TANTANGAN
PENDIDIKAN ISLAM DI ERA REFORMASI DAN INFORMASI,
PERUBAHAN
PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Hujair
AH. Sanaky, Dr., MSI
1. Pendahuluan
Era reformasi ditandai dengan tergulingnya reszim pemerintahan Soeharto, dibarengi dengan krisis moneter, ekonomi, dan politik
telah mendorong arus pembaruan dalam semua aspek kehidupan (Hujair AH. Sanaky, 2015:1). Pembaruan dan reformasi[2] telah menggerakkan perubahan dalam semua aspek
kehidupan, bahkan berdampak pada euforia[3] kebebasan yang nyaris kebablasan.[4] Era reformasi, selain
memberikan harapan besar hadirnya kebebasan, keamanan, dan kenyaman untuk
hidup di bumi pertiwi Indonesia ini.
Euforia reformasi telah menggiring keinginan publik untuk
membongkar banyak hal dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia, termasuk bidang
pendidikan, walaupun sampai saat ini reformasi belum menunjukkan hasil dan
perubahan yang signifikant. Kondisi krisis moneter dengan kompetisi bebas di
ambang pintu dan sudah dimulai, situasi politik yang kurang kritis dan
demokratis, juga ikut membawa perubahan pada kehidupan masyarakat Indonesia. Melihat
kenyataan ini, maka ada baiknya
kita berfikir sejenak tentang kondisi
dan pengkondisian Sumber Daya Manusia yang ada di Indonesia.
Tanpaknya wajah pendidikan kita di Indonesia harus
dirubah, sebab proses perjalanan peradaban modern bangsa ini ke masa depan akan
bergerak di atas peralatan yang amat rapuh. Katakan saja ada 88.8 persen
sekolah di Indonesia, mulai dari SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar
pelayanan minimal. Berdasarkan data yang
ada, 40.31 persen dari 201.557 sekolah di Indonesia berada di bawah standar
pelayanan minimal, 48.89 persen pada posisi standar pelayanan minimal, dan
10.15 persen yang memenuhi standar nasional pendidikan. Katakan saja,
sekolah-sekolah yang dinilai mampu bersaing dengan mutu pendidikan
negara-negara lain, yang selalu disebut dengan istilah rintisan sekolah
bertaraf internasional hanya 0.65 persen.
Tercatat sekitar 3,600 perguruan tinggi swasta dan hanya 92 perguruan tinggi
negeri. Dari jumlah itu terdapat 6.000 program studi yang belum terakreditasi (Kompas,
18/5/2012), 42 persen dari semua
tenaga pengajarnya masih berpendidikan S-1. Hanya 6-7 persen dari semua program
studi yang terakretitasi A (Hafid
Abbas, 2015:7). Inilah kondisi dan realitas pendidikan di Indonesia yang
sangat memprihatinkan.
Saat ini pendidikan di Indonesia berhadapkan dengan perkembangan dunia yang
semakin terbuka dan transfaran. Hal-hal yang tadinya
tidak mungkin menjadi mungkin, hal-hal yang tadinya tabu sekarang menjadi
profan dan massal. Apa yang terjadi kadang-kadang sulit diprediksi. Muncul pertanyaannya, siapkah kita untuk menghadapi
kompetisi bebas dalam dunia reformasi dan globalisasi? Untuk menjawab
pertanyaan ini, tentu saja setiap orang akan memberikan respon
menurut sudut pandangnya masing-masing. Ada yang dengan lantang menyatakan siap menghadapi
perubahan tersebut dengan “persiapan” yang mungkin kurang memadai. Ada pula dengan suara yang “kurang optimis” menyatakan
belum siap dengan berbagai perubahan. Biarlah perubahn itu terjadi. Sementara kita menghadapi percepatan perkembangan teknologi informasi comunikasi yang begitu cepat, menyebabkan terjadi beberapa
konsekuensi logis seperti percepatan aliran ilmu pengetahuan, dan tentu saja akan menjadi ancaman bagi sistem
pendidikan yang selama ini berjalan.
2.
Peran Teknologi Informasi
Dunia
pendidikan sekarang sudah begitu maju seiring dan atau mengikuti irama kemjuan teknologi Informasi. Paradigma pendidikan
sudah berubah, karena siswa pada era sekarang adalah generasi yang terlahir
sebagai “digital native” (terlahir dalam dunia digital), sementara para guru dan dosen sekarang ini terlahir sebagai
“pemakai perangkat digital” (“digital immigrant”). Ini berarti telah terjadi perubahan paradigma
pendidikan dalam artian proses pendidikan dituntut untuk menyesuaikan dengan
perkembangan teknologi informasi khususnya dalam bidang pembelajaran.
Perkembangan informasi comunikasi teknologi, telah terjadi perubahan, terjadi
beberapa pergesaran mendasar dan drastis terhadap paradigma pendidikan. Laju perkembangan pesat di dunia teknologi informasi,
khususnya “teknologi informasi internet” yang pada akhirnya
mempercepat aliran ilmu pengetahuan menembus batas-batas dimensi wilayah, giografi, ruang, birokrasi, kemapanan dan waktu.
Kita perlu menyadari bahwa “teknologi informasi” bukan hanya ilmu
pengetahuan yang dapat di transmisikan pada kecepatan tinggi akan tetapi juga
data dan informasi lain. “Kemampuan” dan “kesempatan” untuk mengakumulasi,
mengolah, menganalisis, mensintesa data menjadi informasi, kemudian menjadi
ilmu pengetahuan yang bermanfaat sangatlah penting artinya dalam dunia
informasi saat ini. Tentu saja, kondisi ini akan berpengaruh pada
kebiasaan dan budaya pendidikan yang
selama ini dilakukan.
Dewasa
ini masyarakat dan bangsa Indonesia menghadapi tantangan perkembangan ilmu
pengetahuan yang menunjukkan percepatan
sangat drastis. Akan
menjadi indikator tantangan pembaruan dan pengembangan kurikulum pendidikan,
termasuk pendidikan Islami. Misalnya saja, perkembangan
teknologi “informasi internet” merupakan faktor pendukung utama percepatan yang memungkinkan tembusanya batas-batas
dimensi ruang dan waktu serta akan
berpengaruh pada paradigma pendidikan termasuk program kurikulum. Paradigma pendidikan lama dimana ilmu
pengetahuan terpusat pada lembaga pendidikan formal, dengan program kurikulum
yang muatannya terlalu berat,
berorientasi pada pada produk belajar,
bukan pada proses belajar, didominasi
oleh masalah-masalah yang bersifat normatif, ritual dan eskatologis (hal-hal terakhir) (http://kbbi.web.id/eskatologis),[5] akan
mulai tergeser dengan paradigma pendidikan baru.
Kenapa demikian, karena “semakin
pesatnya aktivitas manusia di muka bumi,
maka menjadikan informasi sebagai kata
kunci dalam meraih kesuksesan maupun tujuan” (Irwan Prayitno,http://www.irwanprayitno.or.id/a/0203/1101.html,akses,1/8/2003).Katakan saja, keterlambatan kita dalam menerima dan mengakses informasi
boleh jadi akan berakibat lepasnya harapan atau peluang yang akan dicapai.
Begitu juga sebaliknya, kecepatan dalam menerima dan mengakses informasi akan
memperbesar peluang, harapan, mengefisienkan dan mengefektifkan kerja-kerja
yang ada ataupun aktivitas lainnya, bahkan meningkatkan produktivitas
sekalipun. Seiring dengan semakin meningkatnya peranan informasi
dalam berbagai aktivitas kehidupan maupun teknologi, akses terhadap sumber dan
jaringan informasi menjadi semakin penting bagi siapapun. Informasi Comunikasi Teknologi internet[6]
(interconnection networking) adalah
jaringan komunikasi global yang terbuka dan menghubungkan jutaan bahkan
milyaran jaringan komputer dengan berbagai tipe dan jenis, dengan menggunakan
tipe komunikasi seperti telepon, satelit dan lain sebagainya (http://nesabamedia.com/pengertian-fungsi-dan-manfaat-internet/,akses,Selasa,10-11-2015,
jam,13.45 WIB). Jaringan informasi yang berkembang sangat pesat dan dapat
dikatakan sebagai jaringan informasi terbesar di dunia pada saat ini dan kini
internet telah digunakan oleh jutaan manusia dengan berbagai tujuan.
Salah satu manfaat teknologi informasi adalah diperoleh melalui kerjasama antar individu atau kelompok yang tak mengenal batas jarak dan waktu. Mungkin saja akan terjadi, seseorang tidak perlu mengunjungi sebuah tempat kuliah karena bahan-bahannya sudah tersedia di internet, cukup men-download saja. Disinilah kelebihan teknolofi informasi internet sebagai wadah penyebaran informasi. Ada sarana lain seperti alat komunikasi via satelit (wireless) yang juga perkembangannya sangat pesat saat ini maupun berbagai software ataupun hardware lainnya yang ikut mempengaruhi budaya, cara berpikir, dan bertindak pada era informasi ini. Perkembang media teknologi informasi telah mengakibatkan terciptanya dunia tanpa batas negara. Informasi dapat tersampaikan ke seluruh pelosok hanya dalam hitungan menit, bahkan detik. Setiap kejadian yang ada di dunia, kini dapat diketahui oleh hampir seluruh penduduk dunia dalam hitungan menit.
Kondisi yang dipaparkan di atas, merupakan peluang dan sekaligus tantangan bagi pendidikan Islam. “Peluang yang terlihat adalah besarnya kemungkinan untuk menyebarkan nilai-nilai Islami ke seluruh pelosok dunia dengan menggunakan biaya minimal namun hasilnya maksimal”(Ibid,From:http://www.irwanprayitno.or.id/a/0203/1101.html). Katakan saja internet akan menjadi alat penyebaran bagi perangkat teknologi informasi. Lembaga-lembaga pendidikan Islam dapat mendisain program-program seperti pengajaran Al-Qur'an, ceramah-ceramah ulama, kajian-kajian agama Islam yang ada kaitannya dengan pengajaran pendidikan Islam yang dapat di download dengan mudah oleh siapa saja dari seluruh negara. Sedangkan, “tantangan yang akan muncul dari perkembangan teknologi informasi adalah “persoalan nilai” dan informasi itu sendiri. Artinya,“penyampaian berita-berita ataupun informasi yang bersifat mendistorsikan ajaran Islam, menjerumuskan umat melalui informasi yang salah”(Ibid,From:http://www.irwanprayitno.or.id/a/0203/1101.html), atau informasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islami. Pada posisi ini, pendidikan Islam ditantang untuk melakukan upaya-upaya yang dapat meluruskan berbagai penyimpangan tersebut.
Teknologi informasi dapat menjadi media yang efektif dan berperan signifikan dalam menyampaikan pengajaran pendidikan Islam ke seluruh penjuru dunia dalam upaya menghadapi “perang pemikiran” yang semakin meluas dari setiap lini kehidupan, karena semakin terasa bahwa betapa media teknologi informasi harus menjadi media untuk mengcounter segala aspek pemikiran yang distortif terhadap nilai-nilai Islam.
Hemat penulis, pendidikan Islam tidak terlepas dari dan sangat membutuhkan media teknologi informasi dalam mensosialisasikan pengajaran dan pendidikan Islam. Pendidikan Islam sangat membutuhkan media teknologi informasi untuk menginformasikan nilai-nilai Islami. Perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah pendidikan Islam yang sifatnya lebih kepada “sektor informal”. Dalam sektor ini tidak melihat usia penggunanya, sehingga teknologi informasi dapat membantu akselerasi perkembangan Islam, terutama masalah pendidikan antar negara. Katakan saja, globalisasi yang selalu dikonotasikan dengan “penyebaran budaya” secara cepat dan di sisi lain dapat juga berarti penyampaian informasi nilai-nilai Islama secara cepat bila kita mampu merubah paradigma yang saat ini sudah terlanjur lekat di masyarakat.
Fenomena yang menarik adalah penggunaan informasi dalam pendidikan Islam pada sektor formal semakin semarak dan tak kalah pentingnya. “Hal ini mengingat keterbatasan jangkauan dari “sektor formal” untuk menjangkau umat yang berada di seluruh permukaan bumi dalam menikmati proses pendidikan Islam yang “formal”. Seseorang yang mau belajar tidak perlu datang ke suatu tempat yang jauh dari tempat tinggalnya untuk menjalani pendidikan “formal”. Dia hanya cukup mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk mendapatkan materi-materi pendidikan, melalui situs-situs yang memuat tulisan-tulisan tentang ke-Islam-an.
Teknologi informasi pada saat ini berperan sebagai media akselerator bagi berbagai informasi yang berkaitan dengan persoalan-persoalan ke-Islam-an dalam berbagai aspek, tak terkecuali adalah aspek pendidikan di dalamnya. Peran vital dari “teknologi informasai internet”, kini semakin dirasakan oleh sebagian umat Islam yang memiliki kesempatan dan kemampuan untuk itu. Dapat kita saksikan berbagai situs-situs Islam semakin hari semakin bertambah banyak dan terdiri dari berbagai macam jenis, baik dari institusi pendidikan sampai dengan hal-hal yang sifatnya hiburan. Keragaman situs ini, menunjang sebagai upaya untuk penyampaian dan mensosialisasikan nilai-nilai Islam ke tengah masyarakat pada era ini. Contohnya; situs Isnet yang menyediakan materi-materi ke Islam an ditambah dengan berbagai fasilitas yang disediakan seperti mailing list, perpustakaan atau kolom tanya jawab. Setiap orang dengan mudah dapat mengakses situs ini, mendapatkan berbagai hal yang menyangkut tentang Islam. Disamping situs, mailing list Islam juga banyak muncul bagaikan cendawan yang tumbuh di musim hujan seiring dengan meningkatnya jumlah anggota maling list tersebut. Fenomena ini menggambarkan betapa peran media teknologi informasi semakin signifikan dalam penyebaran nilai-nilai Islami (Irwan Prayitno,From:http://www.irwanprayitno.or.id/a/ 0203/1101.html,akses,12/8/2003).
Salah satu manfaat teknologi informasi adalah diperoleh melalui kerjasama antar individu atau kelompok yang tak mengenal batas jarak dan waktu. Mungkin saja akan terjadi, seseorang tidak perlu mengunjungi sebuah tempat kuliah karena bahan-bahannya sudah tersedia di internet, cukup men-download saja. Disinilah kelebihan teknolofi informasi internet sebagai wadah penyebaran informasi. Ada sarana lain seperti alat komunikasi via satelit (wireless) yang juga perkembangannya sangat pesat saat ini maupun berbagai software ataupun hardware lainnya yang ikut mempengaruhi budaya, cara berpikir, dan bertindak pada era informasi ini. Perkembang media teknologi informasi telah mengakibatkan terciptanya dunia tanpa batas negara. Informasi dapat tersampaikan ke seluruh pelosok hanya dalam hitungan menit, bahkan detik. Setiap kejadian yang ada di dunia, kini dapat diketahui oleh hampir seluruh penduduk dunia dalam hitungan menit.
Kondisi yang dipaparkan di atas, merupakan peluang dan sekaligus tantangan bagi pendidikan Islam. “Peluang yang terlihat adalah besarnya kemungkinan untuk menyebarkan nilai-nilai Islami ke seluruh pelosok dunia dengan menggunakan biaya minimal namun hasilnya maksimal”(Ibid,From:http://www.irwanprayitno.or.id/a/0203/1101.html). Katakan saja internet akan menjadi alat penyebaran bagi perangkat teknologi informasi. Lembaga-lembaga pendidikan Islam dapat mendisain program-program seperti pengajaran Al-Qur'an, ceramah-ceramah ulama, kajian-kajian agama Islam yang ada kaitannya dengan pengajaran pendidikan Islam yang dapat di download dengan mudah oleh siapa saja dari seluruh negara. Sedangkan, “tantangan yang akan muncul dari perkembangan teknologi informasi adalah “persoalan nilai” dan informasi itu sendiri. Artinya,“penyampaian berita-berita ataupun informasi yang bersifat mendistorsikan ajaran Islam, menjerumuskan umat melalui informasi yang salah”(Ibid,From:http://www.irwanprayitno.or.id/a/0203/1101.html), atau informasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islami. Pada posisi ini, pendidikan Islam ditantang untuk melakukan upaya-upaya yang dapat meluruskan berbagai penyimpangan tersebut.
Teknologi informasi dapat menjadi media yang efektif dan berperan signifikan dalam menyampaikan pengajaran pendidikan Islam ke seluruh penjuru dunia dalam upaya menghadapi “perang pemikiran” yang semakin meluas dari setiap lini kehidupan, karena semakin terasa bahwa betapa media teknologi informasi harus menjadi media untuk mengcounter segala aspek pemikiran yang distortif terhadap nilai-nilai Islam.
Hemat penulis, pendidikan Islam tidak terlepas dari dan sangat membutuhkan media teknologi informasi dalam mensosialisasikan pengajaran dan pendidikan Islam. Pendidikan Islam sangat membutuhkan media teknologi informasi untuk menginformasikan nilai-nilai Islami. Perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah pendidikan Islam yang sifatnya lebih kepada “sektor informal”. Dalam sektor ini tidak melihat usia penggunanya, sehingga teknologi informasi dapat membantu akselerasi perkembangan Islam, terutama masalah pendidikan antar negara. Katakan saja, globalisasi yang selalu dikonotasikan dengan “penyebaran budaya” secara cepat dan di sisi lain dapat juga berarti penyampaian informasi nilai-nilai Islama secara cepat bila kita mampu merubah paradigma yang saat ini sudah terlanjur lekat di masyarakat.
Fenomena yang menarik adalah penggunaan informasi dalam pendidikan Islam pada sektor formal semakin semarak dan tak kalah pentingnya. “Hal ini mengingat keterbatasan jangkauan dari “sektor formal” untuk menjangkau umat yang berada di seluruh permukaan bumi dalam menikmati proses pendidikan Islam yang “formal”. Seseorang yang mau belajar tidak perlu datang ke suatu tempat yang jauh dari tempat tinggalnya untuk menjalani pendidikan “formal”. Dia hanya cukup mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk mendapatkan materi-materi pendidikan, melalui situs-situs yang memuat tulisan-tulisan tentang ke-Islam-an.
Teknologi informasi pada saat ini berperan sebagai media akselerator bagi berbagai informasi yang berkaitan dengan persoalan-persoalan ke-Islam-an dalam berbagai aspek, tak terkecuali adalah aspek pendidikan di dalamnya. Peran vital dari “teknologi informasai internet”, kini semakin dirasakan oleh sebagian umat Islam yang memiliki kesempatan dan kemampuan untuk itu. Dapat kita saksikan berbagai situs-situs Islam semakin hari semakin bertambah banyak dan terdiri dari berbagai macam jenis, baik dari institusi pendidikan sampai dengan hal-hal yang sifatnya hiburan. Keragaman situs ini, menunjang sebagai upaya untuk penyampaian dan mensosialisasikan nilai-nilai Islam ke tengah masyarakat pada era ini. Contohnya; situs Isnet yang menyediakan materi-materi ke Islam an ditambah dengan berbagai fasilitas yang disediakan seperti mailing list, perpustakaan atau kolom tanya jawab. Setiap orang dengan mudah dapat mengakses situs ini, mendapatkan berbagai hal yang menyangkut tentang Islam. Disamping situs, mailing list Islam juga banyak muncul bagaikan cendawan yang tumbuh di musim hujan seiring dengan meningkatnya jumlah anggota maling list tersebut. Fenomena ini menggambarkan betapa peran media teknologi informasi semakin signifikan dalam penyebaran nilai-nilai Islami (Irwan Prayitno,From:http://www.irwanprayitno.or.id/a/ 0203/1101.html,akses,12/8/2003).
