Rabu, 09 Agustus 2017

ALIRAN-ALIRAN PEMIKIRAN DALAM STUDI ISLAM


Bahan Kuliah: Metodologi Studi Islam
Modul       : VI 
Pertemuan : VI 
Mulai Berlaku : 2014


ALIRAN-ALIRAN PEMIKIRAN DALAM STUDI ISLAM
1.     Aliran-aliran Kalam
2.     Aliran-aliran Fikih
3.     Aliran-aliran Filsafat dan
          Tasawuf.

Hujair AH. Sanaky, Dr. MSI


Kajian pemikiran Islam sempat menjadi perdebatan. Secara garis besar, kita dapat membedakan tiga bidang pemikiran dan kajian Islam, yaitu aliran kalam (teologi), aliran fikih, dan aliran tasawuf.  Pada pembahasan ini, akan dibicarakan ketiga bidang pemikiran tersebut dengan menggunakan pendekatan kronologis yang terdapat dalam sejarah Islam.

1.      Aliran-aliran Kalam
Islam diyakini sebagai agama “rahmatan li al ‘alamin”, tetapi ironisnya para penganutnya ternyata tidak selamanya bersifat posetif. Salah satu buktinya adalah peristiwa tahkim, di mana peristiwa ini telah membuat bencana bagi umat Islam sehingga terpecah, paling tidak menjadi “dua kelompok besar”.  Kelompok pertama adalah pendukung Mauawiyah di antaranya adalah Amir bin As, sedangkan kelompok Islam kedua adalah pendukung Ali bin Abi Thalib.[1]
Perkekbangan selanjutnya, kelompk Ali bin Abi Thalib menjelang dan setelah tahkim  terpecah menjadi dua, yaitu kelompok yang senantiasa setia kepada kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, di antaranya adalah Abu Musa al-Asy’ari dan kelompok kedua, adalah kelompok yang membelot atau keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Kelompok ini, “meninggalkan barisan Ali bin Abi Thalib karena tidak setuju dengan sikap Ali ibn Abi Thalib dalam menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang khilafah dengan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan”.[2]  Mereka menarik dukungannya dan sekaligus menentang Ali bin Abi Thalib dan  Mu’awiah bin Abi Sofian sekaligus. Kelompok ini dalam sejarah dikenal dengan kelompok Khawarij yang dipelopori olah ‘Atab bin A’war dan Urwa bin Jabir.[3]  Dari sini, mulai muncul dan berkembang aliran-aliran pemikiran  kalam (teologi) yang dikenal sampai sekarang:

a)   Aliran Khawarij
Berasal dari kata kharaja yang berarti “ke luar”. pada awalnya kelompok ini terbentuk karana faksi politik.  Pada dasarnya kelompok ini terbentuk “persoalan kepemimpinan” (khilafah) umat Islam. Kemudian, perkembangan selanjutnya mereka membentuk “suatu ajaran”  yang  menjadi ciri utama aliran mereka, yaitu ajaran tentang “pelaku dosa besar” (murtakib al-kaba’ir). Menurut kaum Khawarij, orang-orang yang terlibat dan menyetujui hasil tahkim  “telah melakukan dosa besar” dan orang Islam yang melakukan dosan besar, dalam pandangan mereka berarti “telah kafir”, dan kafir setelah memeluk Islam “berarti murtad”  dan orang murtad (keluar dari Islam) dan “halal dibunuh” berdasarkan sebuah hadis yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “man baddala dinah faktuluh”.[4]
Dalam lapangan politik dan keteta-negaraan, kaum Khawarij mempunyai paham yang berlawanan dengan paham yang ada di waktu itu. Mereka lebih bersifat demokratis, kerena menurut mereka Khalifah atau imam “harus dipilih” secara bebas oleh seluruh umat Islam. Yang berhak menjadi khalifah bukanlah anggota suku bangsa Quraisy saja, bahkan bukan hanya orang Arab, tetapi siapa saja yang sanggup asal orang Islam, sekalipun ia hamba sahaya yang berasal dari Afrika. Khalifah yang terpilih akan terus memegang jabatannya selama ia bersikap adil dan menjalankan syari’at Islam. Tetapi apabila ia menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, ia “wajib dijatuhkan” atau “dibunuh”.  Dalam hubungan dengan khalifah atau pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn al-Khattab secara keseluruhan dapat mereka terima, dengan alasan bahwa kedua khalifah ini diangkat dan keduanya tidak menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, mereka akui. Tetapi untuk khalifah Usman ibn Affan mereka anggap telah menyeleweng mulai dari tahun ke tujuh dari masa khalifahnya, dan Ali ibn Abi Thalim, juga mereka pandang menyeleweng sesudah peristiwa arbitrase atau peristiwa tahkim tersebut di atas. Sejak waktu itulah Usman dan Ali bagi mereka telah “jadi kafir”, demikian pula halnya dengan Mu’awiyah, Amr Ibn al-As, Abu Musa al-Asy;ari serta semua orang yang mereka anggap telah melanggar ajaran-ajaran Islam.  Di sini kaum Khawarij telah memasuki “persoalan kafir”,[5] dan masuk dalam persoalan “teologi”.  Berdasarkan “premis-premis” yang dibangunnya, kemudian kaum Khawarij berksimpulan bahwa orang yang terlibat dan menyetujui tahkim telah menjadi “kafir” dan “harus dibunuh”.
Siapakah yang disebut kafir dan keluar dari Islam? Siapakah yang disebut mukmin dan dengan demikian tidak keluar dari, tetapi tetap dalam Islam? Penentuan tersebut tidak masuk dalam “persoalan politik”, tetapi persoalan  “teologi”. Harun Nasution, menyatakan bahwa “kaum Khawarij tentang siapa yang sebenarnya masih Islam dan siapa yang telah ke luar dari Islam dan “menjadi kafir” serta soal-soal yang bersangkut-paut dengan hal itu tidak selamanya sama, sehingga timbullah berbagai golongan dalam kalangan Khawarij”.[6]  Dapat dikatakan bahwa kaum Khawarij merupakan “aliran teologi” pertama dalam sejarah perkembangan aliran-aliran kalam dalam Islam. Ulama Amir al-Najjar (1990:59) berkesimpulan  penyebab tumbuh dan berkemnya aliran kalam dalam Islam adalah “pertentangan dalam bidang politik, yakni mengenai imamah dan khalifah”.[7]
Kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi yang hidup di padang pasir yang serba tandus membut mereka bersifat sederhana dalam “cara hidup” dan” pemikiran”, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, tidak bergantung pada orang lain. Perobahan agama tidak membawa perobahan dalam sifat-sifat ke Badawian mereka. Mereka tetap bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang Badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam, yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis, mereka artikan menurut lafaznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang yang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal secara fanatik. Iman yang tebal tetapi sempit, ditambah lagi dengan sikap fanatik, membuat mereka tidak dapat mentolerir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walaupun hanya peyimpangan dalam bentuk kecil.[8] Paham semacam ini, sekarang mulai berkembang di Indonesia, walaupun tidak sama persis seperti sekte-sekte Khawarij, tetapi sikap mereka memiki kemiripan.
Pertama,  Al-Muhakkimah Dari sinilah yang menjadi penyabab kaum Khawarij terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang terus-menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada di zaman mereka. Secara umum, al-Syahrastani menjelaskan bahwa Khawarij pecah menjadi 8 (delapan) sekte, seperti: (1) al-Muhakkimah al-Ula,  (2) Al-Azariqah, (3) Al-Najdat, (4) Al-Ajaridah, (5) al-Baihasiyyah, (6) al-Tsa’alabah, (7) al-Ibadiyyah, (8) al-Shufriyyah.  Di antara subsekte tersebut terdapat aliran yang memiliki subsekte yang lebih kecil, yaitu al-‘Ajaridah, terpecah menjadi 7 subsekte kecil, yaitu: al-Shalatiyyah, al-Maimuniyyah, al-Hamzimiyyah, al-Khalafiyyah, al-Athrafiyyah, al-Syu’aibiyyah dan al-Hazimiyyah.  Sekte al-Tsa’alabah terpecah menjadi 7 subsekte kecil, yaitu  al-Akhnasiyyah, al-Ma’badiyyah, al-Rusyaidiyyah, al-Syabaniyyah, al-Mukramiyyah, al-Ma’lumiyyah wa al-Majhuliyyah, dan al-Bid’iyyah.  Sedangkan subsekte al-Ibadliyah terpecah menjadi 3 subsekte kecil, yaitu: al-Hafshiyyah, al-Haritsiyyah, dan al-Yazidiyyah.[9]
Sebagai gambaran, akan dijelaskan  paham dan sikap dari beberapa  subsekte  kaum Khawarij, yaitu:  al-Ula (asli pengikut Ali), bagi mereka Ali, Mu’awiyah, kedua jurubicara mereka Amar ibn al-As dan Abu Musa al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui arbitrase atau tahkim bersalah dan menjadi kafir dan sebutan kafir mereka luaskan artinya kedalam “orang yang membuat dosa besar”. Orang yang berzina dipandang sebagai salah satu dosa besar dan telah menjadi kafir dan keluar dari Islam. Membunuh sesama manusia tanpa sebab yang sah adalah “dosa besar”, maka perbuatan membunuh menjadikan si pembunuh keluar dari Islam dan menjadi kafir. Demikian seterusnya dengan dosa-dosa besar lainnya menurut golongan ini.[10]
Kedua,  al-Azariqah, imam yang mereka pilih adalah Nafi’ dan mereka beri gelar “Amir al-Mu’minin” . Sekte ini, sikapnya lebih “radikal” dari sekte Al-Muhakkimah al-Ula. Mereka tidak lagi menggunakan “term kafir”, tetapi term “musyrik”  atau “polytheist”. Menurut mereka, di dalam Islam syirik atau polytheisme merupakan dosa yang besar, lebih besar dari kafir. Selanjutnya yang dipandang musyrik ialah semua orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka, bahkan orang Islam yang sefaham dengan al-Azariqah, tetapi tidak mau berkumpul atau berhijrah ke dalam lingkungan mereka juga dipandang musyrik. Pandangan mereka, hanyalah merekalah yang sebenarnya orang Islam dan orang Islam yang di luar lingkungan mereka adalah kaum musyrik yang harus diperangi.[11]    
Ketiga, Al-Najdat, berlainan dengan kedua golongan di atas, berpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tidak sefaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, betul akan mendapatkan siksaan, tetapi bukan dalam neraka, dan kemudian akan masuk surga. Dosa kecil baginya akan menjadi dosa besar, apabila dikerjakan terus-menerus dan yang mengerjakannya sendiri menjadi musyrik. Mereka berpandangan bahwa yang diwajibkan bagi tiap-tiap muslim ialah mengetahui Allah dan Rasul-rasulnya, mengetahui haram membunuh orang Islam dan percaya pada seluruh apa yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya. Orang yang tak mengetahui ini tak dapat diampuni. Dalam lapangan politik, Najdah berpendapat bahwa adanya imam perlu, hanya jika maslahat menghendaki yang demikian. Manusia pada hakekatnya tidak berhajat pada adanya imam untuk memimpin mereka. Menurut Harun Nasution, paham mereka ini sebenarnya “dekat dengan ajaran komunisme” yang mengatakan bahwa negara akan hilang dengan sendirinya dalam masyarakat komonis.[12]
Keempat, Al-Ajaridah, bersifat lebih lunak karena menurut faham mereka berhijrah atau berkumpul bukanlah merupakan kewajiban sebagai diajarkan Nafi’ ibn al-Azraq dan Najdah, tetapi hanya merupakan kebajikan. Artinya, kaum Ajaridah boleh tinggal di luar daerah kekuasaan mereka dengan tidak dianggap menjadi kafir. Di samping itu harta yang boleh dijadikan “rampasan perang” hanyalah orang yang telah mati terbunuh.
Kelima, al-Sufriah, pimpinannya Ziad ibn al-Asfar. Dalam faham mereka dekat sama dengan golongan al-Azariqah dan oleh karena itu juga merupakan golongan yang ekstrim. Hal-hal yang membuat mereka kurang ekstrim adalah pendapat mereka tentang: (1) orang Sufriah yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir, (2) mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh, (3) tidak semua mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar menjadi kafir. [13]
Ada diantara mereka membagi dosa besar menjadi dua golongan, yaitu (a) dosa yang ada sangsinya di dunia, seperti membunuh dan berzina,  tidak dipandang kafir, dan (b) dosa yang tak ada sangsinya di dunia, seperti meninggalkan sholat dan puasa, dianggap kafir. (4) daerah golongan yang tidak sefaham dengan mereka bukan dar harb yaitu daerah yang harus diperangi, yang diperangi hanyalah ma’askar atau camp pemerintah sedang anak-anak dan perempuan tak boleh dijadikan tawanan, (5) kufr dibagi dua, yaitu kufr bin inkar al-ni’mah yaitu mengingkari rahmat Tuhan dan kufr bi inkar al-rububiah yaitu mengingkari Tuhan.  Jadi term kafir menurut golongan ini tidak selamanya harus berarti ke luar dari Islam.[14]
Perekembangan selanjutnya, sebagian umat Islam “khawatir terhadap gagasan kaum Khawarij yang mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Amir bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari. Maka, sebagian ulama mencoba bersikap “netral”  secara politik dan tidak mau mengaktifkan para sahabat yang terlibat dan menyetujui tahkim. Umat Islam yang tergabung dalam kelompok ini kemudian dikenal sebagai kaum Murji’ah.  Kelompok ini antara lain dipelopori oleh Ghilan al-Dimasyqi.[15]
b)   Aliran Murji’ah
Dalam suasana pertentangan, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral dan tidak mau dalam praktek kafir-mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan itu.[16]  Ajaran utama aliran Murji’ah, orang Islam yang melakukan dosa besar tidak boleh dihukumi (ditentukan) kedudukannya dengan hukum dunia; mereka tidak boleh ditentukan akan tinggal di neraka atau di surga; kedudukan mereka ditentukan dengan hukum akhirat. Sebab, bagi mereka, perbuatan maksiat tidak merusak iman sebagaimana perbuatan taat tidak bermanfaat bagi yang kufur (la tadlurru ma’a al-iman al-ma’shiyyah kama la tanfa’ ma’a al-kufr tha’ah). Di samping itu, bagi mereka, iman adalah pengetahuan tentang Allah secara mutlak (al-jahl bi Allah ‘ala al-ithlaq). Menurut Murji’ah, iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang (al-iman la yazid wa la yanqush).[17] Mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah, dan memandang lebih baik menunda (raja’a) penyelesaian persoalan ini kehari perhitungan di depan Tuhan. Kaum Murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi ketika itu dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang-orang yang bertentangan itu kepada Tuhan.[18]
Golongan Murji’ah, berpindah dari persoalan politik dan mereka segera berpindah kelapangan teologi. Persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum Khawarij, mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan pembahasan meraka. Apabila kaum Khawarij menjatuhkan hukuman kafir bagi orang yang berbuat dosa besar, kaum Murji’ah menjatuhkan hukuman mukmin bagi orang yang serupa itu. Adapun soal dosa besar yang mereka buat, itu ditunda penyelesaiannya kehari perhitungan kelak. Argumentasi yang kaum Murji’ah majukan dalam hal ini ialah bahwa orang Islam yang berdosa besar itu tetap mengakui, bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya. Dengan kata lain orang serupa itu tetap mengucapkan kedua syahadat  yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu, orang berdosa besar menurut pandangan golongan ini, tetap mukmin dan bukan kafir.[19]

c)   Aliran Qadariah  dan Jabariah
Selain dua aliran di atas, terdapat ajaran yang mencoba menjelaskan keududukan manusia dan Tuhan dengan penjelasan yang sangat berbeda. Menurut aliran pertama, “manusia memiliki kemerdekaan  dan kebebasan”  dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut paham ini, manusia mempunyai kekebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Oleh karena itu, aliran ini kemudian dikenal dengan nama Qadariyah  karena memandang bahwa manusia memiliki kekuatan (qudrah) untuk menentukan perjalanan hidupnya dan untuk mewujudkan perbuatannya[20]
Aliran kedua berpendapat sebaliknya, bahwa dalam hubungan dengan manusia, Tuhan itu Mahakuasa. Karena itu, Tuhanlah yang menentukan perjalanan hidup manusia dan yang mewujudkan perbuatannya. Manurut aliran ini, manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan perjalanan hidup dan mewujudkan perbuatannya. Mereka hidup dalam keterpaksaan (jabbar). Oleh karena itu, aliran ini kemudian dikenal dengan nama Jabariah.[21]
Kedua aliran muncul dari pemahaman tentang Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk dalamnya manusia sendiri. Selanjutnya Tuhan bersifat Maha Kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Di sini timbul pertanyaan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan, bergantung pada kehendak hidupnya? Diberi Tuhankah manusia kemerdekaan dalam mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?[22]
Dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan seperti itu, kaum Qadariah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut faham qadariah menusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar Tuhan. Dalam istilah inggrisnya faham ini dikenal dengan nama free will  dan free act.[23]
Kemudian kaum Jabariah berpendapat sebaliknya, yaitu manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam faham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Jadi nama Jabariah berasal dari kata jabara  yang mengandung arti memaksa. Memang dalam aliran ini terdapat faham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah inggris faham ini disebut fatalism  atau predestination. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh kada  dan kadar  Tuhan.[24]

d)  Aliran Mu’tazilah
Setelah empat aliran itu muncul dan berkembang, kemudian berkembang suatu ajaran teologi yang didasarkan pada analisis filosofis yang dikenal dengan aliran Mu’tazilah. Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan “teologi” yang lebih mendalam dan bersifat filsafat dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasional Islam”,[25]  dan aliran ini didirikan dan disebarkan pertama kali oleh Washil  bin  Atha.
Mu’tazilah, merupakan “aliran teologi” yang dekat, kalau tidak dikatakan berafiliasi dengan kekuasaan Dinasti Bani Abbas fase pertama. Maka pada zaman pemerintahan al-Makmun (Dinasti Bani Abbas), Mu’tazilah dijadikan mazhab resmi yang dianut oleh negara. Atas dukungan dan inisiatif pemerintahan al-Makmun, diadakan mihnah  yang dilaksanakan pada tiga zaman kekuasaan, yaitu zaman al-Makmun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq, yang ternyata gerakan tersebut merugikan umat secara umum, dan aliran Mu’tazilah secara khusus. .
Nama Mu’tazilan, muncul dari berbagai analisis  peristiwa-peristiwa yang terjadi  sebagai alasan pemberian nama Mu’tazilah.   Uraian yang dapat disebut dalam buku-buku ‘Ilmu al-Kalam berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil ibn ‘Ata serta temannya ‘Amr ibn ‘Ubaid dengan Hasan al-Basri di Basrah. Wasil, selalu mengikuti kajian-kajian yang disampaikan oleh Hasan al-Basri di mesjid Basrah. Suatu ketika seseorang bertanya kepada Hasan al-Basri tentang orang yang “berdosa besar”. Ketika itu Hasan al-Basir masil berpikir, Wasil langsung mengeluarkan pandangannya sendiri dengan mengatakan: “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya; “tidak mukmin dan tidak kafir”. Kemudian Wasil berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri perge ke tempat lain di mesjid; di sana Wasil mengulangi pandangan kembali. Atas peristiwa itu Hasan al-Basri mengatakan “Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazala’anna) Al-Baghdadi, mengatakan Wasil dan temannya ‘Amr ibn ‘Ubaid ibn Bab, diusir oleh Hasan al-Barsi dari majlisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan gasar dan orang yang berdosa besar dan keduanya menjauhkan diri dari Hasan al-Basri. Kemudian Wasil dan temannya disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari faham umat Islam tentang soal orang yang berdosa besar.[26]
Al-Mas’udi, tidak mempertalikan pemberian nama dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Ia, mengatakan bahwa mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara kedua posisi itu (al-manzilah bain al-manzilatain).  Jadi, mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka membuat orang yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak) masuk golongan mukmin dan kafir. Pandangan berbeda  yang dikemukakan Ahmad Amin, menyatakan nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi di antara dua posisi. Jadi, kata-kata “I’tazala” dan “mu’tazilah”  telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri, dalam arti golongan yang tidak mau turut campur dalam pertikaian politik yang ada di zaman mereka. Dengan demikian golongan Mu’tazilah pertama ini mempunyai corak politik.  Ahmad Amin, mengatakan Mu’tazilah kedua, yaitu golongan yang ditimbulkan Wasil, juga mempunyai corak politik, karena mereka sebagai kaum Khawarij dan kaum Murji’ah, juga membahas praktek-praktek politik yang dilakukan Usman, Ali, Mu’awiah dan sebagainya. Perbedaan antara keduanya ialah bhawa Mu’tazilah kedua menambahkan persoalan-persoalan “teologi”  dan “falsafah”  ke dalam ajaran-ajaran dan pemikiran mereka.[27]
C.A. Nallino, seorang orientasli Italia, menyatakan bahwa nama Mu’tazilah sebenarnya tidak mengandung arti “memisahkan diri dari umat Islam lainnya”. Tetapi sebaliknya, nama itu diberikan kepada mereka, karena mereka, menurut versi Mas’udi, merupakan golongan yang berdiri netral di antara Khawarij, yang memandang ‘Usman, ‘Ali, Mu’awiah dan orang berdosa besar lainnya kafir, dan Murji’ah, yang memandang mereka tetap muslim. Oleh karena itu Nallino berpendapat bahwa golongan Mu’tazilah kedua mempunyai hubungan yang erat dengan golongan Mu’tazilah pertama [Harun Nasution,1986:40]. Tetapi teori ini dibatah oleh ‘Ali Sami al-Nasysyar, Mu’tazilah betul timbul dalam lapangan pertentangan-pertentangan politik Islam terutama antara ‘Ali dan Mu’awiyah tetapi nama itu tidak dipakai untuk satu golongan tertentu. Argumentasi yang dimajukan al-Nasysyar ialah bahwa kata-kata “I’tazalah”  dan “al-Mu’tailah”  terkadang dipakai untuk orang yang menjauhkan diri dari peperangan-peperangan, orang yang menjauhkan diri dari ‘Ali dan sebagainya. Menurutnya, orang yang demikian pada hakekatnya menjauhkan diri dari masyarakat umum dan memusatkan pemikiran pada ilmu pengetahuan dan ibadah. Di antara orang-orang yang serupa ini, terdapat dua orang cucu-cucu Nabi yaitu Abu Hasyim, ‘Abdullah dan al-Hasan ibn Muhammad ibn al-Hanafiah. Menurut al-Nasysyar, golongan Mu’tazilah kedua timbul dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk ilmu pengetahuan dan ibadah, dan bukan dari golongan M’tazilah yang dikatakan merupakan aliran politik. Jadi jelasnya bahwa nama Mu’tazilah sebagai designatie bagi “aliran teologi rasional”  dan “liberal”  dalam Islam timbul sesudah Wasil dengan Hasan al-Basri di Basrah dan bahwa lama sebelum terjadinya peristiwa Basrah itu telah pula terdapat kata-kata I’tazala, al-Mu’tazilah.[28]
Ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh Wasil adalah : Pertama. yaitu  faham al-manzilah bain al-manzilatain, posisi di antara dua posisi dalam arti posisi menengah. Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir, seperti faham kaum Khawarij, dan bukan pula mukmin seperti faham Murji’ah, tetapi fasiq yang menduduki di antara posisi mukmin dan posisi kafir. Kata mukmin, dalam pendapat Wasil, merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan kepada fasiq, dengan dosa besarnya. Tetapi perkataan kafir tak dapat diberikan kepadanya, karena disebalik dosa besar, ia masih mengucapkan syahadat dan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik.   Kedua, faham qadariah  yang dianjurkan oleh Ma’bad dan Ghailan. Tuhan, kata wasil bersifat bijaksana dan adil, Tuhan tak dapat berbuat jahat dan bersifat zalim. Tidak mungkin Tuhan menghendaki supaya manusia berbuat hal-hal yang bertentangan dengan perintah-Nya. Dengan demikian manusia sendirilah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan baik dan perbuatan jahatnya, iman dan kufurnya, kepatuhan dan tidak kepatuhannya pada Tuhan. Kemudian, atas perbuatan-perbuatannya ini, manusia memperoleh balasan.  Ketiga, Wasil, mengambil bentuk peniadaan sifat-sifat Tuhan dalam arti bahwa apa-apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri di luar zat Tuhan, tetapi sifat yang merupakan esensi Tuhan. Ajaran ini, dikatakan oleh al-Syahrastani, belum matang dalam pemikiran Wasil, tetapi kemudian disempurnakan oleh pengikut-pengikutnya, setelah mereka mempelajari falsafah Yunani.
Demikianlah ajaran-ajaran yang ditinggal Wasil. Dua dari ajaran-ajaran tersebut yaitu posisi menengah dan peniadaan sifat-sifat Tuhan, kemudian merupakan bagian integral dari al-Usul al-Khamsah  atau pancasila Mu’tazilah. Ketiga sila lainnya ialah al-‘adl; keadilan Tuhan, al-wa’d wa al-wa’id, janji baik dan ancaman dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar, memerintah orang untuk berbuat baik dan melarang orang berbuat jahat wajib dijalankan, kalau perlu dengan kekerasan. Abu al-Huzail [murid Wasil], menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan nafy al-sifat  atau peniadaan sifat-sifat Tuhan. Menurut faham Wasil, kepada Tuhan tak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada zat Tuhan. Karena zat Tuhan bersifat qadim  maka apa yang melekat pada zat itu bersifat qadim  pula. Dengan demikian sifat adalah bersifat qadim. Hal ini menurut Wasil, akan membawa pada adanya dua Tuhan. Karena yang boleh bersifat qadim hanyalah Tuhan, dengan kata lain, kalau ada sesuatu yang bersifat qadim,  maka itu mestilah Tuhan. Oleh karena itu, untuk memelihara murninya tauhid  atau Ke Maha Esa-an Tuhan, Tuhan tak boleh dikatakan mempunyai sifat dalam arti di atas.[29]   
Ajaran-ajaran dasar atau ajaran pokok yang penting bagi aliran Mu’tazilah adalah “panca ajaran”  Mu’tazilah. Lima ajaran tersebut adalah 
Pertama, Keesaan Tuhan (al-tauhid), Tuhan dalam faham mereka, akan betul-betul Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan suatu zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan Dia (Allah). Mereka juga menolak beatific vision, yaitu bahwa Tuhan dapat dilihat manusia dengan mata-kepalanya. Satu-satunya sifat Tuhan yang betul-betul, tidak mungkin ada pada makhluk-Nya ialah sifat qadim” dalam arti tidak mempunyai permulaan dan akhir. Dengan kata lain sifat-sifat itu merupakan esensi Tuhan. Kemudian kaum Mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan ke dalam dua golongan: (1) sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan dan disebut sifat zatiah, dan (2) sifat-sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan, yang disebut sifat fi’liah. Sifat-sifat perbuatan terdiri dari sifat-sifat yang mengandung arti hubungan antara Tuhan dengan makhluknya, seperti kehendak (al-iradah), sabda (kalam), keadilan (al-adl), dan sebagainya. Yang disebut sifat esensi umpanya, wujud (al-wujud), kekekalan dimasa lampau (al-qidam), hidup (al-hayah), kekuasaan (al-qudrah).
Kedua, keadilan Tuhan (al-‘adl), mereka ingin mensucikan perbuatan tuhan dari persamaan dengan perbuatan makhluk. Hanya Tuhan-lah yang berbuar adil: tuhan tidak dapat berbuat zalim. Pada makhluk terdapat perbuatan zalaim. Dengan kata lain, kalau al-tauhid  membahas keunikan diri Tuhan, al’adl membahas keunikan perbuatan Tuhan. Abd al-Jabbar, mengatakan apabila disebut Tuhan adil, berarti semua perbuatan Tuhan bersifat baik; Tuhan tidak berbuat buruk, dan tidak melupakan apa yang wajib dikerkan-Nya. Tuhan tidak berdusta, tidak bersikap zalim, tidak menyiksa anak-anak orang-orang polytheist  lantasan dosa orang tua mereka, tidak menurunkan mu’jizat bagi pendusta, tidak memberi beban yang tak dapat dipikul manusia.
Ketiga, janji dan ancaman (al-wa’d wa al-waid). Tuhan tidak dapat disebut adil, jika Tuhan tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan jika menghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan menghendaki supaya orang yang bersalah diberi hukuman dan orang yang berbuat baik diberi pahala, sebagaimana dijanjikan Tuhan.
Keempat, posisi di antara dua tempat (al-manzilah bain al-manzilatain), atau posisi menengah bagi berbuat dosa besar, juga erat hubungannya dengan keadilan Tuhan. Pembuat dosa besar bukanlah kafir, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad, tetapi bukanlah mukmin, karena imannya tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin, ia tidak dapat masuk surga, dan karena bukan kafir pula, ia sebenarnya tak mesti masuk neraka. Menurut kaum Mu’tazilah, inilah sebenarnya keadilan.  Tetapi karena di akhirat tidak ada tempat selain dari surga dan neraka, maka pembuat dosa besar, harus dimasukkan ke dalam salah satu dari tempat ini. Penentuan tempat itu banyak berhubungan dengan faham Mu’tazilah tentang iman. Iman bagi mereka, digambarkan, bukan hanya oleh pengakuan dan ucapan lisan, tetapi juga oleh perbuatan-perbuatan. Dengan demikian pembuat dosa besar tidak beriman dan oleh karena itu tak dapat masuk surga. Tetapi juga tidak adil kalau ia dalam neraka mendapat siksaan yang sama beart dengan kafir. Oleh karena itu pembuat dosa besar, betul masuk neraka, tetapi mendapat siksaan yang lebih ringan. Inilah menurut Mu’tazilah, posisi menengah antara mukmin dan kafir, dan itulah pula keadilan yang dimaksudkan oleh Mu’tazilah.
Kelima,  perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat (amar ma’ruf nahi munkar - al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar). Perbuatan ini dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu’tazilah saja, tetapi juga oleh golongan umat Islam lainnya.. Perbedaan antara golongan Mu’tazilah dengan golongan yang lain terletak pada pelaksanaannya. Apakah perintah dan larangan cukup dijalankan dengan penjelasan dan seruan saja, ataukah diwujudkan dengan paksaan dan kekerasan. Kaum Mu’tazilah, memandang untuk itu perlu dipakai kekerasan. Kaum Mu’tazilah berpendapat kalau dapat cukup dengan seruan, tetapi kalau perlu dengan kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka.[30]

e)   Aliran Ahli Sunnah wal Jama’ah
Istilah ahli sunnah wal Jama’ah, timbul sebagai reaksi terhadap faham-faham golongan Mu’tazilah dan terhadap sikap mereka dalam menyajikan ajaran-ajaran itu. Mulai dari Wasil, usaha-usaha penyebaran faham Mu’tazilah, di samping usaha-usaha yang dijalankan dalam menentang serangan musuh-musuh Islam. Menurut Ibn al-Murtada, Wasil mengirimkan murid-muridnya ke Khurasan, Armenia, Yaman, Marokko, dan lain-lain. Mulai dari tahun 100 atau 718 M, kaum Mu’tazilah dengan perlahan-lahan memperoleh pengaruh dalam masyarakat Islam. Pengaruh itu mencapai puncaknya di zaman Khalifah-khalifah Bani ‘Abbas al-Ma’mun, al-Mu’tasim dan al-Wasiq (813M-847M), apa lagi setelah al-Ma’mun di tahun 827 mengakui aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi yang dianut negara.[31]
Bertentangan dengan faham qadariah yang dianut kaum Mu’tazilah yang menganjurkan “kemerdekaan” dan “kebesan” manusia dalam berfikir, kemauan dan perbuatan, pemuka-pemuka Mu’tazilah menggunakan kekerasan dalam usaha mengajarkan faham mereka. Ajaran yang ditonjolkan adalah faham bahwa al-Qur’an tidak bersifat qadim,  tetapi “baharu” dan “diciptakan”. Faham adanya yang qadim di samping Tuhan bagi kaum Mu’tazilah, berarti menduakan Tuhan. Menduakan Tuhan ialah syirik dan syirik adalah dosa yang terbesar dan tak dapat diampuni oleh Tuhan. Bagi al-Ma’mun, orang yang mempunyai faham syirik tak dapat dipakai untuk menempati posisi penting dalam pemerintahan. Al-Ma’mun, mengirimkan instruksi kepada para Gubernurnya untuk mengadakan ujian terhadap pemuka-pemuka dalam pemerintahan dan kemudian juga terhadap pemuka-pemuka yang berpengaruh dalam masyarakat. Dengan demikian timbullah dalam sejarah Islam apa yang disebut mihnah atau inquisition.[32]
Di antara yang diuji terdapat Ahmad ibn Hambal dan pemuka-pemuka yang ikut diuji bersama ibn Hambal berjumlah kira-kira 30 orang, dan dalam ujian-ujian ulangan selanjutnya hanya Ahmad ibn Hambal dan Muhammad ibn Nuh yang berkeras dan tidak mau merobah keyakinan. Sikap Ibn Hambal yang dengan berani dan tidak takut mati mempertahankan keyakinannya membuat ia mempunyai banyak pengikut di kalangan umat Islam yang tidak sefaham dengan kaum Mu’tazilah.  Pemuka-pemuka lain menemui ajal dengan hukuman bunuh, al-Mu’tasim dan al-Wasiq (842-847) tidak berani menjatuhkan hukuman bunuh atas dirinya. Penjatuhan hukuman serupa menimbulkan kekacauan dan akhirnya al-Mutawakkil membatalkan pemakian aliran Mu’tazilah sebagai mazhab negara di tahun 848 M.[33]
Maka, setelah kasus mihnah, aliran Mu’tazilah dibatalkan sebagai mazhab resmi Negara oleh al-Mutawakkil pada tahun 848 M. Dengan demikian, selesailah riwayat mihnah yang ditimbulkan oleh Mu’tazilah dan dari sini mulailah menurun pengaruh dan arti kaum Mu’tazilah dan mulai ditentang, yang “kemudian berpihak pada ulama yang mengalami penindasan karena mihnah, terutama Ahmad bin Hambal. Maka setelah itu Mu’tazilah ditentang oleh orang Mu’tazilah sendiri yang kemudian membentuk aliran baru yang disebut Ahlu Sunnah wal Jamaah, yaitu Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishak bin Salim bin Isma’il bin ‘Abd Allah bin Musa bin Bilal bin Abi Nurdah Amr bin Abi Musa al-Asy;ari – selanjutnya ditulis al-Asy’ari”.[34]
Selanjutnya, kaum Mu’tazilah tidak begitu banyak berpangaruh pada sunnah atau tradisi, bukan karena mereka tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tetapi karena mereka ragu akan keoriginalitas hadis-hadis yang mengandung sunnah atau tradisi itu. Maka, mereka dipandang sebagai golongan yang tidak berpegang teguh pada sunnah dan Mu’tazilah, merupakan golongan minoritas. Dari sinilah, menurut Harun Nasution, mungkin inilah yang menimbulkan istilah ahli sunnah dan jam’ah, yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan bagi golongan Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tak kuat berpegang pada sunnah.[35]
Imam al-Asy’ari (260-324 H), menurut Abu Bakar Isma’il al-Qairawani, adalah seorang penganut Mu’tazilah selama 40 tahun. Kemudian al-Asy’ari menyatakan diri keluar dari Mu’atazilah. Setelah mengundurkan diri dari faham Mu’tazilah, “al-Asy’ari mengembangkan ajaran yang merupakan conter  terhadap gagasan-gagasan Mu,tazilah. Ajarannya kemudian dikenal dengan ahl al-sunnah wa al-jama’ah.[36] Ajaran pokok aliran ahl al-sunnah wa al-jama’ah yang dikemukakan oleh Imam al-Asy’ari adalah “kemahakuasaan Tuhan”  yang keadilan-Nya telah mencakup dalam kekuasaannya. Gagasan yang dikemukakan ini mirip dengan gagasan Jabariah. Dalam perkembangannya, aliran ahl al-sunnah wa al-jama’ah tidak sepenuhnya sejalan dengan gagasan Imam al-Asy’ari. Para muridnya dan pelanjutnya, antara lain imam Abu Nanshur al-Maturidi, sistem pemikiran teologi ahli sunnah dikenal dengan nama aliran Maturidiyyah yang ajarannya, menurut Harun Nasution,[37]  lebih dekat dengan gagasan-gagasan kaum Mu’tazilah.
Imam al-Maturudi pun memilki pengikut, yaitu al-Bazdawi, yang pemikirannya tidak selamanya sejalan dengan gagasan gurunya. Para ahli menjelaskan bahwa aliran Maturudiah terbagi menjadi dua:  golongan Samarkand, yaitu pengikut Imam al-Maturudi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut Imam al-Bazdawi yang tampaknya lebih dekat kepada ajaran al-Asy’ari[38]  Kemudian aliran kalam terakhir, dikemukakan oleh Ibnu Taimiah adalah aliran Salafi. Aliran ini tidak selamanya sejalan dengan gagasan-gagasan imam Asy’ari, terutama karena aliran ahl al-sunnah wa al-jama’ah menggunakan logika (manthiq) dalam menjelaskan teologi, sedangkan aliran salafi  mengendaki teologi apa adanya tanpa dimasuki oleh unsur ra’y.[39]
Dari uraian di atas, kita telah mengenal sejumlah aliran pemikiran kalam, mulai dari Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, Mu’tazilah, dan ahl Sunnah wal Jama’ah, yang terdiri atas subsekte, yaitu Asy’ariah, Muturidiah Masamrkand, dan Maturidiah Bukhara, sebagai khasanah perkembangan pemikitan teologis dalam sejarah pemikiran Islam. Pembahasan selanjutnya adalah pemikiran-pemikiran dalam aliran-aliran fikih.  

2.     Aliran-aliran Fikih
Islam dimulai dari Madinah merupakan negara dan sebagai negara tentunya harus mempunyai lembaga hukum, mengatur hidup kemasyarakatan warganya[40]   Kemajemuk masyarakat Madinah, diawali dengan membanjirnya kaum Muhajirin dari Makkah  ke Madinah mengakibatkan munculnya persoalan-persoalan ekonomi dan kemasyarakatan yang harus diantisipasi dengan baik. Dalam konteks itu, introduksi sistem persaudaraan menjadi kebutuhan mendesak yang harus diwujudkan. Untuk mengtasi persoalan tersebut, Nabi Muhammad Saw bersama semua unsur penduduk Madinah secara konkret meletakan dasar-dasar masyarakat Madinah, mengatur kehi­dupan dan hubungan antar komunitas-komunitas yang merupakan komponen-komponen masyarakat yang majemuk di Madinah, dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai "Piagam Madinah" (Mitsaq al-Madinah), yang dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah kemanusian. Piagam ini tidak hanya sangat maju pada masanya, tetapi juga menjadi satu-satunya dokumen penting dalam perkembangan kebiasaan konstitusional dan hukum dalam dunia Islam.[41]
Dokumen Piagam itulah, dikatakan bahwa "umat manusia untuk pertama kalinya diperkenal­kan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama dibidang agama dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya pertahanan secara bersama. Dalam Piagam tersebut juga menempatkan hak-hak individu yaitu kebebasan memeluk agama, persatuan dan kesatuan, persaudaraan (al-ukhuwwah) antar agama, perdamaian dan kedamaian, toler­ansi, keadilan (al-'adalah), tidak membeda-bedakan (diskriminasi) dan menghargai kema­jemukan".  Nabi Muhammad Saw mempersatukan mereka bera­dasrkan tiga unsur, yaitu: "Pertama, mereka hidup dalam wilayah Madinah sebagai tempat untuk hidup bersama dan bekerja bersama. Kedua, mereka bersedia dipersatukan dalam satu ummah untuk mewujudkan kerukunan dan kemaslahatan secara bersama-sama. Ketiga, mereka menerima Muhammad Saw sebagai pemimpin tertinggi dan pemegang otoritas poli­tik yang legal dalam kehidupan mereka dan otoritas ini dilengkapi dengan institusi peraturan yang disebut Piagam Madinah yang berlaku bagi individu-individu dan setiap kelompok".[42]   ”Segala ketentuan hukum yang dibuat Nabi bersumber atau berdasarkan pada wahyu dari Tuhan dan apabila diperhatikan turunya wahyu, akan kelihatan bahwa ayat-ayat yang mengandung soal-soal hidup kemasyarakatan memang diturunkan di Medinah. Ayat-ayat yang mengandung dasar hukum, baik mengenai ibadah maupun mengenai hidup kemasyarakatan, disebut ayat ahkam dan ayat-ayat ahkam dalam bentuk kedua inilah yang menjadi dasar bagi hukum yang dipakai untuk mangatur masyarakat dalam Islam”.[43]
Pada masa Nabi, segala persoalan yang muncul dikembalikan kepada Nabi untuk menyelesaikannya, dan Nabi-lah yang menjadi satu-satunya sumber hukum. “Secara direk pembuat hukum adalah Nabi, tetapi secara indirek Tuhanlah pembuat hukum, karena hukum yang dikeluarkan Nabi bersumber pada wahyu dari Tuhan. Nabi, bertugas menyampaikan dan melaksanakan hukum yang ditentukan Tuhan. Maka, sumber hukum yang ditinggalkan Nabi untuk zaman-zaman sesudahnya ialah al-Qur’an dan sunnah Nabi. Kemudian, pada masa sahabat, daerah yang dikuasai Islam bertambah luas dan termasuk daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia yang telah mempunyai kebudayaan tinggi dan susunan masyarakat yang tidak sederhana, dibandingkan dengan masyarakat Arabia ketika itu. Dengan demikian, persoalan-persoalan kemasyarakatan yang timbul di daerah-daerah baru itu lebih kompleks penyelesaiannya dari persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat Semenanjung Arabia [Harun Nasution, 1986:10-11]. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan dan memutuskan persolan-persoalan baru tersebut, para sahabat kembali pada al-Qur’an dan Sunnah yang ditinggal Nabi sebagai sandaran utama. Tetapi, untuk menyelesaikan persoalan yang tidak dijumpai dalam kedua sumber hukum tersebut, artinya persolan-persoalan tersebut tidak  dapat dikembalikan pada al-Qur’an dan Hadis, maka para sahabat mengadakan ijtihad dalam memutuskan persoalan-persoalan tersebut.
Tidak ada jalan untuk mengetahui benar atau tidaknya ijtihad  yang dijalankan di periode ini, kerana turunya wahyu telah berhenti. Untuk mengatasi maslah itu, dipakailah ijma’ atau konsensus sahabat. Khalifah tidak memutuskan sendiri ketentuan hukum, tetapi bertanya terlebih dahulu kepada sahabat-sahabat lain. Maka, putusan yang diambil dengan suara bulatr [konsensus] lebih kuat dari putusan yang dibuat oleh satu atau beberapa orang saja. Di zaman Khalifat Abu Bakar, konsensus masih dapat diadakan tetapi mulai dari zaman Umar, pengadaan konsensus telah menjadi sulit, karena para sahabat mulai berpisah tempat di daerah-daerah yang jatuh di bawah kekuasaan Islam, ada yang tinggal di Mesir ada di Suria, ada di Irak, dan ada di Persia.[44]
Secara historis, hukum Islam telah menjadi dua aliran pada zaman sahabat Nabi Muhammad saw. Dua aliran tersebut adalah Madrasat al-Madinah dan Madrasat al-Baghdad atau Madrasat al-Madis dan Madrasat al-Ra’y.  Ibnu al-Qayim al-Jauziyyah menyebutnya sebagai Ahl al-Zhahir dan Ahl al-Ma’na.[45]. Aliran Madinah terbentuk karena sebagian besar sahabat tinggal di Madinah, dan aliran Bagdad atau Kufah juga terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di kota tersebut.   Maka, atas jasa para sahabat Nabi Muhammad saw yang tinggal di Madinah, terbentuklah fuqaha sab’ah  [ahli hukum] yang juga mengajarkan dan mengembangkan gagasan guru-gurunya dari kalangan sahabat. Di antara fuqaha sab’ah adalah Sa’id bin al-Masayyab. Salah satu murid Said bin al-Musayyab adalah Ibnu Syihab al-Zuhri. Sedangkan di antara murid Ibnu Syihab al-Zuhri adalah Imam Malik, pendiri aliran Maliki. Di antaranya, ajaran Imam Malik yang paling terkenal adalah ia menjadikan ijma dan amal ulama Madinah sebagai hujah. Jasa sahabat Nabi Muhammad saw, yang tinggal di Bagdad, terbentuklah aliran ra’yu. Di antara sahabat yang tinggal di Kufah adalah Abd Allah bin Mas’ud, muridnya adalah al-Aswad bin Yazid al-Nakha’i, Amir bin Syarahil al-Sya’bi, dan Abu Hanifah  pendiri mazhab Hanafi. Salah satu ciri fikih Abu Hanafiah adalah sangat ketat dalam penerimaan Hadis dan banyak menggunakan ra’y. Di antara pendapatnya adalah bahwa bendak wakaf boleh dijual, diwariskan, dan dihibahkan – kecuali wakaf tertentu – karena ia berpendapat bahwa benda yang telah diwakafkan masih tetap menjadi miliki yang mewakafkan. Istimbath al-ahkam  yang digunakannya adalah analogi (al-qiyas); ia menganalogikan wakaf kepada pinjam-meminjam (al-‘ariyyah).[46]
Setelah melalui perkembangan panjang,  produk hukum  “mengkristal menjadi mazhab-mazhab fikih yang tetap bertahan dan diikuti sampai saat ini. Ulama-ulama fikih mengembangkan dua pendekatan yang berbeda terhadap fikih. Satu didasarkan kepada “pemikiran” (ra’yi) dan “alnalogi” [qiyas]. Pendekatan ini diwakili oleh ulama-ulama Iraq. Satunya, produk hukum didasarkan pada sunnah, tradisi-tradisi Nabi. Pendekatan kedua diwakili oleh ulama-ulama Hijaz, dan di kalangan orang-orang Iraq, terdapat sedikit hadis, karena itu mereka lebih menonjol menggunakan pendekatan analogi, sehingga mereka disebut ahl al ra’yi. Tokoh-tokoh Kufah [Irak] yang menjadi pusat mazhab dari jama’ah dan sahabat adalah imam Hanafiah. Sedangkan di Hijaz adalah Malik bin Annas, dan sesudahnya asy Syafi’i.[47]
Sejalan dengan perkembangan hukum, telah melalui proses yang panjang dan kemudian produk hukumnya mengkristal menjadi mazhab-mazhab fikih yang tetap bertahan dan diiukuti sampai saat ini, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali.
Pertama, Abu Hanifah al-Nu’man ibn Sabit, berasal dari keturunan Persia dan lahir di Kufa pada tahun 700 M. Ayahnya bekerja sebagai pedagang dan Abu Hanifah sendiri sambil berdagang mementingkah ilmu pengetahuan. Abu Hanifah belajar pada gurunya Hammad, dan setelah gurunya Hammad meninggal dunia, Abu Hanifah menggantikan tempat yang ditinggalkan gurunya itu. Setelah Abu Hanifah menjadi masyhur, kepadanya jabatan resmi ditawarkan di zaman Dinasti Bani Umayyah dan kemudian juga di zaman Dinasti Bani Abbas. Tetapi kedua tawaran tersebut di tolah oleh Abu Hanifah dan atas penolakannya itu akhirnya dimasukkan ke dalam penjara dan meninggal dunia di tahun 767 M.
Abu Hanifah, dalam pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan hukum yang terjdi di Kufa. Di Kufa sunnah tak banyak dikenal, karena Kufa terletak jauh dari Madinah kota tempat tinggal Nabi yang banyak mengetahui sunnah Nabi. Selain itu, Madinah merupakan kota yang masih sederhana kehidupan masyarakatnya, sedangkan Kufa, sebagai kota yang berada di tengah-tengah-tengah kebudayaan Persia, hidup kemasyarakatannya telah mencapai kemajuan yang lebih tinggi. Di sana (Kufa) problem-problem kemasyarakatan lebih banyak timbul dari pada di Medinah[48]
Dari sini terlihat adanya perbedaan perkembangan hukum di kedua kota tersebut. Kelompok “Medinah proses hukumnya banyak memakai sunnah dan dengan cara demikian sanggup menyelesaikan problem-problem yang timbul dalam masyarakat yang masih bersifat sederhana itu, sedangkan di Kufah halnya bukan demikian. Di Kufa, karena sunnah sedikit yang diketahui, maka untuk penyelesaian masalah banyak menggunakan “pendapat”  yang dalam bahasa Arab disebut “al-ra’y”  serta “qias”  atau analog dan “istihsan”  yang juga merupakan suatu bentuk analogi”.
Inilah prinsip yang dipakai Abu Hanifah dalam pemikiran hukum. Dalam pemakaian sunnah Nabi sebagai sumber hukum kedua, Abu Hanifah bersikap hati-hati. Ia hanya menggunakan sunnah yang betul-betul diyakininya sunnah yang “orsinil” dan bukan sunnah buatan. Oleh karena itu, mazhabnya dikenal sebagai mazhab “ahl al-ra’y” Abu Hanifah, pernah mengatakan: “Pertama-tama saya mencari dasar hukum dalah al-Qur’an, kalau tidak ada saya cari dalam sunnah Nabi dan kalau tidak ada juga saya pelajari fatwa-fatwa para sahabat dan saya pilih mana yang saya rasa terkuat…. Kalau orang mengadakan ijtihad saya mengadakan ijtihad pula”. Tetapi Abu Hanifah tidak bersikap fanatik terhadap pendapatnya. Abu Hanifah, selalu mengatakan: “Inilah pendapat saya….dan kalau ada orang lain mambawa pendapat yang lebih kuat, maka pendapatnya itulah yang lebih benar”. . Mazhab Hanafi, merupakan mazhab yang resmi digunakan oleh kerajaan Usmani dan di zaman Bani Abbas banyak di anut di Irak. Sekarang penganut mazhab itu banyak terdapat di Turki, Suria, Afganistan, Turkistan, dan India. Beberapa negara masih memakai mazhab ini sebagai mazhab resmi seperti Suria, Lebanon, dan Mesir.[49]
Kedua, Malik ibn Anas, lahir di Medinah pada  713, dan meninggal pada tahun 795 M dan berasal dari Yamam. Malik, tidak pernah meninggalkan kota itu kecuali untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Karya besar yang ditinggal Malik, bernama “al-Muwatta” suatu buku yang sekaligus merupakan buku hadis dan buku fikih. Khalifah Harun al-Rasyid, berusaha membuat buku ini sebagai buku hukum yang berlaku untuk umum di zamannya, tetapi tidak disetujui oleh Malik. Dalam perkembangan pemikiran hukumnya, Malik banyak berpegang pada sunnah Nabi dan sunnah Sahabat. Dalam hal adanya perbedaan antara sunnah, ia berpegang pada tradisi yang berlaku di masyarakat Medinah, karena ia berpendapat bahwa tradisi yang terbentuk di Medinah berasal dari sahabat, dan tradisi sahabat lebih kuat dipakai sebagai sumber hukum. Dalam proses menetapkan hukum, apabila Malik, tidak dapat memperoleh dasar hukum dalam al-Qur’an dan sunnah, Malik, memakai “qiyas”  dan “al-masalih al-mursalah”,  yaitu masalah umum. Mazhab Malik, banyak dianut di Hejaz, Marokko, Tunis, Tripoli, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain, dan Kuwait, yaitu di dunia Islam sebelah Barat dan kurang di dunia Islam sebelah Timur. [50]  
 Ketiga, Muhammad ibn Idris al-Syafi’i,  lahir di Gazza tahun 767 M dan berasal dari suku bangsa Quraisy, meninggal di Mesir pada tahun 820 M. Ia meninggalkan pekerjaannya dan tinggal di Bagdad beberapa tahun untuk mempelajari ajaran-ajaran hukum yang ditinggalkan Abu Hanifah, maka ia mengenal secara dekat fikih Malik dan fikih Abu Hanifah. Pada memikiran hukumnya, al-Syafi’i dikenal meninggalkan dua bentuk mazhab, yaitu bentuk bantuk baru dan bentuk lama. Bentuk lama disusun di Bagdad dan terkandung dalam al-Risalah, al-Umm, dan al-Mabsut. Bentuk baru disusun di Mesir dan disini al-Syafi’i, merobah sebahagian dari pendapat-pendapat lama. Dalam pemikiran hukumnya, al-Syafi’i, berpegang pada lima suber, yaitu al-Qur’an, sunnah Nabi, ijma atau consensus, pendapat sebahagian sahabat yang tidak diketahui adanya perselisihan mereka di dalamnya, pendapat yang dalamnya terdapat perselisihan dan qias atau analogi. al-Syafi’I,  banyak memakai sunnah Nabi sebagai sumber hukum, bahkan membuat sunnah dekat sederajat dengan al-Qur’an. Pemikiran Istihsan yang dibawa Abu Hanifah dan pemikiran al-masalih al-mursalah  oleh  Malik, ditolak oleh al-Syafi’I sebagai sumber hukum. Dalam perkembangannya, al-Syafi’I-lah ahli hukum Islam pertama yang menyusun ‘ilmu usul al-fiqh, ilmu tentang dasar-dasar hukum dalam Islam, sebagai terkandung dalam buku al-Risalah. Mzhab imam al-Syafi’i  banyak berkembang dan dianut didaerah pedesaan Mesir, Palestina, Suria, Lebanon, Irak, Hejaz, India, Indonesia, dan juga di Persia dan Yaman.[51]
Keempat, Ahmad ibn Hambal, lahir di Bagdad tahun 780 M berasal dari keturunan Arab dan ia meninggal di Bagdad pada tahun 855 M. Dalam pemikiran hukumnya, Ahmad ibn Hambal menggunakan lima sumber, yaitu al-Qur’an, sunnah Nabi, pendapat sahabat yang diketahui tidak mendapat tantangan dari sahabat lain, pendapat seseorang atau beberapa sahabat, dengan syarat sesuai dengan al-Qur’an serta sunnah Nabi, hadis mursal, dan qiyas, tetapi hanya dalam keadaan terpaksa. Penganut mazhab  Ahmad ibn Hambal, terdapat di Irak, Mesir, Suria, Palestina, dan Arabia. Di Saudi Arabia mazhab Ahmad ibn Hambal merupakan mazhab resmi dari negara. Dilihat dari sisi pengikutnya, dintara keempat mazhab yang ada sekarang, mazhab Ahmad ibn Hambal termasuk paling kecil penganutnya.[52]
Fikih, sebagai nama lain dari hukum Islam yang senantiasa dinamis dalam perkembangannya, bahkan hingga saat ini. Para imam mazhab telah berusaha keras berijtihad dalam memutuskan aturan-aturan dasar dalam mengambil sebuah putusan hukum [ushul fikih] selain berpegang pada aturan dasar al-Qur’an dan Hadis, juga senantiasa menyesuaikan dengan kondisi perkembangan masyarakat. Dalam perkembangan hukum Islam, yang dijelaskan di atas, menggambarkan bahwa para imam mazhab memiliki metode atau cara-cara sendiri-sendiri dalam merumuskan dan memutuskan suatu persoalan.  Sehingga, tidak heran apabila banyak terjadi perbedaan pendapat dan pandangan di antara mereka. Tetapi hal itu tidak menjadi hambatan, bahkan di antara para imam mazhab saling menghargai terhadap pandangan dan pendapat dari imam yang lainnya. Walaupun mereka berbeda, tetapi menyikapi poerbedaan tersebut sebagai “rahmat”  (al-ikhtilaf baina ummati rahmat).
Secara umum, dapat dijelaskan bahwa tahapan-tahapan perkembangan fikih (hukum Islam) sebagai berikut: Pertama, pembentukan fikih (hukum Islam) dimulai sejak Nabi Muhammad saw, zaman Khulafa ar Rasyidin, hingga paruh pertama abad ke-1 H., pada tahap ini sumber hukum meliputi wahyu serta akal, yaitu al-Qur’an, sunnah, ijma, dan ijtihad. Kedua, masa pembentukan fikih yang dimulai pada paruh abad ke-1 H hingga decade awal abad ke-2 H., pada tahap ini, fikih telah terbentuk mazhab. Ketiga, pematangan bentuk yang dimulai sejak decade awal abad ke-2 H., hingga pertengahan abad ke-4 H. Pada kurun waktu ini,  ijtihad dalam bentuk fikih dikodifikasikan dan dilengkapi dengan ilmu usul fikih. Keempat, masa kemunduran fikih yang ditandai oleh dua peristiwa penting, yakni jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Tartar dan “tertutupnya pintu ijtihad” oleh para ulama. Pada masa ini para fikaha hanya menempuh metode al-mutun (jamak dari al-matan), syarah, alhwasyi (jamak dari al-hasyiyyah) dan taqrirat (jamak dari taqrir) dalam penulisan kitab fikih. Kelima, muncul kesadaran akan pentingnya kitab hukum Islam yang mudah dioperasionalkan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara. Kesadaran ini dipelopori oleh pemerintah Dinasti Usmani dengan terbitnya majalah al-Ahkam al-Adiliyyah. Pemikiran dalam hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan itu pun kemudian berkembang di negeri Islam hingga kini (Pradja, 2002:107).
Selanjutnya, “fikih berkembang dan merupakan suatu disiplin ilmu yang utuh dan berdiri sendiri, yang sangat terkenal dan dominan dalam kehidupan umat Islam, merupakan produk ijtihad yang berkembang, sejak zaman sahabat Nabi saw sampai sekarang ini. Pada mulanya, ulasan tentang garis-garis Hukum Islam, bahwa pada mulanya fikih hanya berupa catatan-catatan yang memuat “yurisprudensi” dan interpretasi-interpretasi para sahabat Nabi terhadap meteri-materi hukum yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah. Setelah tiba masa registrasi dan kdifikasi hukum Islam, mulai terbentuk pola-pola dan metode penalaran hukum Islam sebagai cara mengolah sumber-sumber hukumnya menjadi dictum-diktum hukum yang dibutuhkan oleh umat manusia dalam penyelenggaraan ibadahnya dan penertiban muamalahnya dalam kehidupan bermasyarakat dan berpemerintahan.[53]

3.      Aliran-aliran Tasawuf dan Filsafat
a. Pemikiran di bidang Tasawuf
Ajaran tasawuf atau mistik Islam pada dasarnya merupakan suatu pengalaman (al-tajribah) spiriual yang bersifat pribadi. Meskipun demikian, pengalaman ulama yang satu dengan yang lainnya memiliki kesamaan-kesamaan, di samping perbedaan-perbedaan yang tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, dalam tasawuf terdapat petunjuk yang bersifat umum tentang maqamat  atau ahwal.[54] Harun Nasution, [55]  mengatakan bahwa “tasawuf datang dari luar dan masuk ke dalam Islam. Ada penulis-penulis yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kebiasaan rahib-rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kesenangan material. Ada pula yang mengatakan bahwa tasawuf timbul atas pengaruh-pengaruh ajaran-ajaran Hindu. Disebut juga bahwa tasawuf berasal dari filsafat Pythagoras dengan ajarannya untuk meninggalkan kehidupan material dan memasuki kehidupan kontemplasi  atau tasawuf masuk ke dalam Islam atas pengaruh filsafat Plotinus. Menurut falsafah emanasi Plotinus, roh memancar dari zat Tuhan dan kemudian akan kembali ke Tuhan.  Tetapi dengan masuknya ia ke dalam alam materi, ia menjadi kotor dan untuk dapat kembali ke tempat aslinya, ia harus terlebih dahulu disucikan.
Tasawuf adalah suatu pengalaman (al-tajribah) spiriual, tingkah laku, dan perasaan yang bersifat pribadi. Tingkah laku yang menjauhi segala keinginan material dan segala hal-hal yang mempesona dan ditujukkan untuk kesucian jiwa dan jasmani. “Pada dasarnya tasawuf merupakan ajaran yang membicarakan kedekatan antara sufi (manusia) dengan Allah. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menunjukkan kedekatan manusia dengan Allah, antara lain bahwa Allah itu dekat dengan manusia (Q.S. al-Baqarah [2]: 186), dan Allah lebih dekat kepada manusia dibandingkan urat nadi manusia itu sendiri (Q.S. Qaf [50]:16)”.[56]  Jadi mistisisme dan tasawuf, erat hubungannya dengan keadaan “menjauhi hidup duniawi” dan “kesenangan material”. Perilaku manusia seperti ini, dalam istilah tasawuf disebut zuhud  dan berkembang  ajaran tentang al-huhud (juhud) dalam tasawuf, serta orang yang mempunyai “sifat zuhud” merupakan langkah awal dalam usaha mendekati Tuhan. Orang yang mempunyai sifat ini disebut “zahid” (asceticism),  dan kemudian berkembang dan nemanya diubah menjadi tasawuf dan pelakunya disebut shufi.
Apabila kembali kepada sejarah tasawuf, yang mula-mula timbul memanglah zahid-zahid. Di zaman Nabi, sudah ada perilaku sahabat-sahabat yang menjauhkan diri dari hidup duniawi, banyak berpuasa disiang hari, dan bersalat, serta membaca al-Qur’an di malam hari, seperti Abdullah ibn Umar, sehingga Nabi mengatakan kepadanya: “Tubuhmu juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi”. Selain Abdullah ibn Umar, disebut pula nama Abu al-Darda, Abu Zar al-Ghiffari, Bahlul ibn Zuaib, dan Kahmas al-Hilali.[57] Setelah itu muncul dan berkembangnya zahid-zahid  yang cukup banyak. Zahid pertama yang termashud adalah al-Hasan al-Basri (642-728 M). Ajaran tasawuf yang terkenal adalah al-khauf  dan al-raja. Di antara pendapatnya yang terkenal adalah bahwa orang mukmin tidak akan bahagia sebelum berjumpa dengan Tuhan. Zahid yang lainnya adalah Ibrahim bin Adham (w.777 M) dari Khurasan. Di antara pendapatnya, Ibrahim bin Adham pernah berkata bahwa “cinta kepada dunia menyebabkan orang menjadi tuli dan buta serta membuat manusia menjadi budah.”  Rabi’ah al-Adawiyah (714-801 M) dari Basrah, ajarannya yang sangat terkenal adalah tentang “cinta kepada Tuhan”. Dalam syairnya, ia menyatakan bahwa ia tidak dapat membenci orang lain, bahkan tidak dapat mencintai Nabi Muhammad saw, karena cintanya hanya untuk Tuhan. Al-Hallaj, dengan ajaran tentang hulul dengan teori al-hulul dan al-nasut. Yazid al-Bustami (814-875 M), al-ittihad  dengan teori fana  dan baqa. Abu Hamid al-Gazali (w 1111 M), dengan teori ma’rifah.[58]  
Tasawuf, dibagi menjadi dua, yaitu; (1) tasawuf khuluqi, dan (2) tasawuf falsafi. Metode tasawuf itu ada tiga, yaitu: tahalli, takhalli, dan tajalli.[59]    Metode tahalli  adalah pengisian diri untuk mendekatkan diri (taqarruban) kepada Allah. Metode takhalli  adalah pengosongan diri sufi. Sedangkan metode tajalli  adalah mukasyafah, ma’rifah, dan musyahadah.  Dua cara yang pertama – tahalli  dan  takhalli – termasuk khuluqi; sedangkan yang terakhir termasuk tahaqquq  (penyatuan diri dengan Tuhan) dan, dengan demikian, termasuk tasawuf falsafi.  Sedangkan Juhaya S. Praja,[60] memabgi tasawuf menjadi tiga, yaitu : tasawuf  ‘amali, tasawuf falsafi, dan tasawuf ‘ilmi.
Ada beberapa cara untuk memahami tasawuf. Dalam filsafat emanasi dikatakan bahwa manusia dan alam ini merupakan pancaran dari Tuhan. Manusia sebagai ciptaan-Nya yang terbaik, berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan. Akan tetapi, di dalam diri manusia terdapat dua kekuatan yang harus dikurangi, yaitu kekuatan nabatiyyah  dan kekuatan hayawaniyyah. Karena itu, manusia harus melakukan kegiatan yang berfungsi ganda: Pertama, menekan kekuatan nabatiyyah dan hayawaniyyah, dan kedua, pada saat yang sama, memaksimalkan kekuatan al-nathiqah. Usaha itu dapat dilakukan dengan berbagai cara. Para sufi menganjurkan agar menjalani maqamat. Oleh karena itu, usaha ini merupakan proses dari bawah ke atas, yang disebut taraki. Di samping itu, dalam ajaran para sufi dikatakan bahwa Tuhan-pun berkehendak untuk menyatu dengan manusia. Suatu keadaan mental yang diperoleh manusia –tanpa dapat diusahakan, disebut hal  atau ahwal.  Ahwal  adalah suatu keadaan mental sufi yang sangat dekat dan bahkan menyatu dengan Tuhan. Proses ini dinamai tanazul. Kedekatan sufi dengan Tuhan dirumuskan oleh sufi dengan rumusan yang berbeda. Rabi’ah, merumuskan kedekatannya dengan Tuhan dalam mahabbah. Yazid al-Bustami, merumuskannya dalam al-ittihad.  Al-Hallaj, merumuskannya dalam hulul, dan  al-Ghazali, merumuskannya dalam ma’rifah.[61]
Dengan demikian, tujuan sebenarnya dari sufi ialah  berada sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga tercapai persatuan atau adanya hubungan timbal-balik antara sufi dengan Tuhan. “Jalan untuk mencapai tujuan itu panjang dan berisi stasion-stasion yang disebut dalam bahasa Arab al-maqamat. Stasion-stasion yang biasa disebut ialah tobat, zuhud, sabar, tawakal, dan rida.  Di atas stasion-stasion ini ada lagi yaitu al-mahabbah (cinta), al-ma’rifah (pengetahuan), al-fana’  dan al-baqa’ [kehancuran dan kelanjutan], dan al-ittihad  (persatuan).  Al-ittihad, dapat mengambil bentuk al-hulul [pengambilan tempat] dan wahdah al-wujud  (kesatuan wujud). Di samping al-maqmat ada lagi al-hal.  Al-hal, merupakan keadaan mental, seperti al-khauf  (perasaan takut) al-tawadu’ [rasa rendah diri], al-taqwa (takwa), al-ikhlas (keikhlasan), al-uns (rasa berteman), al-wajd  (gembira hati) dan al-syukr (syukur). Al-hal, berlainan dengan al-maqam, tidak diperoleh atas usaha manusia, tetapi diperdapat sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Berlainan pula dengan al-maqam, al-hal  bersifat sementara, datang dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.[62]
Tasawuf melewati beberapa langkah, menurut Harun Nasution, pertama yang harus dilakukan ialah tobat, tobat dari segala dosa, besar dan kecil. Selanjutnya menjauhi segala perbuatan yang kurang baik dan tidak sopan; dalam istilah sufi, tobat dari segala yang makruh dan syubhat. Tobat itu harus merupakan tobat yang sebenar-benarnya, sehingga calon sufi itu benar-benar suci dari dosa dan perbuartan-perbuatan tidak baik dan tidak sopan. Tuhan yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh orang yang suci. Tobat sebenarnya tidak dapat dicapai hanya dengan sekali tobat. Ada seorang sufi sudah tujuhpuluh kali tobat baru dapat pindah kestasion berikutnya. Zuhud adalah stasion terpenting yang harus dicapai sebelum seseorang meningkat menjadi sufi sebenarnya. Seseorang tidak dapat menjadi sufi sebelum ia menjadi zahid.[63] 
Dengan kata lain tiap sufi adalah zahid, tetapi bukan tiap zahid merupakan sufi. Seorang zahid hidup sesederhana-sesederhananya. Ia berusaha membuat dirinya lebih suci lagi dari pada semasa berada distasion-stasion sebelumnya dan dengan demikian makin dekat pada Tuhan. Seorang sufi harus bersifat sabar, bersifat tawakkal, dalam keadaan rida, tidak marah dan tidak benci, tetapi senantiasa dalam keadaan suka dan senang, segala perasaan benci dikeluarkan dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanyalah perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang ketika menerima nikmat, bahkan dalam hati bergelora perasaan cinta diwaktu turunnya malapetaka. Orang sufi tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam neraka.  Selanjutnya seorang sufi tibalah kepada stasion cinta kepada Tuhan. Hatinya kosong dari segala-galanya, kecuali dari yang dikasihi yaitu Tuhan. Kesenangannya ialah berzikir, memuja dan berdialog dengan Tuhan. Sufi yang terkenal dengan cinta atau al-mahabbah  adalah Rabi’ah al-‘Adawiah. Ia menerangkan “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut masuk neraka atau bukan pula inin masuk surga, tetapi karena cinta kepada-Nya”.[64]
Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa menurut banyak  ulama,  tasawuf mengandung berbagai hakikat dan keadaan tertentu yang membahas segi-segi kelakuan dan akhlaq para pengamalnya.  Ada  kalangan yang  mengatakan  bahwa  seorang  sufi ialah orang yang bersih [shafa] dari  kekotoran,  penuh  dengan  pemikiran,  dan  yang baginya  sama saja antara nilai emas dan batu-batuan. Kemudian mereka  lanjutkan  kesufian  itu  mencapai  makna  orang  yang berkata  benar  [al-siddiq], dan semulia-mulia manusia setelah para nabi ialah orang-orang yang berkata  benar  itu,  seperti difirmankan  Allah,  "Mereka itulah orang-orang yang diberikan nikmat kebahagiaan oleh Allah, yang terdiri  dari  para  Nabi, orang-orang  yang berkata benar, para syuhada, dan orang-orang salih. Sungguh baik mereka itu dalam perkawanan" (QS. al-Nisa' 4:69).  Karena  itu,  bagi  mereka sesudah para nabi tidak ada yang lebih mulia daripada kaum sufi. Namun  sesungguhnya  kaum sufi  termasuk jenis tertentu kelompok orang-orang yang benar, yaitu orang yang benar dalam zuhud atau asketisme  dan  ibadat menurut  cara  yang  mereka ijtihadkan. Jadi orang sufi adalah al-shiddzq dalam arti di  kalangan  para  pengamal  zuhud  dan ibadat  itu,  sebagaimana  juga adanya al-shiddiqu di kalangan para ulama, al-shiddiq-u di kalangan para umara [pejabat], dan seterusnya.  Mereka  belum tentu mencapai derajat al-shiddiq-u  mutlak, yang sempurna  kualitas  kebenarannya  dalam  berkata, yang  terdiri  dari  para  sahabat Nabi, kaum Tabi'un dan kaum pengikut Tabi'un itu [Ibn Taimiyah, al-Shufiyyah wa al-Furuqa.[65]
Kesufian,  merupakan  cabang  keagamaan dalam Islam yang sering kontroversial.  Beberapa  tokohnya  menjadi  sasaran   kritik, bahkan  penyiksaan  atau pembunuhan, disebabkan pendirian atau praktek mereka yang dianggap menyimpang dari agama yang benar. Sekalipun KH. Hasyim Asy'ari, seperti terbukti dari keterangan di atas demikian menghargai tasawuf dan kaum  sufi,  namun  ia dikenal sangat keras terhadap setiap gejala penyimpangan dalam amalan thariqat. Sikap ini ia ungkapkan dalam risalahnya  yang ia tulis pada tahun 1360 H. Al-Tibyanfi al-Nahy 'an Muqatha'at al-Arham  wa  al-Aqarib  wa  al-Ikhwan.[66] 
Ibn  Taimiyah,  melacaki  sejarah munculnya kaum sufi dan paham tasawuf itu dari  orientasi  keagamaan  yang  tumbuh  di  kota Basrah,   Irak,  yang  menunjukkan  ciri-ciri  kezuhudan  yang tinggi. Berbeda dengan  para  ulama  kota  Kuffah  yang  lebih banyak   mencurahkan   perhatian   pada   bidang   hukum   dan mengembangkan keahlian di bidang fiqh, para ulama kota  Basrah menghayati  agama   dalam   spiritualisme   yang   pekat  dan menumbuhkan   amalan-amalan   guna   mempertinggi   pengalaman keagamaan  yang mendalam. Mereka dikenal sebagai para pengamal ubudiah  [al-'ubbad],  para  pengamal  kezuhudan  [al-zuhhad], dengan  titik orientasi keagamaan yang berbeda dari para ulama Kuffah.  Namun,  menurut  Ibn  Taimiyah,  kedua  kelompok  itu sama-sama  berhak  memperoleh sebutan al-shiddiq-u, hanya saja masing-masing menempuh jalan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya menurut ijtihad yang mereka lakukan.
Tapi,  lanjut  Ibn  Taimiyah  dalam  penjelasannya,  karena di kalangan mereka terjadi banyak ijtihad dan perbedaan pendapat, maka  masyarakat  pun  berselisih  dalam  menilai  kaum  sufi. Sekelompok orang memandang mereka sebagai kaum pembuat  bid'ah dan   menyimpang   dari   sunnah,  dan  banyak  dikutip  orang pernyataan serupa itu dari  kalangan  para  ulama  yang  sudah dikenal. Pandangan serupa ini banyak dianut oleh kalangan ahli fiqh dan kalam. Kemudian segolongan masyarakat lain berlebihan dalam  penilaian  positif  mereka pada kaum sufi. Golongan ini melihat kaum sufi sebagai  makhluk  paling  utama  dan  paling mulia  setelah  para Nabi. Ibn Taimiyah menegaskan bahwa kedua pandangan yang ekstrem itu tercela.  Yang  benar  ialah  bahwa kaum  sufi  adalah  orang-orang  yang berijtihad dalam menaati Allah, sebagai golongan  lain  yang  taat  kepada  Allah  juga melakukan  ijtihad.  Maka  di  kalangan kaum sufi ada golongan pemuka  (al-sabiq)  yang  memperoleh  kedekatan  (al-muqarrab) kepada  Allah  setingkat  dengan ijtihadnya. Juga ada golongan yang sedang-sedang saja [al-muqtashid], yang termasuk kelompok ahl   al-yamin   ("kelompok   kanan"  seperti  disebutkan  QS.al-Waqi'ah 56:38). Dan pada  masing-masing  golongan  itu  ada yang  melakukan  ijtihad  lalu  membuat  kesalahan,  ada  yang berdosa  dan  kemudian  bertobat  atau  tidak  bertobat.  Dari kalangan  mereka yang mengikuti kaum sufi juga ada orang-orang yang dzalim dan membangkang pada Tuhannya (ibid, hal.  19-20). "Dan",  tandas Ibn Taimiyah, "barang siapa menganggap tercela, terhina dan terkutuk setiap orang yang melakukan ijtihad dalam usaha  taat  kepada  Allah  namun pada membuat kesalahan dalam beberapa perkara, maka ia keliru,  sesat  dan  pembuat  bid'ah (ibid,  hal.  16).  Anggapan serupa itu, menurut Ibn Taimiyah, adalah pendirian kaum ekstremis. Lalu ia tegaskan  bahwa  "Ahl al-Sunnah  wa al-Jama'ah menganut pandangan seperti disebutkan dalam  Kitab,  sunnah  dan  ijma"  yaitu  bahwa  seorang  yang beriman,  berdasarkan  janji  Allah  dan kemurahan-Nya, berhak atas pahala untuk kebaikan-kebaikannya dan berhak  atas  siksa untuk  kejahatan-kejahatannya, dan bahwa dalam diri satu orang tergabung sesuatu (kebaikan) yang bakal  mendapat  pahala  dan sesuatu  (kejahatan)  yang  bakal  mendapat  siksa,  juga  ada sesuatu yang terpuji dan ada sesuatu yang tercela, sebagaimana juga  ada sesuatu yang menyenangkan dan ada sesuatu yang tidak menyenangkan, dan begitu seterusnya."[67]

b.  Pemikiran di bidang Filsafat
Filsafat dan agama berbicara tentang hal yang sama, yaitu manusia dan dunianya. Apabila agama membawa kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta Manusia dan dunianya, dan filsafat dari akal manusia yang selalu diliputi kekurangjelasan dan ketidakpastian.  Adakalanya para agamawan terlibat dan merintis perkembangan pemikiran filsafat, tetapi sebaliknya adakalanya orang yang beragama terancam oleh pemikiran para filosof yang kritis dan tajam. Dalam perspektif filsafat, filsafat dan agama merupakan dua pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Filsafat yang difahami sebagai sistem rasional pemahaman (intelektual). Al Kindi, sebagai filosuf muslim pertama memandang bahwa filsafat haruslah diterima sebagai bagian dari peradaban Islam. Al Kindi, yang berupaya pertama kali menunjukkan bahwa filsafat dan agama merupakan dua aktivitas intelektual yang dapat serasi.[68]
Pemikiran filsafat masuk ke dalam Islam melalui falsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli fikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia, dan Mesir.  Kebudayaan dan filsafat Yunani datang ke daerah-daerah itu dengan Alexander yang Agung ke Timur di abad keempat sebelum Kristus. Politik Alexander untuk menyatukan kebudayaan Yunani dan kebudayaan Persia meninggalkan bekas besar di daerah-daerah yang pernah dikuasainya dan kemudian timbullah pusat-pusat kebudayaan Yunani di Timur, seperti Alexandria di Mesir, Antioch di Suria, Jundisyapur di Mesopotamia dan Bactra di Persia.[69]
Pada zaman Bani Umayyah, perhatian lebih banyak tertuju kepada kebudayaan Arab, pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam belum begitu kelihatan. Pengaruh baru nyata kelihatan di masa Bani Abbas, karena yang berpengaruh di pusata pemerintahan bukan lagi orang-orang Arab, tetapi orang-orang Persia, seperti keluarga Baramikah yang telah lama berkecimpung dalam kebuadayaan Yunani.[70]   Khalifah-khalifah Bani Abbas pada mulanya tertarik pada ilmu kedokteran Yunan dengan cara pengobatan yang baik dan mujarab, tetapi kemudian mereka tertarik pula kepada ilmu-ilmu pengetahuan lain dan filsafat. Parhatian pada filsafat meningkat di zaman khalifah al-Ma’mun [813-833], putra Harun al-rasyid. Utusan-utusan dikirim ke Kerajaan Bizantium untuk mencari manuskrip yang kemudian dibawa ke Bagdad untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Untuk keperluan penterjemahan, al-Ma’mun mendirikan Bait al-Hikmah  di Bagdad pada tahun 830 M sebagai perpsutakaan dan instutusi penterjemahan yang diletakan dibawah pimpinan Hunain ibn Ishak, seorang penganut agama Kristen yang berasal dari Hirah.[71]
Dengan kegiatan penerjemahan ini, sebahagian besar dari karangan Aristoteles, karangan-karang Plato, dan buku-buku mengenai Neo-Platonisme diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Golongan yang banyak tertarik kepada falsafah Yunani adalah kaum Mu’tazilah.  Abu al-Huzail, al-Nazzam, al-Jahiz, al-Jubba’I dan lain-lain banyak membaca buku-buku fisafat Yunani dan pengaruhnya dapat dilihat dalam pemikiran-pemikiran teologi mereka. Di samping kaum Mu’tazilah, segera pula timbul filosof-filosof Islam.[72]
Filosof kenamaan yang pertama adalah Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi. Lahir di Kufah pada tahun 796 M, meninggal di Bagdad tahun 873 M. Al-Kindi, bukan hanya filosof tetapi juga ilmuan yang menguasai ilmu-ilmu pengetahuan yang ada di zamannya. Hasil karyanya mencakup berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti matematika, geometri, astronomi, pharmacology [teori dan cara pengobatan], ilmu hitung, ilmu jiwa, optika, politik, musik dan sebagainya.[73]   Filosof besar kedua  adalah Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Uzlagh al-Farabi. Ia lahir di Farab, Transoxania pada tahun 872 dan meninggal pada tahun 950 M di Damsyik. Al-Farabi menulis buku-buku mengenai logika, ilmu politik, etika, fisika, ilmu jiwa, metafisika, matematika, kimia, musik, dan sebagainya. Kalau al-Kindi mendapat gelar Failusuf Al’ Arab, Al-Farabi terkenal dengan nama Al-Mu’alim Al-Tsani (Guru Kedua). Al-Mu’alim al-Awwal [guru pertama] adalah Aristoteles. Di dunia Latin al-Farabi dikenal dengan nama Alpharabius.[74]  
Mengenai falsafah, al-Farabi berkeyakinan bahwa falsafah Aristoteles dan Plato dapat disatukan dan untuk itu, al-Farabi menulis risalah “Tentang Persamaan antara Plato dan Aristoteles”. Falsafahnya yang terkenal ialah falsafah emanasi. Dalam falsafah emanasi ini al-Farabi menerangkan bahwa segala yang ada memancar dari Zat Tuhan melalui akal-akal yang berjumlah sepuluh. Alam materi dikontrol  oleh akal yang sepuluh itu. Al-Farabi juga membahan soal jiwa dan akal manusia. Akal menurut pemikirannya mempunyai tiga tingkat, yaitu al-hayulani [material], bi al-fi’il (aktual), dan al-mustafad (adeptus, aquired). Akal pada tingkat terakhir inilah yang dapat menerima pancaran yang dikirimkan Tuhan melalui akal-akal tersebut. Falsafahnya mengenai politik, al-Farabi menyatakan negara terbaik ialah negara yang dipimpin Rasul dan kemudian yang dipimpin filosof. Al-Farabi juga memikirkan tentang wujud yang ia bagi kedalam wujud yang wajib dan wujud yang mungkin. Wujud yang wajib tidak mempunyai sebab bagi wujudnya dan al-Farabi juga membahas soal agama dan falsafah.[75]
Abu ‘Ali Husain ibn Abdillah ibn Sina melampaui al-Farabi dan al-Kindi dalam kemasyhuran pemikiran filsafatnya.  Ibn Sina, lahir pada tahun 980 M di Afshana. Ibn Sina dikenal di Barat dengan nama Avicenna,  di Spanyol Aven Sina, dan kemasyhurannya di dunia Barat “sebagai dokter” yang melampaui kemasyhurannya sebagai filosof, sehingga Ibn Sina bergelar “the prince of the Physicisns”. Di dunia Islam ibn Sina dikenal dengan nama “al-Shaykh al-Ra’is” (pemimpin umat dari filosof-filosof). Yang membuat namanya terkenal yaitu dua di antara buku-buku, ialah buku al-Qanun fi al-Tibb dan al-Syifa’. Al-Qanun (The Canon), yaitu suatu ensiklopedia tentang ilmu kedokteran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di abad keduabelas Masehi dan “selama lima ratus tahun enseklopedia ini menjadi buku pegangan di Universitas-universitas Eropa”. Sedangkan, al-Syifa merupakan ensiklopedia tentang falsafah Aristoteles dan ilmu pengetahuan. Ringkasan dari isi al-Syifa’ terkandung dalam buku lain dengan nama al-Najah dan buku penting lain ialah ‘Uyun al-Hikmah, al-Isharat wa al-Tanbihat, dan Mantiq al-Masyriqiyin, dan risalah-risalah lain mencakup ilmu jiwa, metafisika, kosmologi, logika, cinta, dan lain-lain.  Pemikirannya tentang filsafat, Ibn Sina mempunyai faham “emanasi” dan akal-akal baginya adalah melekat. Mengenai wujud, Ibn Sina membagi ke dalam tiga bagian, yaitu wajib, mungkin, dan mustahil. Falsafahnya tentang jiwa dan akal lebih terperinci dan sempurna dari falsafah al-Farabi.[76]
Filosof yang lain adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’kub Miskawaih, lahir di Raiy dan meninggal di Isfaham pada tahun 1030 M.  Dalam falsafah ibn Miskawaih lebih dikenal dengan “falsafah akhlaknya”  dan terkenal dengan karyanya “Tahzib al-Akhlaq”.  Akhlak menurut pandangan ibn Miskawaih merupakan sikap mental atau jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tanpa pemikiran.  Menurutnya, sikap mental atau jiwa itu dibawa lahir seperti sikap pemurah atau sifat bakhil, dan dapat diperoleh dari kebiasaan, seperti kejujuran dan ketidak-jujuran. Karena akhlak hubungannya dekat dengan jiwa, maka ia juga membahas soal jiwa. Jiwa tidak berbetuk jasmani, dan mempunyai wujud tersendiri, terlepas dari badan. Miskawaih, membagi jiwa pada tiga daya yang sam dengan pembagian yang diberikan al-Kindi.[77]
Menurut Miskawaih, kesempurnaan yang dicapai oleh jiwa manusia ialah kebajikan dalam bentuk “ilmu pengetahuan” dan keadaan tidak tunduk pada keinginan hawa nafsu. Maka disamping kedua kebajikan ini ada lagi dua kebajikan penting lain yaitu “keberanian dan keadilan”. Sedangkan kebahagian yang sebenarnya adalah “kebahagian yang timbul dari mengetahui hikmat-hikmat”. Hikmat ada yang bersifat teoritis; dengan hikmat teoritis ini diperoleh pengetahuan yang benar. Kemudian ada pula hikmat yang bersifat “praktis” dan dengan ini diperoleh budi perketi mulia. Oleh karenanya, kebahagian yang diperoleh melalui kesenangan jasmani, adalah kebahagian palsu yang dicari oleh kaum awam.  Menurutnya, dengan salat dan ibadatpun kebahagian palsu inilah yang mereka cari. Usaha yang dijalankan untuk mencari kebahagian serupa ini, menurut Miskawaih adalah sia-sia saja dan yang diperoleh bukanlah kebahagian sebenarnya atau hakiki. Filosof-filosof Islam pada umumnya membahas soal etika hanya sepetintas lalu dalam falsafah mereka, ibn Miskawaih lebih memusatkan perhatiannya pada etika. Oleh karena itu namanya selalu dikaitkan dengan falsafah akhlak dalam Islam.[78]
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali, lahir di Ghazaleh, suatu desa di dekat Tus di daerah Khurasan [Persia]  pada tahun 1059 M dan meninggal di Tus pada tahun 1111 M. Karya bukunya Maqasid al-Falasifah (Pemikiran Kaum Filosof) yang diterjemahkan dalam bahasa Latin, dengan judul Logica et Philosophia Algazelis Arabis di tahun 1145 M, oleh Dominicus Gundissalinus dan bukunya yang termasyhur tentang falsafat Tahafut Al-Falasifah [Kekacauan Pemikiran Filosof-filosof]. Jalan sufi yang ditempuh al-Ghazali diakhir masa hidupnya menghilangkan perasaan syak yang sebelumnya mengganggu jiwanya. Menurut al-Ghazali, tingkat ma’rifat yang terdapat dalam tasawuf adalah yang membawan kepada pengetahuan yang sebenarnya dapat diyakini. Ma’rifat dalah istilah tasawuf adalah suatu tingkat di mana hijab  atau tabir hilang dari depan wajah seorang sufi, sehingga ia dengan hati sanubarinya dapat melihat Tuhan dan hal-hal yang tak dapat dilihat oleh manusia biasa.[79]
Al-Ghazali, dikenal sebagai seorang filosof yang banyak mengkritik pendapat filosof-filosof bahkan menentang tiga dari isi falsafat mereka yang membawa kepada kekufuran, yakni pendapat mereka bahwa alam ini qadim  dalam arti tidak bermula dalam waktu, bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian dari apa yang terjadi di alam ini, dan bahwa pembangkitan jasmani tak ada. Al-Ghazali, mempunyai pengaruh yang besar dalam bidang tasawuf, sehingga tasawuf  tidak lagi dipandang sebagai ajaran yang bertentang dengan Islam dan akhirnya tasawuf berkembang diseluruh dunia Islam. Di dunia Barat abad pertengahan al-Ghazali dikenal dengan nama Abuhamet dan Algazel  dan di dunia Islam Al-Ghazali diberi gelar Hujjatul Islam. Al-Ghazali,  meninggalkan karyanya yang berjudul Ihya’ ‘Ulum Al-Din, yang mengandung ilmu-ilmu keagamaan dalam berbagai bidang, seperti tawhid, fikih, akhlak dan tasawuf dan masih karya yang lain dalam bentuk risalah-risalah dalam bidang tasawuf seperti Misykat al-Anwar, Mi’raj al-Salikin, dan Minhaj al-‘Arifin. Al-Ghazali, merupakan filosof besar terakhir di dunia Islam bahagian Timut.[80]
Pasca al-Ghazali, filosof-filosof besar selanjutnuya muncul di Abdalusia.  Folosof besar pertama bernama Abu Bakar Muhammad  ibn Yahya ibn al-Sayigh ibn Bajja yang dikenal di Eropa dengan Avempace. Ibn Bajja banyak menulis tafsir tentang falsafah Aristoteles dangen karyanya yang terkenal adalah Tadbir al-Mutawahhid. Ia mengkritik pendapat al-Ghazali bahwa kebenaran dapat dicapai melalui jalan sufi, menurut pendapatnya untuk sampai kepada kebenaran orang harus menempuh jalan falsafah. Untuk mencapai kebenarang orang harus menyendiri dan meninggalkan masyarakat umum. Filosof besar kedua dari Spanyol Islam ialah Abu Bakr Muhammad ibn Abd al-Malik ibn Tufail, lahir di Cadix kota kecil dekat Granada pada permulaan abad keduabelas Masehi dan meninggal di Marokko tahun 1185 M.  Ibn Tufail, disamping seorang filosof ia juga penyair, dokter, ahli matematika dan ahli astronomi. Di dunia Latin ibn Tufail dikenal dengan nama Abubacer.
Falsafah ibn Tufail terkandung dalam buku Hayy ibn Yaqzam, yang menceritakan bagaimana Hayy, semenjak bayi hidup tersendiri disuatu pulau terasing dan dibesarkan oleh seekor rusa, dapat memperoleh pengetahuan-pengetahuan. Pemikiran akal akhirnya dapat membawa Hayy kepada pengetahuan dan pengakuan adanya Tuhan. Akalnya menghasilkan agama yang bersifat filosofis. Dalam buku tersebut selanjutnya diceritakan bahwa seorang ulama bernama Asal datang kepulau itu untuk menyendiri dan beribadat kepada Tuhan. Setelah mereka berjumpa ternyata agama yang ditimbulkan pemikiran akal Hayy dalam garis besarnya sama dengan agama samawi yang dianut Asal. Dari cerita ini, ibn Tufail, ingin menggambarkan pendapat para filosof bahwa pengetahuan yang diperoleh akal dan pengetahuan yang dibawa wahyu tidak bertentangan, karena kedua pengetahuan itu bersumber dari Tuhan.[81]
Filosof besar yang muncul di Andalusia adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd. Ia lahir di Cordova pada tahun 1126 M.  Ibn Rusyd, sebagai dokter, filosof dan ahli hukum. Buku-buku ibn Rusyd mengenai falsafah Aristoteles yang banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, dan berpengaruh bagi ahli-ahli fikir Eropa sehingga ia diberi gelar Penafsir (Commentator), yaitu penafsir dari filsafat Aristoteles. Di Barat ibn Rusyd dikenal sebagai dokter dan penafsir filsafat Aristoteles, sedangkan di dunia Islam ibn Rusyd dikenal sebagai ahli hukum dan filosof yang membela rekan-rekannya dari kritik dan serangan al-Ghazali. Seiring dengan pemikiran ibn Rusyd ini, di Eropa terdapat suatu aliran yang disebut Averroism. Menurut aliran ini falsafah mengandung kebenaran, sedang agama dan wahyu membawa hal-hal yang tidak benar. Jelas bahwa pendapat demikian tidak mungkin bersumber pada falsafah ibn Rusyd, karena ia sebagai filosof-filosof Islam, berkeyakinan bahwa aakal dan wahyu tidak bertentangan. Keduanya sama-sama membawa kebenaran. Tanpaknya, kekeliruan pandangan ini timbul dari kesalahfahaman penulis-penulis Barat abad ketigabelas tentang tafsiran ibn Rusyd terhadap falsafah Aristoteles. Dari kesalahan ini, kemudian kaum gereja mencap ibn Rusyd sebagai ateis. Falsafahnya dianggap bertentangan dengan agama dan buku-bukunya dilarang. Tetapi dibalik itu, pandangan Thomas Aquinas (1225-1274 M) banyak persamaannya dengan falsafat ibn Rusyd. Aquinas juga berpandangan bahwa akal dan wahyu tidak bertentangan, bahkan keduanya sejalan. Seorang filosof Yahudi Moses Ben Maimun (Maimonides: 1135-1204 M), menggunakan pendapat-pendapat ibn Rusyd yang dimasukan ke dalam bukunya Dalalat al-Hairin dan buku ini dibaca oleh Aquinas, sehingga pengaruh ibn Rusyd terhadap Aquinas diakui oleh penulis-penulis Barat.[82]
Persolan-persoalan yang dibahas falsafat dalam Islam, yang terpenting di antaranya ialah soal akal dan wahyu. Maka dalam falsafat Yunani kekuatan akal amat dihargai dan ratio dipakai dengan tidak diikat oleh ajaran-ajaran agama. Sementara dalam Islam terdapat ajaran-ajaran yang bersifat mutlak benar dan tidak boleh dilanggar oleh akal. Dari sini timbullah persoalan akal dan wahyu. Bagi al-Kindi, falsafat dan agama samawi tidak dapat bertentangan. Falsafat membahas kebenaran dan wahyu membawa informasi tentang kebenaran. Disinilah terletak persamaan antara filsafat dan agama, karena keduanya sama-sama membahas kebenaran. Agama disamping wahyu juga mempergunakan akal dan falsafat memakai akal pula. Falsafah membahas kebenaran pertama [al-haqq al-awwal] dan agama itulah pula yang dijelaskannya. Tuhan adalah al-haqq al-awwal dan falsafat yang paling tinggi adalah falsafat yang membahas al-haqq al-awwal  itu. Al-Farabi, juga berpandangan demikian, tetapi baginya falsafat dapat mengganggu keyakinan orang awam. Oleh karena itu, al-Farabi mengatakan bahwa falsafat tak boleh dibocorkan dan tak boleh sampai ketangan orang awam. Sedangkan bagi ibn Rusyd tugas falsafat adalah tidak lain dari berfikir tentang wujud untuk mengetahui penciptaan semua yang ada ini.[83]   Dalam al-qur’an, dapat dilihat dari ayat-ayat yang mengandung kata-kata menganjurkan manusia untuk selalu berpikir, yaitu ya’qilun, yatafakkarun, yubshirun, yasma’un, dan sebagainya, yang menyuruh manusia berpikir tentang tentang wujud dan alam sekitarnya untuk mengetahui Tuhan. Dari sini, sebenarnya Tuhan sendiri menyuruh manusia supaya berfilsafat.  “Oleh karena itu, ibn Rusyd berpendapat bahwa berfalsafat wajib atau sekurang-kurangnya sunat. Maka kalau pendapat akal bertentangan dengan wahyu, demikian pendapat ibn Rusyd, teks wahyu harus diberi interpretasi begitu rupa sehingga sesuai dengan pendapat akal.[84]
Pasca ibn Rusyd, tanpaknya tradisi perenungan di kalangan Muslim agak meredup, namun bukan berarti mati. Di belahan Timur, terutama Persia, sebagaimana diungkap pengkaji filsafat Islam terkemuka, Henry Corbin (1993) Averroisme (ibn Rusyd) memang telah menghilang tanpa jejak, namun kritik al-Ghazali atas filsafat tidak pernah dianggap berhasil mengakhiri tradisi yang dikembangkan oleh Avicenna (ibn Sina).
Perkembangan selanjutnya, di Persia fase kebangkitan filsafat ditandai dengan kolaborasinya yang indah dengan mistisme, yang dikenal dengan filsafat Persia atau Isyraqi, yang diresmikan oleh al-Suhrawandi (1155-1191 M). Fase ini ditandai oleh usaha positif untuk mendamaikan filsafat dan mistisime, dengan cara yang pernah disuarakan oleh ibn Sina (980-1037 M), namun belum sampai diimplementasikannya. Tradisi Isyraqi  ini kemudian memuncak pada sosok Mulla Sadra (1571-1640 M) dengan hikmat transendentalnya. Kesinambungan tradisi Isyraqi, di Iran pada masa sekarang dibuktikan oleh kehadiran sejumlah besar institusi teologi di Qum. Masyad, dan Teheran, ataupun di Najaf, Irak, yang melanjutkan tradisi keilmuan filsafat dan teologi Isyraqi , dan sejumlah ilmuan yang terus meneliti karya-karya para guru Isyraqi.[85]  
Di dunia Arab, bentuk filsafat Islam pada masa sekarang bercorak identifikasi terhadap fikih dan kalam, semisal dalam kasus Mustafa ‘Abd al-Raziq dan mazhabnya. Atau reinterpretasi terhadap konsep-konsep filsafat atau teologi Islam dengan istilah-istilah Barat modern. Di samping itu, ada sejumlah folosof Arab, misalnya Zaki Najib Mahmud, Sadiq al-Azhm, Abdulah Laraoui, dan Fu’ad Zakaria telah menyatakan diri bergabung dengan gerakan-gerakan filsafat Barat semacam positivisme logis, Marxisme atau Eksistensialisme.[86]  Dengan demikian, filsafat sebagai satu bagian yang sah dari Islam, memang memiliki varian yang beragam sebagaimana dijelaskan di atas. Keberadaanya seringkali dicurigai bahkan ditentang, karena dianggap sebagai saingan agama. Namun sebagaimana yang dikemukakan Fazlur Rahman, [87] (1985:190), menyatakan bahwa filsafat bukanlah saingan agama atau teologi, sebagaimana pandangan yang digencarkan oleh kelompok revivalisme atau ortodoksi Islam, tetapi filsafat pasti berguna baginya, karena tujuan teologi adalah membangun suatu pandangan dunia (world view) berdasarkan al-Qur’an dan hadis dengan bantuan alat-alat intelektual yang separuhnya disediakan oleh filsafat.



 Sumber Bacaan:
a.    Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, 2001, Metodologi Studi Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung.
b. Nurcholish Madjid, Islam, Iman dan Ihsan sebagaiTtrilogi Ajaran Ilahi,  From: http://media.isnet.org/islam/ Paramadina/Konteks/ TrilogiN4. html, akses, 24 Maret 2003.
c.    Said Agiel Siradj, 1998, Kajian Metodologi Tasawuf, makalah disampaikan dalam Seminar Metodologi Studi Islam di Jakarta.
d.    Harun Nasution, 1986, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan, UI Press, Jakarta.
e.    Harun Nasution, 1986, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, UI Press, Jakarta.
f.  Fazlur Rahman, 1985, Islam and Modernity: Transformation an Intelectual Tradition, Penerjemah Ahsin Muhammad, Pustaka, Bandung.
g.    Ibnu Khaldun, 2001, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha, Pustaka Firdaus, Jakarta.
h.    Jalaluddin Rahmat (Editor), 1996, Ijtihad dalam Sorotan, Mizan, Bandung.
i.    Majid Fakhry, 2001, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, Penerjemah Zaimul AM, Mizan, Bandung.
j.      Masykuri Abdillah, Gagasan dan Tradisi Bernegara Dalam Islam: Sebuah Perspektif Sejarah dan Demokrasi Modern, dalam Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan, Tashwirul Afkar, (Edisi No.7) tahun 2000 - ISSN 1410-9166, Yogyakarta.
k.  Nurchalis Madjid, 1996,  Menuju Masyarakat Madani”, Jurnal Kebudayaan dan Peradaban, ULUMUL QUR'AN, (Nomor: 2/VII/1996)-ISSN:0215-9155, Jakarta.












[1]Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 153.
[2] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta:UI Press, 1986), hlm.11.
[3] Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, hlm. 153 .
[4] Ibid, hlm. 153.
[5] Harun Nasution, hlm. 11-12.
[6] Ibid, hlm. 13.
[7] Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, hlm. 154.
[8] Harun Nasution, hlm. 13.
[9] Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok,  hlm. 154.
[10] Harun Nasution, hlm. 14. 
[11  Ibid, hlm. 14-15.
[12] Ibid, hlm. 16-17.
[13] Ibid, hlm. 19-20.
[14] Ibid, hlm. 19-20.
[15]  Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, hlm.155.
[16]  Harun Nasution, hlm. 22.
[17]  Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, hlm. 155.
[18]  Harun Nasution, hlm. 22.
[19]  Ibid, hlm. 23.
[20]  M. Yunan Yusuf, 1990:21-2.
[21]  Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok,  hlm. 155.  
[22]  Harun Nasution, hlm. 31.
[23]  Ibid, hlm. 31.
[24]  Ibid.
[25]  Ibid, hlm. 38.
[26]  Ibid, hlm. 38.
[27]  Ibid, hlm. 40.
[28]  Ibid, hlm. 41.
[29]  Ibid, hlm. 43-46.
[30]  Harun Nasution, hlm. 52-56 dan Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, hlm. 157.
[31]  Harun Nasution,hlm. 61.
[32]  Ibid, hlm. 62.
[33]  Ibid, hlm. 63.
[34]  Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, hlm. 157.
[35]  Harun Nasution,hlm. 64.
[36]  Harun Nasution, hlm. 61.
[37]   Ibid, hlm. 76.
[38]   Ibid, hlm. 78.
[39]   Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, hlm.158.
[40]  Harun Nasution, hlm. 7.
[41] Nurchalis Madjid, 1996,  Menuju Masyarakat Madani”, Jurnal Kebudayaan dan  
     Peradaban,ULUMUL QUR'AN,(Nomor: 2/VII/1996) - ISSN : 0215-9155, Jakarta, hlm. 34.
[42] Masykuri Abdillah, Gagasan dan Tradisi Bernegara Dalam Islam: Sebuah Perspektif 
     Sejarah dan Demokrasi Modern, dalam Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan &  
     Kebudayaan, Tashwirul Afkar, (Edisi No.7) tahun 2000 - ISSN 1410-9166, Yogyakarta, 
      97.
[43] Harun Nasution, hlm. 7.
[44] Ibid, hlm. 10-11.
[45]  Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, hlm. 159.
[46]  Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, hlm. 159.
[47] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha, (Jakarta. Pustaka Firdaus, 2001), 
      hlm. 566. 
[48] Harun Nasution, hlm. 13-14. 
[49] Ibid, hlm. 14-15.
[50] Ibid, hlm. 16.
[51] Ibid, hlm. 17.
[52] Ibid, hlm. 18.
[53] Jalaluddin Rahmat [Editor], Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 77.
[54] Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, hlm. 161.
[55] Harun Nasution, hlm. 72.
[56] Atang Abd Hakim,dk. hlm. 162.
[57] Harun Nasution, hlm. 74.
[58]  Atang Abd Hakim,dk. hlm. 162.  
[59]  Said Agiel Siradj, 1998, hlm. 3-5.
[60]  Juhaya S. Praja, 1999, hlm. 6.
[61]  Atang Abd Hakim,dk. 2001, hlm. 163-164.   
[62]  Harun Nasution, hlm. 78-79.     
[63]  Ibid, hlm. 80.
[64]  Ibid.
[65]  Cairo: al-Manar, 1348 H., hal. 17-18, dalam Nurcholish Madiid, akses, 24 Maret 2003.
[66]  Surabaya:  Percetakan Nahdlatul Ulama, tt. 
[67]  Nurcholish Madiid, akses, 24 Maret 2003, hlm. 17. 
[68]  Dahlan, 2002, hlm. 179.
[69]  Harun Nasution, hlm. 80.
[70]  Ibid, hlm. 46.
[71]  Ibid, hlm. 47.
[72]  Ibid, hlm. 12.
[73]  Ibid, hlm. 47.
[74]  Ibid, hlm. 48.
[75]  Ibid, hlm. 49.
[76]  Ibid, hlm. 51.
[77]  Ibid.
[78]  Ibid, hlm.51-52.
[79]  Ibid, hlm. 53.
[80]  Ibid, hlm. 54.
[81]  Ibid, hlm. 55.
[82]  Ibid, hlm. 57.
[83]  Ibid, hlm. 58.
[84]  Ibid.
[85]  Majid Fakhry, 2001, hlm. 155.
[86]  Ibid, hlm. 156.
[87]   Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation an Intelectual Tradition,  
       Penerjemah Ahsin Muhammad, (Bandung, Pustaka, 1985), hlm. 190.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar