Bahan Kuliah: Metodologi Stusi Islam
Modul : V
Pertemuan : V
Berlaku : 2014
PENELITIAN AGAMA DAN MODEL-MODELNYA
1.
Penelitian dan Penelitian agama
2.
Penelitian keagamaan
3.
Konstruksi teori penelitian keagamaan
4.
Model-model penelitian keagamaan
Hujair AH. Sanaky, Dr. MSI
Secara garis besar, pembahasan pada bagian ini lebih
difokuskan pada pertama, penelitian agama dan kedua, model-model
penelitian agama. Kemudian
dalam konteks ini, pembahasan penelitian agama diisi dengan penjelasan tentang
keudukan penelitian agama dalam konteks penelitian pada umumnya, kemudian
dilakukan elaborasi mengenai penelitian agama, penelitian keagamaan dan
konstruksi teori penelitian keagama. Kemudian pada bagian akhir akan dibahas
beberapa model penelitian keagamaan.
1. Penelitian dan Penelitian Agama
a. Hasrat Ingin Tahu Manusia, Mencari
kebenaran dan Penelitian
Hasrat
Ingin Tahu Manusia, bahwa manusia senantiasa berusaha mencari
kesempurnaan dan kebenaran, karena didorong oleh rasa ingin tahunya yang selalu
ada dan tidak pernah padam. Didorong oleh rasa ingin tahu, maka manusia selalu
melakukan kajian-kajian dan penelitian, dengan melalui kajian dan penelitian
banyak rahasia tersingkap. Jadi, dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan
sebenarnya merupakan kumpulan pengalaman dan pengetahuan sejumlah orang yang
dipadukan secara harmonis dalam suatu bangunan yang terstruktur, teratut dan
kebenarannya sudah diuji.
Keinginan
manusia untuk mengetahui lebih banyak dan lebih dalam lagi menjadi ciri
kehidupan akademik pada manusia, maka manusia belajar dari kenyataan tentang
adanya kenyataan-kenyataan yang selalu sama [statis] dan selalu dalam keadaan
berubah [dinamis] dan karena itu manusia menjadi tidak puas dengan
kenyataan-kenyataan yang diamatinya, sebagai kemungkinan-kemung kinan.[1]
Perlu
diketahui bahwa ilmu pengetahuan mempunyai nilai umum yang dapat dipergunakan
untuk menghadapi persoalan hidup sehari-hari dan banyak persoalan atau masalah
yang belum juga terpecahkan, sementara persoalan-persoalan baru selalu muncul.
Kajian dan penelitian selalu dan terus dilakukan selama manusia masih berada di
alam bumi ini, karena persoalan atau masalah kehidupan selalu muncul dan
memerlukan pemecahan. Tetapi, pada kenyataannya manusia selalu tidak puas
dengan kenyataan-kenyataan yang diamatinya, sebagai kemungkinan-kemungkinan. Maka manusia melakukan transendensi terhadap
kenyataan dan menjadikannya kemungkinan-kemungkinan. “Kant, menyebutkan “ein
der bilder bedurf-tiger verstand”, kemampuan mengetahui atau memahami
sesuatu di belakang kenyataan itu”.[2]
Keingin tahuan manusia, belum menjadi sikap atau
pengamatan ilmiah, karena keinginan tahu ini dapat membawa kita kepada
pengetahuan, belum kepada ilmu. Sebab
ilmu menuntut berbagai persyaratan lain, yang timbul oleh pengamatan awal
berupara pengaturan-pengaturan dan pengaturan itu membawa kita kepada
penghimpunan dan penemuan hubungan-hubungan yang ada antara realitas yang kita
amati. Hubungan-hubungan itu berbagai macam, dapat berdasar fungsional,
kesamaan material, warna, bentuk dan lain-lain. Kemudian azas pengaturan
dinyatakan sebagai batasan yang menentukan tempat fakta-fakta dalam satu bagian
dan inilah yang disebut dengan konsistensi azas pengaturan.[3]
Mencari Kebenaran, dalam pandangan Islam kebenaran mutlak
dari Allah “alhak min rabbika” yang terwujud dalam firmannya al-Qur’an
dan sabda Nabi hadis. Dalam dunia penelitian, Winarno Surachmad, menyatakan
bahwa untuk mencari kebenaran dapat ditempuh melalui berbagai macam cara.
Cara-cara tersebut, diantaranya :
Pertama, Penemuan secara
kebetulan, artinya penemuan ini datangnya tidak dapat diperhitungkan lebih
dahulu. Kedatangannya tidak pasti dan tidak selalu memberi gambaran kebenaran.
Kedua, Trial and
Error, artinya ada usaha aktif untuk mencoba dan mencoba lagi. Pada saat
mengadakan trial [tindakan] tidak ada kesadaran yang pasti mengenai pemecahan
yang akan dilakukan. Jadi ada sikap untung-untungan, apabila percobaan pertama
gagal, mungkin dilakukan percobaan berikutnya dan dapat berhasil setelah
dilakukan beberapa perbaikan. Memang diakui cara ini terlalu panjang, terlalu
meraba-raba karena tidak ada pengertian yang jelas.
Ketiga, otoritas/Kewibawaan, artinya pendapat dari sesuatu badan atau orang-orang
terkemuka yang dianggap berwibawa, dijadikan pegangan yang kebenarannya
dianggap mutlak. Bahkan pendapat itu sudah menjadi milik umum; misalnya
keyakinan terhadap seseorang yang selalu benar/manusia super yang tidak pernah
salah.
Keempat, Pemecahan cara
Spekulasi, artinya pemecahan masalah dilakukan dengan memilih berbagai
kemungkinan pemecahan meskipun yang bersangkutan juga belkum yakin bahwa cara
yang dipilihnya paling tepat. Hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang
tidak begitu masak, plihan itu dianggap terbaik. Dengan demikian, langkah
spekulasi juga merupakan trial and error tetapi lebih terstur dan
sistematis.
Kelima, Dengan Berfikir
Kritis atau Berdasarkan Pengalaman, artinya manusia mempunyai kemampuan
berpikir. Maka dengan prinsip syllogisme diaturlah jalan pikiran, yaitu
berpangkal pada premis-premis [kebenaran umum] diperoleh suatu
kesimpulan. Langkah atau cara ini disebut dengan berfikir deduktif dan
sebaliknya cara berfikir induktif berpijak pada fakta-fakta yang diperoleh dari
pengalaman langsung, kemudian menarik kesimpulan umum. Jadi untuk sampai atau
mencapai kebenaran, kedua cara berfikir tersebut mungkin dapat dipadukan dan
hasilnya bergantung pada kemampuan berfikir dan jenis-jenis pengalaman. Dari
langkah-langkah ini bermula metode penyelidikan, karena manusia mulai mencari
cara atau jalan yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuannya.
Keenam, Metode
Penyelidikan Ilmiah, merupakan penyaluran hasrat ingin tahu manusia dalam taraf
keilmuan. Orang yakin bahwa ada sebab bagia setiap akibat dan setiap gejala
yang nampak dapat dicari penjelasannya secara ilmiah. Maka, penyelidik harus
bersikap objektif, karena kesimpulan hanya akan dapat ditarik apabila dilandasi
dengan bukti-bukti yang meyakinkan dan dikumpulkan melalui cara, prosedur yang
sistimatis, jelas dan terkontrol.[4]
Penelitian, untuk mewujudkan rasa ingin
tahu dan mencari kebenaran manusia selalu mengkaji dan melakukan penelitian,
sebab penelitian merupakan upaya sistimatis dan objektif untuk mempelajari
suatu masalah dan menemukan atau menjeneralisasi prinsip-prinsip umum.
Penelitian juga berarti upaya pengumpulan informasi yang bertujuan untuk
menambah pengetahuan dan pengalaman, sebab pengetahuan dan pengalaman manusia
tumbuh dan berkembang dari kajian-kajian dan penelitian sehingga mendapatkan
penemuan-penemuan dan mampu dan siap untuk melakukan revisi terhadap
pengetahuan-pengetahuan yang berkembang pada masa lalu melalui
penemuan-penemuan baru.
Penelitian dan kajian-kajian dipandang sebagai kegiatan
ilmiah sebab menggunakan metode ilmiah yaitu gabungan antara pendekatan rasional dan pendekatan emperis.
Pendekatn rasional memberikan kerangka pemikiran yang koheren dan logis,
sedangkan pendekatan empiris merupakan kerangka pengujian dalam memastikan kebenaran.[5] Metode ilmiah adalah suatu usaha untuk
mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan kesangsian
sistematis. Kriteria metode ilmiah dalam
suatu penelitian adalah (1) berdasarkan
fakta, (2) bebas dari prasangka, (3) menggunakan prinsip-prinsip analisis, (4)
menggunakan hipotesis, (5) menggunakan ukuran objektif, dan (6) menggunakan
teknik kuantitatif.[6]
Sedangkan, beberapa ciri metode ilmiah adalah: (1) memperoleh keterangan yang
cukup dan teliti, (2) menggunakan pemikiran yang logis dan teratur, (3)
menyusun pengetahuan secara sistimatis, (4) membatasi masalah dengan batas-batas
yang tegas, (5) menemukan hokum-hukum, prinsip-prinsip umum sebagai suatu teori
dasar yang dapat dipercaya, untuk dipergunakan di masa depan dan (6) menguji
dan menunjukkan pokok-pokok dari penemuan-penemuan.[7]
Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam
metode ilmiah adalah sebagai berikut: (1) memilih dan mendefinisikan masalah,
(2) survey terhadap data yang tersedia, (3) memformulasikan hipotesis, (4)
membangun kerangka analisis serta alat-alat dalam menguji hipotesis, (5)
mengumpulkan data primer, (6) mengolah, menganalisis dan membuat interpretasi,
(7) membuat generalisasi atau kesimpulan dan (8) membuat laporan.[8]
b. Agama Sebagai Objek Penelitian
Agama
sebagai objek penelitian sudah lama diperdebatkan, artinya penelitian agama
dianggap transenden, tabu, suci dan sacral.
Atho Mudzhar, menyatakan bahwa orang akan berkata, kenapa agama yang
sudah begitu mapan mau diteliti; agama adalah wahyu Allah dan menutnya sikap
serupa juga penah terjadi di Barat.[9]
Ahmad Syafi’I Mufid[10] menjelaskan agama sebagai objek penelitian
pernah menjadi bahan perdebatan, karena agama merupakan sesuatu yang transenden.
Oleh sebab itu, agamawan cerderung berkeyakinan bahwa agama memiliki kebenaran
mutlak sehingga tidak perlu diteliti.
Harun
Nasution,[11]
menunjukkan pendapat yang meyatakan bahwa agama, karena merupakan wahyu, tidak
dapat menjadi sasaran penelitian ilmu sosial dan kalaupun dapat dilakukan harus
menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode ilmu sosial. Dalam
menjawab persoalan itu, Kemudian, Harun Nasution membangun sebuah pertanyaan: Betulkan
ajaran agama hanya merupakan wahyu dari Tuhan? Agama mengandung dua kelompok ajaran.
Pertama,
ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melelalui para rasul-Nya kepada masyarakat
manusia. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam kitab-kitab suci.
Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan penjelasan
tentang arti dan cara pelaksanaannya. Ajaran dasar agama, karena merupakan
wahyu dari Tuhan, bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan
tidak dapat diubah.
Kedua,
Penjelasan-penjelasan pemuka atau pakar agama membentuk ajaran agama. Penjelasan ahli agama terhadap ajaran dasar agama, karena
hanya merupakan penjelasan dan hasil pemikiran, tidak absolut, tidak mutlak
benar dan tidak kekal. Bentuk ajaran agama yang kedua ini bersifat relatif,
nisbi, berubah dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan.[12]
Dari penjelasan ahli agama terhadap ajaran dasar agama,
dijadikan kajian dan penelitian. Ilmuwan beranggapan bahwa ajaran agama juga
merupakan objek kajian atau penelitian, karena ajaran agama itu sendiri
dihayati, diyakini dan dilaksanakan manusia dan selalu berinteraksi sesamanya,
sehingga agama dianggap merupakan bagian dari kehidupan sosial kultural. Jadi,
penelitian agama bukanlah meneliti hakikat agama dalam arti wahyu, melainkan
meneliti manusia yang menghayati, meyakini dan memperoleh pengaruh dari agama.
Dengan kata lain, penelitian agama bukan meneliti kebenaran teologi atau
filosofis ketuhanan, tetapi bagaimana agama itu ada dalam perilaku, interaksi,
kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas sosial-kultural.[13]
Ahmad Syafi’I Mufid, menyatakan kita tidak perlu mempertentangkan antara
penelitian agama dengan penelitian sosial terhadap agama.[14] Dengan demikian, dapat dikatakan kedudukan
penelitian agama sejajar dan sama dengan penelitian-penelitian lain, yang
membedakan hanyalah objek kajian yang
ditelitinya.
Agama diturunkan dan terwujud dalam bentuk perilaku,
pengetahuan dan pikiran manusia merupakan bagian dari budaya. Jadi, mengkaji
fenomena keagamaan berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan
beragama. Fenomena keagamaan itu sendiri, adalah perwujudan sikap dan perilaku
manusia yang menyangkut hal-hal yang dipandang suci, keramat yang berasalan
dari suatu kegaiban.[15]
Agama yang diturunkan kemudian diterjemahkan dan terwujud
dalam bentuk tindakan dan sikap manusia merupakan produk interaksi sosial. Oleh karena itu, ia merupakan bagian dari ilmu sosial
dan ilmu sejarah. Ilmu-ilmu pengetahuan sosial dengan caranya masing-masing,
atau metode, teknik dan peralatannya, dapat mengamati dengan cermat perilaku
manusia itu, hingga menemukan segala unsur-unsur yang menjadi komponen
terjadi perilaku itu. Ilmu sejarah mengamati proses terjadinya perilaku itu,
sosiologi menyorotinya dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada
perilaku itu dan antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu
dalam tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan manusia.[16]
Agama yang terwujud dalam bentuk tindakan dan sikap
menusia merupakan produk “interaksi sosial” dan oleh karena itu ia merupakan
bagian dari ilmu sosial dan ilmu sejarah. Apabila, kita mencoba menggambarkan
dalam pendekatan sejarah, sosiologi dan antropologi secara sistematik, maka
fenomena keagamaan itu yang berakumulasi pada pola perilaku manusia didekati
dengan menggunakan “ketiga model pendekatan” sesuai dengan posisi perilaku itu
dalam konteksnya masing-masing.[17]
Kita akan dapat melihat proses posisi
dan terbentuknya pola perilaku itu dalam satu kerangka acuan kehidupan yang
memberikan manifestasi secara utuh dan total. Kemudian yang terwujud dalam
bentuk benda-benda suci atau keramat, merupakan wilayah kajian antropologi dan
arkiologi. Dengan demikian, agama yang terwujud dalam tindakan dan sikap
menusia yang merupakan produk “interaksi sosial” dapat dijadikan sebagai objek
penelitian tanpa harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode
yang lain.
2. Penelitian Agama dan Penelitian Keagamaan
M. Atho Mudzhar[18]
menyatakan, penggunaan istilah “penelitian agama” dan penelitian keagamaan
sampai sekarang masih belum diberi batas yang tegas. Penggunaan istilah
“penelitian agama” sering juga dimaksudkan mencakup pengertian istilah
“penelitian keagamaan” dan juga sebaliknya. Salah satu contoh yang dikatakan M.
Atho Mudzhar bahwa pernyataan A. Mukti Ali ketika membuka Program Latihan
Penelitian Agama [PLPA], menggunakan kedua istilah tersebut dengan pengertian
atau arti yang sama.
M.
Atho Mudzhar, mengutip pendapat Middleton, guru besar antropologi di New York University. Middleton berpendapat
“penelitian agama (research on religion) berbeda dengan “penelitian
keagamaan” (religious research). Lebih lanjut, M. Atho Mudzhar,
menyatakan penelitian agama “lebih mengutamakan pada materi agama”, sehingga
sasarannya pada tiga elemen pokok yaitu: ritus, mitos, dan magis. Sedangkan
penelitian keagamaan “lebih mengutamakan pada agama sebagai sistem atau sistem
keagamaan (religious system).[19] Untuk menjelaskan pandangan tersebut, M. Atho
Mudzhar, mengatakan bahwa Middleton berkata:
“keduanya (yakni, agama dan sistem keagamaan) tidaklah sama. Agama dapat
dikaji dari beberapa sudut pandang: teologi, histories, komparatif,
psikologis-sementara sistem keagamaan adalah sistem sosiologis, suatu aspek
organisasi sosial dan hanya dapat dikaji secara tepat jika karakteristik itu
diterima sebagai titik tolak”. Jika usaha perbedaan yang dilakukan Middleton tersebut diterima dan diikuti, maka
sasaran penelitian agama adalah “agama sebagai doktrin”, sedangkan
sasaran penelitian keagamaan adalah “agama sebagai gejala sosial”.[20]
Untuk
lebih jelasnya, perlu memperhatikan, pertama, perbedaan antara
“penelitian agama” dengan “penelitian keagamaan” perlu disadari karena
perbedaan tersebut membedakan jenis metode penelitian yang diperlukan. Untuk itu,
sangat perlu untuk melihat perbedaan pandangan ini, karena kita akan mampu
meletakkannya secara proporsional. Kedua, penelitian agama yang
sasarannya adalah “agama sebagai doktrin”, tentu pintu bagi pengembangan suatu metodologi
penelitian tersendiri sudah terbuka, dan bahkan sudah ada yang pernah
merintisnya. Misalnya, ilmu ushul al-fiqh sebagai metode untuk istimbat
hukum dalam agama Islam dan ilmu mushthalah al-hadis sebagai metode
untuk menilai akurasi sabda Nabi Muhammad Saw merupakan bukti bahwa keinginan
untuk mengembangkan metodologi penelitian tersendiri bagi bidang pengetahuan
agama pernah muncul. Ketiga, penelitian keagamaan yang sasarannya adalah
agama sebagai gejala sosial, tentu kita tidak perlu repot-repot membuat
metodologi penelitian tersendiri. Artinya, pada penelitian ini kita cukup
meminjam dan menggunakan metodologi penelitian sosisl yang telah ada.
Apabila
mengikuti perbedaan antara penelitian agama dengan penelitian keagamaan yang
dikemukakan Middleton, kita akan menggunakan metode yang berbeda apabila
masalah yang diteliti termasuk wilayah yang pertama atau wilayah yang kedua.
Maka dalam pandangan Middleton,, penelitian agama Islam adalah penelitian yang
objeknya adalah substansi agama Islam, yaitu: kalam, fikih, akhlak, dan tasawuf.
Sedangkan penelitian keagamaan Islam dalam pandangan Middleton, adalah
penelitian yang objeknya adalah “agama sebagai produk interaksi sosial”. Maka
tepatnya, baik penelitian agama maupun penelitian keagamaan merupakan kajian
yang menjadikan agama sebagai objek penelitian.[21]
Dalam
pandangan Juhaya S. Praja, penelitian agama adalah penelitian tentang asal usul
agama, dan pemikiran serta pemahaman penganut agama tersebut terhadap ajaran
yang terkandung di dalamnya. Jadi, jelas Juhaya, dalam pandangannya terdapat dua bidang penelitian
agama, yaitu :
a. Penelitian tentang
sumber ajaran agama yang telah melahirkan disiplin ilmu tafsir dan ilmu hadis.
b. Pemikiran dan pemahaman
terhadap ajaran yang terkandung dalam sumber ajaran agama itu, yakni ushul
al-fiqh yang merupakan metodologi ilmu agama. Maka, penelitian dalam bidang
ini telah melahirkan filsafat Islam, ilmu kalam, tasawuf dan fiqih.
Penelitian tentang hidup keagamaan adalah penelitian
tentang praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual
dan kolektif. Berdasarkan batasan tersebut,
penelitian hidup keagamaan meliputi hal-hal, yaitu :
a. Perilaku individu dan
hubungannya dengan masyarakatnya yang didasarkan atas agama yang
dianutnya.
b. Perilaku masyarakat atau
suatu komunitas, baik perilaku politik, budaya maupun yang lainnya yang
mendefinisikan dirinya sebagai penganut suatu agama.
c. Ajaran agama yang
membentuk pranata sosial, corak perilaku, dan budaya masyarakat beragama.[22]
Berkenaan dengan metode penelitian, maka Ahmad Syai’I
Mufid, menjelaskan bahwa, apabila penelitian agama berkenaan dengan pemikiran
atau gagasan, maka metode-metode seperti, filsafat, fisiologi adalah pilihan
yang tepat. Penelitian agama
yang berkaitan dengan sikap perilaku agama, maka metode ilmu-ilmu sosial, seperti
sosiologi, antropologi, dan psikologi merupakan metode yang paling tepat
digunakan. Sedangkan, penelitian yang berkenaan dengan benda-benda keagamaan,
maka metode arkeologi atau metode-metode ilmu natural yang relevan, tepat
digunakan.[23]
Berdasarkan pandangan tersebut, maka metode penelitian
yang kita gunakan dalam suatu kegiatan penelitian tidak mesti membangun metode
baru, tetapi cukup meminjan, menggunakan, melanjutkan atau mengembangkan
metodologi yang sudah dibangun oleh para ahli sebelumnya.[24]
Menurut Juhaya S. Praja, kerena sosiologi dijadikan sebagai pendekatan dalam
memahami dan mengkaji agama, maka metode yang digunakan pun metode sosiologi,
seperti observasi, interview, dan angket. Karena, dalam dataran sosiologi,
agama dipahami sebagai perilaku yang konkret.[25]
3. Konstruksi Teori Penelitian
Keagamaan
Rekonstruksi adalah cara membuat (menyusun)
bangunan-bangunan (jembatan dan sebagainya); dan dapat pula berarti susunan dan
hubungan kata di kalimat atau kelimpok kata.[26] Teori berarti pendapat yang dikemukakan
sebagai suatu keterangan mengenai suatu peristiwa (kejadian); dan berarti pula
asas-asas dan hukum-hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu
pengetahuan. Teori dapat berarti pendapat, cara-cara, dan aturan-aturan untuk
melakukan sesuatu.[27]
Mukti Ali, menyatakan bahwa Syekh Mahmoud Syaltout
membagi Islam terdiri dari dua elemen, yaitu aqidah dan syariat. Kemudian cara
atau metode mendekatainya adalah filosofis dan doktriner.
Sebenarnya metodologi yang digunakan Syekh Mahmoud Syaltout sudah berbeda
dengan metode yang digunakan ulama-ulama sebelumnya, yang menyatakan bahwa
Islam terdiri dari aqidah dan muamalah, kemudian muamalah dibagi
dua yaitu muamalah yang berhubungan dengan Tuhan dan muamalah yang berhubungan
dengan manusia dan pendekatan yang digunakan adalah doktriner.
Fazlur Rahman, menyatakan bahwa pokok ajaran Islam ada 3
(tiga), yaitu: (1) percaya kepada keesaan Tuhan, (2) pembentukan masyarakat
yang adil, (3) kepercayaan hidup setelah mati. Menurut Fazlur Rahman, cara mempelajari
ketiga hal tersebut dengan cara mempelajari al-Qur’an. Cara mempelajari
al-Qur’an harus disertai dengan mempelajari konteks sejarahnya, yaitu dalam
suasana dan situasi apa ayat al-Qur’an itu diturunkan. Begitu juga dalam
mempelajari Hadis sangat hati-hati dan hanya Hadis yang benar (Hadis sahih)
yang dipergunakan. Fazlur Rahman menggunakan dua metode yaitu: (1) Historiko
critical method [metode kritik sejarah], merupakan sebuah pendekatan
kesejarahan yang pada prinsipnya bertujuan menemukan fakta-fakta objektif
secara utuh dan mencari nilai-nilai [values] tertentu yang terkandung di
dalamnya. (2) Hermeneutic method, metode yang digunakan untuk memahami
dan menafsirkan teks-teks kuno seperti kitab sucim sejarah, hokum dan juga
dalam bidang filsafat. Metode ini digunakan untuk melakukan interpretasi
terhadap teks kitab suci dan penafsiran terhadap teks-teks sejarah yang
menggunakan bahasa yang rumit.
Menurut Fazlur Rahman, bahwa kedua metode tersebut merupakan dua buah
metode yang berkaitan erat. Metode “critical history” berfungsi sebagai
upaya dekonstruksi metodologi, sedangkan hermeneutic difungsikan
sebagai upaya rekonstruksinya. Sehubungan dengan ini, Fazlur Rahman
membuat kategori Islam menjadi dua, yaitu Islam Normatif dan Islam
Historis [Hujair AH. Sanaky, 1998: 5].
Ali Syari’ati, menyetakan dalam mempelajari dan meneliti Islam, ada 2
[dua] metode yang fundamental untuk memahami Islam secara tepat. Pertama,
adalah mempelajari al-Qur’an yang merupakan himpunan ide dan output ilmiah dan
linier. Kedua, adalah mempelajari sejarah Islam, yaitu mempelajari
secara menyeluruh perkembangan Islam sejak permulaan misi Nabi Muhammad Saw,
sampai sekarang, atau dalam klasifikasi Harun Nasution adalah periode klasik,
periode pertengahan, dan periode modern.
Melihat perkembangan metodologi tersebut, maka orang
dapat memahami bahwa sekalipun pendekatan mereka berbeda, namun dapat diambil
keseimpulan bahwa elemen-elemen yang harus diketahui dalam Islam adalah: (1)
Tuhan , (2) alam, dan (3) manusia. Maka Tuhan (teologi), alam (kosmologi)
dan manusia (antropologi)
sebagai tiga masalah pokok yang dibahas oleh Islam dan juga oleh agama-agama
lain.[28]
Dewasa ini, tiga masalah besar itu masih mengejar-ngejar
pemikiran manusia modern. Di antara mereka tidak sedikit yang mengikuti
pemikiran-pemikiran saintis dan mengambil sains sebagai jawabannya. Orang-orang
yang “progresif” berpendapat bahwa mempelajari tiga soal tersebut berarti
“spikulasi metafisis”, sedangkan orang-orang yang “paling progresif” melihat
bahwa tiga persoalan tersebut hanya dapat dijawab dengan pendekatan agama, dan
inilah menurut Mukti Ali merupakan metodologi keempat.[29]
Metode lain untuk mempelajari Islam adalah tipologi,
karena metode ini oleh banyak para ahli sosiologi menganggap lebih objektif
karena berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan topikinya, kemudian
dibandingkan dengan topik dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Maka
pendekatan ini digunakan sarjana Barat untuk memahami ilmu-ilmu manusia. Dengan
demikian, metode ini dapat digunakan untuk memahami agama, maka ada orang yang berusaha memahami ajaran Islam
dengan pendekatan membahas: (1) Tuhan dan kemudian dibandingkan
dengan tuhan-tuhan di lain agama. (2) Ada yang memahami dan mempelajari
kitab suci al-Qur’an dan dibandingkan dengan kitab-kitab yang
diwahyukan atau dianggap diwahyukan. (3) Ada juga cara untuk memahami Islam
dengan mempelajari diri pribadi Nabi Muhammad dan dibandingkan
dengan nabi-nabi agama lain. (4) Kedaan sekitar pada waktu munculnya Nabi dari
tiap-tiap agama dan kondisi orang-orang yang dida’wahi. (5) Ada juga yang
mempelajari pemikiran orang dan membandingkan antara satu dengan yang
lain, dan lain-lain.
Penelitian keagamaan merupakan penelitian yang objek
kajiannya adalah agama sebagai produk interaksi sosial atau perilaku (behavior)
atau amaliah manusia. Oleh karena itu metode-metode yang digunakan adalah
metode-metode penelitian sosial pada umumnya dan juga psikologi.
Berkenaan dengan hal itu, maka kita pun tidak perlu
menyusun teori penelitian tersendiri, tetapi cukup meminjam dan atau
menggunakan teori ilmu-ilmu sosial yang sudah ada dan telah diuji. Beberapa
teori yang dapat digunakan adalah :
(1) teori perubahan sosial,
(2) teori
struktural-fungsional,
(3) teori antropologi dan
sosiologi agama,
(4) teori budaya dan tafsir
budaya simbolik,
(5) teori pertukaran sosial,
dan
(6) teori sikap (psikologi).
Menurut Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, bahwa seorang
peneliti Ummu Salamah dalam meneliti “Tradisi
Tarekat dan Dampak Konsistensi Aktualisasinya terhadap Perilaku Sosial Penganut
Tarekat (Studi Kasus Tarekat Tijaniyah di Kabupaten Garut, Jawa Barat: dalam
Perspektif Perubahan Sosial)”, menggunakan teori-teori sosial yang
disebutkan di atas.
Dengan demikian, penelitian di atas meminjam teori-teori
yang dibangun dalam ilmu-ilmu sosial. Ia disebut penelitian keagamaan [religius
research] dalam pandangan Midletton atau penelitian hidup agama
dalam pandangan Juhaya S. Praja, karena objeknya adalah “perilaku Tarekat
Tijaniah”.
4. Model-model Penelitian Keagamaan
Model penelitian disesuaikan dengan perbedaan antara
penelitian agama dan penelitian hidup keagamaan. Djamari, menjelaskan bahwa
kajian sosiologi agama menggunakan metode ilmiah. Pengumpulan data dan metode
yang digunakan, antara lain dengan data sejarah, analisis komparatif lintas
budaya, eksperimen yang terkontrol, observasi, survai, dan analisis isi. Dari penjelasan mengenai metode sosiologi
dalam kajian agama, yang secara tidak langsung memperlihatkan model-model
penelitian agama melalui pendekatan sosiologi.
a. Analisis Sejarah
Sosiologi tidak memusatkan
perhatiannya pada bentuk peradaban pada tahap permulaan pada waktu tertentu (etnografi), tetapi menerangkan realitas
masa kini, realitas yang berhubungan erat dengan kita, yang mempengaruhi
gagasan dan perilaku kita. Supaya kita mengerti persoalan manusia sekarang,
kita harus mempelajari sejarah masa silam. Dalam hal ini, sejarah hanya sebagai
metode analisis atas dasar pemikiran bahwa sejarah dapat menyajikan gambaran
tentang unsure-unsur yang mendukung timbulnya suatu lembaga, suatu peristiwa
dan lain-lain. Pendekatan sejarah bertujuan untuk menemukan inti karakter agama
dengan meneliti sumber klasik sebelum dicampuri yang lain. Dalam menggunakan
data histories, sejarawan cenderung menyajikan detail dari situasi sejarah dan
eksplanasi tentang sebab akibat dari suatu kejadian. Sedangkan sosiologi lebih
tertarik pada persoalan apakah situasi social tertentu diikuti oleh situasi
social yang lain. Sosiologi mencari pola hubungan antara kejadian social dan
karakteristik agama.
Beberapa pakar atau peneliti yang
telah menggunakan analisis histories, adalah (1) Talcott Parson dan Bellah
ketika ia menjelaskan evolusi agama, (2) Berger,
dalam uraiannya tentang memudarnya agama dalam masyarakat modern, (3) Max Webwr, ketika ia menjelaskan
sumbangan teologi Protestan terhadap lahirnya kapitalisme.
2. Analisis Lintas Budaya
Dengan membandingkan pola-pola
keagamaan di beberapa daerah kebudayaan, sosiologi dapat memperoleh gambaran
tentang korelasi unsure budaya tertentu atau kondisi social cultural secara
umum. Weber, mencoba membuktikan
teorinya tentang relasi antara etika Protestan dengan kebangkitan kapitalisme
melalui kajian agama dan ekonomi di India dan Cona.
3. Eksperimen
Penelitian yang
menggunakan eksperimen agak sulit dilakukan dalam penelitian agama. Namun dalam
beberapa hal, eksperimen dapat dilakukan dalam penelitian agama, misalnya untuk
mengevaluasi perbedaan hasil belajar dari beberapa model pendidikan agama.
Darley dan Batson, melakukan eksperimen di sekolah seminari, dengan mengukur “pengaruh
cerita-cerita dalam Injil terhadap perilaku siswa”.
4.
Observasi
Partisipatif
Dengan
partisipasi dalam kelompok, peneliti dapat mengobservasi perilaku orang-orang
dalam konteks religius. Orang yang diobservasi boleh mengetahui bahwa dirinya
sedang diobservasi atau secara diam-diam. Di antara kelebihan penelitian ini
adalah memungkinkannya pengamatan simbolik antar anggota kelompok secara
mendalam. Adapun salah satu kelemahannya adalah terbatasnya data pada kemampuan
observer.
5.
Riset Survei
Penelitian
survei dilakukan dengan penyusunan kuesioner, interview dengan sample dari
suatu populasi. Sampel dapat berupa organisasi keagamaan atau penduduk
suatu kota atau desa. Prosedur penelitian ini dinilai sangat berguna untuk
memperlihatkan korelasi dari karakteristik keagamaan tertentu dengan sikap
social atau atribut keagamaan tertentu.
6.
Analisis isi
Dengan metode ini, peneliti mencoba mencari
keterangan dari tema-tema agama, baik berupa tulisan, buku-buku khotbah,
doktrin maupun deklarasi teks, dan yang lainnya. Umpamanya sikap kelompok
keagamaan dianalisis dari substansi ajaran kelompok tersebut.[30].
7. Grounded Research.
Titik berat peneltian grounded research adalah pada pendekatan
yang bersifat kualitatif. Pada
penelitian ini data dikumpulkan dengan menggunakan wawancara bebas di mana para
peneliti tidak memulai penelitiannya dengan teori atau hipotesis yang akan
diuji, melainkan bertolak dari data yang dikumpulkan.
Berkenaan dengan penelitian ini Glaser dan Strauss (1967)
mengatakan bahwa grounded merupakan reaksi yang tajam dan sekaligus
menyajikan jalan keluar dari stagnan teori dalam ilmu-ilmu sosoal, dengan
menitikberatkan pada sosiologi.
Bahan Bacaan:
A.Mukti Ali, 1991, Metode Memahami
Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, 2001,
Metodologi Studi Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Atho Mudzhar, 1989, Pendekatan
Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Fazlur Rahman, 1985, Islam
dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, Pustaka, Bandung.
Matutulada, Studi
Ilam Kontemporer (Sintesis Pendekatan Sejarah, Sosiologi dan Antropologi dalam
Mengkaji Fenomena Keagamaan), dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim,1989,
(editor), Metodologi Penelitian Agama, Sebuah Pengantar, Tiara Wacana,
Yogyakarta.
Djamari, 1993, Agama
dalam Perspektif Sosiologi, Alfabeta, Bandung.
Juhaya S. Praja, 1997, Pengantar
Filsafat Ilmu: Filsafat Ilmu-ilmu Islam, Program Pascasarjana IAIN Sunan
Gunung Djati, Bandung.
Suroso Wirodihardja,
1964, Pokok-Pokok Ilmu Tata Negara, PT. Pembangunan, Jakarta,
[1] Matutulada,
Studi Ilam Kontemporer (Sintesis Pendekatan Sejarah, Sosiologi dan
Antropologi dalam Mengkaji Fenomena Keagamaan), dalam Taufik Abdullah dan M.
Rusli Karim (editor), Metodologi Penelitian Agama, Sebuah Pengantar,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hlm. 3.
UII, 1977), hlm. 2.
[5] Ahmad
Syafi’i dalam Afandi Mochtar (ed), 1996, hlm. 33.
[6] Moh. Nazir, dalam Atang Abd. Hakim dan Jaih
Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001),
hlm. 56.
[8] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi
Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 56.
[9] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam
Teori dan Praktek, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1989), hlm. 11
[10] Afandi
Moctar (ed), 1996, hlm. 34
[11] Harun Nasution, dalam Tatang Abd Hakim, dk.,
hlm. 56-57.
[14] Ahmad Syafi’I
dalam Atang Abd Hakim, dk., hlm. 57.
[18] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan
Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1989), hlm. 35.
[22] Juhaya S. Praja,
Pengantar Filsafat Ilmu: Filsafat Ilmu-ilmu Islam, Bandung: Program
Pascasarjana IAIN Sunan Gunung Djati, 1997), hlm. 32.
[23] Ahmad Syafi’I
Mufid dalam Affandi Mochtar (ed), 1996, hlm. 35.
[25] Juhaya S. Praja,
hlm. 55.
[26] W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,cet. XII, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1991), hlm. 520.
[28] A.Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 24-25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar