Rabu, 09 Agustus 2017

ISLAM SEBAGAI SASARAN STUDI DAN PENELITIAN



Bahan Kuliah: Metodologi Studi Islam
Modul : IV
Pertemuan ke IV
Berlaku : 2014

ISLAM SEBAGAI SASARAN STUDI DAN PENELITIAN
1.        Agama Sebagai Doktrin
2.      Agama Sebagai Sasaran Penelitian Budaya
3.      Agama Sebagai Sasaran Penelitian Sosial
4.     Metodologi Ilmu Agama Islam

Hujair AH. Sanaky, Dr. MSI

 
1.    Agama Sebagai Doktrin
Untuk penelitian agama yang sasarannya adalah agama sebagai doktrin. Agama sebagai teologi, tidak terbatas hanya sekedar menerangkan  hubungan antara manusia dengan Tuhan (Transendental) saja, tetapi tidak terelakan  adalah melibatkan kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarain asal-usul agama (antropologi), pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis) bahkan ajaran agama tertentu dapat diteliti sejauh mana keterkaitan ajaran etikanya dengan corak pandangan hidup yang memberi dorongan yang kuat untuk memperoleh derajat kesejahteraan hidup yang optimal (ekonomi).
Apabila kita memandangan agama sebagai doktrin yang sacral, suci dan tabuh, maka tertutup untuk kajian-kajian atau penelitian. Tetapi, apabila kajian-kajian diarahkan pada elemen-elemen agama, maka terbuka pintu untuk melakukan penelitian dan bahkan metodologi penelitian sudah pernah dirintis, yaitu ilmu ushul fiqh sebagai metode untuk mengistimbatkan hukum dalam agama Islam, dan ilmu musthalah hadis sebagai metode untuk menilai akurasi dan kekuatan sebab-sebab Nabi [hadis], merupakan bukti adanya keinginan untuk mengembangkan metodologi penelitian.
Al-Qur’an bukan semata-mata teks puji-pujian ataupun tuntutan kesalehan pribadi dan sama halnya, karier kerasulan Nabi Muhammad juga diarahkan kepada perbaikan moral manusia dalam artian yang konkrit dan komunal, bukan hanya sekedar kepada hal-hal yang bersifat pribadi dan metafisik saja. Dengan sendirinya mendorong para ahli hukum dan intelektual muslim untuk memandang al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai sumber yang mampu menjawab semua persoalan.[1]  
Sebelum mendekati agama, memang amat perlu mengetahui sasaran yang akan didekati, yaitu agama atau kepercayaan yang terjadi karena adanya dipandang mahakuasa menjadi sumber dari segala sesuatu. Dalam berbagai disiplin ilmu sosial dipelajari adanya dua macam agama yaitu:
a.    Agama Alam, atau sering juga disebut agama suku bangsa primitif, disebut juga “innerweltlich religion”.  Berbagai sebutan yang diberikan kepada agama itu, sesuai dengan dasar kepercayaannya, seperti animisme, dinamisme, polytheisme dan ada yang menyebut dengan agama leluuhur, kepercayaan nenek moyang; paganisme, syamanisme  dengan berbagai ritus dan perbuatan-perbuatan keagamaan dengan aneka sebutan, sepeti dewa, Tuhan, dan lain-lain seolah-olah berada dalam dunia kehidupan manusia, tetapi kuasa memberikan kekuatan-kekuatan atau kesaktian pada manusia yang menguasai tata cara untuk memperoleh kekuatan sakti itu.
b.    Agama Profetis, yang biasanya juga disebut agama samawi, yaitu agama yang diturunkan oleh Khalik (Pencipta) melalui utusan atau nabi-Nya kepada manusia. Agama yang tergolong jenis ini, adalah agama Islam, Nasrani, dan Yahudi. Tuhan atau Khalik Yang Maha Pencipta, berkuasa atas segala sesuatu (makhluk-Nya) berada di luar makhluk, dan menentukan sendiri kehendak-Nya dan tidak tergantung pada makhluk-Nya.[2]
Dalam perkembangan kegamaan, ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan antropologi budaya telah mengembangkan metode-metode ilmiah dalam penelitian agama-agama alam, kepercayaan suku-suku bangsa primitif. Agama-agama itu dilihat sebagai fenomena kehidupan kebudayaan para penganutnya. Adapun agama-agama profetis, ilmu pengetahuan modern juga telah melakukan pengkajian-pengkajian atasnya. Marx, Durkheim hingga Weber, memang telah banyak mengkaji tentang agama Nasrani dan Yahudi, tetapi amat sepele perhatiannya terhadap Islam.  Pengkajian terhadap agama Islam mulai timbul seiring dengan perkembangan pengkajian ilmu perbandingan agama, yang dilatarbelakangi oleh factor kepustakaan Islam yang langkah, tidak memadai dan eksklusif.[3]
Masalah keagamaan, merupakan masalah yang selalu hadir dalam sejarah kehidupan manusia sepanjang zaman dan sama dengan masalah kehidupan lainnya. Perilaku hidup beragama yang amat luas tersebar di permukaan bumi dan dikatakan menjadi “bagian dari hidup kebudayaan” yang dapat dikembangkan dalam aneka corak yang khas antara suatu lingkup sosial-budaya berbeda dengan lingkup sosial budaya lainnya.  “Fenomena keagamaan  yang berakumulasi pada pola perilaku manusia dalam kehidupannya beragama  adalah perwujudan dari “sikap” dan “perilaku” manusia yang menyangkut dengan hal-hal yang dipandang sacral, suci, keramat yang berasalan dari suatu kegaiban.
Sedangkan ilmu pengetahuan, dalam hal ini ilmu pengetahuan sosial dengan caranya masing-masing, atau metode, teknik dan peralatannya, dapat mengamati secara cermat perilaku manusia itu, hingga menemukan segala unsure yang menjadi komponen terjadinya perilaku tersebut. Ilmu sejarah mengamati proses terjadinya perilaku itu, ilmu sosiologi menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu, sedangkan ilmu antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku tersebut dalam tatanan nilai [value] yang dianut dalam kehidupan manusia.
Apabila, kita mencoba menggambarkannya dalam pendekatan sejarah, sosiologi, dan antropologi secara sintetik, maka fenomena keagamaan itu berakumulasi pada “pola perilaku manusia”  didekati dengan menggunakan ketiga model pendekatan sesuai dengan posisi perilaku itu dalam konteksnya masing-masing.[4]
Uraian di atas, membatasi diri pada upaya menemukan metode yang tepat bagi penelitian dalam studi Islam. Karena itu, tekanan utama dititikberatkan pada segi-segi metodologi stusi Islam, yaitu aspek-aspek ajaran Islam yang dapat didekati secara ilmiah yang relevan dan perkembangan pengkajian Islam di masa depan.

2.    Agama Sebagai Sasaran Penelitian Budaya
Untuk meletakan agama sebagai sasaran penelitian budaya tidaklah berarti agama yang diteliti itu adalah hasil kreasi budaya manusia, tetapi sebagai agama yang tetap diyakini sebagai wahyu dari Tuhan. Maka yang dimaksudkan, bahwa pendekatan yang digunakan di situ adalah pendekatan penelitian yang lazim digunakan dalam penelitian budaya.  Penelitian budaya adalah penelitian tentang naskah-naskah [filologi] alat-alat ritus keagamaan, benda-benda purbakala agama [arkeologi], sejarah agama, nilai-nilai dari mitos-mitos yang dianut para pemeluk agama, dan sebagainya.
Ada beberapa pendekatan dalam memahami dan menafsirkan sejarah Islam selama ini, di antaranya adalah sebagai berikut :
[1]  Idealist approach, yaitu memahami dan menafsirkan sejarah Islam dengan cara mengindealisasikannya sedemikian rupa sehingga seolah-olah dalam sejarah itu tidak ada cacatnya.
[2]  Reductionist approach, yaitu usaha memahami dan menafsirkan sejarah Islam dengan mengurangi apa yang semestinya. Pendekatan ini biasanya dimiliki oleh para orientalis dan musuh Islam.
Kedua pendekatan ini dikatakan sama-sama mempunyai kelemahan, karena tidak onjektif. Sekarang ini perlu dikembangkan pendekatan baru yang objektif dan mampu melihat sumber-sumber sejarah sebagaimana apa adanya, tanpa menambah atau menguranginya. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh sejarawan muslim yang mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Maka perlu dikembangkan pendekatan seperti :
[a] regional approach,
[b] social economic approach,
[c] social history approach, dan
[d] cultural approach.
Dengan pendekatan ini, diharapkan sejarah Islam akan dapat dilihat secara lebih komprehensif dan Islam tidak identik dengan politik atau etnik tertentu, suatu kesalahan yang sudah lama terjadi.

3.  Agama Sebagai Sasaran Penelitian Sosial
Sasaran penelltian agama sebagai sasaran penelitian sosial, yaitu sosiologi agama. Pada zaman dulu, sosiologi agama mempelajari hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat. Masyarakat mempengaruhi agama, dan agama mempengaruhi masyarakat. Belakangan, sosiologi agama mempelajari bukan soal hubungan timbal balik, melainkan lebih kepada pengaruh agama terhadap tingkah laku masyarakat, yaitu bagaimana agama sebagai sistem nilai mempengaruhi tingkah laku masyarakat dan bagaimana pengaruh masyarakat terhadap pemikiran keagamaan.
Kaum strukturalis, termasuk di dalamnya sebagian antropologi, cenderung meletakkan ilmu sosial lebih dekata kepada ilmu budaya. Mereka melihat, tingkah laku sosial pada dasarnya selalu mengacu kepada aturan-aturan tingkah laku [rule of behavior] yang berdasar atas pola ideal yang bersumber dari nilai. Karena itu, kunci memahami masyarakat adalah memahami nilai yang ada pada masyarakat tersebut. Kaum strukturalis, memandang begitu pentingnya nilai, sehingga mereka lupa bahwa nilai itu sendiri merupakan “produk interaksi sosial” juga.
Muncul kaum positivis yang berpendapat bahwa memahami masyarakat dengan memahami nilainya merupakan perbuatan yang “menduga-duga”. Mereka juga melihat verstehen sebagai perbuatan menduga-duga yang tak berdasar secara ilmiah.  Bagi, kaum positivis, memahami masyarakat haruslah dengan mengamati apa yang dilihat, dapat diukur dan dapat dibuktikan sebagaimana halnya dalam ilmu pengetahuan alam.  D.C. Marsh, dalam bukunya A Dictionary of Sociology, yang diedit oleh G.Duncan Mitchell, menyatakan bahwa: “ilmu sosial menunjuk kepada penerapan metode ilmiah untuk mempelajari jaringan hubungan manusia yang pelik dan rumit, dan bentuk-bentuk organisasi yang dimaksudkan agar orang dapat hidup bersama dalam masyarakat.[5]
Studi Islam, yakni pengkajian tentang ilmu-ilmu ke-Islam-an, sedangkan yang dimaksud ilmu-ilmu ke-Islam-an adalah pengajian yang tidak hanya terfokus pada aspek-aspek yang bersifat normative dan dogmatif, tepai juga pengkajian yang menyangkut dengan aspek histories dan aspek sosiologis. Oleh karena itu, ilmu-ilmu Islam yang meliputi aspek kepercayaan normative-dogmatif yang bersumber dari wahyu yang kemudian diterjemahkan ke dalam aspek perilaku manusia yang lahir oleh dorongan kepercayaan, menjadi kenyataan-kenyataan emperik.  Maka, ilmu-ilmu kemasyarakatan yang berasal dari tradisi keilmuan Barat, tidak mungkin dapat merangkul dalam metode pengkajian kedua aspek yang dipandang tidak dapat dipertemukan menurut hukum-hukum logika ilmu pengetahuan dalam metode ilmiah yang mengandalkan segi onyektivitas berdasarkan penalaran dan emperik.
Dalam ilmu-ilmu sosial obyek pengetahuan dan penelitian yang menjadi pangkal dari pengetahuan adalah gejala-gejala masyarakat yang lebih khusus terdiri atas kejadian-kejadian kongkret, karena kejadian-kejadian kongkret itu dilukiskan dalam abstraksi menjadi factor sosial. Oleh karena itu, pengkajian Islam pada aspek sosio kulturalnya, sebagai fenomena nyata dalam kehidupan manusia, inilah segi yang dapat diteliti, dikaji sedalam-dalamnya melalui metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu pengetahuan spekulatif seperti teologi, metafisika, dan etika, sama dengan ilmu pengetahuan aksiomatis seperti ilmu pasti, tidaklah termasuk ilmu pengetahuan emperik, yaitu ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan.[6]

4. Metodologi Ilmu Agama Islam
Dalam mempelajari dan mengetahui Islam kita kenal metode yang dipakai oleh orang-orang Barat yang meneliti Islam, yaitu metode (1) naturalistic, (2) psikologis, dan (3) sosiologis. Dalam mepalajari atau meneliti agama, satu metode saja tidak dapat dipilih untuk mempelajari Islam, karena Islam adalah agama yang bukan mono-dimensi.
Islam adalah bukan agama yang hanya didasarkan kepada institusi mistis dari manusia dan terbatas pada hubungan antara manusia dengan Tuhan dan ini hanya merupakan satu dimensi dari agama Islam. Untuk mempelajari dimensi :
(1) Hubungan manusia dengan Tuhan  harus menggunakan  metode filosofis, karena  hubungan manusia dengan Tuhan dibahas dalam filsafat, dalam arti pemikiran metafisis yang umum dan bebas.
(2) Dimensi yang lain dari agama Islam adalah “masalah kehidupan manusia di bumi ini dan untuk mempelajari dimensi ini harus dipergunakan metode-metode yang selama ini dipergunakan dalam ilmu alam.
(3) Islam suatu agama yang membentuk masyarakat dan peradaban dan untuk mempelajari dimensi metode yang digunakan adalah metode sejarah dan sosiologi.
Mukti Ali,[7] menyatakan dalam meneliti Islam sebagai agama menggunakan metode filosofis, metode-metode ilmu alam, metode histories dan sosiologis harus ditambah dengan metode doktriner.  Demikian juga dalam memahami Islam dengan segala aspeknya, tidak dapat hanya dengan jalan doktriner saja. Menurut Mukti Ali, pendekatan ilmiah dan doktriener harus digunakan bersama.
Selama ini, para ahli-ahli ilmu pengetahuan, termasuk para orientalis, mendekati Islam dengan metode ilmiah saja.  Akibatnya ialah penelitiannya itu menarik, tetapi sebenarnya mereka tidak mengerti Islam secara utuh dan yang diketahui hanya eksternalitis [segi-segi luar] dari Islam saja. Para ulama, sudah terbiasa memahami ajaran Islam dengan cara doktriner dan dogmatis yang tidak dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat dan akibatnya penafsirannya tidak dapat diterapkan di masyarakat dan inilah sebabnya orang lalu mempunyai kesan bahwa Islam adalah sudah ketinggalan jaman dan tidak sesuai dengan alam pembangunan atau kemajuan jaman. Maka Mukti Ali, menawarkan pendekatan ilmiah-cum doktriner harus dipergunakan dan inilah yang dimaksud Mukti Ali dengan metode sisntesis.
Jadi, ilmu-ilmu agama, pada segi-seginya yang menyangkut masalah sosial, yakni menjadi bagian yang dapat diteliti, diamati dengan menggunakan piranti ilmiah, atau metodologi ilmiah dan metodologi ilmiah tentu ditentukan oleh obyak yang dikaji. Oleh karena itu, apabila segi-segi tertentu agama, katakanlah Islam itu berada pada posis fenomena sosial, maka niscaya metode pengkajian terhadap fenomena itu adalah metode ilmu-ilmu sosial. Adapun terhadap segi-seginya yang lain yang berpangkal pada postulat-postulat yang lebih bersifat “normatif dan dogmatic”, sesuai dengan ajaran Islam yang bersumber pada wahyu dan iman, tidak dapat dijaungkau oleh metode ilmiah yang harus mempertahankan obyektivitas berdasarkan konsep-konsep pemikiran logis dan bukti-bukti emperis. Tentu saja, siapapun akan mengatakan, bahwa “kebenaran  agama” dalam norma dan dogama mendambakan “kebenaran mutlak” , sedangkan kebenaran ilmiah, hanyalah kebenaran relatif, berdasar pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmu pengetahuan yang tidak bersifat mutlak. Maka, setiap pernyataan ilmiah haruslah selalu tetap bersifat mesentara.[8]
Dengan uraian ini, maka baik ilmuan sosial, maupun ilmuan Islam [pada aspek normatif-dogmatif], hendaknya mengikuti secara sadar, bahwa kedua aspek dalam ilmu-ilmu Islam itu adalah postulat-postulat yang walaupun diakui terletak pada konsepsi yang berbeda, namun keduanya menyatakan diri dalam perilaku kehidupan manusia terutama pada manusia yang beriman.  Maka dalam konsepsi keilmuan Islam, hendaknya dapat dibangun pengertian bahwa ilmuwan Islam adalah ilmuwan yang beriman. Ilmuwan tersebut, akan memandang kenyataan emperik tidak terlepas dari sesuatu yang terletak dalam “alan metafisik”. Maka, “obyekyivitas” yang setinggi-tingginya dapat dicapai, adalah kemampuan menyadari “peranan subyektivitas”  dalam menentukan sikap atau pilah. Oleh karena itu, “sikap ilmiah seorang ilmuwan yang beriman, adalah kedaran yang mendalam, bahwa pada batas terakhir kemampuan ilmu pengetahuan untuk memecahkan sesuatu, maka disitulah bermula ilmu yang berpangkal pada “Iman Islam”, diharapkan mampu memberikan jawabannya”.[9]
Dari uraian ini, maka metode yang pertama-tama harus ditemukan, bukanlah “metode penelitian agama” (Islam), melainkan metode pembinaan ilmuwan Islam. Dalam pengertian ini maka meluruskan pengertian apa yang dimaksud dengan ilmu-ilmu agama; menjadi hal yang amat esensial. Dalam konsepsi Islam, ilmu-ilmu Islam adalah semua ilmu yang dikenal dalam tradisi pengetahuan [Barat] kita menyebutnya ilmu-keimanan.[10]

Bahan Bacaan: 

A.Mukti Ali, 1991, Metode Memahami Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
Atho Mudzhar, 1989, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Fazlur Rahman, 1985, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual , Pustaka, Bandung.
Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim,  1989, Metodologi Penelitian Agama, Sebuah Pengantar, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, 2000, Metodologi Studi Islam,

[1]Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 2
[2]Mattulada, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim,  Metodologi Penelitian Agama, Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hlm.2
[3] Ibid. hlm. 2.
[4] Ibid, hlm. 1
[5] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1989), hlm. 44-45.
[6] Mattulada, dlm Taufik Abdullah dan Rusli Karim,  1989, hlm. 5.
[7]A.Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991),
[8]  Mattulada, hlm. 4. 
[9] Ibid, hlm. 5-6.
[10] Ibid


Tidak ada komentar:

Posting Komentar