Sabtu, 23 September 2017

MATERI KULIAH PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI: P. IV: ASAS-ASAS/LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI



MATERI KULIAH
PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI

PERTEMUAN IV
MODUL IV
ASAS-ASAS/LANDASAN
PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI

Oleh: Hujair AH. Sanaky[1]

A.     Asasa/Landasan Pengembangan Kurikulum
Pengertian: asas atau Landasan;   berarti tumpuan, dasar atau alas, karena itu landasan merupakan tempat bertumpu atau titik tolak atau dasar pijakan.  Asas; memiliki arti hukum atau kaidah yang menjadi acuan yang digunakan.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran, gedung dan fasilitas pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Ada 5 asas atau landasan utama dalam pengembangan kurikulum yaitu;  Asas Filosofis,  Asas Sosiologis,  Asas Psikologis,  Asas Pengorganisasian, dan  Asas yuridis.
1.  Asas Filosofis
Sekolah bertujuan mendidik anak agar menjadi manusia yang “baik”. Apakah yang dengan “baik” pada hakikatnya ditentukan oleh nilai-nilai, cita-cita atau filsafat yang dianut negara, tapi juga guru, orang tua, masyarakat bahkan dunia.  Perbedaan filsafat dengan sendirinya akan menimbulkan perbedaan dalam perumusan tujuan pendidikan, bahan pelajaran yang disajikan, cara mengajar, dan menilainya.[2] Katakan saja, pendidikan di negara otokratis akan berbeda dengan negara demokratis. Pendidikan di negera yang memeluk agama Islam akan berbeda dengan negara yang menganut agama Budha atau Kristen. Ini berarti filsafat menjadi dasar dalam memberikan “arah” atau “kompas” tujuan pendidikan.[3]   Maka, kurikulum PAI mengandung suatu kebenaran, dari nilai-nilai yang dianut sebagai pandangan hidup yang diyakini kebenarannya.
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Ada empat fungsi filsafat dalam pengembangan kurikulum:
a)     Filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan, sebagai pandangan hidup,  maka dapat di tentukan mau di bawa kemana siswa yang kita  didik tersebut.
b)     Filsafat dapat menentukan isi atau  materi pelajajaran  yang harus diberikan sesuai  dengan  tujuan yang ingin di capai.
c)     Filsafat dapat  menentukan; (a) strategi atau cara pencapaian tujuan; (b) sebagai sistem nilai dapat dijadikan pedoman dlm merancang pemebelajaran.                                                         
d)     Melalui filsafat dapat di tentukan tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.
Aliran filsafat yang mendasari pengembangan kurikulum, yaitu: (a) Aliran Perenialisme; (b) Aliran esensialisme- realisme; (c) Aliran Eksistensialisme; (d) Aliran Progresivisme; (e) Aliran Rekontruksivisme; (f) Aliran Pragmatisme; dan (g) Aliran Idealisme.  
(a)   Aliran Perenialisme
Aliran Perenialisme; lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan  keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu. Bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual anak melalui pengetahuan yang abadi, universal, dan absolut.  Kurikulum dalam pandangan aliran filsafat ini memberi persiapan yang sangat matang bagi kelanjutan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Aliran ini bertujuan mengembangkan kamampuan intelektual anak melalui pengetahuan yang “abadi, universal dan absolut” atau “perennial” yang ditemukan dan diciptakan para pemikir.  Kurikulum yang diinginkan oleh aliran ini terdiri atas subject atau mata pelajaran yang terpisah sebagai disiplin ilmu dengan menolak penggabungan seperti IPA atau IPS. [4]
Mata pelajaran yang dianggap dapat mengembangkan kemampuan intelektual seperti matematika, fisika, kimia, biologi yang diajarkan, sedangkan yang berkenaan dengan emosi dan jasmani seperti seni rupa, olah raga dikesampingkan. Pelajaran yang diberikan termasuk pelajaran yang sulit karena memerlukan inteligensi tinggi. Kurikulum ini memberi persiapan yang sungguh-sunggu bagi studi di perguruan tinggi. [5]
(b)   Aliran Essensialisme-Realisme
Aliran Essensialisme lebih menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains, dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.  Menurut aliran ini, mencari kebenaran di dunia melalui pengamatan dan penelitian ilmiah yang ditemukan melalui hukum-hukum alam.   
Sekolah yang menganut aliran ini akan mengutamakan pengetahuan yang sudah matang sebagai hasil penelitian ilmiah yang dituangkan secara sistematis dalam berbagai disiplin ilmu/mata pelajaran. Di sekolah akan dimulai dengan teori-teori dan prinsip-prinsip yang fundamental, kemudian praktik dan aplikasinya.
Desain kurkulum dalam pandangan aliran ini tidak memperhatikan minat anak, namun yang diharapkan agar menaruh minat terhadap pelajaran akademis. Penguasaan ilmu yang banyak berkat studi yang intensif adalah persiapan yang sebaik-baiknya bagi lanjutan studi dan kehidupan dalam masyarakat.  Kurikulum model ini, banyak murid yang tidak mampu mengikuti studi akademis serupa.[6]  
(c)    Aliran Eksistensialisme
Aliran Eksistensialisme lebih menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Mengutamakan individu sebagai faktor utama dalam menentukan hal terbaik dan dianggap benar. Norma-norma hidup berbeda secara individual dan ditentukan masing-masing secara bebas. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri dan jangan menyinggung perasaan orang. Tujuan hidup, untuk menyempurnakan diri dan merealisasikan diri.
Pengembangan kurikulum bagi sekolah yang berdasarkan eksistensialisme lebih mendidik anak agar mampu menentukan pilihan dan mengambil keputusan sendiri dengan menolak otoritas orang lain. Desain kurikulum harus mengembangkan anak untuk bebas berpikir dan mengambil keputusan sendiri secara bertanggungjawab. Sekolah model ini menolak segala kurikulum, pedoman, instruksi, buku wajib, dan lain-lain dari pihak luar.  Desain kurikulum menurut aliran eksistensialisme ini anak harus mencari identitasnya sendiri, menentukan standarnya sendiri dan kurikulumnya sendiri. Dengan sendirinya mereka tidak dipersiapkan untuk menempuh ujian nasional.[7]
(d)   Aliran Progresivisme
Aliran Progresivisme lebih menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses menjadi perhatian. Aliran progresivisme ini merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
(e)   Aliran Rekontruksivisme
Aliran Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Penganut aliran ini lebih menekankan hasil belajar dari pada proses.
(f)    Aliran Pragmatisme,
Aliran Pragmatisme, memandang kebenaran merupakan buatan manusia berdasarkan pengalamannya. Tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak,  kebenaran bersifat tentative dan dapat berubah.  Pengetahuan hanya diperoleh bukan dari mempelajari mata pelajaran, namun karena digunakan secara fungsional dalam memecahkan masalah. Maka menurut aliran ini, sekolah berada pada garis depan pembangunan dan perubahan masyarakat, sehingga perencanaan kurikulum juga melibatkan peran orangtua dan masyarakat untuk memadukan sumber-sumber pendidikan.
Dengan Aliran Pragmatisme, maka perancang kurikulum meyakini sepenuhnya pada dasarnya realitas yang sesungguhnya adalah dunia pengalaman, kebenaran merupakan sesuatu yang  dialami oleh manusia, dan nilai itu sendiri bersumber dari masyarakat.  Atas dasar ini, maka manusia adalah neutral, dalam arti tidak baik dan juga tidak bodoh. Sedangkan kebaikan dan keahliannya merupakan hasil dari pengalaman hidupnya.
(g)   Aliran Idealisme,
Aliran idealisme ini berpendapat bahwa kebenaran berasal dari “dunia supra-natural dari Tuhan, Hampir semua  agama menganut “filsafat idialisme”, karena kebenaran kepercayaan datang dari Tuhan, diterima melalui wahyu. Kebenaran termasuk dogma dan norma-norma bersifat mutlak. Apa dari Tuhan baik dan benar. Tujuan hidup, memenuhi kebutuhan Tuhan.[8]
Filsafat ini biasanya diterapkan pada sekolah-sekolah yang berorientasi religius. Semua siswa diharuskan mengikuti pelajaran agama, menghadiri khotbah, membaca Kitab Suci. Disiplin termasuk ketat, pelanggaran diberi hukuman setimpal, dapat dikeluarkan dari sekolah. Pendidikan intelektual juga diutamakan dengan menganut standar mutu yang tinggi. [9]
Dengan aliran idealisme, maka bagi perancang kurikulum harus meyakini sepenuhnya  manusia memiliki “pemikiran benar” yakni adalah akal, kebenaran merupakan ide, dan nilai bersumber pada dunia. Atas dasar ini, aliran ini memandang bahwa pada dasarnya manusia itu baik dan kebaikan itu sendiri bersumber dari Tuhan dan alam semesta.
Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan “model kurikulum subjek-akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan “model kurikulum pendidikan pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan “model kurikulum interaksional.
Masing-masing aliran filsafat tersebut, tentu saja pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Maka, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara selektif untuk lebih mengkompromikan, mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan proses pendidikan. Sebagai contoh, dibeberapa Negara, seperti khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme. Ini merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pengembangan kurikulum dari pandangan teacher center menjadi student center.

2.    Asas Sosiologis
Asas sosiologis pengembangan kurikulum adalah pandangan yang berasal dari masyarakat yang dijadikan landasar atau titik tolak dalam pengembangan kurikulum. Posisi pendidikan adalah proses sosialisai dan internalisasi nilai-nilai melalui interaksi antar insani menuju pembentukan manusia yang berkeadaban. Dalam kontes inilah, anak didik dihadapkan dengan budaya manusia, nilai-nilai, dibina, dan dikembangkan sesuai dengan nilai budayanya, serta dioptimalkan kemampuannya.
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu program dan rancangan pendidikan. Sebagai suatu program dan rancangan, kurikulum itu sendiri menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan. Pembentukan kurikulum PAI harus mengacu kearah realisasi individu dalam masyarakat.  Artinya, out put yang dihasilkan kurikulum PAI adalah manusia-manusia yang mampu mengambil peran dalam masyarakat dan zamannya. 
Anak manusia tidaklah terisolir dari kehidupan sosial masyarakat, tradisi, dan budaya masyarakatnya, perkembangan politik, ekonomi, tata kehidupan yang beraneka ragam, kepentingan antar individu, perubahan yang selalu terjadi di masyarakat. Anak berada dan hidup dalam lingkungan masyarakat itu. Kadang, anak selalu hidup dalam suatu masyarakat yang berlainan corak nilai-nilai yang dianutnya. Maka, tiap anak akan berbeda latar belakang kebudayaannya. Perbedaan inilah yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia–manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, dalam pengembangan kurikulum, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat.
Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya. Oleh karena itu, “perbedaan inilah yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum. Perubahan masyarakat akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga merupakan faktor pertimbangan dalam pengembangan kurikulum”.[10]

2.     Asas Psikologis
Asas ini memberi arti bahwa kurikulum PAI hendaknya disusun dengan mempertimbangkan tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui anak didik.   Dalam pandangan  psikologis bahawa; 
(a) Pendidikan sangat berhubungan dengan kejiwaan manusia, ilmu jiwa manusia berpengaruh juga dalam kegiatan belajar.
(b) belajar merupakan aktivitas seseorang untuk mentransformasikan ilmu (apakah ia dewasa atau anak-anak), dan kita ketahui bersama bahwa belajar itu ternyata suatu proses yang pelik dan kompleks, timbullah berbagai teori belajar yang menunjukkan ketidaksesuaian satu sama lain.
(c)  Teori belajar dijadikan dasar pertimbangan dalam pengembangan kurikulum.
Dalam asas psikologi, menurut  Sukmadinata (2006: 46), terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum, yaitu  psikologi perkembangan dan psikologi belajar.
(1)      Psikologi perkembangan
Psikologi perkembangan, merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Maka dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, tahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu. Semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.[11]
Psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam menentukan isi kurikulum yang diberikan kepada siswa, baik  pada tingkat kedalaman dan keluasan materi, kesulitan, kelayakan, serta kebermafaatan materi, senantiasa  disesuaikan dengan  taraf perkembangan peserta didik.  Implikasai psikologi memepunyai arti terhadap proses pembelajaran itu sendiri, yaitu: (a) Tujuan pembelajaran yang berpusat pada perubahan perilaku siswa; (b) Desain bahan atau materi, harus sesuai dengan kebutuhan, minat, dan perhatian siswa, mudah diterima siswa; (c) Srategi pembelajaran, sesuai dengan taraf perkembangan anak; (d)  Media, desain media yang menarik perhatian dan minat siswa; (e) menggunakan sistem evaluasi yang menyeluruh terhadap kemampuan siswa.
(2)  Psikologi belajar
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar.  Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan.[12] Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar yang dapat diaratikan sebagai perubahan behavior atau perilaku baik berupa kognitif, afektif, maupun psikomotorik, yang dikategorikan sebagai perubahan perilaku dari hasil belajar.
Bagi para guru, psikologi belajar merupakan bekal yang sanagat penting, dapat digunakan atau diaplikasikan dalam proses pembelajaran di kelas. Semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.
S, Nasution, juga menyatakan terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum, yaitu  psikologi anak dan psikologi belajar. (1)  Psikologi Anak.
Sekolah didirikan untuk anak, untuk kepentingan anak, yakni menciptakan situasi–situasi dimana anak dapat belajar untuk mengembangkan bakatnya. Selama berabad-abad, anak tidak dipandang sebagai manusia yang lain daripada orang dewasa dan karena itu anak mempunyai kebutuhan sendiri sesuai dengan perkembangannya. Sejak  permulaan abad ke -20, anak kian mendapat perhatian menjadi salah satu asas dalam pengembangan kurikulum. Kemudian muncullah aliran yang disebut progresif. Kurikulum semata-mata didasarkan atas minat dan perkembangan anak (child centered curiculum). Kurikulum ini dapat diapandang sebagai reaksi terhadap kurikulum yang diperlukan orang dewasa tanpa menghiraukan kebutuhan anak.[13]
Hindari prinsip pengembangan kurikulum yang mengutamakan bahan yang ditentukan oleh orang dewasa, sedangkan anak “dipaksa” menyesuaikan diri dengan bahan tersebut dengan segala kesulitannya. Dalam pengembangan kurikulum, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: (a) anak bukan orang dewasa dalam bentuk mini;  (b)        fungsi sekolah di antaranya mengembangkan pribadi anak seutuhnya; (c)        para pengembangan kurikulum harus selalu meperhatikan anak dengan segala potensinya; (d)      anak harus menjadi pusat pendidikan, pembelajaran, dan bukan objek belajar; (e)      tiap anak unik, mempunyai ciri-ciri tersendiri, lain dari yang lain.  
Dengan demikian, hendaknya para perancang kurikulum harus mempertimbangkan keunikan dan keperbedaan anak agar sedapat mungkin, sehingga peserta didik berkembang sesuai dengan bakatnya.



(2)  Psikologi Belajar
Pendidikan disekolah diberikan dengan kepercayaan dan keyakinan bahwa anak–anak dapat di didik, dapat dipengaruhi kelakukannya.  Anak – anak dapat belajar, dapat menguasai sejumlah pengetahuan, dapat mengubah sikapnya, dapat menerima norma- norma, dapat menerima nilai-nilai, dapat mempelajari dan menguasai macam–macam keterampilan.
Bila para perancang kurikulum tahu betul bagaimana proses belajar itu berlangsung, dalam keadaan bagaimana belajar itu memberi hasil yang sebaik-baiknya, maka kurikulum dapat direncanakan, susun, dan dilaksanakan dengan jalan yang seefektif–efektifnya agar proses keberlangsungan belajar berjalan dengan baik
Teori belajar dijadikan dasar bagi proses belajar mengajar. Dengan demikian ada hubungan yang erat antara kurikulum dan psikologi belajar juga psikologi anak. Karena hubungan yang sangat erat itu maka psikologi menjadi salah satu dasar kurikulum.[14]
Selain dua pandangan di atas, psikologi atau teori belajar yang berkembang pada dasarnya dapat dikelompokkan kedalam tiga rumpun yaitu: Teori  behavorisme;  teori daya (Disiplin Mental); dan teori organismik atau gestalt.
(1)    Teori Daya (Disiplin Mental).
Menurut teori ini sejak kelahirannya (heredities) anak telah memiliki potensi-potensi atau daya-daya tertentu (faculties) yang masing-masing memiliki fungsi tertentu, seperti potensi/daya mengingat, daya berpikir daya mencurahkan pendapat daya mengamati, daya memecahkan masalah, dan daya-daya lainnya.
(2)    Teori Behavorisme;
Rumpun teori ini mencakup tiga teori, yaitu teori koneksionisme atau teori asosiasi; teori kondisioning, dan teori reinforcement (Operent Conditioning),  Rumpun teori Behaviorisme berangkat dari asumsi bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir. Perkembangan individu ditentukan oleh lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat). Teori Koneksionisme atau teori Asosiasi adalah kehidupan tunduk kepada hukum stimulus-respon atau aksi-reaksi.
Belajar pada dasarnya merupakan hubungan antara stimulus-respon. Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus-respon. Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus-respon sebanyak-banyaknya.   Manusia itu merupakan organisme yang pasif, Ia di ibaratkan sebuah kertas putih,  mau di tulis apa di atas kertas tersebut tergantung orang yang menulisnya.
(3)   Teori Organismik atau Gestalt;
Teori ini mengacu kepada pengertian bahwa keseluruhan lebih bermakna dari pada bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan dari bagian-bagian.  Manusia dianggap sebagai mahluk organisme yang melakukan hubungan timbal balik dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan ini dijalin oleh stimulus dan respon.

3.     Asas Pengorganisasian
Asas Organisatoris ini, mengenai bentuk penyajian bahan pelajaran, yakni organisasi kurikulum. Ilmu jiwa asosiasi yang menganggap bahwa keseluruhan jumlah sebagian kurikulum merupakan mata pelajaran yang terpisah – pisah, yang mempunyai keuntungan dan juga kelemahan. Menurut Gestalt, prinsip keseluruhan mempengaruhi organisasi kurikulum yang telah di susun secara unit, tidak diadakan batasan antar mata pelajaran.
Dilihat dari organisasinya, ada tiga kemungkinan tipe bentuk kurikulum: (a) Kurikulum yang berisi sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, (separatet subjec curriculum). (b) Kurikulum yang berisi sejumlah mata pelajaran yang sejenis dihubung-hubungkan (correlated curiculum), dan  (c) Kurikulum yang terdiri dari peleburan semua / hampir semua maka pelajaran (integrated curriculum).[15]  Pada seperated subjeck curriculum, bahan dikelompokkan pada mata pelajaran yang sempit, sehingga banyak jenis mata pelajaran dan menjadi sempit ruang lingkupnya.[16]
Sedangkan correlated curriculum mata pelajaran itu di hubungkan antara satu dengan yang lainya, sehingga tidak berdiri sendiri– sendiri pada separated subject curriculum dan ini dibuat sebagai reaksi terhadap kurikulum yang di anggap kurang sempurna. Pada integrated curriculum, kurikulum dipadukan secara menyeluruh dan dalam kesatuan, dan diharapkan dapat membentuk manusia yang utuh.[17]
Bentuk atau perorganisasian bahan pelajaran yang disajikan adalah (a) pembagian materi pelajaran, (b) Pembagian jam pelajaran; (c) pertimbangan pemberian waktu pelajaran; (d) Cara atau metode penyampaian materi pelajaran; (e) Penempatan pengajar sesuai kompetensi; (f) Organisasi ruang kelas.  Asas Pengorganisasia yaitu komposisi kurikulum; (a) Kurikulum inti; (b) institusional; dan (c) pilihan. Pengorganisasian apakah dalam bentuk matapelajaran terpisah-pisah ataukah diusahakan adanya hubungan antara pelajaran yang diberikan. Ataukah diusahakan hubungan secara mendalam dengan menghapuskan segala batas-batas mata pelajaran, disebut bentuk kurikulum terpadu.
Menurut S. Nasution, ilmu jiwa asosiasi yang berpendirian bahwa keseluruhan sama dengan jumlah bagian-bagiannya cenderung memilih kurikulum yang subject-centered atau berpusat pada mata pelajaran, dengan sendirinya akan terpisah-pisah. Sebaliknya ilmu jiwa Gestalt lebih mengutamakan keseluruhan, karena keseluruhan itu bermakna dan lebih relevan dengan kebutuhan anak dan masyarakat. Aliran psikologi gestalt lebih cenderung memilih kurikulum terpadu atau integrated kurikulum.[18]

4.     Asas Hukum atau Yuridis
Dalam mendesain kurikulum harus memperhatikan asas hukum atau yuridis yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar filosofis pengembangan kurikulum. Pancasila sebagai asas utama, menjadi cita-cita bangsa. UUD 1945, Pembukaan UUD 45, Psl 28  B ayat 2, Psl 31 dan 32.
Selain itu,  Peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan, yaitu; TAP MPR: (a) TAP MPRS No.XXVII/1996, dan  bab I pasal 3; (2) TAP MPR No. IV/MPR/1973; (3) TAP MPR No.IV/MPR/1978; (4) TAP MPR No. II/MPR/1983; dan (5)TAP MPR No. II/MPR/1988.
Dalam Undang-Undang No.20 TH. 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional  Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan  sebagai pedoman penyelenggaraan  kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[19]
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. UU SPN No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Bab II Pasal 3. Untuk mengembangkan pesreta didik di atas, maka para perancang kurikulum harus memperhatikan 5 kelompok pelajaran yakni adalah: (a) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (b) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (c) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; (d) kelompok mata pelajaran etestika, serta (e) kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan.
Kurikulum pendidikan tinggi adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi maupun bahan kajian dan pelajaran serta cara penyampaian dan penilaiannya yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di perguruan tinggi.[20]
Dengan demikian, dalam mendesain pengembangan kurikulum harus memperhatikan asas hukum atau yuridis yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar filosofis pengembangan kurikulum dan peraturan dari kementria pendidikan atau kemenristek dan dikti.

B.     Analisis Pengembangan Kurikulum PAI:
Kurikulum, menyediakan program pendidikan (blueprint) yang relevan bagi  pencapaian tujuan akhir pendidikan, shaping the individual selver determining what men become.  Maka, kurikulum, diorientasikan pada kebutuhan masa kini, masa akan datang, dan pengguna lulusan.
Perubahan Kurikulum karena persoalan historis, perubahan yang terjadi di masyarakat (sosiologis), tuntutan pengguna stakeholders dan user, sehingga kurikulum menjadi jelas dan daya beli pasar,  animo masuk, dan  pengguna output/lulusan.  Perlu diantisipasi, pengembangan kurikulum atau perubahan kurikulum bukan karena kepentingan, guru, dosen, saya ngajar apa,  mata kuliah saya aman atau  tidak. Maka, hal ini menjadi tidak jelas, tidak dapat menjawab tuntutan pasar.
Analisis perubahan kurikulum; apabila menggunakan diterminasi tertentu, tuntutan perubahan pendidikan mencakup analisis perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, seni, teknologi, perubahan masyarakat, analisis kebudayaan, konsep kekinian, era global, era global-reformasi, desentralisasi pendidikan, dan otonomi, maka rancangan pengembangan kurikulum perlu dirubah mengikuti warna dan irama perubahan tersebut.[21]
Analisis perkembangan kurikulum tentu saja didasarkan pada suatu kajiaan dan penelitian. Sehingga Suatu kurikulum dikatakan berubah apabila terdapat perbedaan mendasar antara satu atau lebih komponen antara kurikulum pada periode tertentu dengan periode lainnya atau perubahan maupun pengembangan kurikulum biasanya juga didorong oleh determinasi tertentu.[22]
Saylor dan Alexander (1986), misalnya, meneyebut diterminasi itu antara lain pengaruh historis, keinginan, eksperesi nilai-nilai, kondisi siswa sebagai peserta didik, customer, stakeholder. Sementara secara sosiologi, diterminasi itu dapat mencakup: analisis masyarakat, analisis kebudyaan, konsep kekinian tentang  fungsi-fungsi persekolahan.[23]
Dalam upaya pengembangan atau perubahan kurikulum harus memperhatikan: perkembangan pembelajar dan kesesuannya dengan lingkungan; perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; budaya dan seni. Dengan demikian kurikulum memuat content pendidikan dalam kurikulum menggambarkan standar kompetsnsi atau kemampuan dasar yang wajib dimiliki pembelajaran. Sekurangnya ada empat macam kemampuan hasil belajar; (1)   perolehan pengetahuan; (2) peningkatan keterampilan berfikir  (kemampuan analisis);  (3) pengembangan ketrampilan psikomotorik; dan (4) perubahan sikap - nilai dan atau  perasaan.
Amin Abdullah, menyoroti bahawa kurikulum dan kegiatan pendidikan Islam yang selama ini berlangsung di sekolah, antara lain sebagai berikut:  (1) pendidikan Islam lebih banyak terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif semata-mata serta amalan-amalan ibadah praktis, (2) pendidikan Islam kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri siswa lewat berbagai cara, media, dan forum, (3) pendidikan agama lebih menitikberatkan pada aspek korespondensi-tekstual, yang lebih menekankan aspek hafalan teks-teks keagamaan yang sudah ada, (4) sistem evaluasi, bentuk-bentuk soal ujian agama Islam menunjukkan prioritas utama pada aspek kognitif, dan jarang pertanyaan tersebut mempunyai bobot muatan “nilai” dan “makna” spiritual keagamaan yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari”.[24]
Untuk membuktikan kekurang tepatan kurikulum dan materi pendidikan Islam tersebut, Komaruddin Hidayat mengemukakan  tiga indikator  sebagai berikut: “(1) pendidikan Islam saat ini, orientasi kurikulumnya lebih pada belajar tentang agama, sehingga outputnya banyak orang yang mengetahui nilai-nilai ajaran Islam, tetapi perilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang diketahuinya, (2) tidak tertibnya penyusunan dan pemilihan materi-materi pendidikan Islam, sehingga sering ditemukan hal-hal  prinsip yang mestinya dipelajari lebih awal tetapi terlewatkan. Kurikulum pendidikan Islam lebih berorientasi pada disiplin ilmu fiqh, sehingga dianggapnya seolah-olah sebagai agama itu sendiri, bahkan masyarakat menilai beragama yang benar adalah identik dengan bermazhab fiqh yang benar dan diakui oleh mayoritas, dan apabila berbeda sedikit dianggap dan dituduh sebagai aliran sesat dan menyimpang, (3) kurangnya penjelasan yang luas, mendalam, dan kurangnya penguasaan sematik dan generik atau istilah-istilah kunci dan pokok dalam ajaran Islam, yang menyebabkan penjelasan yang sangat jauh dan berbeda dan makna, spirit, dan konteksnya.[25]  








[1]     Hujair AH. Sanaky, Dr. MSI, adalah dosen Program Pascasarjana FIAI UII dan Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam FIAI UII Yogyakarta.
[2]     S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet. Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm.11.
[3]     S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet. Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm.11.
[4]     S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet. Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm.23.
[5]     S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet. Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm.23.
[6]     S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet. Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm.23.
[7]     S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet. Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm.23.
[8]     S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet. Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm.23.
[9]     S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet. Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm.23.
[10]    Baca: S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet. Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm.13.

[11]    S.N. Sukmadinata,  Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya Bandung, 2006), hlm. 46
[12]    S.N. Sukmadinata,  Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya Bandung, 2006), hlm. 46
[13]    S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet. Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm.12.
[14]    S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet. Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm.12.

[15]    Muslam, Pengembangan Kurikulum Agama Islam Teoritis dan Praktis, (Semarang : PKPI2 Semarang, 2008), hlm. 55.
[16] Ana Fitrotun Nisa, 2011, “Asas dan Faktor Pengembangan Kurikulum PAI”, From: http:// yuukbelajar. blogspot.com/2011/05/asas-dan-faktor-pengembangan-kurikulum.html, 02 Oktober 2012.
[17]    Ana Fitrotun Nisa, 2011, “Asas dan Faktor Pengembangan Kurikulum PAI”, From: http:// yuukbelajar. blogspot. com/2011/05/ asas-dan-faktor-pengembangan-kurikulum.html, 02 Oktober 2012.
[18]    S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet. Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm.14.
[19]    Undang-Undang No.20 Tahun. 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[20]  Pasal 1 Butir 6 Kemendiknas No.232/U/2000, tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa.

[21]    Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Mambangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI UII, 2003), hlm.168.
[22]    Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Mambangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI UII, 2003), hlm.168.
[23]    Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Mambangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI UII, 2003), hlm.168-169.
[24]    Amin Abdullah, “Problem Epistemologis-Metodologis Pendidikan Islam”, dalam Abd. Munir Mulkan, et.al., Religiusitas IPTEK, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 49-65. dan dalam Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Mambangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI UII, 2003), hlm.166.
[25]    Kamaruddin Hidayat, “Memetakan Kembali Struktur Keilmuan Islam” (Kata Pengantar), dalam  Fuaduddin dan Cik Hasan Bisri (Ed), Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi: Wacana tentang Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hlm.xii-xiii. dan dalam Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Mambangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI UII, 2003), hlm.166-167.