3. Konsekuensi Logis Percepatan Ilmu Pengetahuan
Perkembangan teknologi informasi, akan membawa beberapa
konsekuensi logis yaitu percepatan aliran ilmu pengetahuan yang akan menantang
sistem pendidikan konvensional yang selama ini berjalan, antara lain:
Pertama, sumber ilmu pengetahuan yang selama ini
dianggap terpusat pada institusi pendidikan formal yang konvensional, mungkin saja akan tergeser. Sumber ilmu pengetahuan akan tersebar dimana-mana dan setiap orang akan
dengan mudah memperoleh pengetahuan tanpa kesulitan karena diperoleh melalui
sarana “internet” dan “media informasi” lainnya. “Paradigma ini dikenal sebagai
distributed intelligence (distributed knowledge). Dengan paradigma ini, fungsi
guru/dosen/lembaga-lembaga pendidikan yang akhirnya akan beralih dari sebuah
sumber ilmu pengetahuan menjadi mediator dari ilmu pengetahuan. Proses long life learning dalam dunia
informal yang sifatnya lebih learning based daripada teaching based
akan menjadi kunci perkembangan SDM. Peran web, Homepage, Search Engine, CD-ROM tentu akan merupakan alat
bantu yang akan sangat mempercepat proses distributed knowledge (OnnoW.Purbo,2000,Form:http://www.detik.com/onno/jurnal/200004/aplikasi/pendidikan/p-19.shtml). Para guru dan
dosen pendidikan Islam harus memiliki kemampuan dan kesempatan untuk
menyesuaikan, mengakses, dan dapat menggunakan sarana tersebut sebagai media
pembelajaran.
Kedua, konsekuensi ekstrim yang akan terjadi
dalam percepatan informasi tersebut
adalah “adanya paradigma generation lap (kebalikan dari generation gap) dimana siswa atau mahasiswa akan
memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada guru atau dosen. Kondisi ini,
berakibat pada guru atau dosen yaitu tidak lagi dapat memaksa pandangan
dan kehendaknya karena mungkin para
siswa atau mahasiswa telah memiliki pengetahuan yang lebih dari infromasi yang
mereka peroleh. Ilmu pengetahuan akan terbentuk secara kolektif dari
banyak pemikiran dan pandangan yang tersosialisasi melalui media teknologi informasi internaet dan media informasi
lainnya. “Proses interaksi elektronik, diskusi melalui berbagai internet
mailing list, newsgroup, IRC, webchat
merupakan kunci proses pembentukan collective wisdom” (Onno W. Purbo, 2000, form:
http://www.detik.com/ onno/jurnal/ 200004/ aplikasi/ pendidikan/p-19.shtml) yang akan diperoleh dari waktu ke waktu.
Ketiga, menarik dari
kondisi ini adalah dari sisi kurikulum,
artinya program kurikulum “tidak
akan pernah terjadi kurikulum baku, resmi yang rigid. Kurikulum akan
selalu berubah beradaptasi dengan berbagai perkembangan sesuai dengan “collective
wisdom”(Ibid, form:
http://www.detik.com/ onno/jurnal/200004/aplikasi/pendidikan/p-19.shtml) yang diperoleh siswa atau mahasiswa dari waktu ke
waktu. Misalnya saja, kalau dulu santri
hanya menerima materi dari sumber tunggal, yakni kiai. Tetapi, kini santri akan
menerima materi dari banyak sumber. Kiai bukan lagi satu-satunya sumber
belajar, karena santri dapat belajar
dari siapa saja dengan bahasa yang mereka kuasai (Onno W.Purbo,2000,form: http://www.detik.com/
onno/jurnal/ 200004/ aplikasi/ pendidikan/p-19.shtml.). Santri dapat belajar
dari perpustakaan, internet, cd-rom, media masa, dan media lain, yang
akan menjadi pusat kegiatan belajar mandiri.
Keempat, prasyarat lain yang akan mempercepat pergeseran paradigma
dunia pendidikan adalah “kompetisi bebas, free trade dan hilangnya
monopoly” (Mastuhu,1999:34). Kemungkinan prasyarat ini, akan menghambat di
Indonesia karena lambatnya adopsi dan mengakses kompetisi bebas di Indonesia. Tetapi, cepat atau lambat, mau tidak mau
kompetisi bebas akan berjalan di Indonesia karena desakan dunia global. Maka
yang akan bergerak dan betul-betul hidup serta mengambil manfaat dalam dunia
informasi berbasis Internet, akan siap menghadapi tantangan perubahan tersebut. “Kemampuan” dan
“kesempatan” untuk mengakumulasi, mengolah, menganalisis, mensintesa data
menjadi informasi, yang kemudian menjadi ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan
sangat penting artinya dalam dunia informasi saat ini menjadi syarat mutlak
dalam perkembangan teknologi informasi.
Apa
yang harus dilakukan pendidikan Islam? Jawabannya sederhana, yaitu: meningkat
sumber daya pendidikan Islami, merubah sistem
pengelolaan pendidikan, memiliki
kemampuan untuk cepat mengakses informasi dan menggunakan teknologi informasi,
merubah paradigma berpikir konvensional ke paradigma berpikir modern yang inovatif, merubah
paradigma pembelajaran yang berorientasi pada hafalan ke paradigma yang
berorientasi pada pemahaman, analisis, komparasi, dan pemecahan masalah,
sehinga pendidikan mampu mewujudkan kualitas sumberdaya manusia untuk berperan dalam menentukan masa depan
umat. Kualitas sumber daya manusia yang baik hanya dapat dihasilkan oleh sistem
pendidikan Islam yang mampu mengakses perubahan, lengkap serta menyeluruh (komprehensif) dan tidak mengabaikan atau terlepas dari nilai-nilai
ilahiyah-ketuhanan.
4. Perubahan Paradigma Pendidikan Islam Pada Era Reformasi
Pada
era reformasi, masyarakat Indonesia
menginginkan perubahan dalam semua aspek kehidupan bangsa. Berbagai
terobosan telah dilakukan dalam penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan,
dengan kata lain diperlukan paradigma-paradigma baru di dalam menghadapi
tuntutan perubahan masyarakat tersebut. Katakan saja, pembaharuan pada sektor
pendidikan yang memiliki peran strategis dan fungsional (Hujair AH. Sanaky,
2003:3), juga memerlukan paradigma baru yang harus menekankan pada
perubahan cara berpikir dalam pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan.
Paradigma pendidikan dalam pembangunan yang diikuti para
penentu kebijakan (pemerintah) kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun
metodologis. Dalam hal ini, tidak dapat
diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada
peningkatan kemampuan individu. Hal ini,
memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal kita akan mampu
mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem dunia kerja yang
semakin kompleks. Tetapi, mungkin saja pendidikan kita tidak mempu menjawab
tantangan tersebut, sebab pada kenyataannya, kemampuan (kompetensi) yang
diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada (Baca:
Zamroni, 2000:6).
Pengambil kebijakan pendidikan perlu
memperhatikan berbagai persoalan yang sedang akan akan dihadapi bangsa ini.
Langkah-langkah untuk melakukan rekonstruksi pendidikan dalam rangka membangun
paradigma baru pendidikan era
reformasi, meliputi:
(1) Pendidikan hendaknya memiliki visi dan misi yang berorientasi pada demokratisasi
bangsa, sehingga memungkinkan terjadinya proses pemberdayaan seluruh komponen
masyarakat secara demokratis. Partisipasi
masyarakat secara menyeluruh,
sehingga secara
mayoritas seluruh komponen bangsa ada dalam masyarakat terdidik. (2)
Substansi
pendidikan dasar hendaknya mengacu pada pengembangan potensi dan kreativitas
“pembelajar” dalam totalitasnya yang seimbang dan serasi. Pendidikan menengah
dan tinggi hendaknya diarahkan pada
membuka kemungkinan pengembangan individu (kepribadian) secara vertical dan horizontal. Pengembangan
vertikal mengacu pada struktur keilmuan, sedangkan pengembangan horizontal
mengacu pada keterkaitan dan relevansi antar bidang keilmuan. (3) Pendidikan dasar dan menengah perlu
mengembangkan sistem pembelajaran yang egaliter dan demokratis agar tidak
terjadi pengelompokan kelas atas dasar kemampuan akademik. Pengelompokan
mengakibatkan eksklusivisme bagi yang siperior dan perasaan terisolasi bagi
bagi mereka yang berada pada kelas dua. (4) Pendidikan tinggi, jangan hanya
berorientasi pada penyiapan tenaga kerja. Pendidikan tinggi, mempersiapkan dan
memperkuat kemampuan dasar mahasiswa untuk memungkinkan mereka berkembang baik
secara individu, anggota masyarakat, maupun sebagai warga negara dalam konteks
kehidupan yang global. Pendidikan tinggi, diselenggarakan dengan menggunakan
prinsip-prinsip manajemen yang fleksibel dan dinamik, agar memungkinkan
perguruan tinggi untuk berkembang sesuai dengan potensi masing-masing serta
tuntutan eksternal yang dihadapinya (Suyanto,
2006: 18). (5) Kebijakan kurikulum untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional, harus memperhatikan tahap perkembangan “pembelajar”
dan kesesuaian dengan lingkungan, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
budaya, seni, serta sesuai dengan jenjang masing-masing satuan pendidikan (Hujair AH.
Sanaky, 2003:158) dan juga mengembangan kurikulum keunikan local.
Jangan
menjadikan pendidikan sebagai bentuk model yang dikatakan Paulo Freire, “pendidikan gaya bank” (banking concept of education), arinya pendidik selalu melakukan deposito
beberapa macam informasi ke bank “pembelajar” tanpa harus tahu untuk apa informasi
itu bagi kehidupan mereka (Paulo
Freire, 1995:57). Akibatnya, “pembelajar” memiliki pengetahuan, tetapi
“pembelajar” kering dan tidak memiliki sikap, minat, motivasi, dan kreativitas
untuk mengembangkan diri atas dasar pengetahuan yang dimiliki, serta
“pembelajar” sendiri tidak memahami dan tidak tahu untuk apa pengetahuan tersebut
(Hujair AH. Sanaky, 2003:164).[7] (6) Dalam pembelajaran pada
tingkat apa saja mesti dapat mengaktualisasi enam unsur kapasitas belajar
yaitu: (a)
kepercayaan (confidence), (b)
keingintahuan (curioucity), (c) sadar
tujuan (intensionality), (d)
kendali diri (self
control), (e) mampu bekerja sama (work together) dengan pihak mana saja, dan (f)
kemampuan bergaul secara harmonis dan
saling pengertian (relatedness) (Ibrahim Musa:From: http://202. 159.18.43/ jp/ 22 ibrahim. htm,). (7) Untuk
menjaga relevansi outcome pendidikan (knowledge, skill, attitude),
perlu diimplementasikan filsafat rekonstruksionisme dalam berbagai tingkat
kebijakan dan praktisi pendidikan. Berorientasi pada filsafat ini, pendidikan
akan mampu merekonstruksi berbagai bentuk penyakit sosial, mental dan moral
yang ada dalam masyarakat. Pendidikan
kita, akan mampu menanamkan sikap toleransi etnis, rasial, agama, dan budaya
kepada “pembelajar” dalam konteks kehidupan yang plural. (8) Realisasi
pendidikan dalam konteks lokal, diperlukan badan-badan pembantu dalam dunia
pendidikan antara lain “Dewan Sekolah” yang di dalamnya harus ada unsur-unsur
Pemerintah Daerah, perwakilan guru-guru dan sudah tentu ada pula di dalamnya
tokoh-tokoh masyarakat dan para orang tua peserta didik. “Dewan Sekolah”,
berperan untuk memberi masukan yang tidak hanya pada aspek material dan kesejahteraan guru saja, tetapi
harus masukan dalam berbagai aspek, termasuk dalam perumusan, pembinaan, dan
evaluasi misi, visi dan substansi (kurikulum lokal dll) pendidikan yang relevan
dengan kebutuhan daerah masing-masing. (9) Perlu menetapkan model
rekrutmen pejabat pendidikan secara professional, sehingga dapat diperoleh the
right person in the right place, bukannya: the right person in the wrong
place, atau kata Suyanto lebih parah lagi : the wrong person in the
wrong place (Suyanto,
2006:20)
atau yang lebih suver parah lagi adalah konsep familier, “kocoisme” dan
“kronisme”.
Sektor pendidikan memiliki peran yang strategis dan
fungsional dalam upaya membangun masyarakat baru di
Indonesia. Pendidikan senantiasa berusaha untuk menjawab kebutuhan dan
tantangan yang muncul di kalangan masyarakat sebagai konsekuensi dari suatu
perubahan (Hujair AH.Sanaky, 2003:1). Katakan
saja, pendidikan sebagai "sarana terbaik yang didisain
untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan
ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh
secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak
menyadari adanya perkembangan-perkembangan disetiap cabang pengetahuan
manusia" (Comference
Book,1987:15-17).
Pendidikan Islami[8] adalah sebuah proses penerapan nilai-nilai
Islami, dapat mengimplementasikan hasilnya dalam kehidupan
manusia sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat yang mengacu kepada
landasan yang digariskan Allah. Konsep pendidikan dalam Islam memang berbeda
dengan konsep pendidikan Barat yang telah menjadi mainstream dunia pendidikan
dewasa ini. Konsep pendidikan Barat (education) tidak memadukan unsur jasad, akal, dan jiwa sebagaimana
halnya tarbiyah, ta’lim dan ta’dib dalam konsep Islam yang memadukan
ketiga unsur tersebut. Boleh
jadi konsep pendidikan Barat lebih
bersifat pengajaran ataupun transfer
ilmu tanpa memasukkan nilai-nilai yang seharusnya terdapat dalam diri manusia. Pendidikan dalam Islam
pada dasarnya bukanlah semata pendidikan formal seperti di bangku sekolah,
tetapi juga pendidikan non formal yang turut memegang peranan penting dalam
membentuk insan yang Islami. Sebagai contoh, pendidikan yang dilakukan oleh
Nabi dan para sahabatnya telah
mengantarkan umat Islam kepada cahaya peradaban yang dicatat dengan tinta emas
oleh sejarah (Irwan Prayitno, From: http://www.irwanprayitno. or.id/a/ 0203/ 1101.html,akses,12/8/2003.).
Ahmad Tafsir(1994), pendidikan dalam Islami merupakan sebuah
rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif (kedewasaan), baik secara akal,
mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban, sebagai
seorang hamba (abd) dihadapan Khaliq-nya dan sebagai “pemelihara” (khalifah) pada semesta. Fungsi utama
pendidikan adalah mempersiapakn generasi penerus dengan kemampuan (knowledge) dan keahlian (skill) yang diperlukan agar
memiliki kemampuan pengetahuan, kesiapan skill, dan kepribadian yang
anggun untuk siap terjun ke
tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Apabila melacak paradigma pendidikan Islami, dalam lintasan
sejarah peradaban Islam, sebenarnya peran pendidikan benar-benar dapat
dilaksanakan pada masa-masa kejayaan Islam. Kemajuan pendidikan benar-benar
mampu membentuk peradaban sehingga peradaban Islam menjadi peradaban terdepan
sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang Jazirah Arab, Asia Barat hingga
Eropa Timur. Artinya, kemajuan peradaban
dan kebudayaan Islam pada masa kejayaan pada sepanjang abad pertengahan, tentu
tidak dapat dilepaskan dari adanya sistem dan paradigma pendidikan yang dikembangkan
dan dilaksanakan pada masa itu, dengan kemampuan teknologi pada masa itu.
Kemajuan yang dihasilkan dan diperoleh generasi Islam abad pertengahan adalah
survive pada masanya. Tetapi untuk melakukan perubahan dan pengembangan
pendidikan sekarang dan masa akan datang, tentu kita tidak akan menggunakan
“paradigma lama”, tetapi harus menggunakan paradigma baru yang sesuai dengan
irama perubahan dan tantangan zaman saat ini. Proses pendidikan itu
sendiri “dipandang sangat berkaitan dengan kepentingan manusia dan masyarakat
untuk masa kini dan masa yang akan datang”(Suyanto dan
Djihad Hisyam, 2000:61). Diperlukan berbagai
terobosan dalam penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan, dengan kata lain
diperlukan suatu paradigma-paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan
yang baru, demikian kata filsuf Kuhn. Menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan
baru atau “paradigma baru” dihadapi dengan menggunakan “paradigma lama”, tentu saja segala
usaha yang dijalankan akan memenuhi kegagalan (H.A.R. Tilaar, 1998:28).
Umat manusia sekarang
ini dihadapkan dengan perkembangan teknologi informasi yang telah merambah ke
seluruh polosok dunia, sudah mampu meraih semua titik yang terpencil sekalipun. Masyarakat mulai
belajar serta mendapatkan informasi dan ilmu dari berbagai sumber seperti
radio, televisi, komputer internet, media masa. Sekolah sebagai institusi
pendidikan mungkin saja akan tergeser perannya. Sudah tidak menjadi sumber informasi satu-satunya, bahkan
bukan lagi menjadi pencetus sumber informasi yang mutakhir. Ini berarti, kata
kuncinya adalah “harus berubah”. Apabila tanpa adanya kesadaran untuk malakukan perubahan,
perkembangan kemajuan dunia akan menjadi
ancaman, dapat menjadikan sekolah
sebagai lembaga usang, mungkin makin lama
makin tidak berguna (Winarno Surakhmad,from:http://www.Bpkpenabur.or.id/kps-jkt/berita/200006/artikel2.htm.). Kondisi ini mengharuskan pendidikan untuk berubah
paradigmanya yaitu menggunakan paradigma baru untuk menghadapi
tantangan perubahan tersebut, sebab
sifat kehidupan umat manusia dewasa ini telah terjadi perubahan yang semakin
cepat dan semakin beragam. Misalnya saja dalam dunia kerja, telah terjadi
berbagai perubahan yang dibutuhkan masyarakat dengan persyaratan ilmu,
kemampuan, dan keterampilan (skill) lain yang belum tercantum di dalam program kurikulum
pendidikan. Sudah tiba saatnya dunia kerja “tidak akan bertanya tentang ijazah
formal” yang dimiliki seseorang, tetapi keterampilan (skill) apa yang dimiliki dan sesuai dengan job yang
dibutuhkan.
Implikasi dari tuntutan perubahan tersebut adalah “para
pengajar” (guru dan dosen) harus lebih
menekankan peserta didik memiliki kemampuan dasar untuk bejalar mandiri,
bereksplorasi, mengakses informasi dari internet dan bukan lagi kemampuan untuk
menghafal materi pelajaran tertentu dengan sistem evaluasi (ujian) yang berorientasi
pada “aspek kognitif”. Pendidikan harus mampu mendisain suatu kurikulum yang
mampu menjawab tantangan perubahan paradigma baru pendidikan tersebut. Mengingat kurikulum yang berlaku di Indonesia dinilai
berbagai kalangan (pakar, guru, peserta didik, dan orang tua) sarat dengan matapelajaran dan terlalu luas
cakupan topik bahannya. Akibatnya, selain rentan terhadap krisis karena
inefisien (memerlukan biaya tinggi), juga kurikulum itu
telah menjadikan sebagian besar peserta didik tidak atau kurang memiliki deeper
insight pada tiap matapelajaran. Beberapa laporan menunjukkan, kurikulum tersebut
menyebabkan sebagaian besar peserta didik mengalami stres berat. Jika
dikatikan dengan kepentingan jangka pendek, diperlukan ekstra kehati-hatian
karena bersangkut-paut dengen keterlibatan banyak orang, apalagi sudah lazim
terjadi, perubahan kurikulum dilakukan manakalah telah mencapai 10 tahun (Ibid,
Jawa Pos).
Tuntutan perubahan
tersebut dalam konsep kurikulum disebut dengan “determinasi tertentu”. Apabila perubahan
kurikulum dengan menggunakan prinsip “determinasi tertentu”, tuntutan perubahan
pendidikan yang mencakup analisis perubahan masyarakat, analisis
kebudayaan, konsepsi kekinian, era
global, disentralisasi pendidikan, otonomi,
dan informasi comunikasi teknologi (ICT), maka rancangan kurikulum perlu dirubah mengikuti warna
dan irama perubahan tersebut. Suatu kurikulum dikatakan berubah apabila terdapat
perbedaan mendasar antara satu atau lebih komponen antara kurikulum pada
periode tertentu dengan periode lainnya atau perubahan maupun pengembangan
kurikulum biasanya juga didorong oleh determinasi tertentu. Saylor dan Alexander (1986) misalnya, menyebut
determinasi itu antara lain pengaruh historis, keinginan, eksperesi nilai-nilai
dan kondisi siswa sebagai peserta didik.
Sementara secara sosiologis, determinasi itu dapat mencakup analisis
masyarakat, analisis kebudayaan dan konsepsi kekinian tentang fungsi-fungsi
persekolahan (Ibid, Jawa Pos).
Kurikulum yang dirancang
secara nasional maupun daerah faktor masyarakat (konsumen pendidikan
dan pengguna lulusan) sangatlah penting. Artinya, jika ada tuntutan perubahan
maupun pengembangan, berarti ada sesuatu yang dirasa belum pas dan memerlukan
perhatian serius agar dibenahi. Apabila menggunakan pandangan ini, maka pada
kurikulum pendidikan Islami terdapat beberapa titik lemah yang secara psikologis,
sosiologis, apalagi secara ekonomi tak
dapat dipertanggungjawabkan, baik kurikulum yang berlaku di lingkungan
pendidikan dasar (Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Sanawiyah), maupun kurikulum
yang berlaku di lingkungan pendidikan menengah (Madrasah Aliyah) dan perguruan
tinggi.
Dari aspek kurikulum,
pendidikan Islami menghadapi persoalan serius yang harus diselesaikan.
Tetapi, apabila memperhatikan kondisi perkembangan pendidikan di
Indonesia, sebenarnya tantangan yang dihadapi pendidikan Islam
juga sama dengan tantangan yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia pada
umumnya, terutama dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia, dalam
menghadapi tantangan “era kompotetif yang disebabkan oleh
meningkatnya strandar dunia kerja. Jika kualitas pendidikan menurun, maka
kualitas sumber daya manusiapun juga menurun dan lemah pula dalam hal keimanan
dan ketaqwaan serta penguasaan iptek. Kemajuan teknologi informasi menyababkan
banjirnya informasi yang tidak terakses dengan baik oleh para pendidikan dalam
proses belajar, sehingga pada gilirannya
berpengaruh pada hasil pendidikan itu sendiri. Selain itu, dunia pendidikan
juga tertinggal dalam hal metodologi, sehingga terjadi kesenjangan antara kualitas pendidikan dengan
kenyataan emperis perkembangan masyarakat” (Suwarman al-Muhtar,1996:4). Tantangan yang dihadapi pendidiakan Islam dalam upaya
perubahan kurikulum, yaitu perubahan yang akan terjadi pada era global, kemajuan teknologi informasi, lemahnya
metodologi, sehingga akan terjadi kesenjangan antara kualitas
pendidikan dengan kenyataan emperis perkembangan masyarakat. Diperlukan suatu disain program kurikulum dan metodologi yang dapat menjawab tantangan tersebut.
Setelah mengetahui perubahan yang mendasar dari paradigma
ini, apa yang perlu dan dapat lakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan
Islam? Secara sederhana yaitu mari kita manfaatkan sebaik-baiknya kesempatan
yang semakin terbuka untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan sertifikasi
profesioanl untuk kebaikan nasib kita
masing-masing. Pendidikan formal bukan lagi satu-satunya media untuk
mengembangkan diri, karena ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari mana saja.
Sertifikasi dan akreditasi-pun sebetulnya dapat diperoleh dari mana saja.
Kemampuan bahasa (bahasa Inggris) akan menjadi salah satu aset yang sangat penting untuk
dapat mengakses sumber ilmu yang terdistribusi dan menjadi rantai dalam collective
wisdom. Selain itu, kemampuan untuk
membaca, mencerna dan menulis (menghasilkan) informasi atau pengetahuan dengan menggunakan teknologi
informasi Internet akan sangat strategis untuk dapat memperoleh keuntungan dan
manfaat yang besar dari keberadaan teknologi informasi (Onno W.Purbo,2000,Form:http://www.detik.com/ onno/jurnal/
200004/ aplikasi/ pendidikan/p-19.shtml.).
Pendidikan Islami dituntut menghadirkan sutau wacana konstruksi pendidikan
baik pada tataran filosofiknya, tujuan,
materi, kurikulum, metodologis, cara penyampaian atau mengkomunikasikannya, dan
sampai pada masalah yang berkaitan dengan aspek institusi serta teknik
operasionalnya. Untuk menjawab hal tersebut, ada tiga hal penting yang
menyangkut dengan orientasi pendidikan Islami, yaitu: (1) “pendidikan Islami harus didisain untuk
integrasi dengan keseluruhan proses maupun institusi pendidikan lain; (2) pendidikan Islami harus mampu
melakukan internalisasi nilai-nilai dan norma-norma keislaman yang fungsional
secara normal untuk mengembangkan keseluruhan sistem sosial budaya; (3) pembentukan wawasan
ijtihadiyah secara aktif sehingga mampu menjawab tuntutan masa depan” (Malik Fajar, 1999), sebab perubahan masyarakat terus berlangsung
mengikuti irama perubahan. Strategi
pengembangan pendidikan Islam harus “didasarkan pada kurikulum yang secara
integral memiliki cakupan disiplin ilmu dan keterampilan yang dapat membentuk
kompotensi-kompotensi tertentu dalam suatu sistem yang utuh walaupun
komponennya secara transparan berbentuk berbagai macam disiplim ilmu dan
teknologi” (Jusuf Amir Feisal,1995:51). Strategi
pengembangan program kurikulum juga didasarkan pada kebutuhan masyarakat masa
kini dan masa yang akan datang. Tidak berhenti sampai disitu, artinya kesesuaian program
kurikulum pendidikan Islami harus diorientasikan pada perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang sedang dan akan terjadi.
Pendidikan Islami pada era ini akan
menghadapi kompetisi yang ketat, yaitu kompertisi kualitas, pasar penerima
produk lembaga pendidikan, akreditasi baik dari pemerintah maupun masyarakat,
dan kemampuan menggunakan teknologi informasi. Untuk itu, pengelolaan dan
pengembangan manajemen bagi pendidikan Islami merupakan hal yang
urgen sekali, agar pengelolaan dan manajemen pendidikannya dapat memenuhi
Standar Manajemen Mutu (SMM) yang dapat dikur,
dievalausi, dan diperbaiki secara terus menerus (continu). Dalam penerapan dan
pengelolaan manajemen pendidikannya perlu memberanikan untuk mengadopsi sistem
manajemen ISO 9000 (The International Organization for Standardizatior), sehingga, dapat
“mengambil sertifikasi global dari lembaga internasional, jika lembaga
pendidikan Islam menginginkan survive untuk kompetisi global” (Udin S.
Sa’ud, 2002: 17), dengan standar
manajemennya yang dapat diukur,
dievaluasi dan diperbaiki secara terus menerus.
Pada era reformasi dan informasi Pendidikan Islam, akan menghadapi
kompetisi yang cukup ketat untuk memperoleh akreditasi dan sertifikasi terbaik.
Kerja keras dan kerjasama kemitraan yang strategis dalam
sebuah kelompok akan sangat menentukan keberhasilan kita dalam persaingan
penetrasi pasar dan kemampuan menggukan teknologi informasi. Oleh karena itu,
belajar dari kuliah di kelas saja tanpa mempunyai visi dan kemauan yang kuat
untuk bertempur di dunia profesional tidak akan cukup. Mahasiswa yang aktif
dalam dunia dan kegiatan kemahasiswaan, maupun membantu kelompok-kelompok
penelitian, kelompok diskusi dan kajian-kajian buku yang ada di masing-masing lembaga pendidikan,
mahasiswa memiliki kemampuan untuk akses dengan teknologi informasi internet,
dan media informasi lainnya untuk mencari dan mengesplorasi materi-materi yang
membatu bahan kuliah, akan sangat membantu membentuk kemampuan kompetisi yang
tangguh.
Terus terang pendapat saya pribadi sebagai orang Indonesia akan sangat sederhana yaitu “mari kita manfaatkan sebaik-baiknya kesempatan yang semakin terbuka untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan sertifikasi profesioanl ini untuk kebaikan nasib kita masing-masing. Pendidikan formal bukan lagi satu-satunya media untuk mengembangkan diri. Ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari mana saja, baik melalui lembaga-lembaga pendidikan formal dan informal, internet, CD room, surat kabar, majalah, jurnal, radio, televisi, dan media informasi yang lain. Begitu juga sertifikasi dan akreditasi-pun sebetulnya dapat diperoleh dari mana saja, apakah dari masyarakat sebagai user pengguna lulusan maupun pemerintah.
Terus terang pendapat saya pribadi sebagai orang Indonesia akan sangat sederhana yaitu “mari kita manfaatkan sebaik-baiknya kesempatan yang semakin terbuka untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan sertifikasi profesioanl ini untuk kebaikan nasib kita masing-masing. Pendidikan formal bukan lagi satu-satunya media untuk mengembangkan diri. Ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari mana saja, baik melalui lembaga-lembaga pendidikan formal dan informal, internet, CD room, surat kabar, majalah, jurnal, radio, televisi, dan media informasi yang lain. Begitu juga sertifikasi dan akreditasi-pun sebetulnya dapat diperoleh dari mana saja, apakah dari masyarakat sebagai user pengguna lulusan maupun pemerintah.
Bagi dunia pendidikan, skala ekonomi akan dapat dengan
mudah dikembangkan dengan bertumpu pada teknologi informasi beberapa strategi
mendasar yang akan membantu antara lain adalah :
Pertama, membuka aliansi kerjasama dengan berbagai
universitas dan dosen terbaik yang ada baik di Indonesia maupun di manca
negara. Konsep aliansi untuk kerjasama pendidikan jarak jauh perlu dikembangkan
dan di encourage oleh Diknas. Jangan sampai terjadi kesan
"monopoli" bagi penyelenggaraan pendidikan jarak jauh hanya dilakukan
oleh Universitas Terbuka (UT) saja. Tetapi pendidikan formal yang lain pun dapat
melakukan pendidikan jarak jauh dengan menggunakan sarana informasi internet
dan sarana komunikasi lainnya.
Kedua, berikan akses Internet bagi mahasiswa,
penggunaan konsep warung Internet yang sifatnya self-finance akan sangat
menguntungkan bagi investasi dan operasional warung tersebut. Akhirnya
mahasiswa dan lembaga pendidikan yang akan di untungkan. Terus terang, dalam
bisnis plan maka modal atau investasi sebuah warung Internet dengan 5-10
komputer di sebuah universitas dengan sebuah saluran telepon ke Internet akan
kembali dalam jangka waktu 8-12 bulan
saja. Jadi pendekatan warung Internet akan menjadi sangat menarik, kunci
keberhasilan berada pada kemampuan teknik dan management SDM yang menjalankan
warung tersebu. Rasanya tidak banyak yang mempunyai kemampuan ini, umumnya
orang yang ahli di dunia pendidikan berada di institusi yang terkait ke
Internet.
Lembaga-lembaga
pendidikan Islami harus mulai melakukan re-engineering manajemen
pendidikan tinggi, untuk mengakomodasi perkembangan pada era informasi ini.
Disain manajemen pendidikan tinggi Islam mulai menghilangkan batas fisik kampus
dalam operasional pendidikan tinggi, dengan mengadopsi mahasiswa part-time,
sebagai mahasiswa profesional. Contoh; dapat dibayangkan kalau mahasiswa IAIN, UGM, UNY, UII dan
perguruan tinggi swasta lainnya di Yogyakarta tidak hanya berada di Yogyakarta
saja, tetapi juga berada di Irian Jaya, di Maluku, di Aceh, di Padang, di
Kalimantan, di Sulawesi dan atau mungkin
juga kuliah-kuliah hanya melalui internet, televisi, dan media informasi
lainnya yang dapat diakses oleh mahasiswa di tempat kos di kota Yogyakarta
sendiri melalui sarana teknologi informasi. Tanpaknya, re-engineering
manajemen pendidikan tinggi untuk menghilangkan dimensi waktu dan membuat
proses pendidikan menjadi lebih adaptif terhadap perubahan, adaptif terhadap
perkembangan kemajuan bidang eloktronik komputer dan internet. Di sini waktu belajar siswa dan mahasiswa
menjadi lebih fleksibel, tidak harus seorang mahasiswa di D.O. hanya
karena tidak tepat waktu misalnya. Selain itu, re-engineering otoritas
perguruan tinggi untuk melihat sebuah perguruan tinggi sebagai sebuah corporate,
kemudian otoritas finansial dan open management distribusi yang dapat
diaudit (Onno
W.Purbo,16 Mei 2002). Diperlukan keberanian
untuk melakukan perubahan manajemen pendidikan tinggi Islam yang didukung sistem pendidikannya, kurikulum,
sistem evaluasi, sumber daya, fasilitas, pendanaan yang memadai dan handal,
sehingga mampu mengelola perguruan tinggi dengan baik dan layak jual.
Dari gambaran di atas, terdapat beberapa hal yang dapat
digunakan sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia
pendidikan Islam pada peran yang semestinya sekaligus menata ulang paradigma
pendidikan Islam sehingga kembali aktif-progresif,
yakni :
Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifitas pendidikan (talab
al-ilm) di bawah frame work Qur’an dan Hadis. Seluruh aktifitas
intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai Qur’an dan Hadis yang
dapat menyentuh semua aspek kehidupan
manusia yang bersifak aplikatif atau membumi. Artinya nilai-nilai
tersebut dapat diterapkan dalam perilaku kehidupan manusia dan masyarakat pada
era informasi sebagai “core values, yang akan memberikan batasan-batasan
dalam pemilihan cara-cara yang ditempuh dalam mewujudkan kehidupannya”(Hujair AH. Sanaky, 2003:145).
Kedua, adanya perimbangan (balancing) antara disiplin ilmu
agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu
faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan Islami adalah kecenderungan
untuk lebih menitik beratkan pada kajian agama dan memberikan porsi yang
berimbang pada pengembangan ilmu
non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama (M.Khoirul Anam,http://www.pendidikan.net/mk-anam.html). Perimbangan antara materi pengetahuan agama, ilmu
pengetahuan, dan teknologi dalam pendidikan Islam adalah suatu hal yang
urgen jika ingin dunia pendidikan Islam
kembali survive di tengah kehidupan masyarakat pada era informasi ini.
Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk
melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal. Karena selama masa kemunduran
Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan
perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan
intelektual. Dengan menghilangkan sekat-sekat tersebut, minimal membuka
kembali, sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan,
maka wilayah pengembangan intelektual akan semakin luas dan tentunya akan membuka peluang lebih lebar
bagi pengembangan keilmuan Islam pada khususnya dan Islam pada umumnya.
Keempat, mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang
membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan
kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan.
Materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang
ada, setidaknya selalu ada materi yang applicable dan memiliki relasi
dengan kenyataan faktual yang ada (M.Khoirul
Anam, http://www. pendidikan.net/mk-anam.html). Dengan
strategi ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu menghasilkan sumber daya
yang benar-benar mampu menghadapi tantangan dan mampu bersaian pada era informasi dan peka terhadap
lingkungan.
Dari pandangan di atas, paling tidak memberikan arah sesuai dengan arah pendidikan. Secara makro dituntut menghantarkan masyarakat menuju masyarakat Indonesia yang relegius, kritis, berkualitas, dan tangguh dalam menghadapi lingkungan global dan era informasi. Upaya pembaruan pendidikan Islam, perlu ada ikhtiar yaitu strategi kebijakan perubahan diletakan pada upaya menangkap kesempatan perubahan. Maka, mau tidak maun, pendidikan Islam harus meninggalkan paradigma lama menuju paradigma baru, berorientasi pada masa depan, merintis kemajuan, berjiwa demokratis, bersifat desentralistik, berorientasi pada peserta didik, bersifat multicultural, berorientasi pada perspektif global, dan era reformasi dan era informasi, sehingga terbentuk paradigma pendidikan yang berkualitas dalam menghadapi tantangan prubahan global menuju terbentuknya masyarakat Indonesia yang demokratis, kritis, berkualitas, siap dan memiliki kemampuan untuk bersaing dalam dunia global dan era informasi.
Pada dataran konsep, pendidikan baik formal maupun non formal “pada dasarnya memiliki peran strategi dan penting dalam melegitimasi bahkan melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada dan sebaliknya pendidikan merupakan proses perubahn sosial. Tetapi, peran pendidikan terhadap sistem dan struktur sosial tersebut, sangat bergantung pada paradigma pendidikan yang mendasarinya” (Mansour Fakih,2002:18). Penggeseran peradigma pendidikan di era informasi harus menjadi perhatian bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam, agar berikhtiar untuk merumuskan filosofis, visi, misi, metodelogi, kurikulum, sumber daya manusia, dan manajemen pendidikan diorientasikan pada paradikma tersebut.
Peran pendidikan Islam mestinya bukan hanya “dipahami dalam konteks mikro (kepentingan anak didik yang dilayani melalui proses interaksi pendidikan), melainkan juga dalam konteks makro, yaitu kepentingan masyarakat yang dalam hal ini termasuk masyarakat bangsa, negara dan bahkan juga kemanusiaan pada umumnya” (Fasli Jalal, 2001:16-17), sehingga pendidikan Islam terintegrasi antara proses belajar di sekolah dengan belajar di masyarakat (learning society). Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education (1978), menyatakan hubungan pendidikan dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik dan negara, kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi, karena pendidikan itu terjadi di masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan pengetahuan dan teknologi, sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan secara simultan. Secara mikro pendidikan senantiasa memperhitungkan individualitas atau karakteristik perbedaan antara individu peserta didik (Fasli Jalal, 2001: 16), dalam kerangka interaksi proses belajar.
Kerangka acuan pemikiran dalam penataan dan pengembangan sistem pendidikan Islam, harus mampu mengakomodasikan berbagai pandangan (paradigma) secara selektif sehingga terdapat keterpaduan dalam konsep, yaitu: Pertama, pendidikan harus membangun prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan dengan sektor-sektor lain, termasuk sektor teknologi informasi. Pendidikan harus senantiasa bersama-sama dengan sistem lain untuk mewujudkan cita-cita masyarakat Indonesia yang berkualitas dan kritis. Pendidikan bukan merupakan sesuatu yang eksklusif dan terpisah dari masyarakat dan sistem sosialnya, tetapi pendidikan sebagai suatu sistem terbuka dan senantiasa berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya. Kedua, pendidikan merupakan wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber yang berpengaruh, seperti keluarga, sekolah, media massa (informasi), dan dunia usaha. Ketiga, prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Seperti pesantren, keluarga, dan berbagai wadah organisasi pemuda, diberdayakan untuk dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan baik serta menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan. Keempat, prinsip kemandirian dalam pendidikan dan prinsip pemerataan menurut warga negara secara individual maupun kolektif untuk memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerja sama. Kelima, dalam kondisi masyarakat pluralistik diperlukan prinsip toleransi dan konsensus. Untuk itu, pendidikan sebagai wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber-sumber tersebut secara dinamik. Keenam, prinsip perencanaan pendidikan, selalu dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi dan melakukan upaya yang tepat secara normatif sesuai dengan cita-cita masyarakat Indonesia baru. Pendidikan selalu bersifat progresif tidak resisten terhadap perubahan, sehingga mampu mengendalikan dan mengantisipasi arah perubahan. Ketujuh, prinsip rekonstruksionis, bahwa kondisi masyarakat selalu menghendaki perubahan mendasar. Maka pendidikan harus mampu menghasilkan produk-produk pendidikan yang dibutuhkan oleh perubahan tersebut. Paham rekonstruksionis mengkritik pandangan pragmatis sebagai suatu pandangan yang cocok untuk kondisi yang relatif stabil. Pendekatan pemecahan masalah bersifat lebih berorientasi masa kini, sedangkan pendekatan rekonstruksionis lebih berorientasi masa depan dengan tetap berpijak pada kondisi sekarang. Kedelapan, prinsip pendidikan berorientasi pada peserta didik. Dalam memberikan pelayanan pendidikan, sifat-sifat peserta didik yang umum maupun yang spesifik harus menjadi pertimbangan. Layanan pendidikan untuk kelompok usia anak berbeda dengan remaja dan dewasa, termasuk perbedaan pelayanan bagi kelompok anak-anak berkelainan fisik dan mental termasuk pendekatan pendidikan bagi anak-anak di daerah terpencil tidak dapat disamakan dengan anak-anak di perkotaan. Kesembilan, prinsip pendidikan multicultural, bahwa sistem pendidikan harus memahami bahwa masyarakat yang dilayaninya bersifat plural, sehingga pluralisme harus menjadi acuan dalam mengembangkan pendidikan dan pendidikan dapat mendayagunakan perbedaan tersebut sebagai sumber dinamika yang bersifat posetif dan konstruktif (Fasli Jalal,2001:16-17). Kesepuluh, pendidikan dengan prinsip global dan era informasi, artinya pendidikan harus berperan dan harus menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global dan masyarakat pada era informasi.
Pendidikan Islam harus mulai berbenah diri dengan menyusun strategi untuk dapat menyongsong dan dapat menjawab tantangan perubahan tersebut, apabila tidak maka pendidikan Islam akan tertinggal dalam persaingan global pada era informasi. Dalam menyusun strategi untuk menjawab tantangan perubahan tersebut, paling tidak harus memperhatikan beberapa ciri, yaitu: (a) Pendidikan Islami, diupayakan lebih diorientasikan atau “lebih menekankan pada upaya proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching)”. (b) Pendidikan Islami dapat “diorganisir dalam suatu struktur yang lebih bersifat fleksibel”. (c) Pendidikan Islami dapat “memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri”, (d) Pendidikan Islami, “merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan”(Zamroni,2000:9), dan (e) Pendidikan Islami, dapat mengakses perkembangan teknologi informasi internet dan media informasi lainnya sebagai sarana pembelajaran. Kelima ciri ini, dapat disebut dengan paradigma pendidikan sistematik-organik yang menuntut pendidikan bersifat double tracks, artinya pendidikan sebagai suatu proses tentu tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakat, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi saat ini.
Dari pandangan di atas, paling tidak memberikan arah sesuai dengan arah pendidikan. Secara makro dituntut menghantarkan masyarakat menuju masyarakat Indonesia yang relegius, kritis, berkualitas, dan tangguh dalam menghadapi lingkungan global dan era informasi. Upaya pembaruan pendidikan Islam, perlu ada ikhtiar yaitu strategi kebijakan perubahan diletakan pada upaya menangkap kesempatan perubahan. Maka, mau tidak maun, pendidikan Islam harus meninggalkan paradigma lama menuju paradigma baru, berorientasi pada masa depan, merintis kemajuan, berjiwa demokratis, bersifat desentralistik, berorientasi pada peserta didik, bersifat multicultural, berorientasi pada perspektif global, dan era reformasi dan era informasi, sehingga terbentuk paradigma pendidikan yang berkualitas dalam menghadapi tantangan prubahan global menuju terbentuknya masyarakat Indonesia yang demokratis, kritis, berkualitas, siap dan memiliki kemampuan untuk bersaing dalam dunia global dan era informasi.
Pada dataran konsep, pendidikan baik formal maupun non formal “pada dasarnya memiliki peran strategi dan penting dalam melegitimasi bahkan melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada dan sebaliknya pendidikan merupakan proses perubahn sosial. Tetapi, peran pendidikan terhadap sistem dan struktur sosial tersebut, sangat bergantung pada paradigma pendidikan yang mendasarinya” (Mansour Fakih,2002:18). Penggeseran peradigma pendidikan di era informasi harus menjadi perhatian bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam, agar berikhtiar untuk merumuskan filosofis, visi, misi, metodelogi, kurikulum, sumber daya manusia, dan manajemen pendidikan diorientasikan pada paradikma tersebut.
Peran pendidikan Islam mestinya bukan hanya “dipahami dalam konteks mikro (kepentingan anak didik yang dilayani melalui proses interaksi pendidikan), melainkan juga dalam konteks makro, yaitu kepentingan masyarakat yang dalam hal ini termasuk masyarakat bangsa, negara dan bahkan juga kemanusiaan pada umumnya” (Fasli Jalal, 2001:16-17), sehingga pendidikan Islam terintegrasi antara proses belajar di sekolah dengan belajar di masyarakat (learning society). Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education (1978), menyatakan hubungan pendidikan dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik dan negara, kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi, karena pendidikan itu terjadi di masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan pengetahuan dan teknologi, sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan secara simultan. Secara mikro pendidikan senantiasa memperhitungkan individualitas atau karakteristik perbedaan antara individu peserta didik (Fasli Jalal, 2001: 16), dalam kerangka interaksi proses belajar.
Kerangka acuan pemikiran dalam penataan dan pengembangan sistem pendidikan Islam, harus mampu mengakomodasikan berbagai pandangan (paradigma) secara selektif sehingga terdapat keterpaduan dalam konsep, yaitu: Pertama, pendidikan harus membangun prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan dengan sektor-sektor lain, termasuk sektor teknologi informasi. Pendidikan harus senantiasa bersama-sama dengan sistem lain untuk mewujudkan cita-cita masyarakat Indonesia yang berkualitas dan kritis. Pendidikan bukan merupakan sesuatu yang eksklusif dan terpisah dari masyarakat dan sistem sosialnya, tetapi pendidikan sebagai suatu sistem terbuka dan senantiasa berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya. Kedua, pendidikan merupakan wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber yang berpengaruh, seperti keluarga, sekolah, media massa (informasi), dan dunia usaha. Ketiga, prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Seperti pesantren, keluarga, dan berbagai wadah organisasi pemuda, diberdayakan untuk dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan baik serta menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan. Keempat, prinsip kemandirian dalam pendidikan dan prinsip pemerataan menurut warga negara secara individual maupun kolektif untuk memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerja sama. Kelima, dalam kondisi masyarakat pluralistik diperlukan prinsip toleransi dan konsensus. Untuk itu, pendidikan sebagai wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber-sumber tersebut secara dinamik. Keenam, prinsip perencanaan pendidikan, selalu dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi dan melakukan upaya yang tepat secara normatif sesuai dengan cita-cita masyarakat Indonesia baru. Pendidikan selalu bersifat progresif tidak resisten terhadap perubahan, sehingga mampu mengendalikan dan mengantisipasi arah perubahan. Ketujuh, prinsip rekonstruksionis, bahwa kondisi masyarakat selalu menghendaki perubahan mendasar. Maka pendidikan harus mampu menghasilkan produk-produk pendidikan yang dibutuhkan oleh perubahan tersebut. Paham rekonstruksionis mengkritik pandangan pragmatis sebagai suatu pandangan yang cocok untuk kondisi yang relatif stabil. Pendekatan pemecahan masalah bersifat lebih berorientasi masa kini, sedangkan pendekatan rekonstruksionis lebih berorientasi masa depan dengan tetap berpijak pada kondisi sekarang. Kedelapan, prinsip pendidikan berorientasi pada peserta didik. Dalam memberikan pelayanan pendidikan, sifat-sifat peserta didik yang umum maupun yang spesifik harus menjadi pertimbangan. Layanan pendidikan untuk kelompok usia anak berbeda dengan remaja dan dewasa, termasuk perbedaan pelayanan bagi kelompok anak-anak berkelainan fisik dan mental termasuk pendekatan pendidikan bagi anak-anak di daerah terpencil tidak dapat disamakan dengan anak-anak di perkotaan. Kesembilan, prinsip pendidikan multicultural, bahwa sistem pendidikan harus memahami bahwa masyarakat yang dilayaninya bersifat plural, sehingga pluralisme harus menjadi acuan dalam mengembangkan pendidikan dan pendidikan dapat mendayagunakan perbedaan tersebut sebagai sumber dinamika yang bersifat posetif dan konstruktif (Fasli Jalal,2001:16-17). Kesepuluh, pendidikan dengan prinsip global dan era informasi, artinya pendidikan harus berperan dan harus menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global dan masyarakat pada era informasi.
Pendidikan Islam harus mulai berbenah diri dengan menyusun strategi untuk dapat menyongsong dan dapat menjawab tantangan perubahan tersebut, apabila tidak maka pendidikan Islam akan tertinggal dalam persaingan global pada era informasi. Dalam menyusun strategi untuk menjawab tantangan perubahan tersebut, paling tidak harus memperhatikan beberapa ciri, yaitu: (a) Pendidikan Islami, diupayakan lebih diorientasikan atau “lebih menekankan pada upaya proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching)”. (b) Pendidikan Islami dapat “diorganisir dalam suatu struktur yang lebih bersifat fleksibel”. (c) Pendidikan Islami dapat “memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri”, (d) Pendidikan Islami, “merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan”(Zamroni,2000:9), dan (e) Pendidikan Islami, dapat mengakses perkembangan teknologi informasi internet dan media informasi lainnya sebagai sarana pembelajaran. Kelima ciri ini, dapat disebut dengan paradigma pendidikan sistematik-organik yang menuntut pendidikan bersifat double tracks, artinya pendidikan sebagai suatu proses tentu tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakat, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi saat ini.
5. Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa; (1)
pendidikan Islami harus berbenah diri dengan menyusun strategi untuk dapat menjawab tantangan perubahan pada era
teknologi informasi, bila tidak maka pendidikan Islami akan tertinggal dalam
persaingan global pada era informasi ini; (2) lembaga-lembaga pendidikan Islami
harus berbenah diri dengan menyusun strategi untuk ikut aktif menjawab
tantangan perubahan dalam persaingan global dan era informasi; (3) pendidikan
Islami mampu mendisain sistem pendidikan untuk mampu menghasilkan lulusan yang
dibutuhkan dalam era ini; (4) pendidikan Islami membenahi menajmen dengan
mengakses perkembangan teknologi informasi komunikasi dan mendia informasi yang
lain sebagai sarana pembelajaran; (5) sistem pendidikan Islami menganut sistem
pendidikan multicultural, artinya sistem pendidikan harus memahami bahwa
masyarakat yang dilayani bersifat plural, sehingga pluralisme harus menjadi
acuan dalam mengembangkan pendidikan dan pendidikan dapat mendayagunakan
perbedaan tersebut sebagai sumber dinamika yang bersifat posetif dan
konstruktif.
DAFTAR PUSTAKAAN
Ahmad Tafsir, 1995, Epistimologi
untuk Ilmu Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati,
Bandung.
A. Malik Fadjar, 1995, Menyiasati Kebutuhan Masyarakat
Modern Terhada Pendidikan Agama Luar Sekolah, makalah disampaikan pada
Seminar dan Lokakarya “Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, IAIN,
Tgl. 31 Agustus – 1 September 1995,
Cirebon.
Comference Book, 1987, London.
Fasli Jalal, 2001, Reformasi Pendidikan dalam Konteks
Otonomi Daerah, Aditia Yogyakarta.
Hafid Abbas, 2015, Meluruskan Arah
Pendidikan, PT. Mardi Mulyo: Jakarta.
H.A.R. Tilaar, 1998, Beberapa Agenda Reformasi
Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, Cet. I, Tera Indonesia,
Magelang.
Hujair AH. Sanaky, 2003, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun
Masyarakat Madni Indonesia, Safiria Insania Press dan MSI, Yogyakarta.
Hujair AH. Sanaky, 2015, Pembaruan Pendidikan Islam, Paradigma, Tipologi,
dan Pemetaan Menuju Masyarakat Madani, Kaukaba, Yogyakarta, 2015.
Ibrahim Musa, Otonomi Penyelenggaraan
Pendidikan Dasar dan Menengah, From: http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm, Akses, 5 Juni 2002
Irwan Prayitno, Urgensi dan Peran Teknologi Informasi
dalam Pendidikan Islam, From: http://
www. irwanprayitno.or.id/a/0203/1101.html.
Jusuf Amir Feisal, 1995, Reformasi Pendidikan Islam,
Gema Insani Press, Jakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus versi online/daring (dalam jaringan), http://kbbi.web.id/eskatologis. akses, Selasa, 10 November 2015.
Malik
Fajar, 1999, Reorientasi Pendidikan Islam, Fajar Dunia, Jakarta.
Mastuhu,
1999, Pemberdayaan sistem Pendidikan Islam, Logos, Jakarta.
Mansur Fakih, 2002, Pendidikan Pupulas Membangun
Kesadaran Kritis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Bahas Tuntas: Pengertian, Fungsi dan Manfaat Internet, http://nesabamedia.com/pengertian-fungsi-dan-manfaat-internet/, akses, Selasa, 10-11-2015, jam, 13.45 WIB.
M. Khoirul Anam, Melacak Paradigma Pendidikan Islam,
Sebuah Upaya Menuju Pendidikan yang Memberdayakan, From:http://www.pendidikan.net/
mk. anam.htm.
Onno W. Purbo, 2000, Tantangan Bagi Pendidikan
Indonesia, Form: http://www. detik. com/
onno/jurnal/ 200004/ aplikasi/ pendidikan/p-19.shtml.
Paulo Freire, 1995, Pendidikan Kaum Tertindas, Terjemahan,
Utomo Dananjaya, LP3ES, Jakarta.
Suwarman al-Muhtar, “Arah Inovasi dalam Pembelajaran,
sebagai Upaya Strategis bagi Pembinaan Manusia Indonesia Tahun 2020”, makalah
disampaikan pada Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia III, Ujung Pandang,4-7
Maret 1996.
Suyanto dan Djihad Hisyam, 2000, Refleksi dan Reformasi
Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta.
Suyanto, 2006, Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam
Percaturan Dunia Global), PSAP Muhammadiyah, Jakarta.
Udin S. Sa’ud, 2002, Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management)
Sebagai Strategi Implementasi Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan Dalam
Rangka Otonomi Daerah”, Jurnal Administrasi Pendidikan, Jrusan Administrasi
Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia,
Bandung.
Winarno Surakhmad, Profesionalisme Dunia Pendidikan, From: http://www.
Bpk penabur.or.id/ kps-jkt/berita/ 200006/ artikel2.htm,
Jakarta, 27 Mei 2002.
Zamroni, 2000,
Paradigma Pendidikan Masa Depan, Bigraf Publishing, Yogyakarta.
[1] Hujair AH. Sanaky, Dr., MSI, adalah Dosen Tetap Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas
Islam Indonesia Yogyakarta. Makalah
disampaikan dalam Formulasi Konsep Dan Implementasi Pendidikan Islami Pada
Lembaga Pendidikan Di Aceh Majelis Pendidikan Daerah Aceh Banda Aceh – Indonesia, 14 – 15 November 2015.
[2] Reformasi muncul dengan berbagai penafsiran
mengenai arti reformasi seperti antara lain yang dikemukakan oleh Emil Salim
dan Din Syamsuddin dalam polemik perumusannya. Emil Salim menekankan arti
reformasi untuk perubahan dengan melihat keperluan masa depan. Din Syamsuddin
menekankan kepada kembali dalam bentuk asal. Tilaar mengatakan bahwa kedua
penafsiran reformasi tersebut sah-sah saja, karena keduanya menginginkan
perubahan. Tilaar menggunakan definisi kerja mengenai reformasi sebagai “to
make better by putting a stop to abuses or malpractices or by introducing
better procedures”. Di dalam definisi ini ditunjukkan perlu adanya suatu
perombakan menyeluruh dari suatu sistem kehidupan dalam aspek-aspek politik,
ekonomi, hukum, juga termasuk pendidikan. H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda
Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21 (Magelang: Tera
Indonesia, 1998), hal. 25.
[3] Euforia demokrasi yang sedang marak dalam
masyarakat melahirkan berbagai pemikiran, pendapat, pandangan, dan konsep
mengenai bentuk masyarakat dan bangsa Indonesia yang dicita-citakan di masa
depan, tetapi kadang-kadang satu sama lain bertentangan. H.A.R.
Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia:
Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999),
hal.
3. Untuk membangun suatu masyarakat yang disebut dengan “masyarakat madani”
atau sering juga disebut dengan istilah masyarakat “Indonesia Baru,” sebagai
ciri dari masyarakat demokrasi.
[4] “Kebablasan” diartikan atau dikonotasikan
dengan “kebebasan tanpa aturan”. Azyumardi Azra menyatakan sekarang ini di
kalangan masyarakat semakin berkembang “kelatahan sosial” seperti tuntutan
demokrasi yang diartikan sebagai “kebebasan tanpa aturan,” tuntutan otonomi
sebagai kemandirian tanpa kerangka acuan dan tuntutan hak asasi manusia yang
mendahulukan hak tanpa memperhatikan kewajiban, pada akhirnya berkembang ke
arah berlakunya hukum rimba yang memicu kesukubangsaan (ethnicity).
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan
Demokratisasi (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hal. xiv.
[5] Eskatologis/es·ka·to·lo·gis/ /éskatologis/ a “mengenai hal-hal terakhir”, seperti kematian, hari kiamat, kebangkitan Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus versi online/daring (dalam jaringan), http://kbbi.web.id/eskatologis, akses, Selasa, 10 November 2015,
jam.20.15 WIB.
[6] Istilah INTERNET berasal dari bahasa Latin “inter”, yang berarti
“antara”. Secara kata per kata INTERNET berarti jaringan antara atau
penghubung. Fungsinya,
INTERNET adalah menghubungkan berbagai jaringan yang tidak saling bergantung pada satu
sama lain sedemikian rupa, sehingga mereka dapat berkomunikasi. Sistem apa yang
digunakan pada masing-masing jaringan tidak menjadi masalah, apakah sistem DOS atau UNIX. Keseimpulan; Internet merupakan hubungan antar berbagai jenis komputer
dan jaringan di dunia yang berbeda sistem operasi maupun aplikasinya di mana
hubungan tersebut memanfaatkan kemajuan media komunikasi (telepon dan satelit)
yang menggunakan protokol standar dalam berkomunikasi yaitu protokol TCP/IP. https://nessaifana.wordpress.com/bab-1-pengertian-internet-dan-intranet/,
akses pada Selasa,10 November 2015, jam.15.30 WIB.
[7]Kedaan semacam ini, perlu dikoreksi mulai
dari tingkat pendidikan di sekolah dasar. Proses pembelajaran yang mementingkan
kemampuan analisis dan sistesis, sikap, minat, motivasi, dan kreativitas yang
tinggi terhadap pencapaian prestasi di kalangan “pembelajar” perlu segera
direkayasa (Suyanto & Djihad Hisyam, 2000: 64), sehingga mampu
melahirkan manusia yang memiliki kemampuan kreatif, inovatif, mandiri, dan
memiliki kebebasan dalam berpikir[Hujair AH. Sanaky, 2003:164].
[8] Seminar Aceh: Para pemakalah sepakat
bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islami ialah pendidikan yang berbasis
pada nilai-nilai Islami, yaitu nilai-nilai yang bersumber dari ajaran Islam.
Pendidikan berbasis nilai-nilai Islami adalah pendidikan yang bersifat integralistik,
humanistik, profetik, komprehensif, yang berakar pada budaya Islami. Rumusan Kesimpulan Seminar Internasional Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai
Islami, Banda Aceh pada tanggal 9 – 13 November 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar