MATERI
KULIAH
PENGEMBANGAN
KURIKULUM PAI
PERTEMUAN IV
MODUL IV
ASAS-ASAS/LANDASAN
PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI
Oleh:
Hujair AH. Sanaky[1]
A.
Asasa/Landasan Pengembangan Kurikulum
Pengertian: asas atau Landasan; berarti
tumpuan, dasar atau alas, karena itu landasan merupakan tempat bertumpu atau
titik tolak atau dasar pijakan. Asas; memiliki arti hukum atau kaidah yang
menjadi acuan yang digunakan.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran, gedung dan fasilitas pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Ada 5 asas atau landasan utama
dalam pengembangan kurikulum yaitu;
Asas Filosofis, Asas
Sosiologis, Asas Psikologis, Asas
Pengorganisasian, dan Asas yuridis.
1. Asas Filosofis
Sekolah bertujuan mendidik anak agar
menjadi manusia yang “baik”. Apakah yang dengan “baik” pada hakikatnya
ditentukan oleh nilai-nilai, cita-cita atau filsafat yang dianut negara, tapi
juga guru, orang tua, masyarakat bahkan dunia.
Perbedaan filsafat dengan sendirinya akan menimbulkan perbedaan dalam
perumusan tujuan pendidikan, bahan pelajaran yang disajikan, cara mengajar, dan
menilainya.[2]
Katakan saja, pendidikan di
negara otokratis akan berbeda dengan negara demokratis. Pendidikan di negera
yang memeluk agama Islam akan berbeda dengan negara yang menganut agama Budha
atau Kristen. Ini berarti filsafat menjadi dasar dalam memberikan “arah” atau “kompas”
tujuan pendidikan.[3] Maka, kurikulum PAI mengandung suatu
kebenaran, dari nilai-nilai yang dianut sebagai
pandangan hidup yang diyakini kebenarannya.
Filsafat memegang
peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Ada empat fungsi filsafat dalam
pengembangan kurikulum:
a)
Filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan, sebagai pandangan hidup,
maka dapat di tentukan mau di bawa kemana siswa yang kita didik tersebut.
b) Filsafat dapat menentukan isi atau materi pelajajaran yang
harus diberikan sesuai dengan
tujuan yang ingin di capai.
c) Filsafat dapat menentukan; (a) strategi
atau cara pencapaian tujuan; (b) sebagai sistem
nilai dapat dijadikan pedoman
dlm merancang
pemebelajaran.
d) Melalui filsafat dapat di tentukan tolak
ukur keberhasilan proses pendidikan.
Aliran filsafat yang mendasari
pengembangan kurikulum, yaitu: (a) Aliran
Perenialisme; (b) Aliran esensialisme- realisme; (c) Aliran
Eksistensialisme; (d) Aliran Progresivisme; (e) Aliran
Rekontruksivisme; (f) Aliran
Pragmatisme; dan (g) Aliran Idealisme.
(a) Aliran Perenialisme
Aliran
Perenialisme;
lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari
pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan
dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari.
Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran
universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa
lalu. Bertujuan mengembangkan
kemampuan intelektual anak melalui pengetahuan yang abadi, universal, dan
absolut. Kurikulum dalam pandangan aliran filsafat ini memberi
persiapan yang sangat matang bagi kelanjutan studi ke jenjang yang lebih
tinggi.
Aliran ini
bertujuan mengembangkan kamampuan intelektual anak melalui pengetahuan yang “abadi,
universal dan absolut” atau “perennial” yang ditemukan dan diciptakan para
pemikir. Kurikulum yang diinginkan oleh
aliran ini terdiri atas subject atau mata pelajaran yang terpisah sebagai
disiplin ilmu dengan menolak penggabungan seperti IPA atau IPS. [4]
Mata pelajaran yang
dianggap dapat mengembangkan kemampuan intelektual seperti matematika, fisika,
kimia, biologi yang diajarkan, sedangkan yang berkenaan dengan emosi dan
jasmani seperti seni rupa, olah raga dikesampingkan. Pelajaran yang diberikan termasuk pelajaran yang sulit
karena memerlukan inteligensi tinggi. Kurikulum ini memberi persiapan yang
sungguh-sunggu bagi studi di perguruan tinggi. [5]
(b) Aliran
Essensialisme-Realisme
Aliran Essensialisme lebih menekankan pentingnya
pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik
agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains, dan mata pelajaran lainnya
dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di
masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih
berorientasi pada masa lalu. Menurut aliran ini, mencari kebenaran di dunia melalui pengamatan dan
penelitian ilmiah yang ditemukan melalui hukum-hukum alam.
Sekolah yang menganut aliran ini akan
mengutamakan pengetahuan yang sudah matang sebagai hasil penelitian ilmiah yang
dituangkan secara sistematis dalam berbagai disiplin ilmu/mata pelajaran. Di
sekolah akan dimulai dengan teori-teori dan prinsip-prinsip yang fundamental,
kemudian praktik dan aplikasinya.
Desain kurkulum dalam pandangan aliran
ini tidak memperhatikan minat anak, namun yang diharapkan agar menaruh minat
terhadap pelajaran akademis. Penguasaan ilmu yang banyak berkat studi yang
intensif adalah persiapan yang sebaik-baiknya bagi lanjutan studi dan kehidupan
dalam masyarakat. Kurikulum model ini, banyak murid
yang tidak mampu mengikuti studi akademis serupa.[6]
(c) Aliran
Eksistensialisme
Aliran Eksistensialisme lebih menekankan pada individu
sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Mengutamakan
individu sebagai faktor utama
dalam menentukan hal terbaik dan dianggap benar. Norma-norma hidup berbeda secara individual dan ditentukan
masing-masing secara bebas. Untuk memahami kehidupan
seseorang mesti memahami dirinya sendiri dan jangan menyinggung perasaan orang. Tujuan
hidup, untuk menyempurnakan
diri dan merealisasikan diri.
Pengembangan
kurikulum bagi sekolah yang berdasarkan eksistensialisme lebih mendidik anak
agar mampu menentukan pilihan dan mengambil keputusan sendiri dengan menolak
otoritas orang lain. Desain kurikulum harus mengembangkan anak untuk bebas
berpikir dan mengambil keputusan sendiri secara bertanggungjawab. Sekolah model
ini menolak segala kurikulum, pedoman, instruksi, buku wajib, dan lain-lain
dari pihak luar. Desain kurikulum
menurut aliran eksistensialisme ini anak harus mencari identitasnya sendiri, menentukan
standarnya sendiri dan kurikulumnya sendiri. Dengan sendirinya mereka tidak
dipersiapkan untuk menempuh ujian nasional.[7]
(d)
Aliran Progresivisme
Aliran Progresivisme lebih menekankan pada pentingnya
melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman
belajar dan proses menjadi perhatian. Aliran progresivisme ini merupakan landasan bagi
pengembangan belajar peserta didik aktif.
(e)
Aliran Rekontruksivisme
Aliran Rekonstruktivisme merupakan
elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban
manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan
individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan
tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Penganut aliran ini lebih menekankan hasil belajar dari
pada proses.
(f)
Aliran Pragmatisme,
Aliran Pragmatisme, memandang kebenaran merupakan buatan manusia
berdasarkan pengalamannya. Tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak, kebenaran bersifat tentative dan dapat
berubah. Pengetahuan hanya diperoleh bukan dari mempelajari mata
pelajaran, namun karena digunakan secara fungsional
dalam memecahkan masalah. Maka menurut aliran ini,
sekolah berada
pada garis depan pembangunan dan perubahan masyarakat,
sehingga perencanaan kurikulum juga melibatkan peran orangtua dan masyarakat
untuk memadukan sumber-sumber pendidikan.
Dengan Aliran
Pragmatisme, maka
perancang kurikulum meyakini sepenuhnya pada dasarnya realitas yang
sesungguhnya adalah dunia pengalaman, kebenaran merupakan sesuatu yang dialami oleh manusia, dan nilai itu sendiri
bersumber dari masyarakat. Atas dasar ini, maka
manusia adalah “neutral”, dalam arti tidak baik dan juga tidak bodoh. Sedangkan kebaikan dan keahliannya merupakan hasil dari pengalaman hidupnya.
(g)
Aliran Idealisme,
Aliran idealisme ini berpendapat bahwa “kebenaran”
berasal dari “dunia supra-natural dari Tuhan, Hampir semua agama
menganut “filsafat idialisme”, karena kebenaran kepercayaan datang dari Tuhan,
diterima
melalui wahyu. Kebenaran termasuk dogma dan
norma-norma bersifat mutlak. Apa dari Tuhan baik dan benar. Tujuan hidup,
memenuhi kebutuhan Tuhan.[8]
Filsafat ini biasanya
diterapkan pada sekolah-sekolah yang berorientasi religius. Semua siswa diharuskan mengikuti pelajaran agama, menghadiri
khotbah, membaca Kitab Suci. Disiplin termasuk ketat, pelanggaran diberi hukuman setimpal,
dapat dikeluarkan dari sekolah. Pendidikan intelektual juga diutamakan dengan menganut
standar mutu yang tinggi. [9]
Dengan
aliran idealisme, maka bagi perancang kurikulum harus meyakini sepenuhnya manusia memiliki “pemikiran benar” yakni
adalah akal, kebenaran merupakan ide, dan nilai bersumber pada dunia. Atas dasar ini, aliran ini memandang bahwa pada
dasarnya manusia itu baik dan kebaikan itu sendiri bersumber dari Tuhan dan alam semesta.
Aliran Filsafat Perenialisme,
Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari
terhadap pengembangan “model kurikulum subjek-akademis”. Sedangkan, filsafat
progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan “model kurikulum pendidikan pribadi”. Sementara, filsafat
rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan “model kurikulum interaksional”.
Masing-masing aliran filsafat tersebut, tentu saja pasti memiliki kelemahan dan
keunggulan tersendiri. Maka, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung
dilakukan secara selektif untuk lebih mengkompromikan, mengakomodasikan berbagai
kepentingan yang terkait dengan proses pendidikan. Sebagai contoh, dibeberapa Negara, seperti khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi
pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih
menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme. Ini merupakan salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi pengembangan kurikulum dari pandangan teacher center menjadi student center.
2. Asas Sosiologis
Asas sosiologis pengembangan kurikulum adalah pandangan yang berasal dari masyarakat yang dijadikan landasar atau titik tolak dalam pengembangan kurikulum. Posisi pendidikan adalah proses sosialisai dan internalisasi
nilai-nilai melalui interaksi antar insani menuju pembentukan manusia yang berkeadaban. Dalam kontes inilah, anak didik dihadapkan dengan budaya manusia,
nilai-nilai, dibina, dan dikembangkan sesuai dengan nilai budayanya,
serta dioptimalkan kemampuannya.
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu program
dan rancangan pendidikan. Sebagai suatu program
dan rancangan, kurikulum itu
sendiri menentukan pelaksanaan
dan hasil pendidikan. Pendidikan
merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan
masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan
bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan
mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan
pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan
diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala
karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi
pendidikan. Pembentukan kurikulum PAI harus mengacu
kearah realisasi individu dalam masyarakat. Artinya, out
put yang dihasilkan kurikulum PAI adalah manusia-manusia yang mampu mengambil
peran dalam masyarakat dan zamannya.
Anak manusia tidaklah terisolir dari kehidupan sosial
masyarakat, tradisi, dan
budaya masyarakatnya, perkembangan
politik, ekonomi, tata
kehidupan yang beraneka ragam, kepentingan antar individu, perubahan yang selalu terjadi
di masyarakat. Anak berada dan hidup dalam lingkungan masyarakat itu. Kadang, anak
selalu hidup dalam suatu masyarakat yang berlainan corak nilai-nilai yang
dianutnya. Maka, tiap anak akan berbeda latar belakang kebudayaannya. Perbedaan
inilah yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul
manusia–manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi
justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun
kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, dalam pengembangan kurikulum, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus
disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan
yang ada di masyakarakat.
Setiap
lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri
yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem
sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan
berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari
agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya. Oleh
karena itu, “perbedaan inilah yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan
kurikulum. Perubahan masyarakat akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi juga merupakan faktor pertimbangan dalam pengembangan kurikulum”.[10]
2.
Asas Psikologis
Asas ini memberi arti bahwa kurikulum PAI hendaknya disusun
dengan mempertimbangkan tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang
dilalui anak didik. Dalam
pandangan psikologis bahawa;
(a) Pendidikan sangat berhubungan dengan kejiwaan manusia,
ilmu jiwa manusia berpengaruh juga dalam kegiatan belajar.
(b) belajar merupakan aktivitas seseorang untuk
mentransformasikan ilmu (apakah ia dewasa atau anak-anak), dan kita ketahui
bersama bahwa belajar itu ternyata suatu proses yang pelik dan kompleks,
timbullah berbagai teori belajar yang menunjukkan ketidaksesuaian satu sama
lain.
(c) Teori belajar
dijadikan dasar pertimbangan dalam pengembangan kurikulum.
Dalam asas psikologi, menurut
Sukmadinata (2006:
46), terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum,
yaitu psikologi perkembangan dan psikologi
belajar.
(1) Psikologi perkembangan
Psikologi perkembangan, merupakan ilmu
yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Maka
dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, tahapan
perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu,
serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu. Semuanya dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.[11]
Psikologi
perkembangan diperlukan
terutama dalam menentukan isi kurikulum yang diberikan kepada siswa, baik pada tingkat kedalaman dan keluasan materi,
kesulitan, kelayakan, serta kebermafaatan materi, senantiasa disesuaikan dengan taraf perkembangan peserta didik. Implikasai psikologi memepunyai arti
terhadap proses pembelajaran itu sendiri, yaitu: (a) Tujuan pembelajaran yang
berpusat pada perubahan perilaku siswa; (b) Desain bahan atau materi, harus
sesuai dengan kebutuhan, minat, dan perhatian siswa, mudah diterima siswa; (c) Srategi
pembelajaran, sesuai dengan taraf perkembangan anak; (d) Media, desain media yang menarik perhatian
dan minat siswa; (e) menggunakan sistem evaluasi yang menyeluruh terhadap
kemampuan siswa.
(2) Psikologi belajar
Psikologi belajar merupakan ilmu yang
mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat
belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya
dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan.[12] Psikologi belajar mengkaji tentang
hakekat belajar yang dapat diaratikan sebagai perubahan behavior atau perilaku
baik berupa kognitif, afektif, maupun psikomotorik, yang dikategorikan sebagai perubahan
perilaku dari hasil belajar.
Bagi para guru, psikologi belajar
merupakan bekal yang sanagat penting, dapat digunakan atau diaplikasikan dalam
proses pembelajaran di kelas.
Semuanya dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.
S, Nasution, juga menyatakan terdapat
dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum, yaitu psikologi anak dan psikologi belajar. (1) Psikologi Anak.
Sekolah didirikan untuk anak, untuk kepentingan anak,
yakni menciptakan situasi–situasi dimana anak dapat belajar untuk mengembangkan
bakatnya. Selama berabad-abad, anak tidak dipandang sebagai manusia yang lain
daripada orang dewasa dan karena itu anak mempunyai kebutuhan sendiri
sesuai dengan perkembangannya. Sejak permulaan abad ke -20, anak kian mendapat
perhatian menjadi salah satu asas dalam pengembangan kurikulum. Kemudian muncullah aliran yang
disebut progresif. Kurikulum semata-mata
didasarkan atas minat dan perkembangan anak (child centered curiculum).
Kurikulum ini dapat diapandang sebagai reaksi terhadap kurikulum yang
diperlukan orang dewasa tanpa menghiraukan kebutuhan anak.[13]
Hindari prinsip pengembangan kurikulum yang
mengutamakan bahan yang ditentukan oleh orang dewasa, sedangkan anak “dipaksa”
menyesuaikan diri dengan bahan tersebut dengan segala kesulitannya. Dalam
pengembangan kurikulum, ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan, yaitu: (a) anak bukan orang dewasa dalam bentuk mini; (b)
fungsi sekolah di antaranya mengembangkan pribadi
anak seutuhnya; (c) para pengembangan kurikulum harus selalu meperhatikan anak
dengan segala potensinya; (d) anak harus menjadi pusat pendidikan, pembelajaran, dan
bukan objek belajar; (e) tiap anak unik, mempunyai ciri-ciri tersendiri, lain
dari yang lain.
Dengan
demikian, hendaknya para perancang kurikulum harus mempertimbangkan keunikan dan
keperbedaan anak agar sedapat mungkin, sehingga peserta didik berkembang sesuai
dengan bakatnya.
(2) Psikologi
Belajar
Pendidikan disekolah
diberikan dengan kepercayaan dan keyakinan bahwa anak–anak dapat di didik,
dapat dipengaruhi kelakukannya. Anak –
anak dapat belajar, dapat menguasai sejumlah pengetahuan, dapat mengubah
sikapnya, dapat menerima norma- norma, dapat menerima nilai-nilai, dapat
mempelajari dan menguasai macam–macam keterampilan.
Bila para perancang
kurikulum tahu betul bagaimana proses belajar itu berlangsung, dalam keadaan
bagaimana belajar itu memberi hasil yang sebaik-baiknya, maka kurikulum dapat
direncanakan, susun, dan dilaksanakan dengan jalan yang seefektif–efektifnya
agar proses keberlangsungan belajar berjalan dengan baik
Teori belajar dijadikan dasar bagi proses belajar
mengajar. Dengan demikian ada hubungan yang erat antara kurikulum dan psikologi
belajar juga psikologi anak. Karena hubungan yang sangat erat itu maka
psikologi menjadi salah satu dasar kurikulum.[14]
Selain
dua pandangan di atas, psikologi atau teori belajar yang berkembang pada dasarnya
dapat dikelompokkan
kedalam tiga rumpun yaitu: Teori behavorisme; teori daya (Disiplin Mental); dan teori organismik atau gestalt.
(1) Teori Daya (Disiplin Mental).
Menurut
teori ini sejak kelahirannya (heredities) anak telah
memiliki potensi-potensi atau daya-daya tertentu (faculties) yang
masing-masing memiliki fungsi tertentu, seperti potensi/daya mengingat, daya
berpikir daya mencurahkan pendapat daya mengamati, daya memecahkan masalah, dan
daya-daya lainnya.
(2) Teori Behavorisme;
Rumpun
teori ini mencakup tiga teori, yaitu teori koneksionisme atau teori asosiasi;
teori kondisioning,
dan teori reinforcement
(Operent Conditioning), Rumpun teori Behaviorisme
berangkat dari asumsi bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir.
Perkembangan individu ditentukan oleh lingkungan (keluarga, sekolah,
masyarakat). Teori
Koneksionisme atau teori Asosiasi adalah kehidupan tunduk kepada hukum
stimulus-respon atau aksi-reaksi.
Belajar
pada dasarnya merupakan hubungan antara stimulus-respon. Belajar merupakan
upaya untuk membentuk hubungan stimulus-respon. Belajar merupakan upaya untuk
membentuk hubungan stimulus-respon sebanyak-banyaknya. Manusia itu merupakan organisme
yang pasif, Ia
di ibaratkan sebuah kertas putih, mau di tulis apa di atas kertas
tersebut tergantung orang yang menulisnya.
(3) Teori Organismik atau Gestalt;
Teori
ini mengacu kepada pengertian bahwa keseluruhan lebih bermakna dari pada
bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan dari bagian-bagian. Manusia dianggap sebagai mahluk
organisme yang melakukan hubungan timbal balik dengan lingkungan secara
keseluruhan, hubungan ini dijalin oleh stimulus dan respon.
3. Asas
Pengorganisasian
Asas Organisatoris ini, mengenai bentuk penyajian bahan pelajaran, yakni organisasi kurikulum.
Ilmu jiwa asosiasi yang menganggap bahwa keseluruhan jumlah sebagian kurikulum
merupakan mata pelajaran yang terpisah – pisah, yang mempunyai keuntungan dan
juga kelemahan. Menurut Gestalt, prinsip keseluruhan mempengaruhi organisasi
kurikulum yang telah di susun secara unit, tidak diadakan batasan antar mata
pelajaran.
Dilihat dari organisasinya, ada tiga kemungkinan
tipe bentuk kurikulum: (a) Kurikulum yang berisi sejumlah mata pelajaran yang
terpisah-pisah, (separatet subjec curriculum). (b) Kurikulum yang berisi
sejumlah mata pelajaran yang sejenis dihubung-hubungkan (correlated
curiculum), dan (c) Kurikulum yang terdiri dari peleburan semua /
hampir semua maka pelajaran (integrated curriculum).[15]
Pada seperated subjeck
curriculum, bahan dikelompokkan pada mata pelajaran yang sempit, sehingga
banyak jenis mata pelajaran dan menjadi sempit ruang lingkupnya.[16]
Sedangkan correlated
curriculum mata pelajaran itu di hubungkan antara satu dengan yang lainya, sehingga
tidak berdiri sendiri– sendiri pada separated subject curriculum dan ini
dibuat sebagai reaksi terhadap kurikulum yang di anggap kurang sempurna. Pada integrated
curriculum, kurikulum dipadukan secara menyeluruh dan dalam kesatuan, dan
diharapkan dapat membentuk manusia yang utuh.[17]
Bentuk atau perorganisasian bahan pelajaran yang disajikan
adalah (a) pembagian materi pelajaran, (b) Pembagian jam pelajaran; (c)
pertimbangan pemberian waktu pelajaran; (d) Cara atau metode penyampaian materi
pelajaran; (e) Penempatan pengajar sesuai kompetensi; (f) Organisasi ruang
kelas. Asas Pengorganisasia yaitu komposisi kurikulum; (a) Kurikulum inti; (b)
institusional; dan (c) pilihan. Pengorganisasian apakah dalam bentuk matapelajaran
terpisah-pisah ataukah diusahakan adanya hubungan antara pelajaran yang
diberikan. Ataukah diusahakan hubungan secara mendalam dengan menghapuskan
segala batas-batas mata pelajaran, disebut bentuk kurikulum terpadu.
Menurut
S. Nasution, ilmu jiwa asosiasi yang berpendirian bahwa keseluruhan sama dengan jumlah
bagian-bagiannya cenderung memilih kurikulum yang subject-centered atau
berpusat pada mata pelajaran, dengan sendirinya akan terpisah-pisah. Sebaliknya
ilmu jiwa Gestalt lebih mengutamakan keseluruhan, karena keseluruhan itu
bermakna dan lebih relevan dengan kebutuhan anak dan masyarakat. Aliran
psikologi gestalt lebih cenderung memilih kurikulum terpadu atau integrated
kurikulum.[18]
4. Asas
Hukum atau Yuridis
Dalam mendesain kurikulum harus
memperhatikan asas hukum atau yuridis yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar
filosofis pengembangan kurikulum. Pancasila sebagai asas utama, menjadi
cita-cita bangsa. UUD
1945, Pembukaan UUD 45, Psl 28 B ayat 2, Psl 31 dan 32.
Selain itu, Peraturan perundang-undangan yang menjadi
acuan, yaitu; TAP MPR: (a) TAP MPRS No.XXVII/1996, dan bab I pasal 3; (2) TAP MPR No. IV/MPR/1973;
(3) TAP MPR No.IV/MPR/1978; (4) TAP MPR No. II/MPR/1983; dan (5)TAP MPR No.
II/MPR/1988.
Dalam Undang-Undang No.20 TH. 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional Kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.[19]
Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional. UU SPN No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Bab II Pasal 3.
Untuk mengembangkan pesreta didik di atas, maka para perancang kurikulum harus
memperhatikan 5 kelompok pelajaran yakni adalah: (a) kelompok mata pelajaran
agama dan akhlak mulia; (b)
kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (c) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan
teknologi; (d) kelompok mata
pelajaran etestika, serta (e) kelompok
mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan.
Kurikulum
pendidikan tinggi adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi maupun
bahan kajian dan pelajaran serta cara penyampaian dan penilaiannya yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di
perguruan tinggi.[20]
Dengan demikian, dalam mendesain pengembangan
kurikulum harus memperhatikan asas hukum atau yuridis yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar filosofis
pengembangan kurikulum dan peraturan dari kementria pendidikan atau kemenristek
dan dikti.
B. Analisis Pengembangan Kurikulum PAI:
Kurikulum, menyediakan
program pendidikan (blueprint) yang relevan bagi pencapaian tujuan akhir pendidikan, shaping the individual
selver determining what men become. Maka, kurikulum, diorientasikan pada
kebutuhan masa kini,
masa akan datang, dan pengguna lulusan.
Perubahan Kurikulum karena persoalan
historis, perubahan yang terjadi di masyarakat (sosiologis), tuntutan pengguna stakeholders dan user, sehingga
kurikulum menjadi jelas dan daya beli pasar, animo masuk, dan pengguna output/lulusan. Perlu diantisipasi, pengembangan kurikulum
atau perubahan kurikulum bukan karena kepentingan, guru, dosen, saya ngajar apa,
mata kuliah saya aman atau tidak. Maka, hal ini menjadi tidak
jelas, tidak dapat menjawab tuntutan pasar.
Analisis
perubahan kurikulum; apabila
menggunakan diterminasi tertentu,
tuntutan perubahan pendidikan mencakup analisis perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan,
seni, teknologi, perubahan masyarakat, analisis kebudayaan, konsep kekinian, era global, era
global-reformasi, desentralisasi pendidikan, dan otonomi, maka rancangan pengembangan kurikulum perlu dirubah
mengikuti warna dan irama perubahan tersebut.[21]
Analisis perkembangan kurikulum tentu saja didasarkan pada suatu kajiaan dan penelitian. Sehingga Suatu kurikulum dikatakan berubah apabila terdapat
perbedaan mendasar antara satu atau lebih komponen antara kurikulum pada
periode tertentu dengan periode lainnya atau perubahan maupun pengembangan
kurikulum biasanya juga didorong oleh determinasi tertentu.[22]
Saylor
dan Alexander (1986), misalnya, meneyebut diterminasi itu antara lain pengaruh historis, keinginan,
eksperesi nilai-nilai,
kondisi siswa sebagai peserta didik, customer,
stakeholder. Sementara secara sosiologi, diterminasi itu dapat mencakup: analisis masyarakat,
analisis kebudyaan, konsep kekinian tentang
fungsi-fungsi persekolahan.[23]
Dalam upaya pengembangan atau
perubahan kurikulum harus memperhatikan: perkembangan pembelajar dan
kesesuannya dengan lingkungan; perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; budaya
dan seni. Dengan demikian kurikulum memuat content pendidikan dalam kurikulum menggambarkan
standar kompetsnsi atau kemampuan dasar yang wajib dimiliki pembelajaran.
Sekurangnya ada empat macam kemampuan hasil belajar; (1) perolehan pengetahuan; (2) peningkatan
keterampilan berfikir (kemampuan
analisis); (3) pengembangan
ketrampilan psikomotorik; dan (4) perubahan sikap - nilai dan
atau perasaan.
Amin
Abdullah, menyoroti bahawa kurikulum dan kegiatan pendidikan Islam yang selama ini berlangsung di
sekolah, antara lain sebagai berikut:
(1) pendidikan Islam lebih banyak terkonsentrasi pada
persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif semata-mata serta
amalan-amalan ibadah praktis, (2) pendidikan Islam kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama
yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam
diri siswa lewat berbagai cara, media, dan forum, (3) pendidikan agama lebih
menitikberatkan pada aspek korespondensi-tekstual, yang lebih menekankan aspek
hafalan teks-teks keagamaan yang sudah ada, (4) sistem evaluasi, bentuk-bentuk
soal ujian agama Islam menunjukkan prioritas utama pada aspek kognitif, dan
jarang pertanyaan tersebut mempunyai bobot muatan “nilai” dan “makna” spiritual
keagamaan yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari”.[24]
Untuk
membuktikan kekurang tepatan kurikulum dan materi pendidikan Islam tersebut,
Komaruddin Hidayat mengemukakan tiga
indikator sebagai berikut: “(1)
pendidikan Islam saat ini, orientasi kurikulumnya lebih pada belajar tentang
agama, sehingga outputnya banyak orang yang mengetahui nilai-nilai ajaran
Islam, tetapi perilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang
diketahuinya, (2) tidak tertibnya penyusunan dan pemilihan materi-materi pendidikan
Islam, sehingga sering ditemukan hal-hal
prinsip yang mestinya dipelajari lebih awal tetapi terlewatkan.
Kurikulum pendidikan Islam lebih berorientasi pada disiplin ilmu fiqh, sehingga
dianggapnya seolah-olah sebagai agama itu sendiri, bahkan masyarakat menilai
beragama yang benar adalah identik dengan bermazhab fiqh yang benar dan diakui
oleh mayoritas, dan apabila berbeda sedikit dianggap dan dituduh sebagai aliran
sesat dan menyimpang, (3) kurangnya penjelasan yang luas, mendalam, dan
kurangnya penguasaan sematik dan generik atau istilah-istilah kunci dan pokok
dalam ajaran Islam, yang menyebabkan penjelasan yang sangat jauh dan berbeda
dan makna, spirit, dan konteksnya.[25]
[1] Hujair AH. Sanaky, Dr. MSI, adalah dosen Program
Pascasarjana FIAI UII dan Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam FIAI UII
Yogyakarta.
[2] S.
Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet. Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara,
2011), hlm.11.
[3] S.
Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet. Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara,
2011), hlm.11.
[4] S.
Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet. Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara,
2011), hlm.23.
[5] S.
Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet. Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara,
2011), hlm.23.
[6] S.
Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet. Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara,
2011), hlm.23.
[7] S.
Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet. Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara,
2011), hlm.23.
[8] S.
Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet. Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara,
2011), hlm.23.
[9] S.
Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet. Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara,
2011), hlm.23.
[10] Baca: S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum,
Cet. Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm.13.
[11] S.N. Sukmadinata,
Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung : PT Remaja
Rosdakarya Bandung, 2006), hlm. 46
[12] S.N. Sukmadinata,
Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung : PT Remaja
Rosdakarya Bandung, 2006), hlm. 46
[13] S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet.
Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm.12.
[14] S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet.
Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm.12.
[15] Muslam, Pengembangan
Kurikulum Agama Islam Teoritis dan Praktis, (Semarang : PKPI2 Semarang, 2008),
hlm. 55.
[16]
Ana Fitrotun Nisa, 2011, “Asas dan
Faktor Pengembangan Kurikulum PAI”, From: http:// yuukbelajar.
blogspot.com/2011/05/asas-dan-faktor-pengembangan-kurikulum.html, 02 Oktober
2012.
[17] Ana Fitrotun Nisa, 2011, “Asas dan Faktor Pengembangan Kurikulum PAI”, From:
http:// yuukbelajar. blogspot. com/2011/05/ asas-dan-faktor-pengembangan-kurikulum.html,
02 Oktober 2012.
[18] S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet.
Kesebelas, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm.14.
[20] Pasal
1 Butir 6 Kemendiknas No.232/U/2000, tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan
Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa.
[21] Hujair
AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Mambangun Masyarakat Madani
Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI UII, 2003), hlm.168.
[22] Hujair
AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Mambangun Masyarakat Madani
Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI UII, 2003), hlm.168.
[23] Hujair
AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Mambangun Masyarakat Madani
Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI UII, 2003),
hlm.168-169.
[24] Amin Abdullah, “Problem Epistemologis-Metodologis Pendidikan Islam”, dalam Abd.
Munir Mulkan, et.al., Religiusitas IPTEK, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998), hlm. 49-65. dan dalam Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam:
Mambangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press
dan MSI UII, 2003), hlm.166.
[25] Kamaruddin Hidayat, “Memetakan Kembali
Struktur Keilmuan Islam” (Kata Pengantar), dalam Fuaduddin dan Cik Hasan Bisri (Ed), Dinamika
Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi: Wacana tentang Pendidikan Agama Islam,
(Jakarta: Logos, 1999), hlm.xii-xiii. dan dalam Hujair AH. Sanaky, Paradigma
Pendidikan Islam: Mambangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta:
Safiria Insania Press dan MSI UII, 2003), hlm.166-167.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar