum mampu memasuki wilayah-wilayah sosial dan humanis komtemporer.
Konsep pendidikan Islam belum dapat mengintegrasikan nilai-nilai ideologi Islam ke dalam berbagai teori ilmu-ilmu sosial, kemanusian dan sosiologi kontemporer.Konsep pendidikan Islam baru berputar-putar disekitar “nas” sebagai dasar utama, belum secara utuh masuk dalam kawasan filsafat dan ilmu pengetahuan, terpisah jauh dari ilmu-ilmu kauniyah (Iptek atau science and technology).  Itulah sebabnya, konsep pendidikan Islam hanya berupaya untuk menjadikan manusia menghamba kepada Allah (dimensi vertikal) sebagai tujuan akhir. Hampir melupakan kepentingan keduniaan (dimensi horizontal) manusia itu sendiri.  Maka, dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu keagamaan Islam yang disajikan sekarang ini hampir-hampir tidak dapat membekali perangkat lunah (soft) untuk menjaga, memelihara, mengawasi,  mengontrol dengan mengkritik moralitas dan kesalehan publik.[23]
Konsep pendidikan Islam terlihat kental dengan warna teologis dari pada nuansa filosofis. Meteri-materi yang diajarkan bernuansa teologis. Konsep, ide-ide, dan gagasan-gagasan yang dikemukakan didasarkan pada nash dan sedikit diwarnai oleh akal dependen (qiyas) untuk dikatakan sebagai ilmu atau materi yang Islam tanpa menghiraukan kaidah-kaidah keilmuannya.[24]  Konsep pendidikannya terlalu abstrak, dalam arti bahwa isi atau materi-materi yang diajarkan cenderung menjadi sedemikian normatif dan doktriner. Belum ada upaya untuk menarik konsep-konsep normatif, ideal, dan abstrak, ke tingkat emperis atau membumi. Tidak ada lagi ruang tersisa untuk mengadakan inovasi, pengayaan, kajian, tafsir, serta berbagai usaha yang dikaitkan dengan berbagai realitas kehidupan.Katakan saja, buku-buku dan bahan ajar yang ditulis  oleh tokoh-tokoh pendidikan Islam lebih banyak bernuasa teologis-normatif. Dalam kaca mata al-Jabiri, termasuk tipologi bayani. Artinya, hampir semua prinsip, kaidah, dan dasar yang ditawarkan diturunkan dari ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi, dikembangkan dengan akal yang posisinya masih terkungkung dalam dominasi nash itu sendiri.  Peran akal seperti itu seiring diklaim sebagai bentuk “ijtihad” tetapi intinya adalah “qiyas”.[25]
Pendidikan dalam Islam harus  mengintegrasikan sikap inklusif kepada sivitas akademika.Tanpa adanya sikap inklusif, termasuk inklusivitas dalam disiplin keilmuansebagai paradigma integrasi-interkoneksi-interkolerasi ilmu, maka pemahaman dan pengembangan pendidikan dalam Islam akan mandul, karena terbentuksejak dinidari paradigma normative-teologis. Tanpaknya, perlu melakukan terobosan untuk mengintegrasikan ilmu Pendidikan Agama Islam dan no-pendidikan agama Islam. Katakan saja, ilmu pengetahuan alam (IPA), ilmu pengetahuan sosial (IPS), dan humaniora seharusnya dioptimalkan sebagai pisau analisis dalam setiap perbincangan ilmu pendidikan dalam Islam.[26]Jika budaya ini didukung dan dikembangkan secara maksimal, maka di masa-masa berikutnya akan tumbuh gerenasi yang berpikir inklusif dan terhindar dari cara berpikir enklusif.Tumbuh generasi yang mampu mengintegrasikan-interkonesitaskan-interkoreasikan barbagai disiplin keilmuan, sehingga tumbuh generasiyang dapat berkembang mengikuti irama perubahan zaman yang serba cepat, bukan generasi yang tertatih-tatih dengan serangkaiansikap defensif-apologis.


III
PENDIDIKAN ISLAM INKLUSIF-TRANSFORMATIF
1.    Pendidikan Islam Inklusif

Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang terbuka dan ramah terhadap pembelajaran dengan mengedepankan tindakan menghargai dan merangkul perbedaan.Pendidikan inklusif dipahami sebagai sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan yang dapat menghalangi setiap individu siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan yang dilengkapi dengan layanan pendukung.Inklusif merupakan sebuah teologi yangmenempatkan manusia secara umum pada posisi setara tanpamemandang perbedaan agama, etnis, ras, bahasa, dan suku.Pada tingkat ini, semua manusia diharapkan mampu menjadi khalifahTuhan di muka bumi ini (khalifatullah fiy al-ardh) untuk melakukanperubahan ke arah yang lebih baik dan menjaga keharmonisan semestaalam. Karena itu, peperangan, konflik agama, atau pertengkaran harusditinggalkan dan dijauhi sebagai bentuk tanggung jawab bersama ataskelangsungan hidup ini.[27]
Upaya untuk mengadaptasikan nilai-nilai inklusif dalam pendidikan agamasesungguhnya sudah dilakukan oleh pemerintah. Seperti tertuang dalam  UU Sisdiknas yang salah satu pasalnya mengharuskan setiap lembaga pendidikan  (SD, SMP, SMA/SMK  sederajat) mengajarkan pendidikan agama  yang sesuai dengan kepercayaan peserta didik. Salah satu mata pelajaran pendidikan agama di lembaga pendidikan tersebut yaitu PAI.Dengan dasar UU Sisdiknas tersebut, seharusnya dalam pendidikan Agama Islam, menanamkan sikap–sikap terbuka,  toleran, dan moderat pada peserta didik. Pada tahun 2016, Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama-pun meluncurkan kurikulum pendidikan Islam rahmatan lil’alaminyang kehadirannya sebenarnya telah ditunggu sejak lama oleh banyak pihak.Kurikulum baru tersebut sedang diujicobakan di sebagian sekolah dan madrasah untuk menekankan pemahaman Islam yang damai, toleran, dan moderat. Dari penerapan tersebut,hasilnya diharapkan mampu berkontribusi mencegah pemahaman keagamaan yang ekstrim atau radikal.[28]
Tetapi, sayangnya pada tataran implementatifnya, kurikulum pendidikan agama yang diajarkan di sekolah-sekolah termasuk di perguruan tinggi, terbukti tidak cukup mampu melahirkan  peserta didik yang toleran, inklusif dan moderat seperti yang dicitakan undang-undang. Justru sebaliknya pendidikan agama yang diajarkan di sekolah selama ini melahirkan individu-individu yang sempit, yang hanya mau menerima kebenaran moral dari agamanya; menjadikan agamanya sebagai patokan tertinggi kebenaran dan pada gilirannya tidak mau menerima dimensi-dimensi kebenaran dari agama lain. Pendidikan agama, meminjam istilah Imron Rosyidi “tidak mampu bergeser dari pengetahuan kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang diinternalisasikan dalam diri peserta didik untuk selanjutnya sebagai sumber motivasi bagi peserta didikuntuk bergerak, berbuat dan berprilaku secara kongkrit, religious, dan toleran dalam kehidupan praksis sehari-hari”.[29]
Tentunya titik lemah pendidikan keagamaan yang berlangsung selama ini  dapat terus diungkap dalam berbagai aspeknya. Sebut saja misalkan rumusan kurikulumnya yang belum mengarah pada pembentukan peserta didik yang toleran-inklusif. Tidak dapat dinapikan bahwa salah satu ajaran pendidikan agama di sekolah masih saja mengajarkan claim of truth sehingga menapikan kebenaran agama lain. Pada level materi: implementasi pendidikan agama, jika dilihat dari segi materi, belum sepenuhnya mencerminkan visi penghargaan terhadap perdamaian dan penghargaan terhadap agama lain. Isi buku ajar (khususnya agama Islam)  cenderung membentuk pribadi peserta yang saleh secara individual (ritual) dan belum membentuk pribadi yang saleh secara sosial apa lagi kebangsaan.
Pada level guru, selain masih dianggap belum memiliki pengetahuan dan pemahaman keagamaan yang inklusif dan toleran juga miskin dengan metode pembelajaran. Metode pengajarannya yang masih indoktrinasi, mediapembelajaran yang masih jauh dari konten toleransi sampai evaluasi pembelajaran yang masih didasarkan pada kognitif dan psikomotorik dan belum menyentuh pada aspek afektif peserta didik.Sehinga proses pembelajaran agama tidak berjalan  baik dan efektif sesuai tujuan pendidikan yang dirumuskan.Paham-paham keagamaan para guru lebih terefleksikan dalam pelajaran mereka dan berkontribusi menumbuhkan konservatisme dan radikalisme agama di masyarakat, khususnya di kalangan muda. Karenanya, penulis berpandangan, berbagai upaya deradikalisasi pendidikan agama tidak akan bermakna signifikan atau bahkan akan sia-sia, jika tidak diimbangi dengan kesiapan guru agama (selaku pelaksana dan perancang pengajaran), pada aspek paradigma keagamaanya, maupun metode pengajarannya dari doktrinasi menuju dialogis.
Kegagalan dalam menumbuhkembangkan sikap inklusif dalam pendidikan agama hanya akan melahirkan sayap radikal dalam beragama. Meminjam filsafat pendidikan Paulo Freire, sudah saatnya pendidikan agama diarahkan pada arena pembebasan dari belenggu doktrin-doktrin agama yang eksklusif dan intoleran menuju formulasi pendidikan agama yang inklusif. Karena sejak awal pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakkan budaya yang serba eksklusif.[30]Bila kita semua sepakat bahwa pendidikan agama Islam perlu dibenahi dan dibongkar secara total dari berbagai aspeknya atau dengan kata lain dilakukan deradikalisasi pendidikan agama/keagamaan. Filosofi pendidikan agama yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa bersedia menerima kebenaran agama lain perlu dikritisi untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Materi pembelajaran agama yang terjebak pada truth of claim, iman-kafir, muslim non-muslim yang sangat berpengaruh pada cara pandang masyarakat pada agama lain perlu di hapus dalam pandangan peserta didik  untuk selanjutnya dikontekstualisasi dengan berbagai isu global seperti Human Rights (Hak-hak Asasi Manusia), demokrasi climate change, dan lain-lain. Dengan begitu tidak akan membentuk  cara bernalar yang absurd bagi  umat beragama. Ini merupakan tugas guru-guru agama dalam pembelajaran.
Di samping ajaran normatif, mestinya doktrin keagamaan yang dikembangkan adalah wacana-wacana kemanusiaan dan aspek keilmuannya, bukan mistifikasi teks-teks keagamaan. Sebuah cara berpikir yang partikularistik dan ritualistik sehingga nilai-nilai agama tidak berperan sebagai citra atau etos kemanusiaan dan blueprint perkembangan peradaban.[31]Masalahnya sekarang tentu harus ada prioritas dari aspek mana pembenahan tersebut harus dimulai.Solusi yang kerap dimunculkan sering dimulai pada aspek kurikulum; redesign kurikulum pendidikan agama yang berperspektif inklusif dan pluralis. Menitikberatkan lewat pembenahan  kurikulum tentu tidaklah salah. Karena kurikulum sebagaimana dikemukakan Nana Syaodih Sukmadinata[32]  mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan pendidikan. Selain itu kurikulum juga  suatu rencana pendidikan yang memberikan pedoman  dan pegangan tentang jenis, lingkup urutan isi dan proses pendidikan.Kurikulum bukan sekadar rencana tertulis bagi pengajaran tetapi juga sesuatu yang fungsional yang beroprasi dalam kelas, yang memberi pedoman dan mengatur lingkungan dan kegiatan yang berlangsung di dalam kelas. Usaha-usaha pembenahan dalam aspek kurikulum sering dipandang sebagai upaya mendesak yang harus dilakukan.
Dalam pandangan penulis, redisain kurikulum sebagai solusi yang mendesak  dilakukan, tidak akan efektif, tanpa membenahi dua aspek: pertama perspektif keagamaan guru dan kedua pengayaan metode pembelajarannya. Dalam berbagai kesempatan sering penulis menyatakan pandangan senada bahwa redisain kurikulum dalam konteks pendidikan keagamaan di Indonesia tidak efektif membentuk pribadi toleran tanpa terlebih dahulu membenahi dari kedua aspek ini.Guru-dosen  yang notabenenya selaku pelaksana dan perancang pengajaran, keberadaannya jelas menjadi ujung tombak penyampai pesan-pesan kurikulum.Sayangnya kedua aspek tersebut, justru nyaris tidak tersentuh oleh gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus pemikiran keagamaan di seputar isu toleransi, pluralism, dan dialog antar agama.[33]
Dari kerangka pemikiran di atas, maka dapat dikatakan bahwa prinsip pendidikan Inklusif adalah pendidikan yang terbuka, adil, tanpa diskriminasi, peka terhadap setiap perbedaan, relevan dan akomodatif terhadap cara belajar, memperhatikan setiap kebutuhan dan keunikan setiap individu peserta didik, bersifat inovatif dan fleksibel, mengoptimalkan dan mengefektifkan potensi peserta didik dengan potensi lingkungan. Artinya, dalam mengajarkan apapun dalam dunia pendidikan, terutamapendidikan dalam Islam tidak diperkenankan seseorang mencela agama lain. Harus diajarkan adalah bagaimana menghormatiorang lain dengan agama dan kepercayaannya, memanusiakan manusia, menjelaskan pada peserta didik agarmenjadi mahkluk yang berguna, keranadalam Islam tidak mengenal diskriminasi, manusia paling mualia adalah orang yang bertaqwa.
Dari uraian di atas, maka prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah: Pertama, Pendidikan yang ramah: Konsep Pendidikan yang mengakomudasi lingkungan pembelajaran yang ramah berarti ramah terhadap peserta didik dan pendidik, yaitu anak dan guru belajar bersama sebagai suatu komunitas belajar, menempatkan anak sebagai pusat pembelajaran, mendorong partisipasi anak dalam belajar, dan guru memiliki minat untuk memberikan layanan pendidikan yang terbaik. Kedua, Mengakomodasi kebutuhan:Konsep pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan setiap peserta didik merupakan salah satu upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Maka sekolah dalam penyelenggara pendidikan harus dapat mengakomodasi kebutuhan setiap peserta didik dengan cara sebagai berikut: (a) memerhatikan kondisi peserta didik, yaitu kemampuan dan kebutuhan yang berbeda-beda serta gaya dan tingkat belajar yang berbeda; (b) menggunakan kurikulum yang fleksibel; (c) menggunakan metodologi pembelajaran bervariasi dan pengorganisasian kelas yang bisa menyentuh pada semua anak dan menghargai perbedaan; (d) memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar; dan (e) melakukan kerja sama dengan berbagai pihak yang terkait. Ketiga, Konsep Pendidikan yang mengembangkan potensi peserta didik seoptimal mungkin. Sekolah inklusif berupaya memberikan pelayanan pendidikan seoptimal mungkin, agar peserta didik yang memiliki hambatan dapat mengatasi masalahnya dan dapat mengikuti proses pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.[34]
Persoalannya sekarang adalah bagaimana para guru menggunakan metode-metode pembelajaran untuk  “menyemai” (menanam-menaburkan benih)  nilai-nilai agama yang inklusif dalam pembelajaran di kelas.  Bagaimana menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, mengajar secara interaktif, melibatkan orang tua dalam proses perencanaan, menerapkan kurikulum yang multilevel, dan bekerja secara tim. Sapon-Sevin, menyebutkan ada lima profil pembelajaran inklusif, yaitu:
(a)  Pembelajaran inklusi berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.
(b)  Pembelajaran inklusi berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multi modalitas.
(c)  Pembelajaran inklusi berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif. Perubahan dalam kurikulum berkaitan erat dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional yang menempatkan satu atau seorang guru yang berjuang secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan semua anak harus diganti dengan model pembelajaran bersama, siswa-siswa bekerja sama, saling mengajar, dan secara aktif berpartisipasi dalam pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya.
(d)  Pembelajaran inklusi berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus-menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi. Aspek terpenting dari pendidikan inklusi meliputi: (1) pengajaran dengan tim; (2) kolaborasi dan konsultasi; (3) berbagai cara mengukur keterampilan, pengetahuan, dan (4) bantuan individu yang bertugas mendidik sekelompok anak. (e) Pembelajaran inklusi berarti melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan.[35]


2.    Pendidikan Islam Transformatif

Pengertian Pendidikan Transformatif: Definisi dari kata "transformatif"[36] menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) online dan menurut para ahli Bahasa adalah “bersifat berubah-ubah bentuk (rupa, macam, sifat, keadaan, dsb)”.[37]  Dari pengertian kata tranformatif tersebut, dapat dikatakan bahwa pendidikan transfomatif merupakan pendidikan yang melakukan proses perubahan ke arah yang lebih baik. Proses perubahan bagi dirinya (self transformation) maupun perubahan bagi lingkungannya (environment transformation). Konsep pendidikan transformatif menawarkan cita-cita ideal bagi dunia pendidikan, sehingga orientasi pendidikan akan selalu mengarah pada idealisme pendidikan yaitu pada aspek landasan filosofis, visi-misi, tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, metode pembelajaran, dan sumber daya manusia pendidikan itu sendiri.
Proses Pendidikan adalah proses pembebasan dan sekaligus proses untuk mengakui akan keterbatasan manusia. Manusia diarahkan pada norma-norma untuk menghayati eksistensinya yang serba terbatas. Pendidikan transformatif menekankan kepada pentingnya partisipasi dengan sesama manusia. Partisipasi dengan sesama manusia menuntut tindakan-tindakan atau kelakuan yang mau menerima sesama manusia sebagai mana adanya. Tanggung jawab, toleransi, kerjasama, saling membantu, saling menghormati sesama orang lain, dan berbagi sikap dan kelakuan manusia yang membuat kerja sama manusia, merupakan nilai-nilai yang mendapatkan prioriotas didalam proses pendidikan transformatif.
Pendidikan transformatif adalah pendidikan yang menempatkan penghormatan kepada hak asasi manusia, yang berarti pula pengakuan terhadap kewajiban asasi manusia untuk saling menghormati manusia dan masyarakat yang berbeda dengan kita. Pendidikan transformatif merupakan pendidikan humanistis dan sekaligus pendidikan anti kekerasan.[38]Hal ini dapat dicermati dari pandangan filosofis pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, yang berpijak pada basis kebudayaan dan kemerdekaan manusia yang dapat dijadikan contoh.Maka dalam konsep pancadharma Ki Hajar Dewantara, ditegaskan bahwa filosofis pendidikan untuk mengembangkan kodrat alam, kemerdekaan, kebangsaan, kebudayaan, dan kemanusiaan[39] itu sendiri. Ini berarti pendidikan transformatif adalah pendidikan yang mengakses perubahan dengan tetap berpijak pada nilai-nilai dasar yang terkandung dalam pandangan hidup tersebut[40] berupa kemanusian, kemerdekaan, dan kebudayaan. Pendidikan yang berorientasi pada kemandirian manusia atau anak didik dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya baik di dalam kelas maupun dalam lingkungannya.
Dasar Pendidikan Transformatif: Strategi pembaharuan pendidikan merupakan perspektif baru dalam dunia pendidikan yang mulai dirintis sebagai alternatif untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang belum diatasi secara tuntas. Jadi pembaharuan pendidikan dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada dalam dunia pendidikan dan menyongsong arah perkembangan dunia pendidikan yang lebih memberikan harapan kemajuan kedepan. Strategi pembaharuan pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan agar pendidikan dapat berjalan lebih efektif dan efisien untuk mencapi tujuan pendidikan.[41] Dalam proses perubahan pendidikan paling tidak pendidikan memiliki dua peran, yang harus diperhatikan yaitu; “(1) Pendidikanakan berpengaruh terhadap perubahan masyarakat, dan (2) Pendidikan harus memberikan sumbangan optimal terhadap proses transformasi menuju terwujudnya masyarakat berkemajuan”. [42]
Dasar pendidikan transformatif adalah konsep pendidikan yang di dasarkan pada filsafat, khususnya filsafat manusia. Dari filsafat manusia inilah dapat disimak orientasi terhadap kebudayaan, terhadap pendidikan dan khususnya terhadap proses belajar dan perkembangan individu.  Orientasi kependidikan menunjukkan bahwa tindakan kependidikan merupakan pula tindakan kebudayaan, sebab proses pendidikan terjadi di dalam konteks kebudayaan. Dalam kontesk ini, tentu saja “manusia mempunyai hubungan interaktif dengan kebudayaannya-manusia berkeadaban. Maka terbangun di dalam proses belajar adalah didasarkan kepada prinsip pemberdayaan, dialog, kreatif, kritis, dan partisipatif”.[43]
Secara konseptual pendidikan dalam Islam sebenarnya sudah cukup komprehensif, karena bertujuan untuk membentuk pribadi muslim sempurna, mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, meskipun lebih cenderung bersifat normatif.  Maka dalam realitasnya praktik pendidikan Islam cenderung “idealis” dan kurang bersentuhan dengan problem realitas-empirik-kurang membumi.  Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya anggapan bahwa segala aktifitas hidup umat Islam, termasuk pendidikan, harus didasarkan pada wahyu yang given dari Tuhan dalam pengertian harfiah sehingga cenderung kurang melihat aspek realitas yang empirik-historis.
Jika paradigma perubahan pendidikan dalam Islam diterima dengan beberapa penyesuaian, maka yang perlu dipikirkan adalah tindak lanjut secara praktis, mulai dari perumusan orientasi pendidikan Islam, pembaharuan kurikulum, penyiapan sumber daya manusia, diversifikasi strategi pembelajaran, perubahan model evaluasi, evaluasi kebijakan, dan perubahan secara signifikan manajemen pengelolaan di lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi.[44]
Orientasi Pendidikan Transformatif: Dalam hal orientasi, pendidikan Islam seharusnya tidak sekedar membentuk kesalehan individual semata, atau kesadaran mistik semata, tetapi juga harus membentuk kesalehan sosial.[45] Orientasi pendidikan diarahkan untuk membentuk individu muslim yang mempunyai kesadaran “profetik”(kenabian) dengan karakter emansipatif, liberatif, dan transendental yang mampu membaca problem empirik di sekitarnya sehingga ia mampu terlibat dalam penyelesaian problem. Tetapi, di sisi lain, dia juga mampu menyelesaikan setiap problem yang menimpanya.Pendidikan dalam Islam mengandung nilai humanisasi, liberasi dan transendensi. Meminjam konsep Kuntowijoyo yang berhasil mengkontruksi ilmu sosial profetik yang berlandaskan pada humanisasi, liberasi, dan liberasi yang memiliki konsen pada kepentingan sosial (social significance), termasuk pendidikan. Mungkin saja, ketiga elemen utama konsep Kuntowijoyo tersebut dapat diadopsi kedalam konsep pendidikan Islam profetik. Mengingat ketiganya dapat digunakan untuk meminimalis praktik-praktik dehumanisasi-deliberasi-detransendensi.[46]
Dalam konteks Pendidikan dalam Islam, membangun “orientasi dan arah kehidupan manusia menurut al-Quran adalah iman, ihsan dan taqwa sebagai kualitas ke-Islam-an seseorang yang terpola dalam laku ibadah dan kehidupan. Dengan pola tersebut, maka pendidikan Islam adalah tindakan sadar diri secara sosial yang dilakukan secara terencana guna mengarahkan seluruh manusia kepada Islam yang berkualifikasi iman, ihsan dan taqwa yang membentuk pola kelakuan ibadah[47] dalam kehidupan.Pendidikan dalam Islam tidak melepaskan diri dari ketiga domainpendidikan  (kognitif, afektif, psikomotor) kebebasan dalam Islam diukurmenurut kriteria agama, akhlak, tanggung jawab dan kebenaran. Keempatinilah yang menjadi pembatas agar kebebasan tidak mengarah kepadaanarki. Tetapi pendidikan Islam juga harus mampu mengantisipasimasa depan umat Islam yang akan berhadapan dengan berbagai idiologibesar dan tantangan-tantangan lain seperti disintegrasi sosial, makinmelajunya proses sekulerisasi dan spesialisasi kecenderunganmaterialisme.[48]
Ini berarti, tujuan Pendidikan Islam Transformatif tidak hanya berorientasi secara vertikal dengan ritual individual dan kesalihan yakni taqwa jugamempunyai makna kesalihan individual kepada Tuhan Yang Maha Esa,tetapi berorientasi horizontal, yakni bagaimana keberimanan danketakwaan peserta didik mempunyai imbas kepada “perilaku sosial” merekadi masyarakat. Hubungan manusia-Tuhan, akan melahirkan kesalehanpribadi, dalam perspektif pendidikan-iman-takwa, harus mampu melahirkan hubungan sosial antarmanusia yang berlandaskan pada nilai-nilai ke-Tuhanan. Kesalehan individu harus mempunyai imbas kepada kesalehansosial.[49]
Secara luas orientasi atau tujuan pendidikan Islam adalah: Pertama, Pendidikan harus mampu membangun keilmuan dan kemajuan kehidupan yang integrative antara nilai sepiritual, moral dan materialbagi kehidupan manusia. Kedua, Pendidikan harus mampu membangun kompetisi manusia danmempersiapkan kehidupan yang lebih baik berupa manusiademokratis, kompetitif, inovatif bedasarkan nilai-nilai Islam. Ketiga,  Pendidikan harus disusun atas dasar kondisi ligkungan masyarakat,baik kondisi masa kini maupun kondisi pada masa akan datang, karenaperubahan kondisi lingkungan merupakan tantangan dan peluang yangharus di proses secara cepat dan tepat. Keempat, Pembaharuan pendidikan harus diupayakan untuk memberdayakanpotensi umat yang disesuaikan dengan kebutuhan kehidupanmasyarakat. Kelima, pendidikan harus lebih diorientasikan pada upaya “pendidikan sebagaiproses pembebasan, pendidikan sebagai proses pencerdasan,pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak, Pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian, pendidikan sebagai prosespemberdayaan potensi manusia, pendidikan menjadikan anakberwawasan integrative, pendidikan sebagai wahana membangunwatak persatuan, pendidikan menghasilkan manusia demokratik,pendidikan menghasilkan manusia peduli terhadap lingkungan.[50]
Konsep pendidikan dalam Islam tranformatif adalah pendidikan yang mengakses perubahan yang juga sarat dengan nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi yang bersifat profetik. Kuntowijoyo berhasil mengkontsuksi ilmu sosial profetik yang berlandaskan padahumanisasi, liberasi dan transendensi yang memiliki konsen pada kepentingan sosial (social significance), termasuk Pendidikan. Gagasan pendidikan profetik Kuntowijoyo, berpijak pada tiga elemen utama yang merupakan implementasi dari paradigma humanisme-teosentris atau teo-antroposentris. Ketiga elemen tersebut dapat diadopsi oleh pendidikan dalam Islam, mengingat dapat membantu untuk meminimalir parakter-paraktek dehumanisasi, diliberasi, dan detransendensi. Ketiga elemen tersebut,yaitu:
Pertama, elemen humanisasi; akan mempengaruhi perubahan sikap dan pemikiran “eksklusif” dan menghantarkan manusia kepada sikap inklusif. Tentu saja berpijak pada kemerdekaan dan keadilan dengan penggunaan pendekatan simpati dan empati, penanaman nilai etis humanistik untuk mengurangi tindakan penindasan-dehumanisasi. Humanisasi juga merupakan proses pemberdayaan peserta didik melalui transfer of knowledge, transfer of value,transfer of cultural, dan transfer of methodology, sehingga kecerdasan peresta didik dapat berimbang. Sedangkandalam konsep fitrah, memandang manusiasebagai makhluk yang memeiliki potensi-potensi tauhidiyah, insania (SDM) yangdapat dikembangkan sehingga mampu berperan sebagai khalifahAllah di bumi dan dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Humanisasi dalam konteks Islam adalah memberikan penghargaan yang tinggiterhadap harkat dan martabat manusia dalam rangka pengembangan SDMyang dimilikinya.
Kedua, elemen liberasi; menuntut pendidikan memberdayakan, membebaskan, dialogis, dan membuka peluang untuk tumbuh kembangnya daya kritis dan kreatif perserta didik melalui pola piker emperik historis, bukan deduktif normatif, melalui proses penyadaran atau konsientisasi dalam istilah Paulo Freire”.[51]Pendidikan liberasi adalah membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan-dehumanisasi dan pembebasan dari kebodohan dan keterbelakangan. Dalam “perspektif kritis urusan pendidikan adalah melakukanreflektif kritis, terhadap “the dominant ideology” ke arah transformasisosial”. Artinya, “tugas utama Pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi social.[52]Dengan kata lain, tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Ketiga, adalah elemen transendensi; berarti mengembalikan segala sesuatu pada hakikat yang paling mendasar. Upaya manusia untuk mencapai derajat yang lebih tinggi dan muliadari apa yang dicapainya. Mengembalikan fitrah manusia kepada Tuhan (teosentris) melalui pendidikan keimanan dengan pendekatan tauhidiyah sebagai tumpuan dan pangkal tolak segala sesuatu atau muara kehidupan.  Menurut Kuntowijoyo,“agama tidak boleh sekedar memberi legitimasi terhadap sistem sosial, tetapi harus memperhatikan dan mengontrol atau menjadi alat ukur perilaku manusia”.[53]“Pendidikan dalam Islam dapat dikembangkan berdasarkan paradigm filsafat teo-antroposentris-cosmologis. Pendidikan berbsis tauhidiyah (keimanan), berakhlak, berbudaya, mencerdaskan, berketerampilan, memberdayakan, membebaskan manusia dari belenggu keduniaan”.[54] Dengan demikian nilai “transendensi yang bersifat profetik adalah pemberianmakna ubudiyah dalam proses liberasi dan humanisasi”.[55]
Dari penjelasan di atas, dapat dikatan bahwa  pendidikan dalam Islam harus berorientasi kepada pembangunan dan pembaruan,  pengembangan kreativitas, intelektualitas, keterampilan, kecakapan penalaran yang dilandasai dengan keluhuran moral dan kepribadian, sehingga pendidikan dalam Islam akan mampu mempertahankan relevansinya di tengah-tengah laju pembangunan dan pembaruan paradigma sekarang ini, sehigga pendidikan dalam Islam  akan melahirkan manusia yang belajar terus (long life education), mandiri, disiplin, terbuka, inovatif, mampu memecahkan dan menyelesaikan berbagai problem kehidupan,[56]  serta  berdayaguna bagi kehidupan dirinya dan masyarakat.
Paradigma baru  pendidikandalam Islam harus diorientasikan kepada pembangunan, pembaruan, pengembangan kreativitas, intelektualisme, keterampilan, kecakapan, penalaran, inovatif, mandiri, disiplin dan taat hukum, terbuka dalam masyarakat plural, dan mampu menghadapi serta menyelesaikan persoalan pada era globalisasi dengan dilandasi keanggunan  moral   dan  akhlak   dalam usaha  membangun manusia dan masyarakat yang berkualitas bagi kehidupan dalam masyarakat Indonesia.[57]
Untuk merekonstruksi dan mengembangkan pendidikan dalam Islam transformatif, menurut penulisharus didasarkan pada telaah ulang dan atau diperlukan fondasi filosofis, visi, misi, tujuan, kurikulum, metodologi, dan  al-Qur’an dan Hadis sebagai dasar yang melatarbelakangi praktek pendidikan dalam Islam itu sendiri, yaitu: 
Pertama, landasan filosofis dan teori pendidikan dalam Islam,  harus dikembangkan dan dijabarkan atas dasar asumsi-asumsi yang kokoh dan jelas tentang: (a) konsep dasar ketuhanan (ilahiyah), (b) konsep dasar manusia (insaniyah), (c) konsep dasar alam semesta dan lingkungan. Konsep ini disebut dengan “teo-antrposentris-cosmologis”. Konsep ini harus didasarkan pada al-Qur’an dan Hadis secara utuh, integratif dan interaktif.  Kerangka dasar utama pengembangan pendidikan dalam Islam adalah  filsafat dan teori pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam yaitu Qur’an dan Hadis. Tentu saja konsep pendidikan dalam Islam tidak akan terlepas dari filsafat ketuhanan (ilahiyah) “teosentris” sebagai sumber nilai (value), untuk motivasi pemikirannya,  relevan dengan kepentingan manusia dan umat manusia.  Pendidikan dalam Islam tidak akan terlepas dari filsafat manusia “antroposentir”  yang dapat membangun kehidupannya, mengembangkan potensi manusia seutuhnya “insan kamil” yaitu manusia yang bertaqwa, berpengetahuan, berketerampilan, merdeka, berbudaya, kristis, toleran, taat hukum dan hak asasi, relevan dengan lingkungan dan alam semesta. Pengembangan pendidikan dalam Islam juga tidak dapat lepas dari persoalan lingkungan manusia dan alam semesta atau “cosmologis” yang merupakan sumber kehidupan dan lingkungan yang selalu berubah mengikuti irama zaman dan perubahan. Ini berarti dalam penerapan dasar filsafat dan teori pendidikan, harus mempertimbangkan konteks dengan supra sistem, konteks dengan kepentingan, kebutuhan manusia dan masyarakat, konteks dengan bangsa dan negara, konteks dengan sosial budaya, konteks dengan perkembangan dan perubahan zaman.[58]
Kedua, visi  dan misi  pendidikan dalam Islam, harus dirumuskan secara jelas dan tepat, sebab misi pendidikan menentukan arah, langkah-langkah, dan peta  perjalanan untuk mewujudkan visi  dan  harus dinyatakan dalam bentuk pernyataan formal tentang tujuan utama yang akan direalisir.  Visi  dirumusan dalam bentuk pikiran yang melampaui realitas sekarang. Artinya sesuatu yang ingin diciptakan, sesuatu yang akan diwujudkan harus dinyatakan dalam bentuk kalimat yang jelas, posetif, realis, menentang, mengundang partipasi. Secara jelas menunjukkan asumsi tentang gambaran masa depan yang ingin diwujudkan yang didasarkan pada nila-nilai (values) ilahiyah. Perumusan misi dan visi pendidikan dalam Islam,  terntu saja tidak akan terpisahkan dari tugas  manusia sebagai “khalifah fil ardi” dalam rangka membangun kehidupan dunia yang makmur, sejahtera, demokrasi, adil, dinamis, harmonis, lestasi, taat hukum, didasarkan pada nilai-nilai ilahiyah, kemanusian, dan universal  yang terwujud dalam kehidupan. Visi  yang dirumuskan bersifat makro dan mikro.  Pada tingkat makro,  bagaimana pendidikan dalam Islam dapat menunjang transformasi menuju masyarakat yang memiliki identitas berdasarkan nilai-nilai Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis.  Pada tingkat mikro,  bagimana pendidikan dalam Islam menghasilkan manusia religius ilahiyah, humanis,  berbudaya, berperadaban dengan memiliki pengetahuan dan teknologi, keterampilan, profesional, memiliki integritas pribadi yang merdeka, memiliki kepribadian, moral dan akhlakul karimah, memiliki sikap toleransi kemanusia yang tinggi, menghargai hak sasi manusia, serta memiliki orientasi global dan berpikir lokal dalam kehidupan.[59]
Ketiga, tujuan pendidikan dalam Islam harus didasarkan pada prinsip menyeluruh, serasi, efisien, efektivitas, dan dinamis.  Orientasinya harus jelas, bersifat problematik, strategis, antipatif dan menyentuh aspek praktis dan kebutuhan manusia.  Tujuan pendidikan dalam Islam,  membangun dan mengembangkan manusia, masyarakat secara utuh, menyeluruh sebagai insan kamil dalam semua aspek kehidupan yang berbudaya dan berperadaban yang tecermin dalam kehidupan manusia bertaqwa dan beriman, berpengetahuan, berketerampilan, beramal shaleh, berkepribadian, bermoral anggun dan berakhlakul karimah, dalam rangka memperoleh kesejahteraan, kebahagian dan keselamatan duniawiyah dan ukhrawiyah.  Dari kerangka ini, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam yang dirumuskan meliputi aspek ilahiyah (teosentris), jasmaniah,  intelektual,  kebebasan, mental, akhlak, professional, karya (amaliyah) dalam rangka mewujudkan manusia  sebagai “insan kamil” dalam kehidupannya,[60]memiliki orientasi global dan berpikir lokal.
Keempat, kurikulum pendidikan dalam Islam, dikembangkan lebih bersifat problematik, strategis, antipatif dan aplikatif untuk memecahkan problem-problem kehidupan yang dihadapi umat manusia. Kurikulum didasarkan pada kemampuan Islamiyah, pengetahuan, keterampilan dan sikap dengan diorientasikan dan disesuaikan dengan misi, visi, dan tujuan, kebutuhan peserta didik masa kini dan masa akan datang, berkorelasi dengan pembangunan  sosial, kesejahteraan masyarakat, berkorelasi dengan budaya, konteks  lokal dan global.  Kurikulum harus bersifat lentur dan adaptif terhadap perubahan untuk menjawab tuntutan, tantangan perubahan dan kebutuhan manusia.  Intinya,   disain program kurikulum Pendidikan dalam Islami harus diorientasikan pada learning competency, yaitu  competency Islamiyah, knowledge, skill, abilty,  sosial-kultural,  didasarkan pada nilai-nilai Islam yang terdapat dalam Qur’an dan Hadis.    Perlu ada perimbangan (balancing) antara disiplin atau kajian-kajian agama dengan pengembangan intelektualitas dalam program kurikulum pendidikan. Pendidikan dalam Islam harus menganut integrated curriculum, artinya perpaduan, koordinasi, harmonis, dan kebulatan materi-materi pendidikan dengan ajaran Islam, dan bukan separated subject curriculum maunpun correlated curriculum.[61]   Dengan konsep integrated curriculum, proses pendidikan akan memberikan penyeimbangan antara kajian-kajian agama dengan kajian lain (non-agama) dalam pembelajaran pendidikan dalam Islam yang merupakan suatu keharusan, apabila menginginkan pendidikan dalam Islam kembali survive di tengah perubahan masyarakat.[62]
Kelima, metode pembelajaran yang didasarkan pada leaning competency diharpakan dapat  mengembangkan dan membangun tiga pilar keterampilan, yaitu: (1) Learning skills, yaitu keterampilan mengembangkan dan mengola pengetahuan dan pengalaman serta kemampuan dalam menjalani belajar sepanjang hayat. (2) Thinking skills, yaitu keterampilan berpikir kritis, kreatif dan inovatif untuk menghasilkan keputusan dan pemecahan masalah secara optimal. (3) Living skills, yaitu keterampilan hidup yang  mencakup kematangan emosi dan sosial yang bermuara pada daya juang, tanggungjawab dan kepekaan sosil yang tinggi.[63]
Keenam, pendidikan dalam Islam harus mampu mengembangkan sumber daya manusia berkualitas yang dilandasai dengan nilai-nilai ilahiyah, kemanusian (insaniyah), masyarakat, lingkungan, dan berbudaya-berperadaban.Pendidikan dalam Islam harus berupaya untuk: (1) mengembangkan konsep pendidikan  integralistik, yaitu pendidikan  secara utuh berorientasi pada Ketuhanan (Rabbaniyah), kemanusiaan (insaniyah) dan alam (cosmologis) pada umumnya (alamiyah) sebagai suatu yang integralistik bagi perwujudan kehidupan yang “rahmatan lil ‘alamin”; (2) mengembangkan konsep pendidikan humanistik, pendidikan berorieintasi dan memandang manusia sebagai manusia (humanisasi) dengan menghargai nilai-nilai asasi manusia, hak menyuarakan pendapat walaupun berbeda, mengembangkan potensi berpikir, berkemauan dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai Islami; (3)  mengembangkan konsep pendidikan pragmatis, memandang manusia sebagai makhluk yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya baik jasmani maupun rohani. Mewujudkan manusia yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan peka terhadap masalah-masalah kemanusiaan; (4) mengembangkan konsep pendidikan yang berakar pada budaya,  akan dapat mewujudkan manusia yang mempunyai kepribadiaan, harga diri, percaya pada kemampuan sendiri, membangun budaya berdasarkan budaya sendiri dan berdasarkan nilai-nilai ilahiyah.[64]
Kata akhir dari makalah ini, perlu diperhatikan bahwa kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan efek yang ditimbulkan pada era globalisasi yang harus dihadapi oleh Pendidikan Islam seperti persaingan bisnis yang semakin ketat,nilai-nilai agama yang semakin kabur (dekadensi moral), pergaulan bebas (free sex) membawa penyakit HIV/AIDS, LGBT, rusaknya kelembagaan keuangan, maraknya korupsi yang membudaya, penyalah gunaan obat, maraknya intoleransi, krisis kepribadian atau karakter, dan penyakit social lainnya. Menghadapi problem yang demikian, Pendidikan Islam tidak dapat menghadapinya dengan model-model pembelajaran seperti yang ada sekarang ini. Makapendidikan dalam Islam harus terus menerus melakukan inovasi, sambil memperbaiki kelemahan yang ada, dan melakukan langkah-langkah baru kearah perbaikan[65]yang menyeluruh-komprehensif.
Dari sisi pengembangan keilmuan dan berbagai macam problem yang muncul, maka “jelas tidak dapat direspon hanya dengan ilmu-ilmu yang sudah mapan dilembaga pendidikan Islam seperti fiqih, ilmu kalam, tasawuf, aqidah-akhlak, tarikh dan lain sebagainya. Ilmu-ilmu tersebut tidak dapat menjawab persoalan aktual lingkungan hidup sekarang ini”.[66] Meminjan istilah M. Amin Abdullah[67]  adalah menggunakan perspektif “outward looking”,[68]   memahami apa yang berkembang dalam dunia global dan “teknologi informasi” saat ini dan kemudian untuk mengantisipasi dengan upaya perbaikan ke dalam. Pendidikan dalam Islam harus membuka diri (outward looking) untuk bersentuhan dengan ilmu-ilmu kealaman (natural sciences), social (social scienes), humaniora, HAM, keadilan gender, dan sebagainya.
Pendidikan dalam Islam tidak dapat berkembang dengan cepat, bila selalu menggunakan perspektif inward looking. Pendidikan dalam Islam membuka diri dengan menggunakan perspektif outward looking.  Dengan dasar ini, maka Fakultas Tarbiyah dan Keguruan harus mengembangkan pola keilmuan yang sedikit keluar dari “mainstream” ilmu-ilmu  yang sudah mapan tersebut.  Bila tidak, maka “Fakultas Tarbiyah justru menjadi problem (problem maker) bagi pengembangan Pendidikan Islam, karena selalu mereproduksi tenaga-tenaga Pendidikan Islam yang tidak kompeten”.[69] Untuk itu, Fakultas Tarbiyah dan keguruan harus memproduksi tenaga guru Pendidikan Agama Islam yang kompoten-propfesional dengan memiliki keilmuan memadai yang credible (dapat dipercaya), capable (cakap-mampu), confidence (percaya diri), communicative (berkomunikasi secara efektif), dan uswah (berkepribadian, berakhlak mulia). Jadilah guru dalam pembelajaran menyemai (menanam-menaburkan-benih) nilai-nilai agama yang inklusif, proses pendidikan agama moderat, menjadi figur (uswah),ajarkan bahwa Islam itu adalah agama kasih sayang Allah Swt sebagai ramatan lil ‘alamin.


IV
PENUTUP

Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa prinsip pendidikan dalam Islamtransformatifadalah pendidikan yang terbuka, adil, tanpa diskriminasi, peka terhadap setiap perbedaan, relevan dan akomodatif, bersifat inovatif, fleksibel, mengoptimalkan dan mengefektifkan potensi peserta didik dengan potensi lingkungan.Mengembangkan konsep pendidikan yang menempatkan penghormatan kepada hak asasi manusia.Pendidikan yang diorientasikan pada upaya proses pembebasan,  pencerdasan,  menjunjung tinggi hak-hak anak, pemberdayaan potensi,  menjadikan anak berwawasan integratif, membangun watak persatuan,menghasilkan manusia demokratik, pendidikan yang menghasilkan manusia perduli terhadap lingkungan.
Pendidikan dalam Islam membuka diri (outward looking) untuk memahami apa yang terjadi dan berkembangan di dunia global dan kemudian mengantisipasi dengan melakukan perubahan. Membuka diri untuk bersentuhan dengan ilmu-ilmu kealaman (natural sciences), ilmu-ilmu sosial (social scienes), humaniora, HAM, keadilan gender, dan sebagainya.Maka yang dilakukan dalam mengembangkan Pendidikan Islam transformatif adalah mengintegrasikan sikap inklusif dalam sivitas akademika, mengintegrasikan-interkoneksitas-interkorelasi ilmu-ilmu Pendidikan Agama Islam dengan non-pendidikan agama. Pendidikan Islam transformatif harus membangun, memupuk budaya toleran, perduli, dan menerima keperbedaan kelompok, golongan, mazhab, dan pemahaman atau penafsiran. Selain itu jangkauan toleransi juga diperluar sampai dengan antar negara.





DAFTAR PUSTAKA

Abd   Abdullah, M. Amin, 2004, Kata Pengantar: dalam buku: Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, Ar-Ruzz Media, Jogjakarta.
___     __,2004, Normativitas dan Historisitas, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
___     __,2006, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, Cetakan I,  Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
___   __,2015, Pengantar dalam buku Jasser Audada, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, terjemahan: Rosidin dan Ali Abd el-Mun’im, Mizan, Bandung.
Achmadi, 1984, Ilmu Pendidikan; Suatu Pengantar, CV. Saudara Salatiga.
___   __,2005, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
ArAr   Arum, Khusni, 2017, “Pengembangan Pendidikan Agama Islam Berbasis Profetik (Analisis Terhadap Pemikiran Kuntowijoyo)”, Tesis: Proram Pascasarjana FIAI UII, Yogyakarta.
           Barnadib, Imam, 2002, Filsafat Pendidikan, AdiCita, Yogyakarta.


Fadjar,A.Malik, 1999, Reformasi Pendidikan Islam, Fajar Dunia, Jakarta.
Gazali, Hatim, “Agama dalam Cetakan Baru”, http://islamlib.com/id/index.php?page=article.
Hartini dan G Kartasaputra, Gulo, 1992, Kamus Sosiologi dan Kependudukan, Bumi Aksara, Jakarta.
http://www.ilmusaudara.com/2016/05/pengertian-qiyas-contohnya-dan-motif.html#, pada Sabtu, 8 April 2017, jam.10.20 WIB.
https://www.academia.edu/8745022/Pengembangan Kurikulum dalam_teori_dan_praktik.
http://syaamilquran.com.
Hodgson, Marshall G. S., 1974, Rethinking World History: Essays on Europe, Islam and World ... The University of Chicago Press, Chicago.
Hornby, AS, 1982, Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English, Oxford University Press, tt., New York.
Ismail, Faisal, 1998, Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis, Tiara Ilahi Press, Yogyakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus versi online/daring (dalam jaringan), http://kbbi.web.id/eskatologis, akses, Selasa, 10 November 2015, jam.20.15 WIB.
Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) online, dikutip dari https://artikbbi.com/transformatif/, diakses pada Rabu, 24 Januari 2018, jam. 09.03 WIB.
Karim,M. Rusli,1991, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia”, dalam Musih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta, PT. Tiara Wacana,Yogyakarta.
Khalil, Suhadi, http://www.satuharapan.com/read-detail/read/pendidikan-agama-monore ligius-inklusif.
Kuntowijoyo, 1991,  Paradigma Islam:  Interpretasi untuk Aksi, Cet. I, Mizan, Bandung.
Konsep Pendidikan Inklusif, Kementerian Pendidikan dan Kebudayan. 2015. Pendidikan Inklusif dan Perlindungan Anak. Bahan Pelatihan Peningkatan Kompetensi bagi Pengawas Sekolah dan Kepala Sekolah Tahun 2015.
Mas’ud, Abdurrahman, 2007, “Kata Sambutan”, dalam Buku: Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, Graha Ilmu,Yogyakarta.
Mastuhu, 1999, Pemberdayaan Sistem Pendidikan Islam, Strategi Budaya Menuju Masyarakat Akademis, Cet. Pertama, Logos Wacana Ilmu, Jakarta.
Muhaimin, 2012, Paradigma Pendidikan Islam, Rosdakarya, Bandung.
Mulkhan,Abdul Munir,1993, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filasat Pendidikan Islam dan Dakwah, Sipress, Yogyakarta.
_____,2000, “Humanisasi Pendidikan Islam”, dalam Tashwirul Afkar, No 11.
Nasution, S., 1990, Asas-Asas Kurikulum,  Penerbit Jemmars, Bandung.
Nuryanto, M. Agus, 2008, Mazhab Pendidikan Kritis, Menyikapi Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, Resist Book, Yogyakarta.
Priyono, AE., 2013, “Menganalisis, Oposisi, dan Integrasi Islam Indonesia (Menyimak Pemikiran Dr. Kuntowijoyo)”, Pengantar buku Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung.
Proposal “Seminar Pendidikan Agama Islam Tema Pendidikan Islam Tranformasi”,  Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon.
Rahman, Fazlur, 1982,  Islam& Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition,The University of Chicago Press, Chicago., terj. Ahsin Mohammad, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, Pustaka, Bandung.
Rembangy, Musthofa, 2010, Pendidikan transformatif, Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi, Cet. II, Teras, Yogyakarta.
Rosyidi, Imron, 2009, “Pendidikan Berparadigma Inklusif: Upaya Memadukan Pengokohan Akidah Dengan Pengembangan Sikap Toleransi dan Kerukunan”,  UIN Malang Press, Malang.
Sanaky,Hujair AH., 2003, Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani Indonesia, MSI dan Safiria Insania Press, Yogyakarta.
_____,2008, “Permasalahn dan Penataan Pendidikan Islam Menuju Pendidikan Yang Bermutu”, dalam El-Tarbawi, Jurnal Pendidikan Islam, No. 1 Vol. 1. 2008, ISSN:1979-9985, Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam UII, Yogyakarta.
______,2015, “Tantangan Pendidikan Islam Di Era Reformasi dan Informasi, Perubahan Paradigma Pendidikan Islam Di Indonesia”,  Makalah disampaikan dalam Formulasi Konsep Dan Implementasi Pendidikan Islami Pada Lembaga Pendidikan Di Aceh Majelis Pendidikan Daerah Aceh  Banda Aceh – Indonesia, 14 – 15 November 2015.
______,2015, Pembaruan Pendidikan Islam: Paradigma, Tipologi, dan Pemetaan Menuju Masyarakat Madani Indonesia, Kaukaba Dipantara, Yogyakarta.
______,2016, Dinamika Perkembangan Pendidikan Islami di Indonesia,Kaukaba Dipantara, Yogyakarta.
Soyomukti,Nurani,2010, Teori-teori Pendidikan (Tradisonal, neo-liberal, marxis-sosialis, post modern), Cet.I, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta.
Sugiyanto, 2004, “Reposisi Kesadaran Kritis”, Jurnal Edukasi,.II, 1, Januari.
Tilaar, H.A.R, 2002, Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Gramedia, Jakarta.
______,dan Riat Nugroho, 2009, Kebijakan Pendidikan (Pengantar untuk memahami kebijakan Pendidikan dan kebijakan Pendidikan sebagai kebijakan public), cet.II, Pustaka Pelajar,  Yogyakarta.
Widodo,Sembodo Ardi,2007, “Problematika Pendidikan Islam (Suatu Tinjauan dari Aspek Epistemologi)”, dalam Abdur Rahman Assegaf, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia, Suka Press, Yogyakarta.




[1]  Makalah ini disampaiakan pada acara Seminar Nasional dengan tema “Pendidikan Islam Transformatif” diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, pada Jumat, 9 Februari 2018.
[2] Hujair AH. Sanaky, Dr. MSI, adalah Ketua Program Pascasarana, Dosen Program Pascasarjana FIAI UII, Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam FIAI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Tercatat sebagai dosen Tetap Universitas Islam Yogyakarta sejak tahun 1983-1984 sampai sekarang.
[3] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: AdiCita, 2002), hlm. Hlm. 1., dan baca: Hujair AH. Sanaky, Dinamika Perkembangan Pendidikan Islami di Indonesia, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2016), hlm.2.
[4] Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan (Tradisonal, neo-liberal, marxis-sosialis, post modern), Cet.I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 27.
[5] H.A.R. Tilaar dan Riat Nugroho, Kebijakan Pendidikan (Pengantar untuk memahami kebijakan Pendidikan dan kebijakan Pendidikan sebagai kebijakan public), cet.II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 21.
[6] Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: MSI dan Safiria Insania Press, 2003), hlm. 4.
[7] Hujair AH. Sanaky, “Tantangan Pendidikan Islam Di Era Reformasi Dan Informasi, Perubahan Paradigma Pendidikan Islam Di Indonesia”,Makalah disampaikan dalam Formulasi Konsep Dan Implementasi Pendidikan Islami Pada Lembaga Pendidikan Di Aceh Majelis Pendidikan Daerah Aceh  Banda Aceh – Indonesia, 14 – 15 November 2015.
[8] Sumber: Proposal “Seminar Pendidikan Agama Islam Tema Pendidikan Islam Tranformasi”,  Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon.
[9] Paradigma merupakan suatu skema konseptual yang dengannya seorang ilmuan memandang persoalan yang diteliti dan metode yang digunakan untuk memecahkan persoalan itu terutama ditentukan oleh paradigma yang relevan. Paradigma itu secara historis selalu berubahubah dan berubahnya kadang sangat tiba-tiba serta mencolok, dalam hal ini (paradigma) membagi dua kegiatan penemuan ilmiah; puzzle solving dan penemuan paradigma baru. Dalam puzzle solving para ilmuan mengadakan penelitian dan observasi. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan masalah menimbulkan konflik suatu paradigma baru harus ditemukan. Paradigma baru inilah yang pada nantinya yang akan mencetuskan perubahan besar dalam ilmu pengetahuan. Lihat Sugiyanto, “Reposisi Kesadaran Kritis”, Jurnal Edukasi,.II, 1, Januari, 2004. hlm. 14.
[10]Eskatologis/es·ka·to·lo·gis/éskatologis/ a “mengenai hal-hal terakhir”, seperti kematian, hari kiamat, kebangkitan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus versi online/daring (dalam jaringan), http://kbbi.web.id/eskatologis, akses, Selasa, 10 November 2015, jam.20.15 WIB.
[11]Hujair AH. Sanaky, “Tantangan Pendidikan Islam Di Era Reformasi dan Informasi, Perubahan Paradigma Pendidikan Islam Di Indonesia”,Makalah disampaikan dalam Formulasi Konsep dan Implementasi Pendidikan Islami Pada Lembaga Pendidikan Di Aceh Majelis Pendidikan Daerah Aceh  Banda Aceh – Indonesia, 14 – 15 November 2015.
[12]Abdurrahman Mas’ud, “Kata Saambutan”, dalam Buku: Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm.viii.
[13]A.Malik Fadjar, Reformasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), hlm. 28.
[14]Mastuhu, Pemberdayaan Sistem Pendidikan Islam, Strategi Budaya Menuju Masyarakat Akademis, Cet. Pertama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),  hlm. 31-32.
[15] A. Malik Fadjar, Reformasi Pendidikan…, hlm. 41.
[17] Abdurrahman Mas’ud, “Kata Sambutan”,…, hlm. Ix.
[19]Fazlur Rahman, Islam & Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, terj. Ahsin Mohammad, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, (Bandung: Pustaka, 1982), hlm. 42.
[20] Abdurrahman Mas’ud, “Kata Sambutan”,…, hlm. Ix.
[21]Baca: Hujair AH. Sanaky, Dinamika Perkembangan…, hlm. 4.
[22]Baca: Sembodo Ardi Widodo, “Problematika Pendidikan Islam (Suatu Tinjauan dari Aspek Epistemologi)”, dalam Abdur Rahman Assegaf, dkk.,Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Suka Press, 2007), hlm. 27., dan  baca: M. Agus Nuryanto, Mazhab Pendidikan Kritis, Menyikapi Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Resist Book, 2008), hlm.91.
[23]Baca: M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, Cetakan I,  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 110.
[24]Baca: Sembodo Ardi Widodo, Problematika Pendidikan Islam:…, hlm.27.
[25]Baca: Qiyas menurut istilah ushul fiqhi, ialah menyamakan suatu masalah yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam nash (Al-Qur'an dan Sunnah), karena adanya persamaan illat hukumnya (motif hukum) antara kedua masalah itu. Pengertian Qiyas, Contohnya dan Motif Hukumnya serta Rukun Unsurnya, dikutip dari http://www.ilmusaudara.com/ 2016/05/pengertian-qiyas-contohnya-dan-motif.html#, pada Sabtu, 8 April 2017, jam.10.20 WIB.
[26]Baca: Amin Abdullah, Pengatar dalam buku Jasser Audada, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, terjemahan: Rosidin dan Ali Abd el-Mun’im, (Bandung: Mizan, 2015), hlm.15.
[27]Hatim Gazali, Agama dalam Cetakan Baru,http://islamlib.com/id/index.php?page=article, hlm.2.
[29]Imron Rosyidi, Pendidikan Berparadigma Inklusif: Upaya Memadukan Pengokohan Akidah Dengan Pengembangan Sikap Toleransi dan Kerukunan, (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 51
[30]Lihat:  http://liputanislam.com/kajian-islam/telaah/pendidikan-agama-inklusif/
[31]Marshall G. S. Hodgson,Rethinking World History: Essays on Europe, Islam and World ... (Chicago: The University of Chicago Press, 1974)hlm.83 .
[32]Lihat: https://www.academia.edu/8745022/Pengembangan Kurikulum dalam _teori_dan_praktik.
[33] Lihat Amin Abdullah, Normativitas dan Historisitas,(Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 2004), hlm.  51
[34]Konsep Pendidikan Inklusif, diambil dan disarikan dari: Kementerian Pendidikan dan Kebudayan. 2015. Pendidikan Inklusif dan Perlindungan Anak. Bahan Pelatihan Peningkatan Kompetensi bagi Pengawas Sekolah dan Kepala Sekolah Tahun 2015.
[35]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2012), hlm. 80-81.
[36]Dalam kamus Sosiologi dikatakan bahwa transformasi berasal dari kata transformation yang artinya perubahan, sedangkan transformasi social berarti perubahan menyeluruh dalam bentuk, rupa, sifat, watak dan sebagainya dalam hubungan timbale balik antar manusia, baik sebagai individu-individu maupun kelompok-kelompok. Lihat Hartini dan G Kartasaputra, Gulo, Kamus Sosiologi dan Kependudukan (Jakarta: Bumi Aksara, 1992 ), hlm. 427, lihat juga AS Hornby, Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English (New York: Oxford University Press, tt.) hlm. 1382
[37]Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) online, dikutip dari https://artikbbi.com/transformatif/, diakses pada Rabu, 24 Januari 2018, jam. 09.03 WIB.
[38]H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatifuntuk Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 152.
[39]Musthofa Rembangy, Pendidikan transformatif, Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi, Cet. II, (Teras, Yogyakarta: 2010), hlm., 89.
[40]Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar , 2005), hlm. 158.
[41]Hujair AH Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam:…, hlm. 125.
[42]Ibid.
[43]H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan:…,hlm.262-263.
[44]Abdul Munir Mulkhan, “Humanisasi Pendidikan Islam” dalam Tashwirul Afkar, No 11, tahun 2000
[45]Setidaknya ada lima ciri manusia yang memiliki kesalehan individual dan sosial yang dapat diukur, yaitu; (1) manusia yang memiliki semangat spiritualitas tinggi, diwujudkan dalam sikap kepercayaan dan kepatuhan kepada yang gaib, yaitu Allah; (2)  selalu terikat dan mematuhi norma-norma, hukum, etika, yang diujudkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu melaksanakan salat; (3) memiliki kepedulian sosial, yaitu sikap kesanggupan berbagi, menolong terhadap golongan yang lemah; (4) memiliki sikap toleran, sikap mengahargai sesama manusia, sikap solidaritas sosial, sebagai salah satu perwujudan dari dimensi keimanan; dan (5) berorientasi ke depan, sebagai salah satu konsekuensi dari keimanan terhadap adanya hari akhir. (http://syaamilquran.com).
[46]   Baca: Kuntowijoyo,  Paradigma Islam:  Interpretasi untuk Aksi, Cet. I, (Bandung: Mizan, 1991), dan baca juga: AE. Priyono, “Menganalisis, Oposisi, dan Integrasi Islam Indonesia (Menyimak Pemikiran Dr. Kuntowijoyo)”, pangantar buku Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2013), hlm. 59-60.
[47]Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: pengantar Filasat PendidikanIslam dan Dakwah ( Yogyakarta: Sipress, 1993), hlm 234
[48]M. Rusli Karim, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, DalamMusih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: PT. TiaraWacana, 1991), hlm. 39.
[49]M. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis,…, hlm. 1.
[50]Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam:…,hlm. 123-124.
[51]Baca: Khusni Arum, “Pengembangan Pendidikan Agama Islam Berbasis Profetik (Analisis Terhadap Pemikiran Kuntowijoyo)”, Tesis: Proram Pascasarjana FIAI UII, 2017, Yogyakarta, hlm.21.
[52]Lihat Wiliam F. O”neil, Ideologi-ideologi Pendidikan, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. xvi.
[54]Hujair AH. Sanaky, Pembaruan Pendidikan Islam:…, hlm.53.
[55]Achmadi, Ilmu Pendidikan; Suatu Pengantar, (Salatiga: CV. Saudara Salatiga, 1984),hlm. 159
[56]Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis, (Yogyakarta:Tiara Ilahi Press,1998),hlm. 97-98., dan baca: Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam:…, hlm. 125.
[57]Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonbesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hlm. 125.
[58]Hujair AH. Sanaky, Dinamika Perkembangan Pendidikan Islami…, hlm.7-9.
[59]Hujair AH. Sanaky, Dinamika Perkembangan Pendidikan Islami…, hlm.8-9.
[60]Ibid. hlm.9.
[61]S. Nasution, 1990, Asas-Asas Kurikulum, (Bandung:  Penerbit Jemmars, 1990), hlm.162.
[62]Hujair AH. Sanaky, “Permasalahn dan Penataan Pendidikan Islam Menuju Pendidikan Yang Bermutu”, dalam El-Tarbawi, Jurnal Pendidikan Islam, No. 1 Vol. 1. 2008, ISSN:1979-9985, (Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam UII, 2008), 89-90.
[63]Sudjarwadi, “Ubah Wajah UGM dengan Jiwa Kepemimpinan”, Kedaulatan Rakyat, 5 Januari 2003, hlm.10.
[64]Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam,…, hlm. 301.
[65]Baca: Amin Abdullah, Kata Pengantar: dalam buku: Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), hlm.xi.
[66]Ilmu-ilmu tersebut tidak dapat menjawab persoalan aktual lingkungan hidup seperti penggundulan hutan, efek rumah kaca, pencemaran limbah beracun, polusi udara dan yang lainnya. Padahal masalah-masalah tersebut konkret terjadi di sekeliling kita. Amin Abdullah, Kata Pengantar: dalam buku: Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), hlm.xi.
[67]Prof. Dr. M. Amin Abdullah, adalah Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[68]Amin Abdullah, Kata Pengantar: dalam buku:…,hlm.xi.
[69]Ibid. hlm. xiii.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar