Bahan Kuliah: Isu-Isu
Pendidikan Islam
PEMIKIRAN
PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME
Hujair AH.
Sanaky[1]
Secara etimologi,
multikultural terbentuk dari dua kata, yaitu multi yang berarti banyak,
lipat ganda,[2]
dan kultur yang berarti kebudayaan. Multikultural berarti banyak, lipat
ganda, atau beragam kebudayaan. Adapun multikulturalisme secara etimologi
terbentuk dari tiga kata, yaitu multi yang berarti banyak, lipat ganda, kultur
yang berarti kebudayaan, dan isme yang berarti
paham/ideologi.[3]
Jadi, makna multikulturalisme berarti ideologi atau paham tentang banyak
kebudayaan atau dapat dikatakan multikulturalisme berarti keragaman budaya,[4]
pengakuan atas beberapa kultur yang berbeda.[5]
Konsep
pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat
suatu bangsa. Dari perspektif ini,
kiranya pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai “pendidikan
untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan
kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”.[6] Dalam artian pendidikan selalu relevan dengan
keragaman budaya, sehingga pendidikan bukan merupakan "menara gading"
yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan harus mampu menciptakan tatanan
masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya
mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang
dialaminya, bukan juga masyarakat yang hanya mengagumi kemajuan orang lain dan
menjadi masyarakat konsumtif dari kemajuan tersebut, tetapi masyarakat yang belajar dari culture-nya sendiri dan
mengembangkannya dengan menggunakan perspektif atau cara berpikir global.
Untuk memahami
pendidikan multikulturalisme diperlukan landasan bangunan konsep yang relavan
untuk mendukung keberadaan serta berfungsinya pendidikan multikultural dalam
kehidupan manusia Indonesia. Pendidikan multikultural (multicultural
education) tidak persis sama dengan enkulturasi
ganda (multiple enculturation). Konsep multicultural tidak dapat
disamakan dengan konsep keanekaragaman sukubangsa dan sebagainya. Sizemore [1978:2], membedakan antara
pendidikan multikultural dengan enkulturasi ganda. Menurutnya, enkulturasi lebih menekankan pada
integrasi struktural yang mengaburkan makna akulturasi dengan enkulturasi.
Pendidikan multikultural menurutnya merupakan sebuah proses pemerolehan
pengetahuan untuk dapat mengontrol orang lain demi sebuah kehidupan (survival).[7] Dari kerangka pemikiran ini maka pendidikan
multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (difference)
atau “politics of recognition”, politik pengakuan terhadap orang-orang
dari kelompok minoritas.[8]
Anderson dan Cusher, dalam Hasan,
mengatakan bahwa multikultural adalah pendidikan keragaman kebudayaan. Konsep
ini, mengandung unsur yang lebih luas, meskipun demikian posisi kebudayaan
masih sama yakni mencakup keragaman kebudayaan menjadi sesuatu yang dipelajari
sebagai objek studi. Dengan kata lain, keragaman kebudayaan menjadi materi
pelajaran yang harus diperhatikan, khususnya bagi rencana pengembangan
kurikulum.[9] Azyumardi Azra, mengatakan bahwa pendidikan
multikultural sebagai pengganti dari pendidikan interkultural, diharapkan
dapat menumbuhkan sikap peduli dan mau mengerti atau adanya politik pengakuan
terhadap kebudayaan kelompok manusia seperti; toleransi, perbedaan
etno-kultural dan agama, diskriminasi, HAM, demokrasi dan pularalitas,
kemanusiaan universal serta subyek-subyek lain yang relevan.[10]
Secara
operasional, pendidikan multikultural pada dasarnya merupakan program
pendidikan yang menyediakan sumber belajar yang jamak bagi pembelajar (multiple
learning environments) dan yang sesuai dengan kebutuhan akademik maupun
sosial peserta didik.[11] Pendidikan
multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap
perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak
bagi setiap kelompok. Dalam dimensi
lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas
pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian
terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard,1991-1992). Secara luas pendidikan multikultural itu
mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender,
etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Selanjutnya James Banks (1994) menjelaskan bahwa pendidikan
multikultural memiliki empat dimensi yang saling berkaitan antara dengan
lainnya, yaitu: (1) Content integration, mengintegrasikan berbagai
budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan
teori dalam mata pelajaran atau disiplin ilmu;
(2) The Knowledge Construction
Process, membawa siswa untuk
memahami implikasi “budaya” ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin); (3) An
Equity Paedagogy, menyesuaikan “metode pengajaran” dengan “cara belajar
siswa” dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik
dari segi ras, budaya ataupun social; dan (4)
Prejudice Reduction, mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan
menentukan metode pengajaran mereka.[12]
Tilaar,
mengatakan pendidikan multikultural merupakan fenomena yang relatif baru di
dalam dunia pndidikan. Sebelum Perang Dunia II boleh dikatakan pendidikan
multikultural belum dikenal. Malah pendidikan dijadikan sebagai alat politik
untuk melanggengkan kekuasaan yang memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok
tertentu. Dengan kata lain pendidikan multikulturak merupakan gejala baru di
dalam pergaulan umat manusia yang mendambakan persamaan hak, termasuk hak untuk
mendapatkan pendidikan yang sama untuk semua orang, ”education for All”.[13]
Pendidikan multikultural sebenarnya
berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme”
seusai Perang Dunia II. Maka kemunculan gagasan dan kesadaran “interkulturalisme”
ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM,
kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga
karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat
dari peningkatan migrasi dari negara-negara yang baru merdeka ke Amerika dan
Eropa”.[14]
Pada dasawarsa
1940-an dan 1950-an di Amerika Serikat berkembang konsep pendidikan
“inter-kultural” dan “inter-kelompok” (inter-cultural and inter-group
education). Maka, pada hakikatnya pendidikan interkultural merupakan cross-cultural
education untuk mengembangkan nilai-nilai universal yang dapat diterima
berbagai kelompok masyarakat berbeda.
”Pada tahap pertama, pendidikan interkultural ditujukan untuk mengubah
tingkah laku individu untuk tidak meremehkan apalagi melecehkan budaya orang
atau kelompok lain, khususnya dari kalangan minoritas. Selain itu juga ditujukan untuk tumbuhnya
toleransi dalam diri individu terhadap berbagai perbedaan rasial, etnis, agama,
dan lain-lain”. Azyumardi Azra,
mengatakan “harus diakui, bahwa pada prakteknya pendidikan interkultural
lebih terpusat pada individu daripada masyarakat”.[15] Lagi pula, konflik dan benturan antar
kelompok dalam skala luas yang terjadi bukan dalam skala individu,
melainkan pada tingkat kelompok dan masyarakat yang mengusung
unsur-unsur kepentingan dan politik, sehingga hal ini benar-benar mengganggu
hubungan atau relasi antar sesama di antara kelompok, warga masyarakat, bangsa
dan negara. Nilai-nilai kemanusian mulai kering dan kaku dalam relasi antar
sesama manusia, perbedaan visi, kepentingan, keyakinan, tradisi, budaya dan
politik seakan-akan selalu menjadi sumber konflik dan telah menjadi suatu yang
lumrah dan legal pada perilaku kehidupan manusia dalam era saat ini. Dari kondisi ini Azyumardi Azra,[16]
mengatakan bahwa ”pendidikan interkultural dipandang kurang berhasil
dalam mengatasi konflik antar golongan dan masyarakat dan dari kenyataan ini
pulah menurutnya pada gilirannya dan sudah saatnya kita harus mendorong
munculnya gagasan tentang pendidikan multikultural”, karena dalam program
pendidikan multikultural, tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok
rasial, agama dan kultural dominan atau mainstream saja.
Sebagaimana
dikemukakan Tilaar, bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak
lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural dominan
atau mainstream. Kerena, fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada
pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan
toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap
budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya dapat membuat orang-orang
dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream.[17] dengan ”pendidikan interkultural seperti ini
pada akhirnya memunculkan tidak hanya sikap tidak peduli (indifference)
terhadap nilai-nilai budaya minoritas, tetapi bahkan cenderung melestarikan prasangka-prasangka
sosial dan kultural yang rasis dan diskriminatif.[18]
Dan dari kerangka inilah, ”pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap
“peduli” dan mau mengerti (difference), atau “politics of
recognition” politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok
minoritas.[19]
Pendidikan
multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar
bahwa sikap “indifference” dan “non-recognition” berakar tidak
hanya dari ketimpangan struktural rasial, paradigma pendidikan multikultural
mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan
keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang; sosial,
budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Paradigma seperti ini pada
gilirannya mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang “ethnic studies”, untuk
kemudian menemukan tempatnya di dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat
dasar sampai ke tingkat pendidikan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang
semua subyek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi
kelompok-kelompok minoritas dan disadvantaged.[20]
Istilah
“pendidikan multi-kultural” (multicultural education) dapat digunakan
baik pada tingkat deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan
masalah-masalah pendidikan berkaitan dengan masyarakat multikultural. Maka
lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap
kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi bagi pendidikan bagi peserta didik di
dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif dan normatif ini,
kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti;
toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethnokultural, dan agama; bahaya
diskriminasi; penyelesaian konflik dan mediasi; HAM; demokrasi dan pluralitas;
kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang relevan. [21]
Berdasarkan pandangan yang
dikemukakan diatas, maka perumusan dan
implementasi pendidikan multikultural di Indonesia, masih memerlukan
pembahasan serius dan khusus. Hal ini bukan hanya karena menyangkut masalah isi
pendidikan multikultural itu sendiri, tetapi juga mengenai strategi yang akan
ditempuh, misalnya dalam bentuk
matapelajaran terpisah, berdiri sendiri (separated), atau sebaliknya
“terpadu” atau terintegrasi (integrated). ”Dalam konteks teoritis, pendidikan
multikulturalisme yang dikembangkan di negara-negara maju, dikenal lima
pendekatan, yaitu: (1) Pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan
kebudayaan atau multikulturalisme; (2) Pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan
kebudayaan atau pemahaman kebudayaan; (3) Pendidikan bagi pluralisme
kebudayaan; (4) Pendidikan dwi-budaya; dan (5)
Pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia”.[22]
Terlepas dari berbagai
pemikiran, pandangan, isu dan masalah yang mencuat, tanpaknya perkembangan
Indonesia saat sekarang ini
mendesak membutuhkan suatu desain
”pendidikan multikulturalisme” yang diharapkan dapat merubah model-model
pendidikan selama ini dan dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi terbentukannya “keikaan” di
tengah “kebhinnekaan” yang betul-betul akurat dan aktual ditengah-tengah
kehidupan masyarakat dan bangsa serta
tidak hanya sekedar pada wacana, simbol, slogan, dan jargon yang selalu
menggiurkan dan pembodohan masyarakat.
Dengan demikian, untuk membantu membangun dan mempersiapkan masyarakat
yang lebih baik, diperlukan demokratis dan memiliki perasaan sederajat
atau bila bangsa ini ingin menjadi kuat
dalam era demokrasi, diperlukan sikap saling menerima dan menghargai dari tiap
orang yang beraneka ragam, sehingga dapat saling membantu, bekerja sama
memabangun negera ini lebih baik untuk menuju terbentuknya masyarakat madani
Indonesia.
Permaslahan:
1. Bagaimana
Pandangan saudara tentang pendidikan multikulturalisme!
2. Apakah
pendidikan Islam dapat menerapkan pendidikan multikulturalisme?
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah Amini,
Ernie Isis, Analisis Kebutuhan
Pendidikan Multikultural Berbasis Kompetensi pada Siswa Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama [SLTP] di Kota Mataram, Tesis, Jurusan Penelitian dan
Evcaluasi Pendidikan, (Singaraja: Program Pascasarjana IKIP Negeri, 2004).
Azyumardi
Azra, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun
Multikulturalisme Indonesia, From:http://kongres.budpar.go.id/
agenda/precongress/ makalah/abstrak/58%20 azyumardi%20azra.htm,
accessed, Selasa, 24 maei 2005, jam. 11.00 WIB.
Azyumardi
Azra, Pendidikan Multikultural:
Membangun Kembali Indonesia Bhineka Tunggal Ika, Makalah disampaikan dalam
Symposium Internasional Antropologi Indonesia ke-3, (Denpasar, Kajian Budaya
UNUD, 2002).
Ernie Isis Aisyah
Amini, Analisis Kebutuhan Pendidikan
Multikultural Berbasis Kompetensi Pada Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
[SLTP] di Kota Mataram, Program Pascasarjana IKIP Negeri Singaraja, (Mataram.:
Pscasarjana IKIP Negeri, 2004)
Hasan, Hamid, Pendekatan
Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional. Dalam Seminar
Pengembangan Kurikulum Universitas Pendidikan Indonesia [UPI], Bandung, 2002.
H.A.R,Tilaar, Multikulturalisme
Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional,(Jakarta:Grasindo,2004).
H.A.R Tilaar, Perubahan
Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia,
(Jakarta: Grasindo, 2002).
Lash, Scott, dan Mike
Featherstone (ed.),2002,
Recognition And Difference: Politics, Identity,
Multiculture London: Sage Publication.
Muhaemin
el-Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural (sebuah
kajian awal), From: http://artikel.us/muhaemin6-04.html,
accessed, Senin, 23 Mei 2005, jam. 16.00
WIB.
Mahfudz, Choirul, 2006, Pendidikan Multikultural, Cet.1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Partanto, Pius A., dan M.
Dahlan al-Barry, 1994, Kamus Ilmiah Pupuler, Surabaya:
Penerbit Arkola.
Sanaky, Hujair AH.,2016, Dinamika Perkembangan Pendidikan Islam
di Indonesia, Yogyakarta: Kaukaba
Dipantara.
[1]Hujair AH. Sanaky, Dr. MSI, adalah Dosen Program
Pascasarjana FIAI UII dan Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam FIAI UII Yogyakarta.
[2]Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah
Pupuler (Surabaya: Penerbit Arkola, 1994), hlm. 495.
[3]Choirul Mahfudz, Pendidikan Multikultural, Cet.1,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 75.
[4]Scott
Lash dan Mike Featherstone (ed.),Recognition And Difference: Politics,
Identity,Multiculture(London: Sage Publication, 2002),hlm.2-6.
[5] Baca
lebih lanjut Buku: Hujair AH. Sanaky, Dinamika Perkembangan Pendidikan Islam
di Indonesia, (Yogyakarta: Kaukaba
Dipantara, 2016), hlm.186-196.
[6]Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun
Multikulturalisme Indonesia,
From:http://kongres.budpar.go.id/
agenda/precongress/ makalah/abstrak/58%20 azyumardi%20azra.htm,
accessed, Selasa, 24 maei 2005, jam. 11.00 WIB.
[7]Ernie Isis Aisyah Amini, Analisis
Kebutuhan Pendidikan Multikultural Berbasis Kompetensi Pada Siswa Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama [SLTP] di Kota Mataram, Program Pascasarjana IKIP
Negeri Singaraja, (Mataram.: Pscasarjana IKIP Negeri, 2004), hlm. 36.
[8]Azra, Azyumardi, Pendidikan Multikultural: Membangun
Kembali Indonesia Bhineka Tunggal Ika, Makalah disampaikan dalam Symposium
Internasional Antropologi Indonesia ke-3, (Denpasar, Kajian Budaya UNUD, 2002).
[9]Hasan, Hamid, Pendekatan Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum
Nasional. Dalam Seminar Pengembangan Kurikulum Universitas Pendidikan
Indonesia [UPI], Bandung, 2002.
[10]Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun
Multikulturalisme Indonesia, accessed, Selasa, 24 maei
2005, jam. 11.00
[11]Aisyah Amini, Ernie Isis, Analisis
Kebutuhan Pendidikan Multikultural Berbasis Kompetensi pada Siswa Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama [SLTP] di Kota Mataram, Tesis, Jurusan Penelitian
dan Evcaluasi Pendidikan, (Singaraja: Program Pascasarjana IKIP Negeri, 2004),
hlm. 37.
[12]Muhaemin el-Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural
(sebuah kajian awal), From: http://artikel.us/muhaemin6-04.html,
accessed, Senin, 23 Mei 2005, jam. 16.00
WIB.
[13]H.A.R,Tilaar, Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan
dalam Transformasi Pendidikan Nasional,(Jakarta:Grasindo,2004),123.
[14]H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik
Transformatif untuk Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2002), hlm. 495.
[15]Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun
Multikulturalisme Indonesia, accessed, Selasa, 24 maei
2005, jam. 11.00
[16]Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun
Multikulturalisme Indonesia, accessed, Selasa, 24 maei
2005, jam. 11.00
[17]H. A. R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik
Transformatif untuk Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2002), hlm. 498.
[18]Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun
Multikulturalisme Indonesia, accessed, Selasa, 24 maei
2005, jam. 11.00
[19]Azra, Azyumardi, Pendidikan Multikultural: Membangun
Kembali Indonesia Bhineka Tunggal Ika, Makalah disampaikan dalam Symposium
Internasional Antropologi Indonesia ke-3, (Denpasar, Kajian Budaya UNUD, 2002).
[20]Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun
Multikulturalisme Indonesia, accessed, Selasa, 24 maei
2005, jam. 11.00.
[21]Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun
Multikulturalisme Indonesia, accessed, Selasa, 24 maei
2005, jam. 11.00 dan Muhaemin el-Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan
Multikultural (sebuah kajian awal),
From: http://artikel.us/muhaemin6-04.html,
accessed, Senin, 23 Mei 2005, jam. 16.00 WIB.
[22]Muhaemin el-Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural
(sebuah kajian awal), From: http://artikel.us/muhaemin6-04.html,
accessed, Senin, 23 Mei 2005, jam. 16.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar