Bahan Kuliah: Metodologi Studi Islam
Modul : IV
Pertemuan ke IV
Berlaku : 2014
ISLAM SEBAGAI SASARAN STUDI DAN PENELITIAN
1.
Agama Sebagai Doktrin
2.
Agama Sebagai Sasaran Penelitian Budaya
3.
Agama Sebagai Sasaran Penelitian Sosial
4.
Metodologi Ilmu Agama Islam
Hujair AH. Sanaky, Dr. MSI
1.
Agama Sebagai Doktrin
Untuk penelitian agama yang
sasarannya adalah agama sebagai doktrin. Agama sebagai teologi, tidak terbatas
hanya sekedar menerangkan hubungan
antara manusia dengan Tuhan (Transendental) saja, tetapi tidak
terelakan adalah melibatkan kesadaran
berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarain asal-usul agama (antropologi),
pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa
(psikologis) bahkan ajaran agama tertentu dapat diteliti sejauh mana
keterkaitan ajaran etikanya dengan corak pandangan hidup yang memberi dorongan
yang kuat untuk memperoleh derajat kesejahteraan hidup yang optimal (ekonomi).
Apabila kita memandangan
agama sebagai doktrin yang sacral, suci dan tabuh, maka tertutup
untuk kajian-kajian atau penelitian. Tetapi, apabila kajian-kajian diarahkan
pada elemen-elemen agama, maka terbuka pintu untuk melakukan penelitian dan
bahkan metodologi penelitian sudah pernah dirintis, yaitu ilmu ushul fiqh
sebagai metode untuk mengistimbatkan hukum dalam agama Islam, dan ilmu
musthalah hadis sebagai metode untuk menilai akurasi dan kekuatan
sebab-sebab Nabi [hadis], merupakan bukti adanya keinginan untuk
mengembangkan metodologi penelitian.
Al-Qur’an bukan semata-mata
teks puji-pujian ataupun tuntutan kesalehan pribadi dan sama halnya, karier
kerasulan Nabi Muhammad juga diarahkan kepada perbaikan moral manusia dalam
artian yang konkrit dan komunal, bukan hanya sekedar kepada hal-hal yang
bersifat pribadi dan metafisik saja. Dengan sendirinya mendorong para ahli
hukum dan intelektual muslim untuk memandang al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai
sumber yang mampu menjawab semua persoalan.[1]
Sebelum mendekati agama,
memang amat perlu mengetahui sasaran yang akan didekati, yaitu agama atau
kepercayaan yang terjadi karena adanya dipandang mahakuasa menjadi sumber dari
segala sesuatu. Dalam berbagai disiplin ilmu sosial dipelajari adanya dua macam
agama yaitu:
a. Agama Alam, atau sering juga disebut agama suku bangsa
primitif, disebut juga “innerweltlich religion”. Berbagai sebutan yang diberikan kepada agama
itu, sesuai dengan dasar kepercayaannya, seperti animisme, dinamisme,
polytheisme dan ada yang menyebut dengan agama leluuhur, kepercayaan nenek
moyang; paganisme, syamanisme dengan berbagai ritus dan perbuatan-perbuatan
keagamaan dengan aneka sebutan, sepeti dewa, Tuhan, dan lain-lain seolah-olah
berada dalam dunia kehidupan manusia, tetapi kuasa memberikan kekuatan-kekuatan
atau kesaktian pada manusia yang menguasai tata cara untuk memperoleh kekuatan
sakti itu.
b. Agama Profetis, yang biasanya juga disebut agama samawi,
yaitu agama yang diturunkan oleh Khalik (Pencipta) melalui utusan atau
nabi-Nya kepada manusia. Agama yang tergolong jenis ini, adalah agama Islam,
Nasrani, dan Yahudi. Tuhan atau Khalik Yang Maha Pencipta, berkuasa atas segala
sesuatu (makhluk-Nya) berada di luar makhluk, dan menentukan sendiri
kehendak-Nya dan tidak tergantung pada makhluk-Nya.[2]
Dalam perkembangan kegamaan,
ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan antropologi budaya telah mengembangkan
metode-metode ilmiah dalam penelitian agama-agama alam, kepercayaan suku-suku
bangsa primitif. Agama-agama itu dilihat sebagai fenomena kehidupan kebudayaan
para penganutnya. Adapun agama-agama profetis, ilmu pengetahuan modern juga
telah melakukan pengkajian-pengkajian atasnya. Marx, Durkheim hingga Weber,
memang telah banyak mengkaji tentang agama Nasrani dan Yahudi, tetapi amat
sepele perhatiannya terhadap Islam.
Pengkajian terhadap agama Islam mulai timbul seiring dengan perkembangan
pengkajian ilmu perbandingan agama, yang dilatarbelakangi oleh factor
kepustakaan Islam yang langkah, tidak memadai dan eksklusif.[3]
Masalah keagamaan, merupakan
masalah yang selalu hadir dalam sejarah kehidupan manusia sepanjang zaman dan
sama dengan masalah kehidupan lainnya. Perilaku hidup beragama yang amat luas
tersebar di permukaan bumi dan dikatakan menjadi “bagian dari hidup kebudayaan”
yang dapat dikembangkan dalam aneka corak yang khas antara suatu lingkup
sosial-budaya berbeda dengan lingkup sosial budaya lainnya. “Fenomena keagamaan yang berakumulasi pada pola perilaku manusia
dalam kehidupannya beragama adalah
perwujudan dari “sikap” dan “perilaku” manusia yang menyangkut dengan hal-hal
yang dipandang sacral, suci, keramat yang berasalan dari suatu kegaiban.
Sedangkan ilmu pengetahuan,
dalam hal ini ilmu pengetahuan sosial dengan caranya masing-masing, atau
metode, teknik dan peralatannya, dapat mengamati secara cermat perilaku
manusia itu, hingga menemukan segala unsure yang menjadi komponen
terjadinya perilaku tersebut. Ilmu sejarah mengamati proses terjadinya perilaku
itu, ilmu sosiologi menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada
perilaku itu, sedangkan ilmu antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola
perilaku tersebut dalam tatanan nilai [value] yang dianut dalam kehidupan manusia.
Apabila, kita mencoba
menggambarkannya dalam pendekatan sejarah, sosiologi, dan antropologi secara
sintetik, maka fenomena keagamaan itu berakumulasi pada “pola perilaku
manusia” didekati dengan menggunakan
ketiga model pendekatan sesuai dengan posisi perilaku itu dalam konteksnya
masing-masing.[4]
Uraian di atas, membatasi
diri pada upaya menemukan metode yang tepat bagi penelitian dalam studi Islam.
Karena itu, tekanan utama dititikberatkan pada segi-segi metodologi stusi
Islam, yaitu aspek-aspek ajaran Islam yang dapat didekati secara ilmiah yang
relevan dan perkembangan pengkajian Islam di masa depan.
2.
Agama Sebagai Sasaran Penelitian Budaya
Untuk
meletakan agama sebagai sasaran penelitian budaya tidaklah berarti agama yang
diteliti itu adalah hasil kreasi budaya manusia, tetapi sebagai agama yang
tetap diyakini sebagai wahyu dari Tuhan. Maka yang dimaksudkan, bahwa
pendekatan yang digunakan di situ adalah pendekatan penelitian yang lazim
digunakan dalam penelitian budaya.
Penelitian budaya adalah penelitian tentang naskah-naskah [filologi]
alat-alat ritus keagamaan, benda-benda purbakala agama [arkeologi], sejarah
agama, nilai-nilai dari mitos-mitos yang dianut para pemeluk agama, dan
sebagainya.
Ada beberapa pendekatan dalam memahami dan menafsirkan sejarah Islam selama
ini, di antaranya adalah sebagai berikut :
[1] Idealist
approach, yaitu memahami dan menafsirkan sejarah Islam dengan cara
mengindealisasikannya sedemikian rupa sehingga seolah-olah dalam sejarah itu
tidak ada cacatnya.
[2] Reductionist
approach, yaitu usaha memahami dan menafsirkan sejarah Islam
dengan mengurangi apa yang semestinya. Pendekatan ini biasanya dimiliki oleh
para orientalis dan musuh Islam.
Kedua pendekatan ini dikatakan sama-sama mempunyai kelemahan, karena tidak
onjektif. Sekarang ini perlu dikembangkan pendekatan baru yang objektif dan
mampu melihat sumber-sumber sejarah sebagaimana apa adanya, tanpa menambah atau
menguranginya. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh sejarawan muslim yang
mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Maka perlu dikembangkan pendekatan seperti :
[a] regional approach,
[b] social economic approach,
[c] social history approach, dan
[d] cultural approach.
Dengan
pendekatan ini, diharapkan sejarah Islam akan dapat dilihat secara lebih
komprehensif dan Islam tidak identik dengan politik atau etnik tertentu, suatu
kesalahan yang sudah lama terjadi.
3.
Agama Sebagai Sasaran Penelitian Sosial
Sasaran penelltian agama sebagai sasaran penelitian
sosial, yaitu sosiologi agama. Pada zaman dulu, sosiologi agama mempelajari
hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat. Masyarakat mempengaruhi
agama, dan agama mempengaruhi masyarakat. Belakangan, sosiologi agama
mempelajari bukan soal hubungan timbal balik, melainkan lebih kepada pengaruh
agama terhadap tingkah laku masyarakat, yaitu bagaimana agama sebagai sistem
nilai mempengaruhi tingkah laku masyarakat dan bagaimana pengaruh masyarakat
terhadap pemikiran keagamaan.
Kaum strukturalis, termasuk di
dalamnya sebagian antropologi, cenderung meletakkan ilmu sosial lebih dekata
kepada ilmu budaya. Mereka melihat, tingkah laku sosial pada dasarnya selalu
mengacu kepada aturan-aturan tingkah laku [rule of behavior] yang
berdasar atas pola ideal yang bersumber dari nilai. Karena itu, kunci memahami
masyarakat adalah memahami nilai yang ada pada masyarakat tersebut. Kaum
strukturalis, memandang begitu pentingnya nilai, sehingga mereka lupa
bahwa nilai itu sendiri merupakan “produk interaksi sosial” juga.
Muncul kaum positivis yang berpendapat bahwa
memahami masyarakat dengan memahami nilainya merupakan perbuatan yang
“menduga-duga”. Mereka juga melihat verstehen sebagai perbuatan
menduga-duga yang tak berdasar secara ilmiah.
Bagi, kaum positivis, memahami masyarakat haruslah dengan
mengamati apa yang dilihat, dapat diukur dan dapat dibuktikan sebagaimana
halnya dalam ilmu pengetahuan alam. D.C.
Marsh, dalam bukunya A Dictionary of Sociology, yang diedit oleh G.Duncan
Mitchell, menyatakan bahwa: “ilmu sosial menunjuk kepada penerapan metode
ilmiah untuk mempelajari jaringan hubungan manusia yang pelik dan rumit, dan
bentuk-bentuk organisasi yang dimaksudkan agar orang dapat hidup bersama dalam
masyarakat.[5]
Studi Islam, yakni pengkajian tentang ilmu-ilmu
ke-Islam-an, sedangkan yang dimaksud ilmu-ilmu ke-Islam-an adalah pengajian
yang tidak hanya terfokus pada aspek-aspek yang bersifat normative dan
dogmatif, tepai juga pengkajian yang menyangkut dengan aspek histories dan
aspek sosiologis. Oleh karena itu, ilmu-ilmu Islam yang meliputi aspek
kepercayaan normative-dogmatif yang bersumber dari wahyu yang kemudian
diterjemahkan ke dalam aspek perilaku manusia yang lahir oleh dorongan
kepercayaan, menjadi kenyataan-kenyataan emperik. Maka, ilmu-ilmu kemasyarakatan yang berasal
dari tradisi keilmuan Barat, tidak mungkin dapat merangkul dalam metode
pengkajian kedua aspek yang dipandang tidak dapat dipertemukan menurut
hukum-hukum logika ilmu pengetahuan dalam metode ilmiah yang mengandalkan segi onyektivitas
berdasarkan penalaran dan emperik.
Dalam ilmu-ilmu sosial obyek pengetahuan dan penelitian
yang menjadi pangkal dari pengetahuan adalah gejala-gejala masyarakat yang
lebih khusus terdiri atas kejadian-kejadian kongkret, karena kejadian-kejadian kongkret
itu dilukiskan dalam abstraksi menjadi factor sosial. Oleh karena itu,
pengkajian Islam pada aspek sosio kulturalnya, sebagai fenomena nyata dalam
kehidupan manusia, inilah segi yang dapat diteliti, dikaji sedalam-dalamnya
melalui metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu pengetahuan
spekulatif seperti teologi, metafisika, dan etika, sama dengan ilmu pengetahuan
aksiomatis seperti ilmu pasti, tidaklah termasuk ilmu pengetahuan emperik,
yaitu ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan.[6]
4. Metodologi Ilmu Agama Islam
Dalam
mempelajari dan mengetahui Islam kita kenal metode yang dipakai oleh
orang-orang Barat yang meneliti Islam, yaitu metode (1) naturalistic,
(2) psikologis, dan (3) sosiologis. Dalam mepalajari atau
meneliti agama, satu metode saja tidak dapat dipilih untuk mempelajari Islam,
karena Islam adalah agama yang bukan mono-dimensi.
Islam
adalah bukan agama yang hanya didasarkan kepada institusi mistis dari
manusia dan terbatas pada hubungan antara manusia dengan Tuhan dan ini hanya
merupakan satu dimensi dari agama Islam. Untuk mempelajari dimensi :
(1) Hubungan manusia dengan Tuhan harus menggunakan metode filosofis, karena hubungan manusia dengan Tuhan dibahas dalam
filsafat, dalam arti pemikiran metafisis yang umum dan bebas.
(2) Dimensi yang lain dari agama
Islam adalah “masalah kehidupan manusia di bumi ini dan untuk
mempelajari dimensi ini harus dipergunakan metode-metode yang selama ini
dipergunakan dalam ilmu alam.
(3) Islam suatu agama yang membentuk
masyarakat dan peradaban dan untuk mempelajari dimensi metode yang
digunakan adalah metode sejarah dan sosiologi.
Mukti
Ali,[7]
menyatakan dalam meneliti Islam sebagai agama menggunakan metode filosofis,
metode-metode ilmu alam, metode histories dan sosiologis harus
ditambah dengan metode doktriner.
Demikian juga dalam memahami Islam dengan segala aspeknya, tidak dapat
hanya dengan jalan doktriner saja. Menurut Mukti Ali, pendekatan ilmiah
dan doktriener harus digunakan bersama.
Selama
ini, para ahli-ahli ilmu pengetahuan, termasuk para orientalis, mendekati Islam
dengan metode ilmiah saja. Akibatnya
ialah penelitiannya itu menarik, tetapi sebenarnya mereka tidak mengerti Islam
secara utuh dan yang diketahui hanya eksternalitis [segi-segi luar] dari Islam
saja. Para ulama, sudah terbiasa memahami ajaran Islam dengan cara doktriner
dan dogmatis yang tidak dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang
hidup dalam masyarakat dan akibatnya penafsirannya tidak dapat diterapkan di
masyarakat dan inilah sebabnya orang lalu mempunyai kesan bahwa Islam adalah
sudah ketinggalan jaman dan tidak sesuai dengan alam pembangunan atau kemajuan
jaman. Maka Mukti Ali, menawarkan pendekatan ilmiah-cum doktriner
harus dipergunakan dan inilah yang dimaksud Mukti Ali dengan metode
sisntesis.
Jadi, ilmu-ilmu agama, pada segi-seginya yang menyangkut
masalah sosial, yakni menjadi bagian yang dapat diteliti, diamati dengan
menggunakan piranti ilmiah, atau metodologi ilmiah dan metodologi ilmiah tentu
ditentukan oleh obyak yang dikaji. Oleh karena itu, apabila segi-segi tertentu
agama, katakanlah Islam itu berada pada posis fenomena sosial, maka
niscaya metode pengkajian terhadap fenomena itu adalah metode ilmu-ilmu sosial.
Adapun terhadap segi-seginya yang lain yang berpangkal pada postulat-postulat
yang lebih bersifat “normatif dan dogmatic”, sesuai dengan ajaran
Islam yang bersumber pada wahyu dan iman, tidak dapat dijaungkau oleh metode
ilmiah yang harus mempertahankan obyektivitas berdasarkan konsep-konsep
pemikiran logis dan bukti-bukti emperis. Tentu saja, siapapun akan mengatakan,
bahwa “kebenaran agama”
dalam norma dan dogama mendambakan “kebenaran mutlak” , sedangkan
kebenaran ilmiah, hanyalah kebenaran relatif, berdasar pengetahuan yang
diperoleh melalui metode ilmu pengetahuan yang tidak bersifat mutlak. Maka,
setiap pernyataan ilmiah haruslah selalu tetap bersifat mesentara.[8]
Dengan uraian ini, maka baik ilmuan sosial, maupun ilmuan
Islam [pada aspek normatif-dogmatif], hendaknya mengikuti secara sadar, bahwa
kedua aspek dalam ilmu-ilmu Islam itu adalah postulat-postulat yang walaupun
diakui terletak pada konsepsi yang berbeda, namun keduanya menyatakan diri
dalam perilaku kehidupan manusia terutama pada manusia yang beriman. Maka dalam konsepsi keilmuan Islam, hendaknya
dapat dibangun pengertian bahwa ilmuwan Islam adalah ilmuwan yang beriman.
Ilmuwan tersebut, akan memandang kenyataan emperik tidak terlepas dari sesuatu
yang terletak dalam “alan metafisik”. Maka, “obyekyivitas” yang
setinggi-tingginya dapat dicapai, adalah kemampuan menyadari “peranan
subyektivitas” dalam menentukan
sikap atau pilah. Oleh karena itu, “sikap ilmiah seorang ilmuwan yang
beriman, adalah kedaran yang mendalam, bahwa pada batas terakhir kemampuan ilmu
pengetahuan untuk memecahkan sesuatu, maka disitulah bermula ilmu yang
berpangkal pada “Iman Islam”, diharapkan mampu memberikan jawabannya”.[9]
Dari uraian ini, maka metode yang pertama-tama harus
ditemukan, bukanlah “metode penelitian agama” (Islam), melainkan metode
pembinaan ilmuwan Islam. Dalam pengertian ini maka meluruskan pengertian apa
yang dimaksud dengan ilmu-ilmu agama; menjadi hal yang amat esensial. Dalam
konsepsi Islam, ilmu-ilmu Islam adalah semua ilmu yang dikenal dalam tradisi
pengetahuan [Barat] kita menyebutnya ilmu-keimanan.[10]
Bahan Bacaan:
A.Mukti Ali, 1991, Metode
Memahami Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
Atho Mudzhar, 1989, Pendekatan
Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Fazlur Rahman, 1985, Islam
dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual , Pustaka, Bandung.
Taufik Abdullah dan M.
Rusli Karim, 1989, Metodologi
Penelitian Agama, Sebuah Pengantar, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, 2000, Metodologi
Studi Islam,
[1]Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi
Intelektual, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 2
[2]Mattulada, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli
Karim, Metodologi Penelitian Agama,
Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hlm.2
[5] Atho Mudzhar, Pendekatan
Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1989),
hlm. 44-45.
[6] Mattulada, dlm Taufik Abdullah dan Rusli Karim, 1989, hlm. 5.
[7]A.Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1991),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar