Materi Kuliah: Pengembangan Kurikulum PAI
PRINSIP-PRINSIP DESAIN KURIKULUM UNTUK KELAS INTERNASIONAL
Hujair AH. Sanaky[1]
A.
Pendahuluan
Kurikulum
memegang peranan penting dalam pendidikan, sebab posisinya berkaitan dengan
penentuan arah, isi dan proses pendidikan yang pada akhirnya menentukan macam
dan kualifikasi lulusan suatu lembaga pendidikan. Tuntutan dan gagasan untuk membuka kelas
internasional oleh prodi hukum Islam UII mengharuskan untuk melakukan inovasi
dalam desain kurikulum. Inovasi tersebut akan berjalan dan mencapai sasarannya
jika progam pendidikan tersebut dirancang dan di implementasikan sesuai dengan visi,
misi, tujuan, kondisi dan tuntutan tersebut.
Desain
kurikulum menyangkut pola pengorganisasian unsur-unsur atau komponen kurikulum.
Penyusunan desain kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi
horisontal dan vertikal. Pertama, dimensi horisontal berkenaan dengan
penyusunan dari lingkup isi kurikulum yang tentu saja bermutana nasional dan
internasional. Tentu saja lingkup ini sering diintegrasikan dengan proses
belajar dan mengajarnya. Kedua, dimensi vertikal, yaitu menyangkut
penyusunan sekuens bahan berdasarkan urutan tingkat kesukaran.[2] Dalam
artian bahan akan tersusun mulai dari yang mudah, kemudian menuju pada yang
lebih sulit, atau mulai dengan yang dasar diteruskan dengan yang lanjutan.
Desain
kurikulum adalah mendeskripsikan secara terperinci tentang komponen yang harus
ada pada setiap kurikulum serta desain kurikulum yang dapat digunankan untuk
proses pembelajaran. Dalam desain kurikulum
terdapat beberapa komponen, diantaranya
adalah tujuan kurikulum, bahan ajar atau materi atau isi dari kurikulum
tersebut, strategi mengajar atau metode mengajar, media pembelajaran dan
evaluasi pembelajaran. Komponen-komponen tersebut saling berhubungan satu
dengan yang lainnya. Setiap komponen mempunyai isi yang sangat penting sekali
bagi kelangsungan kurikulum.
B. Pengertian Desain Kurikulum
Desain diartikan sebagai suatu petunjuk yang
memberi dasar, arah, tujuan dan teknik yang ditempuh dalam memulai dan
melaksanakan suatu kegiatan dalam konteks ini adalah ”desain kurikulum untuk
kelas internasional”. Fred Percival dan Henry Ellington dalam Hamalik,
mengemukakan bahwa ”desain kurikulum” adalah pengembangan proses perencanaan,
validasi, implementasi, dan evaluasi kurikulum.[3] Ini berarti, desain kurikulum diartikan
”sebagai proses” daripada pelaksanaan atau penerapan model kurkulum dalam dunia
pendidikan.[4]
Kurikulum dapat diartikan sebagai seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.[5] Dalam Kepmendiknas No. 232/U/2000, defenisi kurikulum adalah
seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai isi
maupun bahan kajian dan pelajaran
serta cara penyampaian dan
penilaian yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar
di perguruan tinggi.”
Mendesain
kurikulum berarti menyusun rancangan atau menyusun model kurikulum sesuai
dengan misi, visi dan tujuan.[6] Menurut George A. Beauchamp ”….Curriculum
design may be defined as the substance and organization of goal and culture
content so arranged as to reveal potential progression through levels of
schooling”. Artinya, desain kurikulum dapat digambarkan sebagai unsur
pokok, komponen hasil atau sasaran dan kultur yang membudaya.[7]
Kurikulum
tidak hanya terbatas pada atau berkaitan dengan mata pelajaran saja,
tetapi lebih luas dari itu, meliputi segala aktivitas yang dilakukan lembaga
pendidikan dalam upaya mempengaruhi peserta dalam belajar, membentuk
kepribadian mereka untuk mencapai suatu tingkatan tertentu (tujuan). Artinya,
semua kegiatan belajar-mengajar, filosofis pendidikan, visi dan misi, merancang
materi perkuliahan (belajar-mengajar), mengatur
strategi dalam proses pembelajaran dan membuat evaluasi dalam sebuah
kegiatan pembelajaran dan sebagainya sesuai dengan arah dan tujuan yang ingin
dicapai dalam sebuah kegiatan pembelajaran (teaching-learning) adalah
termasuk dalam katagori kurikulum secara luas.
C. Kecenderungan dalam desain kurikulum
Dalam penyusunan atau desain kurikulum,
setidaknya ada lima
karakteristik “kecenderungan”, yang perlu diamati dan diantisipasi, yaitu;
Pertama, kurikulum menjadi terlalu
ambisius, dalam arti bahwa kurikulum berisi
sebanyak mungkin (kalau bisa seluruh) nilai yang dianggap patut dan wajib
dikembangkan di dalam kehidupan. Karakteristik
ini muncul karena keinginan para desainer kurikulum untuk memberikan
yang terbaik sebanyak mungkin; makin banyak, makin lengkap, makin baik.
Akibatnya, kurikulum menjadi ‘kegemukan’, padat dan berat.
Kedua, kurikulum menjadi terlalu
pretensius, dalam arti bahwa dengan kurikulum
diharapkan segala kebutuhan perkembangan manusia untuk hidup sudah tercakup,
dan sudah tidak perlu lagi diusahakan pendidikan apapun dari luar lembaga pendidikan. Maka kurikulum
menjadi kesatuan sumber dan pusat perbendaharaan nilai dan perilaku yang
dilembagakan secara komprehensif. Akibatnya, kurikulum ini terlalu ideal, yang
sesungguhnya menjadi tidak realistis.
Ketiga, kurikulum menjadi terlalu
preskriptif, dalam arti bahwa yang tersisa yang masih
dapat dilakukan oleh pengajar hanyalah mengikuti petunjuk teknis dan
pelaksanaan, karena segala bahan dan petunjuk telah dicantumkan di dalam
program kurikulum. Pengajar hanya bertugas
melaksanakan, dan melaksanakan berarti bertindak sesuai dengan yang
panduan yang diarahkan. Penyimpangan tidak dibenarkan; akibatnya, kurikulum menjadi
terlalu mengikat dan sangat doktriner.
Keempat, kurikulum menjadi terlalu
tekstual, dalam arti bahwa bahan yang dicantumkan
telah diperhitungkan secara baku
dan terpola, sehingga guru sudah tidak perlu atau bahkan tidak dibenarkan untuk
lebih lanjut mengurai atau mengubahnya,
memperkayanya, di luar bahan kurikuler. Kurikulum menjadi sebuah strategi yang
harus diberlakukan sama, tidak bergantung pada keberagaman kondisi di lapangan.
Kontekstualisasi dikhawatirkan mengurangi makna nilai dasar; karena itu tidak
dianjurkan Akibatnya, kurikulum menjadi steril.
Kelima, kurikulum menjadi terlalu
abstrak,
dalam arti bahwa isi kurikulum cenderung menjadi
sedemikian normatif dan doktriner, sehingga tidak ada lagi ruang tersisa untuk mengadakan inovasi,
pengayaan, kajian, tafsir, serta berbagai usaha mengaitkan program kukrikuler
dengan berbagai realitas kehidupan yang diperlukan untuk memperkaya dan lebih
memaknai pelajaran-pelajaran. Akibatnya, kurikulum menjadi tidak peka, dan
cenderung terlepas dari realitas kehidupan.[8]
Menurut Winarno Surakhmad, dari sejumlah kurikulum yang sudah diterapkan sejauh ini, ke lima
karakteristik (dapat disingkat sebagai 5-Terlalu)
itu telah muncul dalam berbagai desain, format, intensitas dan dalam berbagai
kombinasi yang dinilai tidak tepat di
dalam pengembangan kurikulum -- kurikulum apapun -- yang kita inginkan. Ada
kalanya kondisi itu masih diperkaya lagi dengan berbagai karakteristik
pengiring, seperti politik, kepentingan individual dan lain-lain. Maka
karakteristik 5-Terlalu adalah
“penyakit kurikulum” yang umum, tetapi penyakit ini tidak sukar pencegahan dan
penyembuhannya.
D.
Prinsip-Prinsip dan bentuk desain
Kurikulum
Desain
kuirikulum merujuk kepada penyusunan atau organisasi elemen-elemen
kurikulum yang menyangkut: Tujuan umum dan khusus; Isi program; Kegiatan
peserta didikan; dan Evaluasi. Pemilihan
desain kurikulum sangat bergantung pada berbagai hal, seperti landasan
kurikulum yang menyangkut aspek-aspek, antara lain psikologi, filsafat,
sosial-kultural, ekonomi, dan politik; dan keharusan melihat faktor-faktor
kontekstual tujuan pendidikan dilihat dari sisi-sisi tersebut. Maka khusus untuk kurikulum kelas
internasional antara lain, menyangkut dengan filosofis, tujuan, dan struktur
kurikulumnya
1.
Prinsip-Prinsip Desain
Kurikulum.
.Saylor dalam Hamalik (2007),
mengajukan delapan prinsip ketika akan mendesain kurikulum, prinsip-prinsip
tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Desain kurikulum harus
memudahkan dan mendorong seleksi serta pengembangan semua jenis pengalaman
belajar yang esensial bagi pencapaian prestasi belajar, sesuai dengan hasil
atau tujuan yang diharapkan.
(2) Desain kurikulum memuat berbagai pengalaman belajar yang bermakna
dalam rangka merealisasikan tujuan pendidikan.
(3) Desain kurikulum, harus memungkinkan dan menyediakan peluang bagi pengajar
untuk menggunakan prinsip-prinsip belajar dalam memilih, membimbing, dan
mengembangkan berbagai kegiatan belajar.
(4) Desain kurikulum memungkinkan pengajar untuk menyesuaikan
pengalaman dengan kebutuhan, kapasitas, dan tingkat kematangan pembelajar.
(5) Desain kurikulum
mendorong pengajar mempertimbangkan berbagai pengalaman belajar pembelajar yang
diperoleh diluar sekolah dan mengaitkannya dengan kegiatan belajar di sekolah.
(6) Desain kurikulum menyediakan
pengalaman belajar yang berkesinambungan, agar kegiatan belajar pembelajar berkembang
sejalan dengan pengalaman terdahulu dan terus berlanjut pada pengalaman
berikutnya.
(7) Kurikulum harus di desain agar dapat membantu pembelajar mengembangkan
watak, kepribadian, pengalaman, dan nilai-nilai demokrasi yang menjiwai kultur.
Selain itu, ada beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan pada
penyusun atau desain kurikulum, yaitu;
(1) Kurikulum bersumber dari filosofi.
Sebagai
pendekatan strategis, kurikulum terletak antara filosofi, visi, misi, dan tujuan
pendidikan. Dengan kata lain, kurikulum bukan sebagai titik awal; kurikulum dilahirkan dari suatu
pemikiran filosofi, atau konsep yang merupakan sumber yang melahirkan cita-cita
dan tujuan pendidikan yang bersifat visioner.
Ini berarti kurikulum merupakan suatu penjabaran dari sebuah visi, yakni menjadi misi yang menggariskan pendekatan-pendekatan yang dipilih sebagai
pendekatan yang terbaik dari berbagai alternatif yang ada yang digunakan
sebagai dasar untuk mendesain suatu kurikulum.
(2) Kurikulum adalah
strategi mencapai tujuan pendidikan.
Pendekatan
kurikuler, dengan perkataan lain, merupakan strategi
yang dipilih sebagai yang terbaik untuk mencapai tujuan. Walaupun demikian,
penyusun kurikulum harus lebih dahulu menguasai filosofi atau konsep pendidikan
yang mendasarinya. Para penyusun atau desainer kurikulum diasumsikan telah
memiliki kesepakatan mengenai segala nilai dasar yang esensial. Yang kemudian perlu dimasalahkan ialah mana
di antara semua nilai dasar itu yang bisa disepakati sebagai basic essentials untuk tujuan.
(3)
Kurikulum
hendaknya bersifat ‘minimalis’.
Mendesain dan mengembangkan
kurikulum dengan pendekatan yang ‘minimalis’. Memilih dan membatasi hanya sejumlah nilai
dasar yang esensial sebagai inti,
tetapi yang kemudian diperkaya dengan berbagai bahan yang berfungsi memperkaya pemahaman yang menggunakan nilai dasar esensial.
Selanjutnya, bahan-bahan tersebut diperkaya lagi dengan pengetahuan yang
menyangkut penerapan nilai-nilai dasar, atau yang terkait dengan konteks kehidupan. Dengan demikian,
kurikulum menggunakan sistem bahan
berlapis, yang terdiri dari bahan inti, bahan pengayaan, dan bahan
kontekstualisasi. Pendekatan ini lebih menjamin teciptanya kurikulum yang fleksibel dan adaptabel
terhadap perkembangan dan perubahan.
(4)
Kurikulum
diterapkan secara sistemik.
Kurikulum yang bermutu tidak
berdiri sendiri, dan tidak akan mungkin berdiri sendiri. Kurikulum dapat
diharapkan mencapai mutu secara optimal apabila ia bersinergi dengan berbagai faktor yang lain, yang sama-sama
berperan sebbagai faktor penentu mutu. Determinan utama lainnya yang secara
sistemik menentukan mutu kurikulum adalah guru, anak didik, infrastruktur, dan manajemen. Ini mengingatkan para
penyusun dan desainer kurikulum agar menjauhi keingingan menyusun kurikulum
yang begitu sempurna, sehingga tidak memerlukan dukungan faktor lain, dan yang
tidak mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya.
(5)
Kurikulum
harus dinamis dan terbuka
Tidak ada kurikulum yang disusun sekali
jadi. Artinya, desain kurikulum untuk kelas intenasional harus tetap bersifat dinamis, berkembang dan
disempurnakan sesuai dengan pengalaman dan kondisi yang senantiasa berubah dan
berdampak pada keberhasilan strategi. Selanjutnya, tidak ada kurikulum yang
harus bertahan sebagai harga mati. Kurikulum harus bersifat terbuka
(open ended) dalam arti bahwa ia harus tetap peka terhadap perubahan, tuntutan,
dan tantangan kehidupan. Kurikulum harus bersifat realistis, layak, dan dapat diterima.
Hanya dengan memelihara dinamika serta
keterbukaan kurikulum, dapat diharapkan terpeliharanya strategi kurikulum yang
senantiasa relevan dengan tujuan.
(6) Sesuai dengan kebijakan pemerintah
Perkembangan desain ini juga harus sejalan dengan adanya kebutuhan
bagi terbentuknya kurikulum nasional sebagai salah satu upaya dalam menciptakan
standarisasi dalam bidang pendidikan. Dalam kaitan dengan desain kurikulum,
perencanaannya juga merujuk pada Standar
Nasional Pendidikan (SNP). Desain kurikulum mencakup sejumlah bidang
kajian/mata kuliah (mencakup pengetahuan/keahlian, keterampilan, dan nilai)
yang dipandang pokok dan penting sehingga harus diberikan kepada semua peserta
didik agar mereka dapat berperan secara efektif dalam masyarakat. Menetapkan kurikulum inti dan kurikulum pelengkap. Menetapkan komptensi
lulusan; kompetensi utama; kompetensi pendukung dan kompetensi lain yang
diperkaya dengan standar internasional.
2. Bentuk-Bentuk Desain Kurikulum
Desain kuirikulum merujuk kepada
penyusunan atau organisasi elemen-elemen kurikulum yang menyangkut dengan
tujuan umum dan khusus; isi program; kegiatan peserta didikan; dan
evaluasi. Maka, pemilihan desain
kurikulum sangat bergantung pada berbagai hal, seperti landasan kurikulum yang
menyangkut aspek-aspek, antara lain psikologi, filsafat, sosial-kultural,
ekonomi, dan politik.
Secara umum terdapat empat bentuk desain
kurikulum, mencakup: (1) desain yang
berpusat pada bidang kajian (subject-centered designs); (2) desain
yang berpusat pada peserta didik (learner-centered designs); (3) desain
yang berpusat pada masalah (problem-centered designs); (4) desain inti (core
designs). Pertama, Desain Berpusat Pada Bidang Kajian (subject-centered
designs); Desain ini didasarkan pada pengelompokkan dan organisasi
bidang kajian secara terpilah-pilah atau terkelompok dalam bidang kajian atau
mata kuliah. Desain ini menekankan pada pemerolehan bidang keilmuan dan isi
kirikulum terstruktur secara bertahap. Desain ini mencakup: (1) desain disiplin
akademis (academic disciplines design), dan (2) desain pengelompokan
bidang keilmuan (broad field design).
Kedua, Desain yang
Berpusat Pada Peserta didik (Lerner-centered Designs); Desain ini menekankan pada perkembangan
individu peserta didik serta pendekatan dalam organisasi kurikulum yang
bergerak dari minat dan kebutuhan peserta didik. Oleh karena itu, terdapat dua
perbedaan mendasar antara desain ini dengan desain sebelumnya, desain yang
berpusat pada bidang studi. Pertama, dalam desain yang berpusat pada peserta
didik organisasi kurikulum beranjak dari minat dan kebutuhan peserta didik,
bukan dari bidang studi. Kedua, berfokus pada minat dan kebutuhan peserta
didik, desain ini lazimnya tidak statis dan ditentukan sejak awal (preplanned).
Ia bergerak dinamis sejalan dengan interaksi guru/dosen-peserta didik dalam
kaitannya dengan kegiatan pembelajaran (learning tasks) yang juga
bergerak sejalan dengan minat dan kebutuhan peserta didik. Ketiga, Desain berpusat pada Masalah (Problem-Centered
Designs); Desain kurikulum yang berpusat pada masalah mengarahkan
peserta didik pada kemampuan dalam memecahkan masalah kehidupan baik yang
dihadapi oleh dirinya dan masyarakatnya. Berbagai isu atau masalah yang
dihadapi individu peserta didik dan masyarakat seperti masalah lingkungan,
perdamaian, berbagai situasi yang dihadapi peserta didik termasuk ke dalam
tema-tema dalam kurikulum dengan desain ini. Terdapat dua jenis desain yang
tercakup ke dalam desain yang berpusat pada masalah, yakni: desain tematik/topik,
dan desain berdasarkan masalah. Pertama; desain tematik; Pikiran yang
melandasi desain ini adalah kurikulum harus memberikan pengalaman belajar yang
mencerminkan kehidupan nyata yang bermakna dan berguna bagi peserta
didik. Dan untuk itu berbagai tema yang dihadapi dalam kebidupan individu
peserta didik dan masyarakat baik dalam konteks lokal, regional dan global
harus tercakup dalam kurikulum.
Tema-tema dapat diambil dari lingkungan terdekat dengan peserta didik
dan berbagai bidang studi yang memiliki keterkaitan dengan kenyataan yang
dihadapi peserta didik. Kedua; desain berdasarkan masalah; desain ini
beranjak dari pandangan bahwa peserta didik harus dihadapkan pada
masalah-masalah kehidupan nyata agar dapat memahami dunianya. Desain ini
menonjolkan kebermakanaan sebagai basis bagi desain kurikulum agar apa yang
tercakup dalam kurikulum dipandang relevan. Keempat, Desain Kurikulum Inti (Core learning
designs); Perkembangan desain
ini sejalan dengan adanya kebutuhan bagi terbentuknya kurikum nasional sebagai
salah satu upaya dalam menciptakan standarisasi dalam bidang pendidikan. Dalam konteks
pengembangan kurikulum PT di Indonesia, desain Kurikulum Inti (KI) kerap
identik dengan Kurikulum Nasional (Kurnas). Dalam kaitan dengan pengembangan
kurikulum, perencanaannya bersifat disentralistik, Kurna merujuk pada Standar
Nasional Pendidikan (SNP). [10]
3. Desain Kurikulum prodi Hukum Islam untuk
kelas internasional
Kurikulum hukum Islam selama ini kental dengan warna “teologis”
dari pada nuansa filosofis. Meteri-materi yang diajarkan ber “nuansa teologis”.
Konsep, ide dan gagasan-gagasan yang dikemukakan didasarkan pada “nash” dan
sedikit di warnai oleh “akal dependen” (qiyas) untuk dikatakan sebagai ilmu atau
materi yang Islam tanpa menghiraukan kaidah-kaidah keilmuannya. [11]
Kurikulum menjadi terlalu abstrak, dalam arti bahwa
isi kurikulum cenderung menjadi sedemikian normatif dan doktriner. Tidak ada lagi
ruang tersisa untuk mengadakan inovasi, pengayaan, kajian, tafsir, serta
berbagai usaha mengaitkan program kukrikuler dengan berbagai realitas kehidupan.
Buku-buku
dan bahan ajar yang ditulis lebih banyak
bernuasa “teologis-normatif”. Dalam kaca mata al-Jabiri, termasuk tipologi “bayani”.
Artinya, hampir semua prinsip, kaidah dan dasar yang ditawarkan diturunkan
dari ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi, dikembangkan dengan akal yang posisinya
masih terkukung dalam dominasi “nash” itu sendiri. Peran akal seperti itu seiring diklaim
sebagai bentuk “ijtihad” yang intinya adalah “qiyas”.
Atas dasar pemikiran
diatas, maka diperlukan rumusan atau desain kurikulum prodi hukum Islam untuk kelas
internasional, adalah:
1. Rumusan kurikulum prodi hukum Islam untuk kelas
internasional harus dirancang dan di implementasikan sesuai dengan visi, misi, tujuan, dan kompetensi
lulusan yang berskala internasional.
2. Tentukan prodak atau kompetensi lulusan seperti apa yang
dinginkan oleh kelas internasional, apakah kompetensi lulusan; (1) memiliki
keunggulan yang ditunjukkan dengan pengakuan internasional terhadap proses dan
hasil atau keluaran pendidikan ilmu hukum Islam yang berkualitas dan teruji
dalam berbagai aspek; yaitu aspek keahlian berdasarkan bidang ilmu; aspek
kompetensi keunggulan/spesifik, dan aspek keahlian berdasarkan profesionalisme;
(2) kemampuan lulusannya diakui secara
internasional yang dibuktikan dengan sertifikasi dan akreditasi; atau (3)
memeiliki kemampuan dalam berbahasa asing.
3. Desain Kurikulum Hukum Islam untuk kelas internasional harus
bersifat
terbuka (open ended) dalam arti bahwa ia harus tetap peka terhadap
perubahan, tuntutan, dan tantangan kehidupan. Kurikulum harus bersifat realistis, layak, dan dapat
diterima. Kurikulum mampu menjabarkan visi, misi dan tujuan program studi
hukum Islam.
4. Kurikulum hukum Islam untuk kelas internasional mampu
menjawab persoalan-persoalan yang muncul pada rana lokal, rana nasional dan
rana global. Ranah lokal; kurikulum dapat menjawab persoalan lokal, berupa
persoalan budaya, kekerasan dan konflik bernuansa SARA, tayangan siaran TV
bernuansa porno, keunikan lokal yang menjadi persoalan hukum dan lain-lain, diakomudasi
dalam kurikulum hukum Islam. Ranah
Nasional, kebijakan negara dalam undang-undang terkait dengan persoalan
umat, fiqih harus mampu menjelaskan persoalan Ahmadia dan aliran-aliran
keagamaan yang lain, persoalan premanisme, persoalan ekonomi, persoalan
keberagamaan, persoalan narkoba, persoalan korupsi, tes keperawanan bagi siswi
perempuan (usulan MUI Pemekasan Jawa Timur di masukan ke dalam undang-undang), dan
lain-lain diakomodasi dalam kurikulum hukum Islam untuk kelas internasional. Ranah global; tantangan global tidak dapat dibabaikan, desain kurikulum menghasilkan lulusan yang dapat
bersaing dalam dunia global, fiqih mampu menyelesaikan persoalan sosial seperti
keadilan gender; hah asasi manusia; penegakan hukum, persoalan terorisme, persoalan nilai-nilai agama yang semakin kabur
(dekadensi mural), pergaulan bebas (free sex) yang membawa penyakit
HIV/AIDS, penyalahgunaan obat, penyakit sosial lainnya, dan lain-lain
diakomodasi dalam kurikulum hukum Islam untuk kelas internasional..
5. Pelaksanaan kurikulum prodi hukum Islam kelas
internasional, akan dapat; (1) menerapkan prinsip fleksibel dan diversifikasi,
yaitu memadukan antara muatan kurikulum nasional dengan materi-meteri pembelajaran
berskla internasional; (2) kegiatan pembelajaran (metode) merupakan wujud nyata
dari pelaksanaan kurikulum dengan memperhatikan prinsip-prinsip; tematik,
kontekstual, realistik, konstruktivistik, student centered, problem solving dan
problem based learning, pembelajaran yang menyenangkan, berbasic ICT, dan
perpaduan pendekatan klasikal-individual.
E. Penutup
Semoga makalah sederhana ini, dapat dijadikan masukan dalam
menyusun atau desain kurikulum prodi
hukum Islam untuk kelas internasional.
DAFTAR PUSTAKA
George A Beauchamp, Curriculum
Theory, The Kagg Press, Wilmette Illionis,
1976.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Aplication Software
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan
Kurikulum- Teori dan Praktek, Bandung: PT. Remaja
Rosda, 2007.
Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan
kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2008,
Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem
Pendidikan Nasional
Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran
Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta:
Kencana Prenata Media Group, 2010.
Winarno
Surakhmad, Kurikulum Berbasisi (Nilai) Kehidupan dari Teks ke Konteks, Paper disampaikan pada acara: “International
Seminar on Islamic Education Reformulation of Concepts and Implementation of
Islamic Education at Education Institutions in Aceh”, diselenggarakan oleh MPD
(Majlis Pendidikan Daerah) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh –
Indonesia: MPD Aceh, November 10-12, 2008.
[1] Hujair
Sanaky, dosen tetap Prodi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Islam
Universitas Islam Idonesia Yogyakarta.
[2]
Baca; Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum- Teori dan Praktek,
(Bandung: PT. Remaja Rosda, 2007) 113
[3] Oemar
Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan kurikulum.(Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2008), hlm. 193
[4] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Aplication
Software
[5] Undang-Undang No. 20
Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan
Nasional
[6]Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran
Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenata
Media Group, 2010) 63
[8]Baca; Winarno
Surakhmad, Kurikulum Berbasisi (Nilai) Kehidupan dari Teks ke Konteks, Paper disampaikan pada acara: “International
Seminar on Islamic Education Reformulation of Concepts and Implementation of
Islamic Education at Education Institutions in Aceh”, diselenggarakan oleh
MPD (Majlis Pendidikan Daerah) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh –
Indonesia: MPD Aceh, November 10-12, 2008. hlm. 8-9
[10] Baca: Wachyu Sundayana, “Desain Pengembangan Kurikulum PT”, http://mbegedut. blogspot.com /2011/04/desain-pengembangan-kurikulum-pt.html, daikses pada jumat, 9 agustus 2013 jam. 16.00 wib dan juga baca: Makalah tentang Desain Kurikulum”, http:// imanbella. wordpress. com /2012/05/29/makalah-tentang-desain-kurikulum/, diakses pada Jum’at, 16 Agustus 2013, jam. 19.30 WIB.
[11] Baca: Sembodo Ardi
Widodo, Problematika Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan dari Aspek
Epistemologis), dlm buku Pendidikan islam di Indonesia, hlm.27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar