PARADIGMA BARU DAN REKONSTRUKSI PENDIDIKAN
ISLAM DAN PENDIDIKAN KARAKTER DI ERA GLOBAL
I
PENDAHULUAN
Makalah ini ditulis atas permintaan Panitia
Seminar Internasional Pendidikan dengan tema adalah “Tantangan Pembelajaran Agama
dan Pendidikan Karakter di Era Global”. Sedangkan topik bahasan yang diberikan
kepada pemakalah adalah “Paradigma Baru dan Rekonstruksi Pendidikan Islam dan
Pendidikan Karakter di Era Global”. Dengan topik ini ada tiga bahasan utama
yaitu Paradigma Baru Pendidikan Islam; Rekonstruksi Pendidikan Islam; dan
Pendidikan Karakter. Tetapi karena Panitia
Seminar meminta ulasan makalahnya lebih fokuskan pada persoalan: (1) Perkembangan ilmu dan teknologi khususnya teknologi
informasi membawa dampak terhadap proses belajar; (2) Pendidikan agama dan
Pendidikan karakter menghadap tantangan sehubungan dengan kemajuan teknologi
informasi, khususnya bagis siswa dan guru; (3) Bagaimana
strategi guru menghadapi permasalahan ini, khususnya menyangkut strategi
pembelajaran, metodologi dan aspek paedagogis Pendidikan agama dan Pendidikan
karakter.
Pada era milenial sekarang ini perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, khususnya teknologi informasi telah membawa dampak terhadap
dunia pendidikan, terkait dengan persoalan dan kebijakan pendidikan, kurikulum, metode pembelajaran,
fasilitas, sumberdaya guru, sistem penilaian, dan administrasi pendidikan.
Dalam konteks ini, pendidikan Islam berhadapan dengan paradigma baru di era
mileniai sekarang ini. Paradigma pendidikan saat ini tantangannya berbeda
dengan zaman klasik dan pertengahan. Tentu saja, pendidikan Islam tidak akan
menghadapi paradigma baru sekarang ini dengan menggunakan paradigma lama,
karena situasi zaman, sosio-kultural masyarakat, dan perkembangan ilmu
pengetahuan-teknologi sudah jauh berebda. Persoalannya, bagaimana peran pendidikan
agama dan pendidikan karakter dapat menghadap tantangan kemajuan teknologi
informasi, khususnya bagi siswa dan guru. Bagaimana Pendidikan Islam berperan
sebagai benteng kepribadian-karakter, pembekalan hidup untuk andil dalam
persaingan di kanca era milenial. Sebab tantangan pendidikan Islam pada zaman
sekarang ini, selain menghadapi “pertarungan ideologi besar” dunia, tetapi juga
menghadapi berbagai kecenderungan yang terjadi dan begitu cepat.
Tantang paradigma
pendidikan Islam adalah bagaimana dapat melakukan proses transfer of value
(pengalihan nilai)-transfer teologi, ilmu-ilmu yang “sudah mapan” saja,
tetapi juga bagaimana proses pendidikan Islam dapat men-transfer of
knowledge, cultural transmission (pengalihan kebudayaan), human
development (pengembangan manusawi-proses humanisasi),
untuk dapat menjawab
persoalan aktual lingkungan hidup. Dengan demikian dalam proses pendidikan,
selain memperhatikan manusia sebagai “objek” dan “subjek” (humanisasi),
pendidikan juga perlu memperhatikan masukan-masukan dari eksternal (external
inputs) yang sangat luas cakupannya[2] antara lain yang salama ini dikenal dengan
kebudayaan. Ini berarti, proses pendidikan tidak hanya dilihat dari satu sudut
pandang saja, tetapi harus dilihat secara holistik. Kegiatan atau proses
pendidikan berlaku bagi manusia didasarkan pada unsur-unsur esensial yang
terdapat dalam pendidikan yang memahami manusia secara holistik.
Bagaimana strategi guru
menghadapi permasalahan ini. Dalam menghadapi persoalan tersebut seorang guru
tidak hanya sekedar transfer of knowledge pengetahuan saja, akan tetapi
juga “transfer value” untuk membentuk kepribadian-karakter peserta didik
sesuai kultur yang ada. “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, memberikan,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”.[3] Maka tuntutan terhadap guru dalam era teknologi
informasi dan komunikasi adalah sebagai pendidik yang professional, karena menurut
Muhadjir, fungsi guru sebagai pengajar sangat mungkin saja dapat digantikan
dengan berbagai fasilitas Teknologi Informasi Komunikasi (TIK), misalnya saja mesin
pencari di internet-dan-media lainnya. Tetapi peran guru sebagai pendidik
tidak mungkin dapat digantikan dengan teknologi apapun.[4]
Peran guru di era global dan teknologi informasi adalah kemampuan
untuk menggunakan berbagai fasilitas TIK dalam proses belajar mengajar. Peran
Pendidikan di era era global dan teknologi informasi adalah proses
mengembangkan “ilmu pengetahuan”, “keterampilan”
dan “sikap”, dengan menanamkan nilai-nilai keimanan, akhlak, karakter, kemanusian,
demokrasi, keadilan, hukum, egalitarian, toleransi, solidaritas, menegakan hak-hak dan kewajiban
perorangan dalam masyarakat untuk membangun dan memberdayakan manusia dan
masyarakat berkualitas yang memiliki kemampuan inovasi, kreatif, kooporatif,
kompotetif, menerima perubahan, sehingga pendidikan dapat mendatangkan
kemaslahatan, kenikmatan, dan kebahagian dalam kehidupan manusia Indonesia.[5]
Perlu disadari bahwa pada era melinial globalisasi telah
melahirkan “bermacam paradoks”
dalam kehidupan umat manusia. Katakan saja kemajuan di bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi telah membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia dengan
meningkatkan kemampuan manusia mengakses informasi yang berdampak pada
mempersingkat jarak, sehingga batas-batas wilayah, budaya, dan agama menjadi sangat
terbuka-transfaran, sulit dipertahankan. Interaksi manusia nyaris tanpa batas, tanpa
sekat, sehingga mempercepat daya jangkau pengaruh budaya antar umat manusia.
Fenomena modernitas-globalisasi ini telah menjagat dan menjadikan dunia sebagai
“desa-benua” dalam satu jangkauan yang cepat, menbuat kesadaran akan eksistensi-kehadiran
orang lain di luar diri sendiri atau kelompok-nya. Persoalannya bagaimana pendidikan
Islam dapat “menghadirkan paradigma baru” untuk membangun penguatan
agama-spritual-karakter, identitas sosial, dan budaya umat manusia dalam era
melenial ini.
Bila demikian maka pendidikan Islam harus proaktif, sebab
sektor pendidikan memiliki peran yang strategis dan fungsional dalam upaya
membangun masyarakat Indonesia pada era global ini. Pendidikan senantiasa berusaha untuk menjawab
kebutuhan dan tantangan yang muncul di kalangan masyarakat sebagai konsekuensi
dari suatu perubahan.[6] Katakan
saja, pendidikan sebagai "sarana terbaik yang didisain untuk menciptakan
suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan
tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara
intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari
adanya perkembangan-perkembangan disetiap cabang pengetahuan manusia".
Dari uraian di atas, maka bahasan makalah ini lebih
difokuskan pada: Pertama, paradigma baru dan rekonstruksi Pendidikan
dalam Islam, terdiri dari: (1) Paradigma Baru Pendidikan Islam; (2)
Rekonstruksi Pendidikan Islam. Kedua, membahas tentang pendidikan
karakter di era global. Ketiga, membahas perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi informasi. Keempat, membahas tentang strategi pembelajaran
Guru Di Era Global; dan Kelima,
adalah penutup.
II
PARADIGMA
BARU DAN REKONSTRUKSI PENDIDIKAN DALAM ISLAM
1
Paradigma
Baru Pendidikan Islam di Era Global
Paradigma
diartikan sebagai cara pandang dan cara berpikir.[7]
Paradigma sebagai dasar
sistem Pendidikan adalah cara berpikir atau skesta pandang menyeluruh yang
mendasari rancangan bangun suatu sistem Pendidikan.[8] Paradigma pendidikan merupakan pandangan
menyeluruh yang mendasari rancang bangun suatu sistem pendidikan.[9]
Maka pada saat memahami paradigma
pendidikan Islam, yang tersirat adalah “pendidikan Islami”, “pendidikan bercirikan
khas Islam” atau “pendidikan dalam Islam” sehingga mengindikasikan konsep
pendidikan yang dikembangan secara akurat yang bersumber pada dan dari ajaran
Islam yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis.
Bila diamati pelaksanaan
pendidikan Islam selama ini selain terjebak dalam pemikiran dikotomis (antara
”Islamic knowledge” dan ”non-Islamic knowledge”),[10]
tetapi konsep pendidikan
Islam juga terjebak atau terjadi inkonsisten dalam membangun konsep
pendidikan Islam. Katakan
saja, teori-teori pendidikan Islam yang digunakan diambil dari dunia barat atau
teori-teori yang berasal dari dunia barat dan budanyanya, tetapi dinamakan pendidikan Islam. Dengan
realitas ini, saya sering menggunakan istilah pendidikan Islami (Ahmad Tafsir) atau
pendidikan dalam Islam (Hujair AH.Sanaky), Pendidikan berbasis nilai-nilai
Islam (Seminar Banda Aceh; 2008) untuk dapat mengakomodasi
pemikiran-pemikiran tersebut, bukan pendidikan Islam. Bila menggunakan istilah pendidikan Islam
harus dikembangkan berdasarkan teori-teori Islami yang berasal dari
pemikiran intelektual dan ilmuan muslim
yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis. Pendidikan Islam harus keluar dari
“paradigma inkonsistensi” tersebut untuk mengembangkan paradigma “konsistensi”
yaitu mengembangkan pemikiran-gagasan-ide-ide berasal dari intelektual muslim
yang berdasarkan pada Qur’an dan Hadis.
Paradigma[11] pendidikan lama dimana ilmu pengetahuan
terpusat pada lembaga pendidikan formal, dengan program kurikulum yang
muatannya terlalu berat, berorientasi
pada pada produk belajar, bukan pada “proses belajar”, didominasi oleh masalah-masalah yang bersifat
normatif, ritual dan “eskatologis” (hal-hal terakhir),[12] akan mulai tergeser dengan paradigma
pendidikan baru. Ketika, melihat dan membaca kondisi ini, maka mau tidak mau,
suka tidak suka, pendidikan dalam Islam harus berani melalukan perubahan secara
signifikan baik aspek filosofis, visi-misi, tujuan, kurikulum, metodelogi, dan
sumberdaya-nya.
Paradigma lama,
“pengembangan pendidikan
Islam hanya dianggap berorientasi pada “keakhiratan” semata, “hanya mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan-nya (teosentris)
dan mengajak manusia
untuk kembali kepada kehidupan mulia dengan menjunjung tinggi budi
pekerti luhur”.[13] Katakanlah, persoalan keduniaan dianggap kurang penting. Artinya, “orientasi pendidikan lebih
banyak pada urusan ukhrawiyah dan nyaris
lepas dari urusan duniyawiyah”.[14] Pelaksanaan
“pendidikan Islam lebih banyak menekankan pada pendalaman ilmu-ilmu keagamaan (al-‘ulmu
al-diniyah)”,[15] karena dianggap sebagai jalan tol
atau jalan lurus untuk menuju kebahagian akhirat, sementara sains (ilmu
pengetahuan) dianggap terpisah dari agama atau
sama sekali bukan menjadi urusan agama.[16] Paradigma baru pendidikan dalam
Islam pengembangannya lebih
berioretasi pada pendidikan yang lebih bersifat holistik. Landasan
filosofis dan teori pendidikan Islam,
harus dikembangkan dan dijabarkan atas dasar asumsi-asumsi yang kokoh
dan jelas tentang: (a) konsep
dasar ketuhanan (ilahiyah-teosentris), (b) konsep dasar manusia (insaniyah-antropologis),
(c) konsep dasar alam
semesta dan lingkungan-cosmologis. Konsep ini disebut dengan “teo-antrposentris-cosmologis”.
Konsep ini harus didasarkan pada
al-Qur’an dan Hadis secara utuh, integratif dan interaktif.[17]
Dengan demikian, kerangka dasar pengembangan
pendidikan Islam adalah: Pertama,
filsafat dan teori pendidikan-nya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yaitu
Qur’an dan Hadis. Kedua, konsep pendidikan Islam tidak akan
terlepas dari filsafat ketuhanan (ilahiyah-teosentris) sebagai sumber
nilai (value), untuk motivasi pemikirannya, relevan dengan kepentingan manusia dan umat
manusia. Ketiga, pendidikan
dalam Islam tidak akan terlepas dari filsafat manusia “antroposentris” yang
dapat membangun kehidupannya, mengembangkan potensi manusia seutuhnya “insan
kamil” yaitu manusia yang bertaqwa, berpengetahuan, berketerampilan, merdeka,
berbudaya, kristis, toleran, taat hukum dan hak asasi, relevan dengan
lingkungan dan alam semesta. Keempat, pengembangan pendidikan dalam
Islam, tidak akan lepas dari persoalan “lingkungan hidup manusia” dan “alam
semesta” atau “cosmologis” yang merupakan sumber kehidupan dan
lingkungan yang selalu berubah mengikuti irama perubahan zaman. Ini berarti
dalam penerapan filsafat dan teori pendidikan, harus mempertimbangkan konteks
dengan supra sistem, koneteks dengan nilai, konteks dengan kepentingan dan
kebutuhan manusia dan masyarakat, konteks dengan bangsa dan negara, konteks
dengan sosial budaya, konteks dengan perkembangan dan perubahan zaman.[18]
Dalam mengembangkan paradigma baru pendidikan Islam harus
berorientasi kepada pembangunan dan pembaruan, pengembangan kreativitas,
intelektualitas, keterampilan, kecakapan penalaran yang dilandasai dengan
keluhuran moral dan kepribadian, sehingga pendidikan dalam Islam akan mampu
mempertahankan relevansinya di tengah-tengah laju pembangunan dan pembaruan paradigma
sekarang ini, sehigga pendidikan dalam Islam
akan melahirkan manusia yang belajar terus (long life education),
mandiri, disiplin, terbuka, inovatif, mampu memecahkan dan menyelesaikan
berbagai problem kehidupan,[19] serta
berdayaguna bagi kehidupan dirinya dan masyarakat. Paradigma baru pendidikan dalam Islam harus diorientasikan
kepada pembangunan, pembaruan, pengembangan kreativitas, intelektualisme,
keterampilan, kecakapan, penalaran, inovatif, mandiri, disiplin dan taat hukum,
terbuka dalam masyarakat plural, dan mampu menghadapi serta menyelesaikan
persoalan pada era globalisasi dengan dilandasi keanggunan moral
dan akhlak dalam usaha
membangun manusia dan masyarakat yang berkualitas bagi kehidupan dalam
masyarakat Indonesia.[20]
Dari pandangan di atas, “paradigma baru pendidikan Islam
yang dimaksud di sini adalah pemikiran yang terus-menerus harus dikembangkan
melalui pendidikan untuk merebut kembali kepemimpinan Iptek, sebagaimana zaman
keemasan dulu. Pencarian paradigma baru dalam Pendidikan Islam dimulai dari
konsep manusia menurut Islam, pandangan Islam terhadap Iptek, dan setelah itu
baru dirumuskan konsep atau sistem pendidikan Islam secara utuh”.[21]
Dengan demikian, pendidikan Islam harus dikembangkan
berdasarkan paradigma yang berorientasi pada:
(1) Paradigma baru pendidikan
Islam didasarkan pada filsafat
teocentris-antroposentris-cosmologis sekaligus. Artinya,
pendidikan Islam yang ingin dikembangkan adalah pendidikan yang menghilangkan
atau tidak ada dikotomi antara ilmu dan agama, serta ilmu tidak bebas nilai
tetapi bebas dinilai. Mengajarkan agama
dengan bahasa ilmu pengetahuan dan tidak hanya mengajarkan sisi tradisional,
melainkan juga sisi rasional”.[22]
(2) Pendidikan hendaknya memiliki
visi dan misi yang berorientasi pada demokratisasi bangsa, sehingga
memungkinkan terjadinya proses pemberdayaan seluruh komponen masyarakat secara
demokratis. Partisipasi masyarakat secara menyeluruh, sehingga secara mayoritas
seluruh komponen bangsa ada dalam masyarakat terdidik. Mampu membangun keilmuan dan kemajuan kehidupan
yang integratif antara nilai spritual, moral, dan meterial bagi kehidupan manusia.
(3) Pendidikan
Islam mampu membangun kompotisi manusia dan mempersiapkan kehidupan yang lebih
baik berupa manusia
demokratis, kompetetif, inovatif, berkemajuan, berkeadaban dan berdasarkan
nilai-nilai Islam.
(4) Pendidikan
Islam harus disusun atas dasar kondisi lingkungan masyarakat, baik kondisi masa
kini maupun kondisi pada masa akan datang, karena perubahan kondisi lingkungan
merupakan tantangan dan peluang yang harus diproses secara capat dan tepat.
Pendidikan Islam yang dikembangkan selalu diorientasikan pada perubahan
lingkungan, karena pendekatan masa lalu hanya cocok untuk situasi masa lalu dan
sering tidak tepat jika diterapkan pada kondisi berbeda, bahkan sering kali
menimbulkan problem yang dapat memundurkan dunia pendidikan.
(5) Pembaruan
pendidikan Islam diupayakan untuk memberdayakan potensi umat yang disesuai dengan kebutuhan kehidupan
masyarakat Indonesia berkemanjuan. Sistem pendidikan Islam harus
dikembangkan berdasarkan karakteristik masyarakat yang demokratisasi, memiliki
kemampuan partisipasi sosial, mentaati dan menghargai supermasi hukum, menghargai
hak asasi manusia, menghargai perbedaan (pluralism), memiliki kemampuan
kompotetif dan kemampuan inovatif.
(6) Penyelenggaraan
pendidikan Islam harus diubah berdasarkan pendidikan demokratis dan pendidikan
yang bersifat desentralistik baik dalam manajemen maupun dalam penyusunan
kurikulum harus disesuaikan dengan tuntutan pendidikan demokratis dan
desentralistik. pendidikan Islam harus mampu mengembangkan kemampuan untuk
berpartisipasi di dalam dunia kerja, mengembangkan sikap dan kemampuan inovatif
serta meningkatkan kualitas manusia.
(7) Pendidikan
Islam lebih menekankan dan
diorientasikan pada proses pembelajaran, diorganisir dalam struktur yang
lebih bersifat fleksibel, menghargai dan memperlakukan peserta didik sebagai
individu yang memiliki potensi untuk berkembang, dan diupayakan sebagai proses
berkesinambungan serta senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
(8) Pendidikan
Islam harus di arahkan
pada dua dimensi, yaitu “Pertama, dimensi dialektika (horizontal) yaitu
pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia
dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya dan manusia harus mampu mengatasi
tantangan dunia sekitarnya melalui pengembangan iptek, dan Kedua, dimensi ketunduhan vertikal,
yaitu Pendidikan selain sarana untuk memantapkan, memelihara sumberdaya alam
dan lingkungannya, juga memahami hubungannya dengan Sang Maha Pencipta, yaitu
Allah Swt”.[23]
(9) Pendidikan
Islam lebih diorientasikan pada upaya “pendidikan sebagai proses pembebasan,
pendidikan sebagai proses pencerdasan, pendidikan menjunjung tinggi hak-hak
anak, pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian, pendidikan sebagai proses
pemberdayaan potensi manusia, pendidikan menjadikan anak berwawasan integratif,
pendidikan sebagai wahana membangun watak persatuan, Pendidikan menghasilkan
manusia demokratik, pendidikan menghasilkan manusia perduli terhadap lingkungan”,
dan harus dibangun suatu pandangan bahwa “sekolah bukan satu-satunya instrumen
pendidikan”,[24]
karena pada era informasi sekarang ini, informasi ilmu pengetahuan dapat
diperoleh dari berbagai media ilektornik dan media massa, seperti : internet
dengan peran web, homepage, cd-rom, diskusi di internet, dan televisi, radio, surat
kabar, majalah yang merupakan alat bantu yang akan sangat mempercepat proses distributed
knowledge.[25]
Dari kerangka pemikiran di atas, paradigma baru pendidikan
Islam harus dilakukan dengan beberapa terobosan: (1) Terobosan pertama,
pendidikan yang dikelola lembaga-lembaga pendidikan Islam sudah harus
diupayakan untuk mengalihkan
paradigma yang berorientasi ke masa lalu (abad pertengahan) ke paradigma yang
berorientasi ke masa depan, yaitu mengalihkan dari paradigma pendidikan
yang hanya mengawetkan kemajuan, ke paradigma pendidikan yang merintis
kemajuan, mengalihkan paradigma dari yang berwatak feudal ke paradigma
pendidikan berjiwa demokrati.[26]
(2) Terobosan kedua adalah sikap “menghilangkan dikotomik” dengan mengintegrasikan sikap
inklusif kepada sivitas akademika. Karena tanpa adanya sikap inklusif,
termasuk inklusivitas dalam disiplin keilmuan sebagai paradigma
integrasi-interkoneksi-interkolerasi ilmu, maka pemahaman dan pengembangan
pendidikan dalam Islam akan mandul, sebab telah terbentuk sejak dini dari
paradigma normative-teologis ideal bersifat abstrak yang kurang emperis atau
membumi. (3) Teroboran ketiga, yang harus dilakukan adalah mengintegrasikan ilmu Pendidikan
Agama Islam dan no-pendidikan agama Islam. Ilmu pengetahuan alam (IPA),
ilmu pengetahuan sosial (IPS), dan humaniora seharusnya dioptimalkan sebagai
pisau analisis dalam setiap perbincangan ilmu pendidikan dalam Islam. Katakan
saja, perkembangan-perkembangan terbaru dari keempat rumpun tersebut harus
segera didialogkan, diintegrasikan-iinterkoneksikan satu sama lain.[27]
(3) Terobosan keempat, budaya
inkulusif-integrasi-interkoneksitas-interkorelasi pendidikan Islam yang didukung
dan dikembangkan secara maksimal. Maka di masa-masa berikutnya akan
tumbuh gerenasi yang berpikir inklusif dan terhindar dari cara berpikir enklusif. Akan tumbuh generasi yang memiliki sikap
terbuka dan mampu mengintegrasikan-interkoneksitaskan-interkoreasikan barbagai
disiplin keilmuan, sehingga akan tumbuh generasi yang dapat berkembang
mengikuti irama perubahan zaman yang serba cepat-taransfaran, “bukan generasi
yang tertatih-tatih dengan serangkaian sikap defensif-apologis”.[28]
2
Rekonstruksi Pendidikan Islam di Era
Global
Berdasarkan paradigma baru di atas, paling tidak telah
memberikan rekonstruksi terhadap asas-asas yang mendasar atau arah pendidikan
di dalam usaha meletakan dasar yang paling rasional untuk mengubah praksis
pendidikan di dalam rangka membangun masyarakat Indonesia berkeadaban yang
demokratis, religius, inovatif, konpetitif,
taat hukum, menghargai
pluralisme, hak-hak asasi
manusia, dan mengembangkan
tanggungjawab masyarakat untuk menghadapi lingkungan global. Tuntutan
masyarakat terhadap kualitas
pendidikan memang sangat terkait dengan
perubahan cara berpikir dan cara pandang dalam hidup dan kehidupan masyarakat,
karena proses pendidikan itu sendiri “dipandang sangat berkaitan dengan
kepentingan manusia dan masyarakat untuk masa kini dan masa yang akan datang”. [29]
Dari cara berpikir ini, maka pelaksanaan pendidikan diakui sangat terkait
dengan “life is education and
education is life”,[30] dalam arti pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan
manusia serta seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses
pendidikan. Apabila bertolak dari
pandangan ini, maka pendidikan
Islam pada dasarnya hendak mengembangkan “pandangan hidup Islami” yang
diharapkan tercermin dalam sikap dan keterampilan hidup orang Islam.[31] Menurut penulis, penggunaan nilai-nilai
Islam dalam pendidikan adalah “sebagai sudut pandang secara menyeluruh (total
outlook) mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gejala-gejala
pendidikan dalam rangka menyusun teori pendidikan”[32] untuk membangun manusia terdidik dan berkualitas.
Bila ingin merekonstruksi pendidikan dalam Islam di era global
ini, maka persoalan pertama
yang harus di tuntaskan adalah persoalan “dikotomi”. Artinya harus berusaha
mengintegrasikan kedua ilmu tersebut baik secara filosofis, kurikulum,
metodologi, pengelolaan, bahkan sampai pada departementalnya. Katakan saja, perubahan orientasi
pendidikan dalam Islam harus dilakukan yaitu “bukan hanya bagaimana membuat
manusia sibuk mengurusi dan memuliakan Tuhan dengan melupakan eksistensinya,
tetapi bagaimana memuliakan Tuhan dengan sibuk memuliakan manusia dengan
eksistensinya di dunia ini.[33] Menurut
penulis, bagaimana pendidikan dalam Islam
harus mampu mengembangkan potensi manusia seoptimal mungkin, sehingga
menghasilkan manusia yang memahami eksistensinya, dapat mengelola dan
memanfaatkan dunia sesuai dengan kemampuannya. Dengan dasar ini, maka materi
pendidikan dalam Islam harus di desain untuk dapat mengakomodasi
persoalan-persoalan yang menyangkut dengan kebutuhan manusia, yaitu
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, teknologi, seni serta budaya,
sehingga mampu melahirkan manusia yang berkualitas, handal dalam penguasaan
ilmu pengetahuan, keterampilan, unggul dalam moral yang di dasarkan pada
nilai-nilai ilahiah sebagai produk pendidikan Islam.[34]
Dalam upaya merekonstruksi pendidikan dalam Islam, sangat
perlu memperhatikan prinsip-prinsip pendidikan dalam Islam, yaitu: (1) Pendidikan
Islam merupakan bagian dari
sistem kehidupan Islam, artinya “pendidikan merupakan persoalan hidup
dan kehidupan manusia serta seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah
proses Pendidikan”.[35] Pendidikan
dalam Islam berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam adalah proses
bertumbuhkembangnya pendidikan dan umatnya, baik Islam sebagai agama, ajaran, Islam sebagai ilmu, maupun sebagai
sistem dan budaya. Artinya, pendidikan dalam Islam dipahami sebagai proses
internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai moral Islam, pembudayaan, pewarisan
ajaran agama, sikap, perilaku, budaya dan peradaban Islam dari generasi ke
generasi sepanjang sejarah umat manusia. (2) Pendidikan dalam Islam merupakan sesuatu konsep pendidikan yang integrated
artinya mempunyai kaitan yang membentuk suatu kesatuan yang integral dengan
ilmu-ilmu yang lain. Sebenarnya konsep pendidikan dalam Islam sebanarnya tidak
memisahkan kedua ranah tersebut antara ”Islamic knowledge” dan ”non-Islamic
knowledge”, karena pendidikan dalam Islam menggunakan paradigama integratif. (3)
Pendidikan dalam Islam
merupakan life long process sejak dini kehidupan manusia. Maka
pendidikan merupakan proses transfer of knowledge, cultural
transmission (pengalihan kebudayaan),
human development (pengembangan manusawi), dan transfer of value
(pengalihan nilai) sepanjang kehidupan manusia. (4) Pendidikan dalam Islam berlangsung melalui suatu proses
yang dinamis. Mampu menciptakan iklim dialogis dan interaktif antara
pendidik dan peserta didik. (5) Pendidikan dalam Islam dilakukan dengan memberi lebih banyak mengenai
pesan-pesan moral pada peserta didik. Konsep “Pendidikan dalam Islam
lebih menyeimbangkan antara imtak dan iptek. Pendidikan dalam Islam
dikonsepsikan sebagai aktualisasi nilai-nilai Ketuhanan-Ilahiyah-teosentris,
nilai kemanusian-antroposentris, dan nilai-nilai lingkungan-cosmologis”[36]-lahirlah
konsep pendidikan yang teo-antroposentris-cosmologis.
Persoalannya apa yang harus direkontruksi dari pendidikan
Islam, yaitu; Pertama, “pendidikan
Islam selalu bergerak dengan
perspektif “inward looking”
(berorientasi kedalam)”. Sudah
saatnya pada era global ini “pendidikan Islam harus mulai membuka diri dengan menggunakan perspektif “outward
looking” (berorientasi keluar), yakni memahami apa
yang terjadi dan berkembang di dunia global untuk kemudian mengantisipasinya
dengan perbaikan-perbaikan ke dalam”.[37] Kedua, mengintegrasikan ilmu Pendidikan Agama Islam dan
no-pendidikan agama Islam. Ilmu pengetahuan alam (IPA), ilmu pengetahuan
sosial (IPS) dan humaniora, seharusnya dioptimalkan sebagai pisau analisis
dalam setiap perbincangan ilmu pendidikan dalam Islam. Ketiga, perlu perubahan kurikulum. Konsep pendidikan Islam
terlihat kental dengan warna teologis dari pada nuansa filosofis. Kurikulum
didominasi oleh meteri-materi yang diajarkan bernuansa teologis, seperti fiqih,
kalam, tasawuf, aqidah-akhlak, tarikh, tafsir, hadis, dan lain sebagainya, harus
dilakukan perubahan dengan masuk dalam kawasan filsafat dan ilmu pengetahuan,
ilmu-ilmu kauniyah (Iptek atau science and technology). Keempat, perubahan metodologi pendidikan Islam, karena metodologi pendidikan Islam yang
berjalan saat ini masih sebatas pada sosialisasi nilai dengan pendekatan
hafalan teks-teks keagamaan yang sudah ada. Seharusnya dapat mengembangkan
metode pembelajaran yang mengembangkan
“kemampuan nalisis, kemampuan mencari, dan memecahkan suatu problem dari teks-teks
keagamaan yang dapat diaktualisasikan dalam proses belajar mengajar
pendidikan Islam”.[38] Kelima, persoalan
klasik yang belum terpecahkan sampai saat ini adalah persoalan managemen, ketenagaan-SDM, sumber
dana, sampai masalah infrastruktur yang harus-perlu diperbaiki.
Dalam hal rekonstruksi
pendidikan Islam, seharusnya tidak sekedar membentuk kesalehan individual
semata, kesadaran spritual semata, tetapi juga harus membentuk kesalehan
sosial.[39] Rekonstruksi orientasi pendidikan diarahkan
untuk membentuk individu muslim yang mempunyai kesadaran “profetik” (kenabian)
dengan karakter emansipatif, liberatif, transendental mampu membaca problem
empirik di sekitarnya sehingga ia mampu terlibat dalam penyelesaian problem. Kuntowijoyo, berhasil mengkontruksi ilmu
sosial profetik yang berlandaskan pada humanisasi, liberasi, dan transendensi
yang memiliki konsen pada kepentingan sosial (social significance),
termasuk pendidikan. Mungkin saja ketiga elemen utama konsep Kuntowijoyo
tersebut dapat diadopsi kedalam konsep pendidikan Islam profetik, mengingat
ketiganya dapat digunakan untuk meminimalis praktik-praktik
dehumanisasi-deliberasi-detransendensi.[40]
Dalam konteks pendidikan
Islam, membangun “orientasi dan arah kehidupan manusia menurut al-Quran adalah
iman, ihsan dan taqwa sebagai kualitas ke-Islam-an seseorang yang terpola dalam
laku ibadah dan kehidupan. Dengan pola tersebut, maka pendidikan Islam adalah
tindakan sadar diri secara sosial yang dilakukan secara terencana guna
mengarahkan seluruh manusia kepada Islam yang berkualifikasi iman, ihsan, dan
taqwa yang membentuk pola kelakuan ibadah[41] dalam
kehidupan. Pendidikan Islam tidak
melepaskan diri dari ketiga domain pendidikan
(kognitif, afektif, psikomotor) kebebasan dalam Islam diukur menurut
kriteria agama, akhlak, tanggungjawab, dan kebenaran. Keempat inilah yang
menjadi pembatas agar kebebasan tidak mengarah kepada anarki. Tetapi pendidikan
Islam juga harus mampu mengantisipasi masa depan umat Islam yang akan
berhadapan dengan berbagai idiologi besar dan tantangan-tantangan lain seperti
disintegrasi sosial, makin melajunya proses sekulerisasi dan spesialisasi
kecenderungan materialisme.[42]
Rekonstruksi orientasi
pendidikan Islam adalah: Pertama, pendidikan harus mampu
membangun keilmuan dan kemajuan kehidupan yang integrative antara nilai
sepiritual, moral, dan nilai material bagi kehidupan manusia. Kedua,
pendidikan harus mampu membangun kompetisi manusia dan mempersiapkan kehidupan
yang lebih baik berupa manusia demokratis, kompetitif, inovatif bedasarkan
nilai-nilai Islam. Ketiga, pendidikan harus disusun atas dasar
kondisi ligkungan masyarakat, baik kondisi masa kini maupun kondisi pada masa
akan datang, karenaperubahan kondisi lingkungan merupakan tantangan dan peluang
yangharus di proses secara cepat dan tepat. Keempat, pembaharuan
pendidikan harus diupayakan untuk memberdayakan potensi umat yang disesuaikan
dengan kebutuhan kehidupan masyarakat. Kelima, pendidikan harus
lebih diorientasikan pada upaya “pendidikan sebagai proses pembebasan,
pendidikan sebagai proses pencerdasan, pendidikan menjunjung tinggi hak-hak
anak, pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian, pendidikan sebagai proses pemberdayaan
potensi manusia, pendidikan menjadikan anak berwawasan integrative, pendidikan
sebagai wahana membangun watak persatuan, pendidikan menghasilkan manusia
demokratik, pendidikan menghasilkan manusia peduli terhadap lingkungan.[43]
Rekonstruksi konsep
pendidikan Islam adalah pendidikan yang mengakses perubahan. Maka dalam
merekonstruksi pendidikan Islam munkin saja dapat mengakomodasi konsep pendidikan
profetik yang dikembangkan oleh Kuntowijoyo. Artinya, Kuntowijoyo berhasil
mengkontsuksi ilmu sosial profetik yang berlandaskan pada humanisasi, liberasi
dan transendensi yang memiliki konsen pada kepentingan sosial (social
significance), termasuk pendidikan. Gagasan pendidikan profetik
Kuntowijoyo, berpijak pada tiga elemen utama,
merupakan implementasi dari paradigma humanisme-teosentris atau
teo-antroposentris. Ketiga elemen tersebut dapat diadopsi untuk me-rekonstruksi
pendidikan Islam untuk dapat membantu meminimalisir parakter-paraktek
dehumanisasi, diliberasi, dan detransendensi. Ketiga elemen tersebut, yaitu:
Pertama, elemen humanisasi; akan mempengaruhi
perubahan sikap dan pemikiran eksklusif dan menghantarkan manusia kepada sikap
inklusif. Dengan berpijak
pada kemerdekaan-keadilan dengan pendekatan simpati dan empati, penanaman nilai
etis humanistik untuk mengurangi tindakan penindasan-dehumanisasi. Humanisasi
juga merupakan proses pemberdayaan peserta didik melalui transfer of
knowledge, transfer of value, transfer of cultural, dan transfer
of methodology, sehingga kecerdasan peresta didik dapat berimbang. Dalam
konsep fitrah, memandang manusia sebagai makhluk yang memeiliki potensi-potensi
tauhidiyah, insania (SDM) yang dapat dikembangkan sehingga mampu berperan
sebagai khalifah Allah di bumi dan dapat mendekatkan diri kepada Tuhan.
Humanisasi dalam konteks Islam adalah memberikan penghargaan yang tinggi terhadap
harkat dan martabat manusia dalam rangka pengembangan SDM yang dimilikinya.
Kedua, elemen liberasi; menuntut pendidikan memberdayakan,
membebaskan, dialogis, dan membuka peluang untuk tumbuh kembangnya daya kritis
dan kreatif perserta didik melalui pola pikir emperik historis, bukan deduktif
normatif, melalui proses penyadaran atau konsientisasi dalam istilah Paulo Freire”.[44] Pendidikan
liberasi - membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan-dehumanisasi, pembebasan
dari kebodohan, dan keterbelakangan. Dalam “perspektif kritis urusan pendidikan
adalah melakukan reflektif kritis, terhadap “the dominant ideology” ke
arah transformasisosial”. “Pendidikan
adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur
ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi, dan advokasi menuju sistem sosial
yang lebih adil. Pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk
mengidentifikasi, menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi
social.[45] Tugas
utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami
dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Ketiga, elemen transendensi; berarti
mengembalikan segala sesuatu pada hakikat yang paling mendasar. Upaya manusia untuk mencapai derajat yang
lebih tinggi dan mulia dari apa yang dicapainya. Mengembalikan fitrah manusia
kepada Tuhan (teosentris) melalui pendidikan keimanan dengan pendekatan
tauhidiyah sebagai tumpuan dan pangkal tolak segala sesuatu atau muara
kehidupan. Menurut Kuntowijoyo,“agama
tidak boleh sekedar memberi legitimasi terhadap sistem sosial, tetapi harus
memperhatikan dan mengontrol atau menjadi alat ukur perilaku manusia”.[46] “Pendidikan dalam Islam dapat dikembangkan
berdasarkan paradigm filsafat teo-antroposentris-cosmologis. Pendidikan berbsis
tauhidiyah (keimanan), berakhlak, berbudaya, mencerdaskan, berketerampilan,
memberdayakan, membebaskan manusia dari belenggu keduniaan”.[47]
Dengan demikian nilai “transendensi yang bersifat profetik adalah
pemberian makna ubudiyah dalam proses liberasi dan humanisasi”.[48]
III
PENDIDIKAN
KARAKTER DI ERA GLOBAL
Untuk menghadapi pengaruh negatif era globalisasi, “bangsa
Indonesia-terutama generasi muda-harus memperkuat (kembali) moralitas dan
karakter agar tidak terbawa arus negatif di era globalisasi ini”.[49]
Menurut The Random House Dictionary of the English
Language, character (karakter) adalah “the aggregate of
features and traits that form the individual nature of some persons or things”[50]
(keseluruhan ciri khas sifat dan perangai yang membentuk watak sekelompok orang
atau barang).[51] Dalam kamus yang sama, morality (moralitas)
diartikan sebagai “conformity to the rule of right conduct; moral or
virtuous conduct”[52]
(sesuai dengan aturan perilaku yang benar; moral atau perangai yang baik).[53] Dengan demikian karekter, watak, dan
moralitas sangat berkaitan atau sangat melekat pada diri seseorang atau
sekelompok orang.
Dalam Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, pasal 3, pendidikan nasional
berfungsi untuk mengembangkan kemampuan, membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.[54] Dalam teori pendidikan dikenal tiga ranah
dalam taksonomi tujuan pendidikan. (1) Ranah kognitif-pengetahuan (tahu apa), menekankan
aspek untuk mengingat dan mereproduksi informasi yang telah dipelajari, yaitu
untuk mengkombinasikan cara-cara kreatif dan mensintesakan ide-ide dan materi
baru. (2) Ranah afektif-sikap (tahun mengapa), menekankan aspek emosi,
sikap, apresiasi, nilai atau tingkat kemampuan menerima atau menolak sesuatu.
(3) Ranah psikomotorik-keterampilan (tahu bagaimana), menekankan pada tujuan untuk melatih
keterampilan,[55]
akan lahir manusia yang berpengetahuan, sikap, berkarya, produktif, inovatif,
kreatif yang berperilaku berkarakter.
Dalam grand desain
pendidikan karakter Kementrian Pendidikan Nasional,
Pendidikan karakter dimaksudkan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik agar memiliki nilai-nilai luhur dan perilaku
berkarakter meliputi olah pikir, olah hati, olah raga, dan olah rasa.[56]
Jika dicermati sebenarnya pendidikan
karakter yang mencakup empat ranah tersbut yang dikembangkan dalam pembahasan pendidikan
karakter juga mengacu pada karakter keperibadain - akhlak Rasulllah Muhammad, mencakup,
fathonah (cerdas), sifat ini sebagai ujud dari hasil olah pikir itu
sendiri; siddiq (jujur), sifat ini dapat digambarkan sebagai hasil dari
olah hati; amanah (bertanggungjawab), sifat ini merupakan ujud dari olah kinesthetic; dan tabligh (peduli),
sifat ini sebagai hasil dari olah rasa.
Dari grand desain pendidikan karakter Kementrian
Pendidikan Nasional, secara rinci ruang lingkup pendidikan karakter meliputi; (1) Ranah Olah Pikir; yaitu mengembangkan
kecerdasan intelektual, cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir
terbuka, produktif, berorientasi iptek, dan reflektif. (2) Ranah Olah Hati, yaitu
mengembangkan kecerdasan spiritual, beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil,
bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, reka
berkorban, berjiwa patriotik. (3)
Ranah Olah Raga (kinesthetic); yaitu melatih kecerdasan sosial
dan kebiasaan hidup bersih, bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh,
andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determininatif, kompetitif,
ceria, gigih. (4) Ranah Olah Rasa-Karsa;
yaitu mengembangkan kecerdasan emosional dan karakter peduli, ramah, saling
menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong royong, nasionalis,
kosmopolit, mengutamakan kepentingan umum, bangga menggunakan bahasa dan produk
Indonesia, dinamis, kerja keras, beretos kerja.[57]
Katakan saja ada sembilan pilar karakter yang berasal
dari nilai-nilai luhur universal manusia yang meliputi nilai-nilai; (1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) Kemandirian dan
tanggungjawab; (3) Kejujuran dan amanah; (4) Hormat dan santun; (5) Dermawan,
suka tolong menolong dan gotong royong atau kerjasama; (6) Percaya diri dan
pekerja keras; (7) Kepemimpinan dan keadilan; (8) Baik dan rendah hati; dan (9)
Toleransi, kedamaian dan kesatuan.[58] Dalam pandangan yang sama, walaupun ada sedikit
berbeda adalah Westwood, mengelompokan ruang lingkup Pendidikan karakter ke
dalam sembilan pilar utama yang saling terkait, yaitu; (1) Responbility (tanggungjawab);
(2) Respect (rasa hormat); (3) Fairness (keadilan); (4) Courage
(keberanian); (5) Honesty (kejujuran); (6) Citizenship
(kewargaanegara); (7) Self-discipline (disiplin diri); (8) Caring
(peduli); dan (9) Persecerance (ketekunan).[59]
Perbedaanya terletak pada nilai-nilai Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya.
Penguatan dan pemberdayaan nilai-nilai moral dan karakter
diarahkan untuk menguatkan watak, budi
pekerti, dan kepribadian dalam kehidupan pada era globalisasi ini. Cara yang
dapat dilakukan, adalah dengan; Pertama, penguatan (kembali) sendi-sendi
kepercayaan dan moral keagamaan dalam kehidupan masyarakat. Dengan penguatan pilar kerpecayaan dan moral
keagamaan tersebut diharapkan muncul nilai-nilai relegius-teosentris, kesalehan
sosial, jujur, toleransi, sifat amanah, dan tanggung jawab. Kedua,
penguatan nilai kebangsaan dan nilai-nilai kewargaannegara berbasis Pancasila
dalam kehidupan berbangsa. Dari pilar
penguatan nilai kebangsaan, diharapkan akan muncul nilai-nilai demokratis,
semangat kebangsaan, toleran. Ketiga, penguatan identitas sebagai
bangsa Indonesia. Dari pilar penguatan ini akan muncul nilai-nilai identitas
diri dan jati diri bangsa, cinta tanah air, cinta damai, memiliki rasa
kebangsaan (nasionalisme). Keempat, pengembangan dan penguatan
sikap mandiri dan sikap kompetitif yang sehat. Dari pilar ini akan muncul nilai
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, menghargai prestasi,
dan bersahabat/komunikatif. Kelima, penguatan sikap berorientasi
ke depan (future oriented), agar termotivasi untuk berprestasi di bidang
ekonomi, social budaya, sains, dan teknologi. Pencapaian dari aspek ini akan
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa. Keenam,
penguatan dan pengembangan istitusi-institusi Pendidikan di setiap jenjang dan
satuan Pendidikan. Dari pilar ini akan lahir nilai-nilai gemar membaca, ide-ide
baru, temuan-temuan baru, ilmu pengetahuan dan teknologi baru. Ketuju,
penguatan kemampuan kreativitas dan pemberdayaan mental membangun dalam rangka melaksanakan inovasi-modernisasi
di segala bidang kehidupan. Kedelapan, pengegakan hukum, HAM dan
demokrasi dalam arti yang sebenarnya,[60]
dan peduli terhadap lingkungan sosial dan atau kesalehan sosial.
Untuk mewujudkan “konsep pendidikan karakter”, dapat
dilakukan melalui Tri Puasat Pendidikan, yaitu Sekolah, rumah, dan
masyarakat. Atau lebih luas lagi dilakuakan melalui Catur Pusat Pendidikan,
yaitu; sekolah, rumah, masyakat, dan rumah-rumah ibadah (masjid). Pertama,
dimulai dari pendidikan di sekolah untuk membentuk kompetensi kognitif, afektif, diorientasikan
pada tataran moral action-psikomotor, agar peserta didik tidak hanya berhenti pada kompetensi
(competence) memahami-memiliki saja, tetapi sampai memiliki kemauan (will),
dan kebiasaan (habit)
dalam mewujudkan nilai dalam kehidupan sehari-hari atau “menjadi”. Peran
dan fungsi dari guru, pempinan sekolah, dan tendik sekolah untuk melalukan
pendidikan dan pengajaran untuk membentuk nilai-nilai karakter. Kedua, adalah pendidikan di “rumah”,
yaitu melakukan pembisaan dan penanaman nilai-nilai karakter tersebut di
rumah, sehingga melahirkan perilaku anggota keluarga yang berkarakter-berkeadaban-berakhlak.
Butuh peran dan fungsi dari orang tua dan anggota keluarga secara optimal untuk
melalukan pembiasaan-perilaku, pembinaan untuk menamkan nilai-nilai karakter-akhlak. Ketiga, adalah pendidikan di
“masyarakat”, yaitu melakukan pembisaan nilai-nilai karakter di lingkungan
masyarakat, yang akan melahirkan perilaku anggota masyarakat berkarakter-berkeadaban-berakhlak.
Butuh peran serta dan fungsi dari tokoh masyarakat dan anggota masyarakat untuk
melalukan pembiasaan-perilaku untuk menamkan nilai-nilai perilaku karakter-akhlak. Keempat, adalah pendidikan di
rumah-rumah Ibadah (Masjid), yaitu melakukan pembisaan dan penanaman nilai-nilai
agama di Mesjid, sehingga akan melahirkan perilaku keagamaan anggota jamaah
yang berkarakter-berkeadaban-berakhlak sesuai dengan Qur’an dan Hadis. Butuh peran serta dan fungsi dari pengurus
rumah-rumah ibadah (masjid), tokoh agama, kiai, ustaz, dan anggota masyarakat
untuk melalukan pembiasaan-perilak, pembinaan, untuk menamkan nilai-nilai
perilaku karakter-akhlak.
Bila semua komponen dari Catur pusat pendidikan
terlibat secara aktif dan optinal dalam melakukan penanaman-pembisaan
nilai-nilai karakter secara uswah, yang akan menjadi perilaku-psikomotor.
Lickona (1991) berpendapat untuk
mendidik moral anak sampai pada moral action-psikomotor diperlukan tiga
proses pembinaan berkelanjutan, mulai dari proses moral knowing[61]
(mengetahui), moral feeling,[62]
hingga sampai pada moral action[63]
(membuat). Ketiganya harus dikembangkan
secara terpadu dan seimbang,[64] sehingga potensi peserta didik dapat
berkembang secara optimal, pada aspek: (a) kecerdasan intelektual, memiliki
kecerdasan, pintar, kemampuan membedakan yang “baik” dan buruk, benar dan
salah, serta menentukan mana yang bermanfaat; (b) kecerdasan emosional,
kemampuan mengendalikan emosi, menghargai, mengerti perasaan orang lain, mampu
bekerja dengan orang lain; (c) kecerdasan sosial, memiliki kemampuan
berkomunikasi, senang menolong, berteman, senang bekerja sama, senang berbuat
untuk menyenangkan orang lain; (d) kecerdasan spritual, memiliki iman yang
anggun, merasa selalu diawasi Allah, gemar berbuat baik karena Allah, disiplin
beribadah, sabar, ikhtiar, jujur, pandai bersyukur dan berterima kasih; (e)
kecerdasan kinestetik, menciptakan keperdulian terhadap dirinya dengan menjaga
kesehatan jasmani, tumbuh dari rizeki yang hahal, dan sebagainya.[65]
Lahirlah sosok manusia yang mampu mengembangkan berbagai kecerdasan tersebut
diharapkan siap menghadapi dan memberantas persoalan dalam kehidupannya.
Dengan pendidikan di sekolah atau madrasah, di rumah,
masyarakat, dan rumah-rumah ibadah, harus dilakukan secara terus menerus-berkelanjutan
mulai dari proses moral knowing, moral feeling, hingga moral action.
Kenapa demikian, karena ”pendidikan
memiliki peran yang strategis dalam mendukung dan bahkan mempercepat
pembentukan masyarakat berkeadaban”,[66]
berkemajuan, yaitu suatu masyarakat yang memiliki nilai-nilai kepribadian,
kemampuan, kemandirian, keterampilan, etos kerja, dan motivasi, untuk
berpartisifasi aktif secara berkeadaban dalam masyarakat global.
IV
PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI INFORMASI
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi (IPTEK) telah
berpengaruh terhadap dunia Pendidikan. Pendidikan
di sekolah semakin lama semakin mengalami perubahan. Hal ini juga mendorong
berbagai usaha perubahan yang dilakukan dalam dunia Pendidikan.[67]
Katakan saja, saat ini pendidikan di
sekolah-sekolah kita telah menunjukkan perkembangan pesat pada bidang
kurikulum, metodologi, peralatan, dan penilaian. Begitu juga, telah terjadi perubahan pada
aspek administrasi pendidikan, organisasi, personil (SDM), dan supervisi pendidikan. Secara keseluruhan
dapat dikatakan bahwa perubahan yang terjadi merupakan pembaharuan dalam sistem
pendidikan yang menyangkut semua aspek atau komponen yang ada[68]
dalam Pendidikan.
Dengan kemjuan
ilmu pengathuan dan teknologi Informasi, paradigma
pendidikan sudah berubah, karena siswa pada era sekarang adalah generasi yang
terlahir sebagai “digital
native” (terlahir
dalam dunia digital), sementara para
guru dan dosen sekarang ini terlahir sebagai “pemakai perangkat digital” (“digital
immigrant”). Pada
saat ini pendidikan di Indonesia berhadapkan dengan perkembangan dunia yang
semakin terbuka, cepat, dan transfaran. Katakan saja, hal-hal yang tadinya
tidak mungkin, menjadi mungkin, hal-hal yang tadinya tabu, sekarang menjadi
profan dan massal. Apa yang terjadi kadang-kadang sulit diprediksi. Ini berarti telah terjadi perubahan paradigma
pendidikan dalam artian proses pendidikan dituntut untuk menyesuaikan dengan
perkembangan teknologi informasi khususnya dalam bidang pembelajaran.
Siswa
sekarang ini adalah kategori generasi “digital” dan termasuk golongan Kids zaman
Now sudah memiliki penalaran,
pemahaman yang berbeda. Tentu saja
mereka telah dipengaruhi oleh era globalisasi dan kemajuan teknologi informasi yang begitu
terbuka-transfaran dan capat. Telah terjadi
perubahan paradigma pendidikan, dalam artian proses pendidikan dituntut
untuk menyesuaikan dengan irama perkembangan tersebut. Begitu juga pendidikan
dalam Islam harus melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dan bersifat
terbuka terhadap perubahan yang ada.
Bila tidak mau tertinggal dengan perkembangan kemajuan saat ini.
Laju perkembangan pesat di dunia teknologi, khususnya “teknologi informasi”
yang pada akhirnya mempercepat aliran ilmu pengetahuan menembus batas-batas
dimensi wilayah, giografi, ruang, birokrasi, kemapanan dan waktu. Perlu disadari bahwa “teknologi informasi” bukan hanya ilmu pengetahuan yang dapat di
transmisikan pada kecepatan tinggi, akan tetapi juga data
dan informasi lain. “Kemampuan” dan “kesempatan” untuk mengakumulasi, mengolah,
menganalisis, mensintesa data menjadi informasi, kemudian menjadi ilmu
pengetahuan yang bermanfaat sangatlah penting artinya dalam dunia informasi
saat ini. Tentu saja, kondisi ini akan
berpengaruh pada kebiasaan dan budaya
pendidikan yang selama ini dilakukan.[69]
Perkembangan teknologi informasi, telah membawa beberapa
konsekuensi logis yaitu percepatan aliran ilmu pengetahuan yang akan menantang
sistem pendidikan konvensional yang selama ini berjalan, antara lain:
Pertama, sumber ilmu pengetahuan yang
selama ini dianggap terpusat pada institusi pendidikan formal yang
konvensional, mungkin saja akan tergeser. Sumber ilmu pengetahuan akan tersebar dimana-mana dan setiap orang akan
dengan mudah memperoleh pengetahuan tanpa kesulitan karena diperoleh melalui
sarana “internet” dan “media informasi” lainnya. “Paradigma ini dikenal sebagai
distributed intelligence (distributed knowledge). Dengan paradigma ini, fungsi guru/dosen/lembaga-lembaga
pendidikan yang akhirnya akan beralih dari sebuah sumber ilmu pengetahuan
menjadi mediator dari ilmu pengetahuan.
Proses long life learning dalam dunia informal yang sifatnya lebih
learning based daripada teaching based akan menjadi kunci
perkembangan SDM. Peran web,
Homepage, Search Engine, CD-ROM tentu akan merupakan alat bantu yang akan
sangat mempercepat proses distributed knowledge.[70] Para guru dan dosen pendidikan Islam
harus memiliki kemampuan dan kesempatan untuk menyesuaikan, mengakses, dan
dapat menggunakan sarana tersebut teknologi informasi sebagai media dalam pembelajaran.
Kedua, konsekuensi ekstrim yang akan terjadi
dalam percepatan informasi tersebut
adalah “adanya paradigma generation lap (kebalikan dari generation gap) dimana siswa atau mahasiswa akan
memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada guru atau dosen. Kondisi ini, berakibat pada guru atau dosen yaitu tidak
lagi dapat memaksa pandangan dan kehendaknya
karena mungkin para siswa atau mahasiswa telah memiliki pengetahuan yang
lebih dari infromasi yang mereka peroleh.
Ilmu pengetahuan akan terbentuk
secara kolektif dari banyak pemikiran dan pandangan yang tersosialisasi melalui
media teknologi informasi internaet dan
media informasi lainnya. “Proses interaksi elektronik, diskusi melalui berbagai
internet mailing list, newsgroup, IRC, webchat merupakan kunci proses pembentukan collective
wisdom”[71] yang akan diperoleh
dari waktu ke waktu.
Ketiga, menarik dari
kondisi ini adalah dari sisi kurikulum,
artinya program kurikulum “tidak
akan pernah terjadi kurikulum baku, resmi yang rigid. Kurikulum akan selalu berubah
beradaptasi dengan berbagai perkembangan sesuai dengan “collective wisdom”[72] yang
diperoleh siswa atau mahasiswa dari waktu ke waktu. Misalnya saja, kalau dulu santri hanya
menerima materi dari sumber tunggal, yakni kiai. Tetapi, kini santri akan
menerima materi dari banyak sumber atau sumber lain. Kiai bukan lagi satu-satunya
sumber belajar, karena santri dapat
belajar dari siapa saja dengan bahasa yang mereka kuasai.[73]
Santri dapat belajar dari perpustakaan-e-perpustakaan,
internet, cd-rom, media masa-medis sosial, dan media lain, yang akan
menjadi pusat kegiatan belajar mandiri.
Keempat, prasyarat lain yang
akan mempercepat pergeseran paradigma dunia pendidikan adalah “kompetisi bebas,
free trade dan hilangnya monopoly”.[74] Kemungkinan prasyarat ini, akan menghambat di Indonesia karena
lambatnya adopsi dan mengakses kompetisi bebas di Indonesia. Tetapi, cepat atau lambat, mau tidak mau
kompetisi bebas akan berjalan di Indonesia karena desakan dunia global. Maka
yang akan bergerak dan betul-betul hidup serta mengambil manfaat dalam dunia
informasi berbasis Internet, akan siap menghadapi tantangan perubahan tersebut. “Kemampuan” dan
“kesempatan” untuk mengakumulasi, mengolah, menganalisis, mensintesa data
menjadi informasi, yang kemudian menjadi ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan
sangat penting artinya dalam dunia informasi saat ini menjadi syarat mutlak
dalam perkembangan teknologi informasi.
Pertanyaan, apa yang harus dilakukan pendidikan Islam? Jawabannya mungkin saja sederhana, yaitu meningkatkan sumber daya pendidikan Islami, merubah sistem pengelolaan pendidikan, memiliki kemampuan untuk cepat mengakses informasi dan menggunakan teknologi informasi, merubah paradigma dari “inward looking” (berorientasi ke dalam) ke paradigma “outward looking” (berorientasi ke luar), merubah paradigma dari “inkonsistensi” keparadigma “konsisten”, merubah paradigma dari berpikir “konvensional” ke paradigma berpikir modern - inovatif, merubah paradigma pembelajaran yang berorientasi pada hafalan ke paradigma yang berorientasi pada pemahaman, analisis, komparasi, dan pemecahan masalah, sehinga pendidikan mampu mewujudkan kualitas sumberdaya manusia untuk berperan dalam menentukan masa depan umat. Kualitas sumber daya manusia yang baik hanya dapat dihasilkan oleh sistem pendidikan Islam yang mampu mengakses perubahan, lengkap serta menyeluruh (komprehensif) dan tidak mengabaikan atau terlepas dari nilai-nilai ilahiyah-ketuhanan.
Pendidikan Islam pada era global ini akan menghadapi kompetisi yang ketat, yaitu kompertisi kualitas, pasar penerima produk lembaga pendidikan, akreditasi baik dari pemerintah maupun masyarakat, dan kemampuan menggunakan “teknologi informasi”. Untuk menjawab tantangan tersebut, pengelolaan dan pengembangan manajemen bagi pendidikan Islam merupakan hal yang urgen sekali, agar pengelolaan dan manajemen pendidikannya dapat memenuhi standar manajemen, dapat mengambil sertifikasi global dari lembaga internasional, jika lembaga pendidikan Islam menginginkan survive untuk kompetisi di era global, dengan standar manajemen yang dapat dikur, dievalausi, dan diperbaiki secara terus menerus (continu).
Proses pendidikan Islam dituntut untuk menyesuaikan dengan perkembangan “teknologi informasi” khususnya dalam bidang pembelajaran. Katakan saja, peran web, Homepage, Search Engine, CD-ROM, e-mail, WhatsApp, tentu akan merupakan alat bantu yang akan sangat mempercepat proses distributed knowledge. Kenapa demikian, “paradigma pendidikan sudah berubah, karena siswa pada era sekarang adalah generasi yang terlahir sebagai “digital native” (terlahir dalam generasi digital) dan “termasuk gerenarsi golongan Kids Zaman Now”, mereka telah dipengaruhi oleh “era global” dan “teknologi informasi” yang begitu terbuka dan capat, sementara para guru dan dosen sekarang ini terlahir sebagai “pemakai perangkat digital” (“digital immigrant”),[75] dan mungkin juga terlambat mengikuti perkembangan kemajuan teknologi tersebut dan atau ada sebagian kecil yang belum dapat menggunakannya. Maka, tuntutan “perubahan paradigma pendidikan” dalam artian proses pendidikan Islam dapat menyesuaikan dengan “irama perkembangan kemajuan tersebut” merupakan hal yang urgen. Bila pendidikan Islam tidak mau tertinggal dengan perkembangan kemajuan tersebut.
Pertanyaan, apa yang harus dilakukan pendidikan Islam? Jawabannya mungkin saja sederhana, yaitu meningkatkan sumber daya pendidikan Islami, merubah sistem pengelolaan pendidikan, memiliki kemampuan untuk cepat mengakses informasi dan menggunakan teknologi informasi, merubah paradigma dari “inward looking” (berorientasi ke dalam) ke paradigma “outward looking” (berorientasi ke luar), merubah paradigma dari “inkonsistensi” keparadigma “konsisten”, merubah paradigma dari berpikir “konvensional” ke paradigma berpikir modern - inovatif, merubah paradigma pembelajaran yang berorientasi pada hafalan ke paradigma yang berorientasi pada pemahaman, analisis, komparasi, dan pemecahan masalah, sehinga pendidikan mampu mewujudkan kualitas sumberdaya manusia untuk berperan dalam menentukan masa depan umat. Kualitas sumber daya manusia yang baik hanya dapat dihasilkan oleh sistem pendidikan Islam yang mampu mengakses perubahan, lengkap serta menyeluruh (komprehensif) dan tidak mengabaikan atau terlepas dari nilai-nilai ilahiyah-ketuhanan.
Pendidikan Islam pada era global ini akan menghadapi kompetisi yang ketat, yaitu kompertisi kualitas, pasar penerima produk lembaga pendidikan, akreditasi baik dari pemerintah maupun masyarakat, dan kemampuan menggunakan “teknologi informasi”. Untuk menjawab tantangan tersebut, pengelolaan dan pengembangan manajemen bagi pendidikan Islam merupakan hal yang urgen sekali, agar pengelolaan dan manajemen pendidikannya dapat memenuhi standar manajemen, dapat mengambil sertifikasi global dari lembaga internasional, jika lembaga pendidikan Islam menginginkan survive untuk kompetisi di era global, dengan standar manajemen yang dapat dikur, dievalausi, dan diperbaiki secara terus menerus (continu).
Proses pendidikan Islam dituntut untuk menyesuaikan dengan perkembangan “teknologi informasi” khususnya dalam bidang pembelajaran. Katakan saja, peran web, Homepage, Search Engine, CD-ROM, e-mail, WhatsApp, tentu akan merupakan alat bantu yang akan sangat mempercepat proses distributed knowledge. Kenapa demikian, “paradigma pendidikan sudah berubah, karena siswa pada era sekarang adalah generasi yang terlahir sebagai “digital native” (terlahir dalam generasi digital) dan “termasuk gerenarsi golongan Kids Zaman Now”, mereka telah dipengaruhi oleh “era global” dan “teknologi informasi” yang begitu terbuka dan capat, sementara para guru dan dosen sekarang ini terlahir sebagai “pemakai perangkat digital” (“digital immigrant”),[75] dan mungkin juga terlambat mengikuti perkembangan kemajuan teknologi tersebut dan atau ada sebagian kecil yang belum dapat menggunakannya. Maka, tuntutan “perubahan paradigma pendidikan” dalam artian proses pendidikan Islam dapat menyesuaikan dengan “irama perkembangan kemajuan tersebut” merupakan hal yang urgen. Bila pendidikan Islam tidak mau tertinggal dengan perkembangan kemajuan tersebut.
V
STRATEGI PEMBELAJARAN GURU DI ERA GLOBAL
Strategi (siasat atau trik) dan metode pembelajaran
adalah cara-cara untuk menyajikan bahan pelajaran kepada siswa untuk
tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Metode pembelajaran adalah rencana
penyajian bahan yang menyeluruh dengan urutan yang sistematis berdasarkan
pendekatan tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Artinya, pembelajaran didasarkan pada learning
competency, peserta didik akan memiliki seperangkat pengetahuan,
keterampilan, sikap, wawasan dan penerapannya sesuai dengan criteria atau
tujuan pembelajaran. Penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan, keahlian
berkarya, sikap dan perilaku berkarya dan cara-cara berkehidupan di masyarakat
sesuai profesinya. Proses belajar harus
diorientasikan pada pengembangan kepribadian secara optimal dan didasarkan
nilai-nilai ilahiyah.[76]
Dalam menghadapi
persoalan pada era global, seorang
guru tidak hanya sekedar transfer of knowledge pengetahuan saja, akan
tetapi juga “transfer value”,
transfer sikap untuk membentuk
kepribadian-karakter peserta didik sesuai kultur yang ada. Maka
“guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama adalah
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, memberikan, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Guru pada era global ini dituntut bersikap professional.
Untuk menjadi guru yang professional seorang guru dituntut untuk memliki beberapa
hal, yaitu: (1)
mengetahui-menguasai berbagai pendekatan dan metode pembelajaran; (2) mempunyai komitmen pada siswa
dan kegiatan proses belajarnya; (3) mengusai secara mendalam bahan atau materi pembelajaran
yang akan diajarkan dan cara mengajarkan (metode mengajar) kepada siswa; (4)
bertanggungjawab memantau hasil belajar dan perkembangan siswa melalui berbagai
cara evaluasi; (5) mampu
berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari
pengelamannya; (6) merupakan
bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya;[77]
(7) menguasai penggunaan
peralatan teknologi informasi yang digunakan sebagai media dan sumber
belajar dalam pembelajaran.
Guru[78]
harus memliki; (1)
Kompetensi Pedagogik; kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang
meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan
pembelajaran, evaluasi hasil belajar, pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. (2) Kompetensi
Kepribadian; adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif,
dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia; (3)
Kompetensi Profesioanal; kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas
dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar
kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. (4) Kompetensi
Sosial; kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan
bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik,
tenagakependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.[79]
(5) Kompetensi Leadership; kemampuan seorang untuk memiliki kemampuan
memotivasi orang lain, membuat keputusan yang cepat dan tepat, mempengaruhi
orang lain, mengelola konflik, berorganisasi, memimpin tim kerja, mengendalikan
stress dan keterampilan berkomunikasi. (6) Kompetensi Spiritual; guru akan berorientasi pada pembentukan
karakter siswa didik yang ideal. Seorang guru harus mempunyai tingkat keimanan
dan ketakwaan tinggi.
Profil guru yang baik-profesional janganlah menjadi
proses pendidikan dengan gaya bank. Paulo Freire, mengatakan jangan menjadikan pendidikan sebagai bentuk model “pendidikan
gaya bank” (banking concept of education), arinya pendidik selalu
melakukan deposito beberapa macam informasi ke bank “pembelajar” tanpa harus
tahu untuk apa informasi itu bagi kehidupan mereka.[80] Akibatnya, “pembelajar” memiliki pengetahuan, tetapi
“pembelajar” kering dan tidak memiliki sikap, minat, motivasi, dan kreativitas
untuk mengembangkan diri atas dasar pengetahuan yang dimiliki, serta
“pembelajar” sendiri tidak memahami dan tidak tahu untuk apa pengetahuan
tersebut.[81]
Guru
dalam proses pembelajaran pada tingkat apa saja, mesti dapat mengaktualisasi enam unsur kapasitas belajar
yaitu: (a) kepercayaan (confidence), (b) keingintahuan (curioucity), (c) sadar
tujuan (intensionality), (d) kendali diri (self control), (e) mampu bekerja
sama (work together) dengan pihak mana saja, dan (f) kemampuan bergaul secara harmonis dan saling pengertian (relatedness).[82]
Di era di gital dan di era global ini, guru dengan
kemampuan artifisialnya dapat membelajarkan siswa dalam jumlah yang besar dan
dapat tersebar di mana-mana, artinya dapat melayani siswa yang tersebar di
seluruh penjuru dunia. Dinilah dituntut guru memeliki kemampuan professional
dalam mengelola pembelajaran dengan jumlah yang besar. Sebab, guru bukan lagi
hanya mengandalkan siswa yang belajar di kelas, tetapi ia mampu melakukan
pembelajaran untuk jutaan siswa di “kelas dunia” memberi pelayanan secara
individual pada waktu yang bersamaan. Maka dengan berkembangnya teknologi
infomasi internet, ilmu pengetahuan dapat di transmisikan pada kecepatan
tinggi. Tuntutan kemampuan dan kesempatan untuk mengakumulasi, mengolah, menganalisis,
mensintesa data menjadi informasi, kemudian menjadi ilmu pengetahuan yang
bermanfaat sangatlah penting artinya dalam dunia infromasi dapar era global
ini.[83]
Guru di era global
adalah guru yang mempunyai tugas memberikan pendidikan bermutu secara
profesional.
Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru guna menghadapi era
global yaitu: (1) Kemampuan
antisipasi; kemampuan mengantisipasi dan mencegah terjadinya masalah
baik dalam proses pembelajaran maupun masalah yang mungkin timbul diluar
pembelajaran; (2) Kemampuan
mengenali dan mengatasi masalah; dapat mengenali dan
mengidentifikasi masalah yang dihadapi oleh peserta didiknya baik itu yang
berkaitan dengan akademi maupun non akademi; (3) Kemampuan mengakomodasi; memiliki kemampuan untuk mengakomodasi
perbedaan yang terdapat pada peserta didik, mengakomodasi kebutuhan peserta
didik dalam kaitannya dengan pembelajaran, dan sarana prasarana bila mampu; (4) Kemampuan melakukan reorientasi;
menentukan acuan-acuan apa saja yang akan dicapai sebagai pendidik, mampu
meninjau kembali suatu wawasan,
menetukan, membuat peserta didiknya yakin dan termotivasi untuk mencapai
tujuan tersebut; (5) Kompetensi generic (generic
competences); mencakup strategi kognitif, kemampuan inti (core
skill), kemampuan essensial, kemampuan dasar. Jadi kemampuan generic adalah
keterampilan komunikasi, kerja tim, pemecah masalah, inisiatif dan usaha
(initiative dan enterprise), merencanakan dan mengorganisasi, menegemen diri,
keterampilan belajar dan keterampilan teknologi, (Gibb dalam Rahman, 2008); (6)
Keterampilan mengatur
diri (managing self skills); guru professional dan berbudi luhur,
dapat mendorong, mengatur, mengendalikan, dan mengembangkan semua sumber daya
pribadinya; (7) Keterampilan
berkomunikasi (communicating skills); mengembangkan komunikasi empatik,
menyenangkan, enjoy, mampu membina hubungan yang sehat dimana saja, di
lingkungan sosial, sekolah, usaha dan perkantoran, di kebun atau dimana saja; (8)
Kemampuan
mengelola orang dan tugas (ability of managing people and tasks); dapat
mengelola peserta didiknya sekaligus tugas keguruanya untuk mencapai tujuan
yang diinginkan, berusaha mengerti terlebih dahulu, sebelum dimengerti; dan (9)
Kemampuan
mobilisasi pengembangan dan perubahan (mobilizing innovation and change); guru berfungsi melakukan kegiatan kreatif, menemukan
strategi, metode, cara-cara, atau konsep-konsep yang baru dalam pengajaran agar
pembelajaran bermakna dan melahirkan pendidikan yang berkualitas.[84]
Kata akhir, perlu diperhatikan bahwa kemajuan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan efek yang ditimbulkan pada era global yang
harus dihadapi oleh Pendidikan Islam seperti persaingan bisnis yang semakin
ketat,nilai-nilai agama yang semakin kabur (dekadensi moral), pergaulan bebas (free
sex) membawa penyakit HIV/AIDS, LGBT, rusaknya kelembagaan keuangan,
maraknya korupsi yang membudaya, penyalah gunaan obat, maraknya intoleransi,
krisis kepribadian atau karakter, dan penyakit social lainnya. Menghadapi
problem yang demikian, Pendidikan Islam tidak dapat menghadapinya dengan
model-model pembelajaran seperti yang ada sekarang ini. Maka pendidikan dalam
Islam harus terus menerus melakukan inovasi, sambil memperbaiki kelemahan yang
ada, dan melakukan langkah-langkah baru kearah perbaikan[85]
yang menyeluruh-komprehensif.
Dari sisi pengembangan keilmuan pada era global
dan “teknologi informasi” ini akan muncul berbagai macam problem.
Maka “jelas tidak dapat
direspon hanya dengan ilmu-ilmu yang sudah mapan dilembaga pendidikan Islam
seperti fiqih, ilmu kalam, tasawuf, aqidah-akhlak, tarikh dan lain sebagainya.
Ilmu-ilmu tersebut tidak dapat menjawab persoalan aktual lingkungan hidup
sekarang ini”.[86] Meminjan istilah M. Amin Abdullah[87] adalah menggunakan perspektif “outward looking”,[88] memahami apa yang berkembang dalam “dunia global” dan “teknologi
informasi” saat ini dan kemudian untuk mengantisipasi dengan upaya perbaikan ke
dalam. Pendidikan
dalam Islam harus membuka diri (outward looking) untuk bersentuhan
dengan ilmu-ilmu kealaman (natural sciences), social (social scienes),
humaniora, HAM, keadilan gender, dan sebagainya.
Pendidikan dalam Islam tidak dapat berkembang dengan
cepat, bila selalu menggunakan
perspektif inward looking. Pendidikan dalam Islam membuka diri
dengan menggunakan
perspektif outward looking.
Dengan dasar ini, Fakultas Keguruan Islam
(Tarbiyah) harus mengembangkan pola keilmuan
yang sedikit keluar dari “mainstream” ilmu-ilmu
yang sudah mapan tersebut. Bila
tidak, maka “Fakultas Keguruan Islam (Tarbiyah) justru menjadi problem (problem maker) bagi pengembangan
Pendidikan Islam, karena selalu mereproduksi tenaga-tenaga Pendidikan Islam
yang tidak kompeten”.[89] Fakultas Keguruan Islam (Tarbiyah) harus memproduksi tenaga guru Pendidikan Agama Islam yang
kompoten-propfesional dengan memiliki keilmuan memadai yang credible
(dapat dipercaya), capable (cakap-mampu), confidence (percaya
diri), communicative (berkomunikasi secara efektif), dan uswah
(berkepribadian, berakhlak mulia). Jadilah guru dalam pembelajaran menyemai
(menanam-menaburkan-benih) nilai-nilai agama yang inklusif, proses pendidikan
agama moderat, menjadi figur (uswah), ajarkan bahwa Islam itu adalah agama
kasih sayang Allah Swt sebagai ramatan lil ‘alamin.
VI
PENUTUP
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa: (1) pendidikan Islam harus berbenah
diri dengan menyusun strategi untuk dapat
menjawab tantangan perubahan pada era teknologi informasi dan global, bila
tidak maka pendidikan dalam Islam akan tertinggal dalam persaingan global pada
era informasi ini. (2) Pendidikan dalam
Islam harus mampu
meningkat sumber daya pendidikannya pada era global ini, merubah sistem
pengelolaan pendidikan, cepat mengakses informasi dan menggunakan teknologi
informasi, merubah paradigma inward looking (berorientasi ke dalam) ke
paradigma outward looking (berorientasi ke luar), merubah paradigma
berpikir konvensional ke paradigma
berpikir modern - inovatif, merubah paradigma pembelajaran yang
berorientasi pada hafalan ke paradigma yang berorientasi pada pemahaman,
analisis, komparasi, dan pemecahan masalah, sehinga pendidikan mampu mewujudkan
kualitas sumberdaya manusia untuk
berperan dalam menentukan masa depan umat.
(3) Kualitas sumber daya manusia
yang baik hanya dapat dihasilkan oleh sistem pendidikan Islam yang mampu
mengakses perubahan, lengkap serta menyeluruh (komprehensif) dan tidak
mengabaikan atau terlepas dari nilai-nilai ilahiyah-ketuhanan. Maka untuk mewujudkan “konsep pendidikan karakter”, dapat dilakukan
melalui Tri Puasat Pendidikan, yaitu Sekolah, rumah, dan masyarakat.
Atau lebih luas lagi dilakuakan melalui Catur Pusat Pendidikan,
yaitu; sekolah, rumah, masyakat, dan rumah-rumah ibadah (masjid). (4) Guru pada era global ini dituntut bersikap professional,
yaitu mengetahui-menguasai berbagai pendekatan dan metode pembelajaran; memiliki
komitmen pada siswa dalam kegiatan proses belajarnya; mengusai secara mendalam
bahan, bertanggungjawab memantau hasil belajar, perkembangan siswa; mampu
berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya; merasa merupakan bagian dari
masyarakat belajar dan lingkungan profesinya; menguasai penggunaan peralatan
teknologi informasi dalam pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, 2004, Kata Pengantar: dalam
buku: Imam Machali, Musthofa (editor), Pendidikan Islam & Tantangan Global;
Buah Pikiran Seputar; Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta.
_____,2015, Pengatar dalam buku Jasser Audada,
“Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, terjemahan: Rosidin dan Ali
Abd el-Mun’im, Mizan, Bandung.
Achmadi, 1984, Ilmu Pendidikan; Suatu
Pengantar, CV. Saudara Salatiga, Salatiga.
Arum, Khusni, “Pengembangan Pendidikan Agama
Islam Berbasis Profetik (Analisis Terhadap Pemikiran Kuntowijoyo)”, Tesis:
Proram Pascasarjana FIAI UII, 2017, Yogyakarta,
Azra, Azyumardi, 2002, Paradigma Baru
Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta.
Barnadib, Imam, 2002,
Filsafat Pendidikan, Adicita Karya Nusa,
Yogyakarta.
Djohar, 1999, “Soal Reformasi Pendidikan
Omong Kosong,Tanpa Mengubah UU No.2/89”, Kedaulatan Rakyat, 4 Mei 1999,
Yogyakarta.
E., Mulyasa, 2008, Standar Kompetensi dan
Sertifikasi Guru. PT. Remaja Rosda Karya, Bandung.
Fadjar, A. Malik, 1999, Reformasi Pendidikan
Islam, Fajar Dunia, Jakarta.
Freire, Paulo, 1995, Pendidikan Kaum Tertindas, Terjemahan,
Utomo Dananjaya, LP3ES, Jakarta.
Hamalik, Oemar, 1989, Media Pendidikan, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
https://www.sahabatnestle.co.id/content/gaya-hidup-sehat/tips-parenting/pendidikan-karakter-3-m.html,
diakses pada Sabtu, 14 April 2018, jam. 10.01 WIB.
Ismail, Faisal, 2017, Paradigma Pendidikan
Islam: Analisis Historis, Kebijakan dan Keilmuan, PT Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus
versi online/daring (dalam jaringan), http://kbbi.web.id/eskatologis, akses,
Selasa, 10 November 2015, jam.20.15 WIB.
Karim, M. Rusli, 1991, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, Dalam Musih Usa, Pendidikan
Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta”, PT. TiaraWacana, Yogyakarta.
Kuntowijoyo,
1991, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Cet. I, Mizan, Bandung.
Lodge, Rupert C., 1947, “Philosophy of
Education”, New York: Harper & Brothers, dalam Muhaimin, et.al, 2001,
Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di
Sekolah, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Mas’ud, Abdurrahman, 2007, “Kata Saambutan”, dalam Buku:
Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Mastuhu, 1999, Pemberdayaan Sistem Pendidikan Islam,
Strategi Budaya Menuju Masyarakat Akademis, Cet. Pertama, Logos Wacana Ilmu,
Jakarta.
Muhadjir, “Perubahan Peran Guru di Era Teknologi
Informasi dan Komunikasi”, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, 22 Maret
2018, dikutip dari https://www.kemdikbud.go.id/
main/blog/2018/03/perubahan-peran-guru-di-era-teknologi-informasi-dan-komunikasi,
diakses pada Senin, 23 April
2018, jam.22.32 WIB.
_____,1993, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filasat
PendidikanIslam dan Dakwah, Sipress, Yogyakarta.
Musa,
Ibrahim, Otonomi Penyelenggaraan
Pendidikan Dasar dan Menengah, From: http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm,
akses, 5 Juni 2002.
Nasrudin, Hamam, 2008, Humanisme Religius Sebagai
Paradigma Pendidikan Islam (Tinjauan Filosofis atas Pemikiran Abdurrahman
Mas’ud), IAIN Walisongo, Semarang.
O”neil, Wiliam F., 2008, Ideologi-ideologi Pendidikan, Cet. II,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Peran Guru dalam Era Globalisasi, di unggaqh pada 21 Juni 2012,
jam: 02:05; Diperbarui: 25 Juni 2015, jam: 03:43; dikutip dari https://www.kompasiana.com/noviana-trilestari/peran-
guru-dalam-era-globalisasi_551140bda33311e 742ba7f19, diakses pada Jumat, 20
April 2018, jam. 11.34 WIB.
Priyono, AE., 2013, “Menganalisis, Oposisi, dan Integrasi
Islam Indonesia (Menyimak Pemikiran Dr. Kuntowijoyo)”, pangantar buku
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung.
Purbo, Onno W., 2000, “Tantangan Bagi
Pendidikan Indonesia”, form: http://www.detik.com/ onno/jurnal/ 200004/
aplikasi/ pendidikan/p-19.shtml,.
Sanaky, Hujair
AH., 1999, “Studi Pemikiran Pendidikan Islam
Modern”, Jurnal Pendidikan Islam, Konsep dan Implementasi, Volume V Th IV,
ISSN: 0853 – 7437, FIAI UII, Agustus 1999, Yogyakarta.
_____,2003, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani
Indonesia, Safiria Insania Press dan MSI,
Yogyakarta.
_____,2004, “Tantangan Pendidikan Islam di Era Informasi
(Pergeseran Paradigma Pendidikan Islam Indonesia di Era Informasi)”, Jurnal
Studi Islam MUKADDIMAH, Kopertais Wilayah III dan PTAIS DIY, No. 16TH.X2004,
ISSN:0853-6759, Kopertais Wil III DIY,
Yogyakarta.
_____,2013, Media Pembelajaran Interaktif-Inovatif: Buku Bacaan
Wajib Guru, Dosen, dan Calon Pendidik, Kaukaba Dipantara, Yogyakarta.
_____,2015, “Tantangan Pendidikan Islam Di Era Reformasi Dan
Informasi, Perubahan Paradigma Pendidikan Islam Di Indonesia”, makalah
disampaikan dalam Formulasi Konsep Dan Implementasi Pendidikan Islami Pada
Lembaga Pendidikan Di Aceh Majelis Pendidikan Daerah Aceh Banda Aceh – Indonesia, 14 – 15 November
2015.
_____,2015, Pembaruan Pendidikan Islam; Paradigma, Tipologi,
dan Pemetaan Menuju Masyarakat Madani Indonesia, Kaukaba Dipantara,
Yogyakarta.
_____,2016, Dinamika Perkembangan Pendidikan di Indonesia,
Kaukaba Dipantara, Yogyakarta.
SM., Ismail, dkk., 2001, Paradigma Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo,
Semarang.
Sugiyanto, 2004, “Reposisi Kesadaran Kritis”, Jurnal
Edukasi,.II, 1, Januari, 2004.Supriadi, Dedi, 1998, Mengangkat Cita dan
Martabat Guru, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta.
Surakhmad,
Winarno, From: http://www.Bpkpenabur.or.id / kps-jkUberita/200006!
artikeI2.htm, 27 Mei 2002.
Suyanto dan Djihad Hisyam, 2000, Refleksi dan
Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, Adicita Karya
Nusa, Yogyakarta.
The Random House Dictionary of the English Language, New York: Random House, Inc., 1983.
Thomas Lickon, 1991, Educating for Character How Our
Schools Can Teach Respect and Responsibility, Bantam Books, New York.
Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas, 2010,
Grand Design Pendidikan Karakter, Kementrian Pendidikan Nasional, Jakarta.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005, Tentang Guru
dan Dosen, Citra Umbara, Bandung.
Westwood D. Norton, 2012,
The Health-Care Environment Through The Eyes
Of A Child-Does Is Shoothe Or Provoke Anxiety?.
Internasional Journal Of Nursing Practice.
RIWAYAT
HIDUP PENULIS
|
Lahir di Siri Sori Islam,
Saparua, Maluku Tengah 13 Agustus 1954, saat ini bertempat tinggal di Perum
Minomartani Jln. Tawes II/5 Sleman Yogyakarta. Alamat Kantor
Fakultas Ilmu Agama Islam UII Jln. Kaliurang km.14.5 Yogyakarta.
Pendidikan :
Pendidikan SDN (1968) di Siri Sori Islam Saparua,
PGAN 4 Tahun (1972) di Siri Sori Islam Saparua, PGAN 6 Tahun (1974) di Ambon,
Sarjana Muda Fakultas Tarbiyah IAIN “Alauddin” cabang Ternate tahun 1978
(sekarang IAIN Ternate), Sarjana Lengkap Fakultas Tarbiyah UII, tahun 1982
(sekarang Fakultas Ilmu Agama Islam Prodi Pendidikan Agama Islam), Magister
Studi Islam (S2) Konsentrasi Pendidikan Islam di UII tahun 2003, dan Doktor UIN Yogyakarta, selesai 2012.
Dosen Tetap:
Fakultas Ilmu Agama Islam pada Program Pascasarjana dan Prodi PAI Universitas
Islam Indonesia sejak tahun 1983 sampai saat ini.
Pernah
menjabat: Kepala Bagian Umum dan Keuangan Fakultas Tarbiyah
UII (1984-1985). Kepala Bagian Pengajaran Fakultas Tarbiyah UII (1985-1986). Pembantu Dekan III Fakultas Tarbiyah UII dua
periode (1986-1988 dan 1988-1990). Pembantu Dekan I Fakultas Tarbiyah UII dua periode
(1990-1992 dan 1992-1994). Dekan Fakultas Tarbiyah UII (1994-1996). Ketua
Pengarah Jurnal Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah UII (1996). Wakil Pimpinan
Redaksi Jurnal Studi Islam dan Informasi PTAIS-Muqaddimah (1996). Dewan
Penyunting dan Penyunting Pendamping, Jurnal Pendidikan Islam, Jurusan Tarbiyah
FIAI UII (1999-2002). Pimpinan Redaksi Jurnal Studi
Islam, Millah Magister Studi Islam (2000-2002). Kepala Pusat Pengembangan
Pendidikan Badan Kendali Mutu dan Pengembangan Pendidikan (BKMPP) UII
(2002-2003). Kepala Lembaga Pengabdian
Masyarakat UII (tahun 2004-2006). Menjabat sebagai Staf Ahli Kantor
Pemberdayaan Wakaf Yayasan Badan Wakaf UII (2006 s/d Januari 2007 – mengundukan
diri). Menjabat Ketua Program Pascasarjana Fakultas Ilmu
Agama Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (Tahun 2014 – 2018).
Penelitian:
Penelitian yang pernah dilakukan, diantaranya
adalah: Hasil Penelitian: Academics
Underground [Studi Terhadap Layanan Biro-biro Bimbingan Skripsi Daerah Istimera
Yogyakarta]. Direktorat Penelitian Dan Pengabdian Pada Masyarakat Universitas
Islam Indonesia Yogyakarta; Hasil
penelitian: Pengembangan Multimedia Pembelajaran Training Konsep Diri Untuk
Anak Asuh Panti Asuhan Islam, Program Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta, Tahun 2010; Hasil
Penelitian: Penerapan Metode Pembelajaran Interaksti Bahasa Arab Berbasis
Program Komputer Hot-Potatoes Terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa
Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas
Islam Indonesia Tahun Ajaran 2011/2012 Program Studi Pendidikan Agama Islam
FIAI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Tahun 2012. Hasil Penelitian: Efektivitas
Pelaksanaan Kurikulum Terpadu di SMPIT Baittussalam Sleman Yogyakarta, Program
Studi Pendidikan Agama Islam FIAI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Tahun
2013. Hasil
Penelitian: Pengembangan Bahan Ajar Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar
Luar Biasa Tuna Grahita Ringan (C) SLB Bahkti Kencana Berbah Sleman Yogyakarta.
Laporan Penelitian Nomor: E-DPPM-828, Prgram Pascasarjana Fakultas Ilmu Agama
Islam UII Yogyakarta, November 2014. Hasil penelitian: “Perbedaan
Penggunaan Metode Mind Mapping Dengan Metode Ceramah Terhadap Peningkatan
Prestasi Belajar Pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di Kelas XI IPS SMA
Negeri 2 Ngaglik”, Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama
Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta; Mei 2015; Peneliti: Nurman
Firmansyah (mahasiswa) dan Dr. Hujair AH. Sanaky, MSI. Hasil
penelitian: Pendidikan Etis dalam Penggunaan Teknologi Informasi bagi Mahasiswa
di Lingkungan Fakultas Ilmu Agama Islam Iniversitas Islam Indonesia, Program
Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta; Juli 2015; Peneliti: Imron Rosyadi (mahasiswa) dan Dr.
Hujair AH. Sanaky, MSI. Hasil Penelitian: Desain Meda Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam Berbasis Multimedia Interaktif Menggunakan Adobe Flash CS6
Professional di SMP Negeri 1 Girimarto, Program Studi Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta; Desember
2015; Peneliti: Maharani Dyan Pratiei (Mahasiswa) dan Dr. Hujair AH. Sanaky,
MSI. Hasil
Penelitian Institusi: Analisis Operasional Unit Link Syariah Dari Perspektif
Syariah Complance: Pebandingan di Indonesia dan Malaysia. Riset Institusi
Kolaboratif antara PPs FIAI UII dan Akademik Pengajaran Islam University of
Malaya. Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta, 2015: Peneliti: Prof. Joni Tamkin, Ph.D,, Dr. Hujair AH. Sanaky, MSI., dan Nur Kholis,
S.Ag, SEI., M.Sh.Ec. Penelitian Unggulan:
Fenomena Sufisme Masyarakat Kelas Menengah Perkotaan di Daerah Istime
Yogyakarta. Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta, 2017. Tim Peneliti: Dr. Hujair AH. Sanaky, MSI., Dr.
Yusdani, M.Ag., Dr. Imam Machali, M.Pd., Edi Safitri, MSI., M.Iqbal
Juliansyahzen, S.Sy, MH., Muhammad Rifqi Indrawan. Penelitian Institusi:
“Dharma Dakwah Islamiyah Kampus UII Demangan Baru Dalam Pandangan Masyarakat
Perspektif Sosial Keagamaan dan Ekonomi”. Program Pascasarjana Fakultas Ilmu
Agama Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, November 2017. Tim
Peneliti: Dr. Yusdani, M.Ag., Dr. Hujair AH. Sanaky, MSI., Edi Safitri, MSI.,
Muhammad Iqbal Juliansyahzen, S.Sy., M.H., Muhammad Irham Roihan, SH. Lap. No:
01/PPs-FIAI/UII/2017.
Buku, yang diterbitkan, diantaranya; Paradigma
Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Safiria Insaniah Press,
2003, Yogyakarta; Meraih Sukses di Perguruan Tinggi, Hujair AH. Sanaky, dkk.,
2003, Penerbit UII Press Yogyakarta; Media Pembelajaran Interaktif-Inovatif
(buku wajib untuk guru dan dosen), Cetakan Keempat, Kaukaba Dipantara,
2013, Yogyakarta; Academics Underground, Adaan, Layanan, dan Penggunaan Jasa
Bimbingan Skripsi di Jogja, Kaukaba Dipantara, 2011, Cetakan Pertama; Jogja Academics Underground, Adaan, Layanan,
dan Penggunaan Jasa Bimbingan Skripsi di Jogja, Kaukaba Dipantara, 2012,
Cetakan Kedua. Pembaharuan Pendidikan Islam
Paradigma, Tipologi, dan Pemetaan Menuju Masyarakat Madani Indonesia,
Kaukaba Dipantara, 2014 Yogyakarta. Dinamika
Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia, Kaukaba Dipantara, 2016 Yogyakarta.
Hujair AH. Sanaky
[1] Hujair AH. Sanaky, Dr., MSI, adalah Dosen Program
Pascasarjana dan Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam Fakultas
Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional serta Workshop Guru
Agama dalam Rangka Hari Pendidikan Nasional 2018 dan Reuni Alumni PGAN Sigli.
Tema: Tantangan Pembelajaran Agama dan Pendidikan Karakter di Era Global”. Pada
Sabtu, 5 Mei 2018, Gedung Pertemuan Sigli Kabupaten Pidie Aceh.
[2] Baca:
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan,
(Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2002), hlm. 1.
[3] Undang-Undang
Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen, (Bandung: Citra
Umbara, 2006), hlm. 2.
[4] Muhadjir,
“Perubahan Peran Guru di Era Teknologi Informasi dan
Komunikasi”, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, 22 Maret 2018, dikutip
dari https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2018/03/perubahan-peran-guru-di-era-teknologi-informasi-dan-komunikasi,
diakses pada Senin, 23 April 2018, jam.22.32 WIB.
[5] Hujair
AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani
Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI, 2003), hlm. 94.
[6] Ibid.
hlm.1.
[7] Ibid. hlm. 94-95.
[8] Ismail SM., dkk., Paradigma Pendidikan
Islam, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2001), hlm. viii.
[9] Hamam
Nasrudin, Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam (Tinjauan
Filosofis atas Pemikiran Abdurrahman Mas’ud), (Semarang: IAIN Walisongo; 2008),
hlm. 38.
[10] Abdurrahman Mas’ud, “Kata Saambutan”, dalam
Buku: Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2007), hlm.viii.
[11] Paradigma merupakan suatu skema konseptual
yang dengannya seorang ilmuan memandang persoalan yang diteliti dan metode yang
digunakan untuk memecahkan persoalan itu terutama ditentukan oleh paradigma
yang relevan. Paradigma itu secara historis selalu berubahubah dan berubahnya
kadang sangat tiba-tiba serta mencolok, dalam hal ini (paradigma) membagi dua
kegiatan penemuan ilmiah; puzzle solving dan penemuan paradigma baru. Dalam
puzzle solving para ilmuan mengadakan penelitian dan observasi. Bila
paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan masalah menimbulkan konflik
suatu paradigma baru harus ditemukan. Paradigma baru inilah yang pada nantinya
yang akan mencetuskan perubahan besar dalam ilmu pengetahuan. Lihat Sugiyanto,
“Reposisi Kesadaran Kritis”, Jurnal Edukasi,.II, 1, Januari, 2004. hlm. 14.
[12] Eskatologis/es·ka·to·lo·gis/éskatologis/
a “mengenai hal-hal terakhir”, seperti kematian, hari kiamat, kebangkitan Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus versi online/daring (dalam jaringan),
http://kbbi.web.id/eskatologis, akses, Selasa, 10 November 2015, jam.20.15 WIB.
[13] A.Malik
Fadjar, Reformasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), hlm. 28.
[14] Mastuhu,
Pemberdayaan Sistem Pendidikan Islam, Strategi Budaya Menuju Masyarakat
Akademis, Cet. Pertama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 31-32.
[15] A.
Malik Fadjar, Reformasi Pendidikan Islam, hlm. 41.
[16] Hujair
AH. Sanaky, Dinamika Perkembangan Pendidikan di Indonesia, (Yogyakarta:
Kaukaba Dipantara, 2016), hlm.3.
[17] Ibid.
hlm. 7
[19] Faisal
Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis,
(Yogyakarta:Tiara Ilahi Press,1998), hlm. 97-98., dan baca: Hujair AH. Sanaky,
Paradigma Pendidikan Islam:…, hlm. 125.
[20] Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan
Islam:,…,hlm. 125.
[21] Mastuhu,
Pemberdayaan sistem Pendidikan Islam, (Jakarta:
Logos, 1999), hlm. 15
[22] Ibid, hlm. 15.
[23] Hujair AH. Sanaky, “Studi Pemikiran
Pendidikan Islam Modern”, Jurnal Pendidikan Islam, Konsep dan Implementasi,
Volume V Th IV, ISSN: 0853 – 7437, FIAI UII, Yogyakarta, Agustus 1999, hlm. 11
[24] Djohar, “Soal Reformasi Pendidikan Omong
Kosong,Tanpa Mengubah UU No.2/89”,Kedaulatan Rakyat,4 Mei 1999, Yogyakarta.
[26] Winarno
Surakhmad, From: http://www.Bpkpenabur.or.id / kps-jkUberita/200006!
artikeI2.htm, 27 Mei 2002.
[27] Baca
lebih lanjut: Amin Abdullah, Pengatar dalam buku Jasser Audada, “Membumikan
Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, terjemahan: Rosidin dan Ali Abd el-Mun’im,
(Bandung: Mizan, 2015), hlm.15.
[28] Ibid,
hlm. 16.
[29] Suyanto
dan Djihad Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki
Milenium III, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), hlm. 61.
[30] Rupert C. Lodge, 1947, “Philosophy of
Education”, New York:Harper & Brothers, dalam Muhaimin, et.al, Paradigma
Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm.39.
[31] Ibid,
hlm. 39.
[32] Ismail SM, dkk., Paradigma Pendidikan
Islam, hlm. viii.
[34] Ibid,
hlm. 98
[35] Hujair
AH. Sanaky, Pembaruan Pendidikan Islam; Paradigma, Tipologi, dan Pemetaan
Menuju Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2015),
hlm. 22.
[36] Ibid.
hlm. 18.
[37] Amin Abdullah, Kata Pengantar: dalam buku:
Imam Machali, Musthofa (editor), Pendidikan Islam & Tantangan Global;
Buah Pikiran Seputar; Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), hlm.x.
[38] Hujair
AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam:…, hlm.192.
[39]Setidaknya ada lima ciri
manusia yang memiliki kesalehan individual dan sosial yang dapat diukur, yaitu;
(1) manusia yang memiliki semangat spiritualitas tinggi, diwujudkan dalam sikap
kepercayaan dan kepatuhan kepada yang gaib, yaitu Allah; (2) selalu terikat dan mematuhi norma-norma,
hukum, etika, yang diujudkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu melaksanakan
salat; (3) memiliki kepedulian sosial, yaitu sikap kesanggupan berbagi,
menolong terhadap golongan yang lemah; (4) memiliki sikap toleran, sikap
mengahargai sesama manusia, sikap solidaritas sosial, sebagai salah satu
perwujudan dari dimensi keimanan; dan (5) berorientasi ke depan, sebagai salah
satu konsekuensi dari keimanan terhadap adanya hari akhir.
(http://syaamilquran.com).
[40] Baca: Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Cet. I, (Bandung:
Mizan, 1991), dan baca juga: AE. Priyono, “Menganalisis, Oposisi, dan Integrasi
Islam Indonesia (Menyimak Pemikiran Dr. Kuntowijoyo)”, pangantar buku
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2013),
hlm. 59-60.
[41] Abdul Munir
Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: pengantar Filasat PendidikanIslam dan
Dakwah,( Yogyakarta: Sipress, 1993), hlm 234
[42] M. Rusli Karim,
Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, DalamMusih Usa, Pendidikan
Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: PT. TiaraWacana, 1991),
hlm. 39.
[43] Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan
Islam:…,hlm. 123-124.
[44] Baca: Khusni Arum, “Pengembangan Pendidikan
Agama Islam Berbasis Profetik (Analisis Terhadap Pemikiran Kuntowijoyo)”,
Tesis: Proram Pascasarjana FIAI UII, 2017, Yogyakarta, hlm. 21.
[45] Lihat: Wiliam
F. O”neil, Ideologi-ideologi Pendidikan, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), hlm. xvi.
[46]AE. Priyono, “Menganalisis, Oposisi, dan
Integrasi Islam Indonesia (Menyimak Pemikiran Dr. Kuntowijoyo)”, pangantar buku
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2013),
hlm. 59-60.
[47] Hujair AH. Sanaky, Pembaruan Pendidikan
Islam:…, hlm.53.
[48] Achmadi, Ilmu Pendidikan; Suatu Pengantar,
(Salatiga: CV. Saudara Salatiga, 1984),hlm. 159
[49] Faisal Ismail, Paradigma
Pendidikan Islam: Analisis Historis, Kebijakan dan Keilmuan, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2017), 278.
[50] The Random House
Dictionary of the English Language, (New York: Random House, Inc., 1983),
hlm. 346.
[51] Faisal Ismail, Paradigma Pendidikan Islam:..,
hlm. 278-279.
[53] Faisal Ismail, Paradigma Pendidikan Islam:..,
hlm. 279
[54] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan Nasional
Republik Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 8.
[55] Hujair
AH. Sanaky, Pembaruan Pendidikan Islam;…,hlm. 202.
[56] Baca: Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas,
Grand Design Pendidikan Karakter, (Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional,
2010), hlm.7.
[57] Ibid. hlm.7.
[58] Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas, Grand
Design Pendidikan Karakter,…,hlm.7.
[59] Westwood
D. Norton, The Health-Care Environment Through The Eyes Of A Child-Does Is
Shoothe Or Provoke Anxiety?. Internasional Journal Of Nursing Practice,
11(5), 2012), hlm. 470-470.
[60] Baca:
Faisal Ismail, Paradigma Pendidikan Islam:.., hlm. 279-280.
[61] Pengertian:
Moral knowing adalah hal yang penting untuk diajarkan, terdiri
dari enam hal, yaitu: moral awareness (kesadaran moral), knowing moral values
(mengetahui nilai-nilai moral), perspective taking, moral reasoning, decision
making dan self knowledge. Pendidikan
Karakter 3 M (Moral Knowing, Moral Feeling, dan Moral Action), dikutip dari
https://www.sahabatnestle.co.id/content/gaya-hidup-sehat/tips-parenting/pendidikan-karakter-3-m.html,
diakses pada Sabtu, 14 April 2018, jam. 10.01 WIB.
[62] Pengertian: Moral feeling
adalah aspek yang lain yang harus ditanamkan kepada anak yang merupakan sumber
energi dari diri manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral.
Terdapat 6 hal yang merupakan aspek emosi yang harus mampu dirasakan oleh
seseorang untuk menjadi manusia berkarakter, yakni conscience (nurani), self
esteem percaya diri), empathy (merasakan penderitaan orang lain), loving the
good (mencintai kebenaran), self control (mampu mengontrol diri) dan humility
(kerendahan hati). Pendidikan Karakter 3
M (Moral Knowing, Moral Feeling, dan Moral Action), dikutip dari https://www.sahabatnestle.co.id/content/gaya-hidup-sehat/tips-parenting/pendidikan-karakter-3-m.html,
diakses pada Sabtu, 14 April 2018, jam. 10.01 WIB.
[63] Pengertian: Moral action adalah
bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata.
Perbuatan tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen
karakter lainya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan
yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu
kompetensi (competence), keinginan (will) dan kebiasaan (habit). Pendidikan
Karakter 3 M (Moral Knowing, Moral Feeling, dan Moral Action), dikutip dari
https://www.sahabatnestle.co.id/content/gaya-hidup-sehat/tips-parenting/pendidikan-karakter-3-m.html,
diakses pada Sabtu, 14 April 2018, jam. 10.01 WIB.
[64] Thomas Lickon, Educating for Character
How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, (New York: Bantam
Books, 1991), hlm. 53.
[66]Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi
dan Demokratisasi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hlm. xix.
[67]Hujair AH. Sanaky, Media Pembelajaran
Interaktif-Inovatif: Buku Bacaan Wajib Guru, Dosen, dan Calon Pendidikan, (Yogyakarta:
Kaukaba Dipantara, 2013), hlm. 1.
[69] Hujair
AH. Sanaky, Dr., MSI, “Tantangan
Pendidikan Islam Di Era Reformasi Dan Informasi, Perubahan Paradigma Pendidikan
Islam Di Indonesia”, makalah disampaikan dalam Formulasi Konsep Dan
Implementasi Pendidikan Islami Pada Lembaga Pendidikan Di Aceh Majelis
Pendidikan Daerah Aceh Banda Aceh –
Indonesia, 14 – 15 November 2015.
[70] Onno
W. Purbo, 2000, “Tantangan Bagi Pendidikan Indonesia”, form:
http://www.detik.com/ onno/jurnal/ 200004/ aplikasi/ pendidikan/p-19.shtml.
[72] Ibid.form: http://www.detik.com/
onno/jurnal/200004/aplikasi/pendidikan/p-19.shtml).
[73] Ibid. form: http://www.detik.com/ onno/jurnal/
200004/ aplikasi/ pendidikan/p-19.shtml.
[75] Hujair AH. Sanaky, “Tantangan Pendidikan
Islam Di Era Reformasi Dan Informasi, Perubahan Paradigma Pendidikan Islam Di
Indonesia”,Makalah disampaikan dalam Formulasi Konsep Dan Implementasi
Pendidikan Islami Pada Lembaga Pendidikan Di Aceh Majelis Pendidikan Daerah
Aceh Banda Aceh – Indonesia, 14 – 15
November 2015.
[76] Hujair
AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam:…,hlm.191.
[77] Baca:
Dedi Supriadi, Mengangkat Cita dan Martabat Guru, (Yogyakarta: Adicita Karya
Nusa, 1998), hlm.
[78] UNDANG-Undang
No14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 10 dan Peraturan Pemerintah No. 19
tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28, disebutkan guru yang
berkualitas harus memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik,
profesional, kepribadian, dan kompetensi sosial.
[79] Undang-Undang Standar Nasional Pendidikan,
pasal 28 ayat (3) butir a, b,c, dan d.
dan juga Mulyasa, E. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. (Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya, 2008), hlm.
[80] Paulo
Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Terjemahan, Utomo Dananjaya,
(Jakarta: LP3ES, 1995), 57.
[81] Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan
Islam:…, hlm. 164.
[82] Ibrahim
Musa, Otonomi Penyelenggaraan
Pendidikan Dasar dan Menengah, From: http://202.159.18.43/jp/ 22ibrahim.htm,
Akses, 5 Juni 2002
[83] Hujair AH. Sanaky, Tantangan Pendidikan
Islam di Era Informasi (Pergeseran Paradigma Pendidikan Islam Indonesia di Era
Informasi), Jurnal Studi Islam MUKADDIMAH, Kopertais Wilayah III dan PTAIS DIY,
No. 16TH.X2004, ISSN:0853-6759, (Yogyakarta: Kopertais Wil III DIY, 2004), hlm.
91.
[84] Peran
Guru dalam Era Globalisasi, di apload pada 21 Juni 2012 02:05; Diperbarui: 25 Juni 2015, 03:43;
dikutp dari https://www.kompasiana.com/noviana-trilestari/peran-guru-dalam-era-globalisasi_
551140bda33311e 742ba7f19, diakses pada Jumat, 20 April 2018, jam.
11.34 WIB
[85] Baca:
Amin Abdullah, Kata Pengantar: dalam buku: Pendidikan Islam dan Tantangan
Globalisasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), hlm.xi.
[86] Ilmu-ilmu tersebut tidak dapat menjawab
persoalan aktual lingkungan hidup seperti penggundulan hutan, efek rumah kaca,
pencemaran limbah beracun, polusi udara dan yang lainnya. Padahal
masalah-masalah tersebut konkret terjadi di sekeliling kita. Amin Abdullah,
Kata Pengantar: dalam buku: Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), hlm.xi.
[87] M.
Amin Abdullah, adalah Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
[88] Amin
Abdullah, Kata Pengantar: dalam buku:…,hlm.xi.
[89] Ibid.
hlm. xiii.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar