Sabtu, 19 Agustus 2017

MATERI KULIAH ISU-ISU PENDIDIKAN ISLAM: GAGASAN PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME




MAKALAH  REVISI1

GAGASAN PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME  SEBAGAI UPAYA 
MENUJU MASYARAKAT MADANI INDONESIA

Oleh : Hujair Sanaky



A.  Pendahuluan
Kenyataan yang tak dapat ditolak bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia terdiri dari berbagai keragaman sosial, kelompok etnis, budaya, agama, aspirasi politik dan lain-lain, sehingga “masyarakat dan bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultural". Tentu saja, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia"  atau “budaya bangsa” yang dapat menjadi "integrating force" yang dapat mengikat seluruh keragaman etnis, sukubangsa dan budaya tersebut”2 sebagai upaya menuju masyarakat madani Indonesia. 
Kesadaran tentang multikulturalisme sudah muncul sejak negara Republik Indonesia terbentuk dan digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk ”mendesain kebudayaan bangsa Indonesia. Tetapi, bagi bangsa Indonesia masa kini konsep multikulturalisme menjadi sebuah konsep baru dan asing”3,  karena kesadaran konsep multikulturalisme yang dibentuk oleh pendidiri bangsa ini tidak terwujud  pada masa Orde Baru.  Kesadaran tersebut dipendam atas nama  persatuan dan stabilitas negara yang kemudian muncul paham mono-kulturalisme yang menjadi tekanan utama dan akhirnya semuanya memaksakan pola yang berkarakteristik  ”penyeragaman” berbagai aspek, sistem sosial, politik dan budaya, sehingga sampai saat ini wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. 
Perbedadaan budaya, agama, aspirasi politik, kepentingan,  visi dan misi, keyakinan dan tradisi merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal yang kadang-kadang juga menjadi perbedaan perilaku dalam memahami sesuatu. Dari sini,  dapat dikatakan bahwa berbagai kekisruan etnis yang merebak dibanyak tempat di wilayah Negara Kesatauan Republik Indonesia, merupakan bagian dari krisis multi dimensi yang dihadapi negara dan bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 pada masa akhirnya rezim Orde Baru merupakan akibat dari rendahnya kesadaran dan wawasan multikulturalime. 
”Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.  Ulasan mengenai multikulturalisme akan  membahas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas”4.
 Hal yang menjadi perhatian adalah upaya untuk membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat terwujud apabila konsep multikultural menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya.  Kesamaan pemahaman diantara para ahli mengenai multikultural dan bangunan konsep-konsep yang mendukungnya, dan  upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini5.  Untuk itu, perlu mengkaji konsep multikultural, karena konsep multikultural tidaklah disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa, tetapi  konsep multikultural menekankan kesederajatan dalam keanekaragaman kebudayaan.

B. Konsep Multikulturalisme
Sebagaimana dikemukakan di awal, suatu kenyataan yang tidak dapat dimungkari bahwa masyarakat dan negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai keragaman yaitu sejumlah besar kelompok etnis, budaya, agama, aspirasi politik dan lain-lain, sehingga “masyarakat dan negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultural". Tetapi konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep ”keanekaragaman” secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. 
Konsep multikulturalisme mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi, politik, demokrasi, keadilan, penegakan hukum, kesempatan kerja dan usaha, hak asasi manusia, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, tingkat serta mutu produktivitas serta berbagai konsep lainnya yang lebih relevan6.  Konsep ini senada dengan apa yang dikemukakan Bloom7, bahwa multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Artinya, meliputi sebuah penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri8.
Spradely [1997], ”menitikberatkan multikultural pada proses transaksi pengetahuan dan pengalaman yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk menginterpretasikan pandangan dunia mereka yang berbeda untuk menuju kearah kebutuhan kultur.  Kata multikultural menjadi pengertian yang sangat luas [multi-discursive], tergantung dari konteks pendefinisian dan manfaat apa yang diharapkan dari pendefinisian tersebut. Yang jelas dalam kebudayaan multikultural setiap individu mempunyai kemampuan berinteraksi, meskipun latar belakang kultur masing-masing berbeda, karena sifat manusia antara lain, adalah [1] akomodatif, [2] asosiatif, [3] adaptabel, [4] fleksibel, dan [5] kemauan untuk saling berbagi”9.  Inilah menunjukan keragaman kultur mengandung unsur jamak atau keragaman yang sarat dengan nilai-nilai kearifan.
Dalam kontek membangun tatanan masyarakat dan tatanan sosial yang kokoh, ”nilai-nilai kearifan” yang dalam hal ini ”kearifan sosial” dan ”kearifan budaya” dapat dijadikan sebagai tali pengikat dalam upaya bersosialisasi dan berinteraksi antar individu dengan individu, individu dengan kelompok  dan kelompok dengan kelompok.  Dengan nilai ”kearifan sosial” dan ”kearifan budaya”, akan berusaha mengeliminir berbagai perselihan dan konflik budaya yang kurang kondusif.  Tatanan kehidupan sosial masyarakat yang multikultural akan terwujud dalam perilaku yang saling menghormati, menghargai perbedaan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan dan menjaga satu dengan lainnya dalam prinsip-prinsip perbedaan tersebut.  Untuk itu, harus berusaha untuk mengeliminir atau menghilangkan hal yang selalu menjadi emberio atau mendasari terjadinya konflik, yaitu ”[1] prasangka historis, [2] diskriminasi, dan [3] perasaan superioritas in-group feeling yang berlebihan dengan menganggap inferior pihak yang lain [out-group]”10.
Apabila ketiga hal tersebut  tidak mampu dieliminir oleh individu maupu  kelompok, maka konflik dan benturan antar individu atau kelompok yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan, keinginan, visi, keyakinan dan tradisi, politik, idologi, agama akan menjadi sesuatu legal dan lumrah dalam interaksi sosial, karena   keringnya nilai-nilai kemanusiaan [humanis], keringnya niai-nilai ”kearifan sosial”,  keringnya nilai-nilai ”kearifan budaya” dan keringnya nilai-nilai ”kearifan moral” dalam relasi antar sesama manusia baik secara  individu maupun kelompok.  Jadi pada tahap ini, komitmen pada nilai-nilai tersebut tidak dapat dipandang hanya ”berkaitan dengan eksklusivisne personal dan sosial saja atau dengan superioritas kultural saja, tetapi lebih jauh lagi dengan persoalan kemanusiaan [humanness], komitmen dan kohesi kemanusiaan termasuk di dalamnya melalui toleransi, saling menghormati hak-hak personal dan komunal11.   Ketika manusia berhadapan dengan simbol-simbol, nilai-nilai, doktrin-doktrin, prinsip-prinsip dan pola tingkah laku, sesungguhnya mengungkapkan dan sekaligus mengidealisasikan komitmen kepada kemanusiaan – baik personal mapun komunal – dan kebudayaan yang dihasilkannya.  Multikulturalisme dapat pula dipahami sebagai ”kepercayaan” kepada normalitas dan penerimaan keragaman.  Konsep multikulturaliems  seperti ini dapat dipandang sebagai titik tolak dan fondasi bagi kewarganegaraan yang berkeadaban12 dan sebagai wujud masyarakat madani. 
Konsep  “multikulturalisme” yang diartikan para ahli sangat beragam antara satu dengan yang lainnya. Walaupun ada perbedaan, tapi pandangan mereka tentang “multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan terhadap dunia yang kemudian  diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap “realitas keragaman”, “pluralitas” dan “multikultural” yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme  dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam “politics of recognition”.  Parekh, 1997:183-185, dalam Azyumardi13, membedakan lima macam bentuk multikulturalisme dan tentu saja  kelima bentuk multikulturalisme itu tidak “kedap air” [watertight], tetapi sebaliknya dapat saja tumpang tindih satu dengan lainnya dalam segi-segi tertentu, yaitu : 
Pertama, “multikulturalisme isolasionis” yang mengacu kepada masyarakat di mana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain. Contoh kelompok ini, seperti masyarakat yang ada pada sistem “millet” di Turki Usmani atau masyarakat ”Amish” di AS.  Kelompok ini menerima keragaman, tetapi pada saat yang sama berusaha mempertahankan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat lain umumnya. 
Kedua, “multikulturalisme akomodatif”,  masyarakat plural yang memiliki kultur dominan, membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum dan ketentuan-ketentuan  sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka, sebaliknya kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Model ”multikulturalisme akomodatif” ini dapat ditemukan di Inggris, Prancis, dan beberapa negara Eropa lain.
Ketiga, “multikulturalisme otonomis”,  masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan [equality] dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif dapat diterima. Concern pokok kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok kultural dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat di mana semua kelompok dapat eksis sebagai mitra sejajar. Jenis multikulturalisme didukung misalnya oleh kelompok Quebecois di Kanada, dan kelompok-kelompok Muslim imigran di Eropa, yang menuntut untuk dapat menerapkan syari`ah, mendidik anak-anak mereka pada sekolah Islam, dan sebagainya. 
Keempat, “multikulturalisme kritikal” atau “interaktif”,  masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu concern dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka. Kelompok budaya dominan tentu saja cenderung menolak tuntutan ini, dan bahkan berusaha secara paksa untuk menerapkan budaya dominan mereka dengan mengorbankan budaya kelompok-kelompok minoritas. Itulah kelompok-kelompok minoritas menantang kelompok kultur dominan, baik secara intelektual maupun politis, dengan tujuan menciptakan iklim yang kondusif bagi penciptaan secara bersama-sama sebuah kultur kolektif baru yang egaliter secara genuine. Jenis multikulturalisme, sebagai contoh, diperjuangkan masyarakat Hitam di Amerika Serikat, Inggris dan lain-lain.
Kelima, “multikulturalisme kosmopolitan”, berusaha menghapuskan ”batas-batas kultural” sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu dan sebaliknya, secara bebas terlibat dalam eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. Para pendukung multikulturalisme jenis ini yang sebagian besar adalah intelektual diasporik dan kelompok-kelompok liberal yang memiliki kecenderungan postmodernist dan memandang seluruh budaya sebagai resources yang dapat mereka pilih dan ambil secara bebas.
Mengacu pada pandangan dan konsep yang dikemukakan di atas,  konsep multikulturalisme mempunyai relevansi makna dan fungsi yang tepat. Konsep multikulturalisme menjadi penting untuk dikembangkan dan diinternalisasikan dalam proses transformasi nilai-nilai masyarakat dan bangsa yang beragam ini. Sebab prinsip-prinsip dasar multikulturalisme mengakui dan menghargai keberagaman kelompok masyarakat seperti etnis, ras, budaya, gender, strata sosial, agama, perbedaan kepentingan, keinginan, visi, keyakinan dan tradisi yang akan sangat membantu bagi terwujudnya perubahan format perilaku sosial yang kondusif dan sangat menjanjikan ditengah kehidupan masyarakat dan bangsa yang majemuk. Sarana terbaik dan strategis yang digunakan untuk membangun dan mensosialisasikan konsep multikulturalisme   agar melahirkan perilaku sosial kondusif,  ”kearifan sosial”,  ”kearifan budaya” dan “kearifan moral” atau akhlak adalah melalui “pendidikan multikulturalisme”.
Program pendidikan bagaimanakah yang relevan dengan kehidupan masyarakat dan bangsa dengan corak masyakarat majemuk ini dengan berbagai etnis, sukubanga dan agama yang ada di dalamnya. Sebab masing-masing etnis, sukubangsa dan agama tadi membawa kultur sendiri-sendiri dan keragaman  ini tentu menjadikan  masyarakat dan bangsa Indonesia adalah masyarakat multikultural. Pengakuan akan keragamaan etnis, suku dan budaya penting ditumbuhkan pada peserta didik, karena para pendiri bangsa ini sesungguhnya telah menempatkan ideologi multikultural sebagai dasar kehidupan bernegara dan berkebangsaan yaitu ”Bhineka Tunggal Ika.  Dalam ideologi multikultural perbedaan dalam kesederajatan tentu diakui dan diagungkan, baik secara individual atau kelompok maupun secara kebudayaan. Sayangnya, penghargaan terhadap perbedaan dalam kesederajatan  ini nyaris tidak pernah ditumbuhkembangkan terutama selama lebih dari 32 tahun masa pemerintahan Orde Baru. Selama kurun waktu itu, konsep pendidikan selalu seragam dan selalu merupakan upaya atau  berkarakteristik  penyeragaman budaya, tanpa memperhatikan budaya masing-masing daerah yang ada.

C.   Gagasan Pendidikan Multikulturalisme

Pendidikan merupakan sistem dan cara meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan manusia.  Dalam sejarah umat manusia14, hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya, sekalipun dalam masyarakat yang masih terbelakang [primitif]. Pendidikan sebagai usaha sadar yang dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa datang.  Jadi, pendidikan yang dilakukan suatu bangsa tentu memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan rekayasa bangsa. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia, bahkan M. Natsir menegaskan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan maju mundurnya kehidupan masyarakat tersebut15. 
Sistem pendidikan nasional lebih bercerikan ”keseragaman”  berlandaskan pada budaya nasional, berdiri di atas puncak-puncak kebudayaan daerah. Pendidikan diselenggarakan dengan aturan dalam konteks mayoritas yang bersaing dan berhadap dengan minoritas dan dikelola oleh pemerintah untuk meluaskan atau mempersempit hal-hal yang substansi atau penting yang menyangkut dengan lingkup dan alokasi kewenangan. ”Seiring dengan proses desentralisasi pendidikan yang dalam melibatkan peran serta masyarakat mengisyaratkan pengakuan terhadap manusia Indonesia dan masyarakat setempat [konsep otonomi daerah]. Ini berarti Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional ditinjau dari persepektif filosofis harus beranjak dari suatu paradigma baru pendidikan menuju pada pengakuan terhadap aspirasi masyarakat dan individu. Dengan sendirinya, paradigma baru dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional harus mengacu pada pendidikan multikultural   yaitu adanya kebudayaan beragam dalam suatu masyarakat yang tetap merupakan kesatuan”16Bhineka Tunggal Ika”.  Demikian kebutuhan pembelajaran individu berada dalam perbedaan realitas sosio-historis, sosio-ekonomis, suku-bangsa, sosio-psikologis. Artinya akan dihadirkan populasi sasaran beragam dalam konteks sistem pendidikan dan persekolahan17. 
Tanpaknya sistem pendidikan kita masih harus dikelola dengan baik, konsisten, kuat secara nasional yang berdasar pada konsep keragaman atau kebhinnekaan atau multikultural. Sementara sampai sekarang,  sistem pendidikan nasional kita tetap hanya bercerikan ”keseragaman”  yang berlandaskan pada budaya nasional dan bukan berfokus pada konsep pendidikan multikultural. Sementara  realitas Indonesia yang multikultural dengan berbagai masalah dalam era reformasi, terlihat adanya kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali “pendidikan nasional Indonesia” yang dapat mejadi “integrating force”  yang memproses, menghidupkan dan mengikat seluruh keragaman etnis, sukubangsa, agama dan budaya dalam prinsip Indonesia sebagai negara “bhinneka tunggal ika”.  
Pendidikan merupakan lapangan yang sentral dalam upaya menerjemahkan gagasan multikullturalisme yang menjadi kenyataan dalam perilaku kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia.  Pada posisi ini, pendidikan multikultur memegang peranan kunci, sebab pendidikan merupakan lapangan sentral dalam upaya menerjemahkan dan mensosialisasikan gagasan multikullturalisme, sehingga menjadi kenyataan dalam perilaku. Tetapi ”perlu diketahui, bahwa gagasan pendekatan multikultur relatif baru  dianggap sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang akan dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional”18. 
 ”Kebutuhan dan urgensi pendidikan multikultural demokratis setidaknya dalam tiga dasawarsa terakhir dirasakan semakin mendesak bagi negara-negara multikultural lainnya”19, termasuk Indonesia.  Bagi Indonesia, hal ini semakin dirasakan terutama pada masa reformasi, otonomi dan desentralisasi yang sekarang ini sedang dijalankan, dan juga diiringi dengan berbagai konflik yang terjadi di negera ini.  Kemungkinan saja, menurut hemat penulis tanpa pendekatan multikultur, disintegrasi bangsa yang semula dianggap ancaman mungkin akan menjadi kenyataan dan konflik yang terjadi tak terselesaikan dengan baik. Untuk itu, pendekatan multikultural sangat cocok dan sejalan dengan pengembangan demokrasi yang mulai dijalankan dan juga untuk dapat mengelimir konflik yang sering terjadi. 
Pendidikan multikultural merupakan fenomena yang relatif baru di dalam dunia pendidikan. Sebelum Perang Dunia II boleh dikatakan pendidikan multikultural belum dikenal. Malah pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan yang memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok tertentu. Dengan kata lain pendidikan multikulturak merupakan gejala baru di dalam pergaulan umat manusia yang mendambakan persamaan hak, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama untuk semua orang, ”Education for All”20. Merupakan kenyataan yang tak dapat ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultural". Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi "integrating force" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut21.  
Kesadaran tentang multikultur, sudah muncul sejak negara Republik Indonesia terbentuk. Tetapi konsep ini tidak terwujud pada masa Orde Baru. Kesadaran tersebut dipendam atas nama kesatuan, persatuan dan stabilitas negara kesatuan. Kemudian muncul paham mono-kulturalisme yang menjadi tekanan utama. Alhasil, dapat dikatakan sampai saat ini, bahwa wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah.  Rendahnya wawasan multikulturalisme, menyebabkan berbagai kekisruan etnis yang merebak dibanyak tempat di wilayah Negara Kesatauan Republik Indonesia yang merupakan bagian dari krisis multi dimensi yang dihadapi negara dan bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997.  Konflik dan benturan antar kelompok yang memeliki perbedaan kepentingan, visi, keyakinan dan tradisi, seolah-oleh telah menjadi sesuatu lugel dan lumrah di era reformasi ini. 
Pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya.  Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks.  Di beberapa negara,  reperti di Amerika Serikat, revisi sistem pembelajaran merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam meruapakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisi pendidikan di negera itu.  Jepang aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jerpang pada perang dunia II di Asia.   Di Indonesia masih diperlukan usaha  panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latarbelakang dalam pembentukan mulikultural Indonesia. Untuk Indonesia juga memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi "dendam sejarah" di berbagai wilayah22.
Dengan kenyataan ini, maka dapat dikatakan bahwa model pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Katakan saja, contoh, affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model "sekolah pembauran" Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat bersamaan dengan masuknya wacana multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakt luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok. Maka  untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: [1] transformasi diri, [2] transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan [3] transformasi masyarakat23.
Untuk menyusun konsep pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antara kelompok, etnis, sukubangsa dan agama bukan mengandung dan merupakan tantangan yang tidak ringan.  “Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan keragaman"  dan “kebersamaan” belaka. Apalagi  tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi yang bersifat rasis dan etnis. Dapat dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut?24  Contoh lain yang dapat disaksikan sekarang ini yaitu di Poso, kehidupan anak-anak sehari-harinya dihadapkan pada sistuasi konflik etnis dan agama [SARA] yang berkepanjangan. Kondisi demikian, “pendidikan multikultural” lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.
Dengan dasar ini, ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural yang perlu diantisipasi, yaitu :   Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan [education] dengan persekolahan [schooling] atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Tetapi pendidikan sebagai “transmisi kebudayaan” yang dapat membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka25. Tapi justru tanggungjawab tersebut juga menjadi tanggungjawab pihak lain yang terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah. Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan  dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secra tradisional para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.  Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.   Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Pertanyaannya, kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi? Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan [baik dalam maupun luar sekolah] meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik26.
Dalam konteks ke-Indonesia-an dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Sebab masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu.  Maka  untuk penumbuhan dan pengembangan “social and cultural capital” melalui pendidikan,  pendidikan kewargaan [civic education] menjadi sebuah keharusan.  Keadaban dan demokrasi, sekali lagi, tak bisa dicapai secara trial and error atau diperlakukan secara taken for granted; sebaliknya justru harus diprogramkan secara konseptual dan komprehensif pada setiap jenjang pendidikan, dan pada setiap lembaga pendidikan, baik formal, non-formal, maupun informal. Melalui Civic Education dapat ditumbuhkan tidak hanya pemahaman lebih benar tentang demokrasi, HAM, pluralitas, dan respek dan toleransi di antara berbagai komunitas, tetapi juga pengalaman berdemokrasi keadaban27 dan multikultur.  Maka dengan  pendidikan ”multikulturalisme” diharapkan dapat mendukung pengembangan demokratis yang mulai tumbuh  di tengah masyarakat Indonesia yang multi etnis, sukubangsa, budaya, agama untuk menuju masyarakat madani Indonesia atau Indonesia baru yang dicita-citakan. 

D.   Masyarakat Madani Indonesia
Istilah masyarakat madani sering diartikan sebagai terjemahan dari civil society.  Istilah civil society  terjemahan dari istilah Latin, civilis societas, yang mula-mula dipakai oleh Cocero [106-43 S.M, seorang orator   dan pujangga Roma], pengertiannya mengacu kepada gejala budaya perorangan dan masyarakat. Oleh karenanya, masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik [political society] yang memiliki kode hukum28 sebagai dasar pengaturan hidup29.  Filsuf Muslim abad pertengahan al-Farabi, menyebutkan masyarakat dengan ciri-ciri itu sebagai al-Madinah al-fadhilah  [Masyarakat Utama]30.
Nurcholis Madjid mengacu pada konsep ”negara kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad saw pada 622 M31, yaitu ”masyarakat yang berperadaban [ber-”madaniyyah”] karena tunduk dan patuh [dana-yadinu]  kepada ajaran kepatuhan [din] yang dinyatakan dalam supermasi hukum dan peraturan. Oleh karenanya, masyarakat madani merupakan reformasi total terhadap masyarakat tak kenal hukum [lawless] Arab Jahiliyah”32 yang dapat melahirkan masyarakat yang berperadaban, sehingga ”masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamaddun [masyarakat berperadaban]”33.  Apabila konsep masyarakat ini, dikaitkan dengan konsep al-Qur’an surah Ali ’Imran ayat 110 terdapat konsep ”kuntum khaira ummah”34adalah umat terbaik. Jadi masyarakat terbaik yang digambarkan al-Qur’an tersebut adalah ”masyarakat yang berproses menuju dan memiliki kecenderungan pada nilai-nilai keutamaan [khayr] yang landasannya pada iman tauhid35,  dengan mewujudkan dan melaksanakan  ma’ruf  dan mencegah atau melarang yang munkar.   
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah suatu komunitas masyarakat ”terbaik” yang memiliki ”kemandirian aktivitas warga masyarakatnya” yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama, dengan mewujudkan dan memberlakukan nilai-nilai keadilan, kesetaraan [persamaan], penegakan hukum, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan [pluralisme], dan perlindungan terhadap kaum minoritas. Jadi, masyarakat madani adalah “masyarakat mandiri dan bertanggung jawab, masyarakat yang berkembang dari rakyat dan untuk rakyat itu sendiri”36, masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya dan hidup dalam demokrasi37 dengan berbagai perbedaan kelompok etnis, ras, suku bangsa, budaya, agama dan lain-lain  sebagai wujud masyarakat multikulralisme.  
Sedangkan, masalah ”pluralisme” adalah sebagai suatu unsur yang sangat asasi dalam masyarakat madani sebagaimana diletakkan dasar-dasarnya oleh Nabi. Menurut Nurcholis Madjid, bahwa untuk menghadapi masa depan bangsa kita, khazanah wawasan kenegaraan dan kemasyarakatan Madinah baik sekali dijadikan rujukan dan teladan. Menurutnya, hal ini dirasakan amat mendesak bagi masyarakat kita, mengingat akhir-akhir ini banyak tersingkap perilaku yang menunjukkan tiadanya kesejatian dan ketulusan dalam mewujudkan nilai-nilai madani ..., sebab masyarakat kita masih menunjukkan pemahaman yang dangkal dan kurang sejati terhadap pluralisme dan dalam masyarakat ada tanda-tanda bahwa orang memahami pluralisme hanya sepintas lalu saja, tanpa makna yang lebih mendalam dan tidak berakar dalam ajaran kebenaran38.
Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa upaya membangun untuk menuju masyarakat madani Indonesia bukan persoalan dan perkerjaan yang mudah. Bukan seperti ”membalik telapak tangan”, sebab hal ini sangat terkaiat dengan persoalan komitmen, budaya, politik, hukum, ekonomi, pendidikan serta sikap dan persoalan hidup masyarakat Indonesia yang lain.  Tentu saja, diperlukan berbagai terobosan dalam penyusunan konsep serta tindakan-tindakan, ”dengan kata lain diperlukan suatu paradigma-paradigma39 baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru. Apabila tantangan-tantangan tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, tentu saja segala usaha yang akan dijalankan memenuhi kegagalan”40.  Dengan demikian, untuk menjawab tentangan tersebut, tanpaknya sektor pendidikan memiliki peran yang strategis dan fungsional untuk mewujudkan konsep tersebut,  sebab pendidikan senantiasa berusaha untuk menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul di kalangan masyarakat sebagai konsekuensi dari suatu perubahan.  Mungkin saja, kita akan bertanya model atau konsep pendidikan yang bagaimana yang dapat menjawab peresoalan tersebut.
Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa konsep pendidikan _ulticultural merupakan konsep pendidikan alaternatif untuk dapat menjawab tantangan untuk  membangun dan menuju “masyarakat madani Indonesia”.  Prediksi ini,  didasarkan pada konsep bahwa “pendidikan _ulticultural melihat masyarakat secara lebih luas, dengan segala keperbedaan yang dimiliki. Selain itu,  paradigma pendidikan _ulticultural juga mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang kehidupan, seperti: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya41. Oleh karenanya, paradigma seperti ini dapat mendorong tumbuhnya kesadaran untuk mewujudkan masyarakat madani Indonesia.

E.   Pendidikan Multikulturalisme Menuju Masyarakat Madani Indonesia
Model pendidikan di Indonesia menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya.  Olah karena itu, dengan tidak bermaksud mengabikan usaha dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, tetapi dapat dikatakan bahwa selama ”Orde Baru”,  telah tercipta suatu suasana kehidupan bangsa yang tidak sesuai dengan cita-cita UUD 1945.  Katakan saja, pada sektor pendidikan telah tercipta dan ”menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang tertekan, tidak kritis, bertindak dan berpikir dalam acuan suatu struktur kekuasaan yang hanya mengabdi kepada kepentingan sekelompok kecil rakyat Indonesia”42 yang dirasakan sampai sekarang ini.  Era reformasi telah terjadi dan sudah berlangsung kurang lebih 9 tahun dan  perubahan dari sisi demokrasi politik  sudah terlihat. Tetapi di sisi lain, sikap masyarakat Indonesia sampai saat inipun belum mengalami berubah secara signifikan. Selain itu, dengan era reformasi ini juga telah menambah kompleksnya persoalan keragaman antara kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain  di Indonesia  sebagai masyarakat ”multikultural”. 
Kehidupan politik bangsa Indonesia sekarang ini telah mengalami perubahan dan bangsa Indonesia berkeinginan dan menuntut kembali kedaulatan rakyat yang telah hilang, termasuk pendidikan. Apabila demikian, maka ”pendidikan nasional haruslah dikembalikan fungsinya kepada upaya memberdayakan masyarakat dengan mengembalikan kedaulatan rakyat untuk membangun dirinya sendiri”43, menuju masyarakat madani Indonesia.  Tapi ironis sekali, dalam kehidupan masyarakat Indonesia, konsep reformasi diterjemahkan oleh masyarakat ”kebablasan” yang kadang-kadang menjadi tindakan ”anarkis” dan keluar jauh dari konsep reformasi itu sendiri.  Contoh yang dapat diamati sekarang ini adalah banyak kasus yang terjadi tahun terakhir ini, seperti amuk masa,  pembakaran merupakan hal yang lumrah, masyarakat bertindak sewenang-wenang, main hakim sendiri, moral dan hak-hak kemanusian [humanis] terabaikan. Katakan saja, pembunuhan dan pemerkosaan merupakan hal yang biasa,  kekerasan terjadi dimana-mana, konflik bernuansa SARA, tindak kekerasan terhadap aliran agama tertentu [Ahmadiyah], peristiwa tragis  berdarah di depan Universitas Cendrawasi Abepura Papua yang bersifat anarkis dan “kebablasan” sehingga menelan korban jiwa, dan peristiwa kekerasan lain yang terjadi di masyarakat Indonesia.  Itulah realitas kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini.   Perilaku semacam ini, dikatakan  “kurang civil, bahkan dapat dikatakan “uncivil society  [masyarakat biadab]”44.  Dengan realitas ini, mungkinkah saja kita akan mengatakan bahwa masyarakat Indonesia masih jauh dari protetype civil society dan “masyarakat madani” atau yang selalu disebut dengan istilah  “Indonesia Baru”.     
Kondisi ini memerlukan konsep pendidikan ”alternatif” yang mampu menjawab perubahan masyarakat yang serba ”instan” dalam kehidupan ini.  Pendidikan nasional perlu direformasi untuk mewujudkan visi baru masyarakat madani Indonesia.  Bangsa ini tanpaknya memerlukan pendidikan ”alternatif” yang sesuai dengan konsep masyarakat madani yang dicita-citakan, yaitu : Pertama, masyarakat beriman dan bertaqwa, memiliki pemahaman mendalam akan agama serta hidup berdampingan dan saling menghargai perbedaan agama masing-masing. Kedua, masyarakat demokratis dan beradab yang menghargai adanya perbedaan pendapat. Memberi tempat dan penghargaan perbedaan pendapat serta mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan individu, kelompok dan golongan. Ketiga, masyarakat yang menghargai hak-hak asasi manusia, mulai dari hak untuk mengeluarkan pendapat, berkumpul, berserikat, hak atas kehidupan yang layak, hak memilih agama, hak atas pendidikan dan pengajaran, serta hak untuk memperoleh pe­layanan dan perlindungan hukum yang adil. Keempat, masyarakat tertib dan sadar hukum yang direfleksikan dari adanya budaya malu apabila melanggar hukum. Kelima, masyarakat yang kreatif, mandiri dan percaya diri. Masyarakat yang memiliki orientasi kuat pada penguasaan ilmu pengatahuan dan teknologi. Keenam, masyarakat yang memiliki semangat kompetitif dalam suasana kooperatif, penuh persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain dengan semangat kemanusiaan universal [pluralistik]45. 
Maka, untuk mengantisipasi perubahan menuju masyarakat madani Indonesia, diperlukan terobosan pemikiran kembali suatu konsep pendidikan yang fungsinya dapat memberdayakan manusia dan masyarakat dengan perbedaan yang dimiliki.  Artinya, konsep pendidikan tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali “kebudayaan nasional Indonesia”  yang terdiri dari  keragaman etnis dan budaya tersebut.   Untuk itu, konsep pendidikan multikultural  [multicultural education] sebagai jawaban untuk pendidikan masyarakat madani, sebab pendidikan multikultural melihat masyarakat secara luas dari keperbedaan yang dimiliki.  Sebab   ”pandangan dasar bahwa sikap ”indifference”  dan  ”non-recognition”  tidak hanya berakar dari ketimpangan struktural rasial, etnis dan sukubangsa saja, tapi paradigma pendidikan multikultural mancakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain-lain46.  Paradigma pendidikan multikultural ini sejalan dengan paradigma masyarakat madani yaitu masyarakat beriman, demokratis dan beradab, berbudaya, menghargai hak asasi manusia, masyarakat tertib dan sadar hukum, kreatif, mandiri dan percaya diri,  sehinggan ”paradigma seperti ini pada gilirannya mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang ”ethnic studies”, untuk kemudian menemukan tempatnya di dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai ke tingkat pendidikan tinggi47.
Untuk mewujudkan konsep tersebut di atas, konsep pendidikan multikultural, diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pembentukan masyarakat madani Indonesia ditengah ”kebihnnekaan” yang betul-betul aktual. Oleha karena itu, ”disain kurikulum pendidikan multikultural, ”mestilah mencakup subjek-subjek seperti seperti; toleransi, tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural, suku bangsa,  agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik, HAM,  demokrasi dan pluralitas, kemanusian universal dan subjek-subjek lain yang relevan”48.  Untuk itu,  perumusan kurikulum dan implementasi pendidikan multikultural untuk masyarakat madani Indonesia, dibutuhkan pembahasan serius yang menyangkut dengan persoalan strategi yang akan ditempuh, misalnya saja apakah kurikulum tersebut dalam ”bentuk matapelajaran terpisah, berdiri sendiri [separated curriculum], terpadu [integrated curriculum] atau  menghubungkan atau korelasi [correlated curriculum]”49.
Dengan demikian, peran pendidikan” multikultural ”diperlukan untuk mempersiapkan individu dan masyarakat sehingga memiliki kemampuan dan motivasi serta berpartisivasi secara aktif dalam aktualisasi dan institusionalisasi masyarakat madani50  Indonesia, yang mempunyai identitas berdasarkan budaya Indonesia.  Pendidikan  perlu merumuskan suatu visi pendidikan yang baru yaitu membangun manusia dan masyarakat madani Indonesia yang mempunyai identitas, berdasarkan budaya Indonesia”51, dan visi pendidikan yang baru ini adalah ”pendidikan multikultural”. Tetapi, konsep ”pendidikan multikultural tidak berarti hanya sebatas ”merayakan keragaman” belaka...,  tetapi pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi”52, menuju masyarakat madani Indonesia. 
Berdasarkan pada konsep masyarakat madani yang dikemukakan di atas, yaitu masyarakat yang beriman dan bertaqwa, ”beradab, sopan dan toleran terhadap sesama manusia, menagatur diri sendiri tanpa campur tangan, bebas dari paksaan, ancaman dan kekerasan”53.  Maka, program pendidikan multikulkural yang akan dikembangkan merupakan sebuah program pendidikan yang menyediakan lingkungan belajar yang sesuai dengan kebutuhan dasar akademik dan sosial. Program pendidikan yang dapat mengakses dan merealisasikan kompotensi-komptensi yang diinginkan untuk mewujudkan masyarakat madani Indonesia. Maka perlu menyusum program pendidikan yang bersifat: [1] content integration, yaitu mengintegrasikan bebagai budaya kelompok masyarakat untuk mengilustrasikan dalam mata pelajaran, [2] the knowledge construction process, yaitu membawa peserta didik untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran, [3] an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial, dan [4] prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka”54.
Sedangkan model pembelajaran yang dikembangkan dan akan diarahkan pada pencapaian kompetensi-kompetensi menuju masyarakat madani Indonesia, yaitu sebagai berikut: [1] Mengembangkan kompetensi akademik standar [standard and basic academik skills] tentang nilai-nilai persatuan dan kesatuan, peradaban, demokrasi, keadilan, kebebasan, persamaan derajat dan sang menghargai dalam keragaman agama dan budaya. [2] Mengembangkan kompetensi sosial agar dapat menumbuhkan pemahaman [a better understanding]  tentang latar belakang budaya sendiri dan budaya lain dalam masyarakat. [3] Mengembangkan kompetensi akademik untuk menganalisis dan membuat keputusan yang cerdas [inteleligent decisions] tentang isu-isu dan masalah keseharian [real-life problems]  melalui sebuah proses demokratisasi atau inkuri dialogis [dialogical inquiry]. [4] Membantu mngkonseptualisasi dan mengaspirasikan sebuah masyarakat yang lebih baik, demokratis dan memiliki persamaan derajat55.  [5] Pendidikan yang mampu mengembangkan kompetensi kesopanan dan toleransi terhadap satu sama manusia dalam suatu masyarakat yang tertib dan teratur. [6] Pendidikan yang mampu mengembangkan kompetensi untuk mandiri dan mampu mengatur diri sendiri  tanpa campur tangan pihak lain. [7] Pendidikan yang mampu mengembangkan kompetensi agar dapat bebas dari paksaan, ancaman dan kekerasan.
Dari uraian ini, diharapkan gagasan dan konsep pendidikan "multikultural" dapat merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia"  yang terdiri dari  keragaman etnis, suku bangsa, budaya dan agama yang merupakan kenyataan yang tak dapat ditolak dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia.  Dengan demikian, pendidikan multikulturalisme diharapkan dapat mengubah “paradigma monokultural”  yang penuh dengan prasangka dan diskriminatif ke paradigma pendidikan multikulturalisme yang menghargai perbedaan dan keragaman dan perbedaan, toleransi dan sikap terbuka56, membangun masyarakat yang berperadaban, toleransi terhadap sesama manusia, mandiri dan mampu mengatur diri sendiri, bebas dari paksaan, ancaman dan kekerasan57 untuk  menuju dan tercipta masyarakat madani Indonesia.

F.  Penutup


Gagasan pendidikan multikultural merupakan suatu pendidikan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh untuk membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminasi dalam proses pendidikan sebagai upaya untuk menuju masyarakat madani Indonesia.
Untuk mewujudkan gagasan pendidikan multikulturalisme,  harus didasarkan pada konsep ketaqwaan dan iman, keberadaban, sopan, toleran, mandiri, bebas dari paksaan, kekerasan, ancaman, keadilan sosial, dan persamaan hak dalam konsep dan praktik-praktik pendidikan untuk menuju masyarakat madani Indonesia.
Konsep pendidikan multikulturalisme harus berusaha memfasilitasi proses pembelajaran yang menghargai keragaman etnis dan perbedaan, persamaan hak, toleransi dan sikap terbuka.  Mengembangkan kompetensi untuk mampu mandiri dan mengatur diri sendiri tanpa campur tangan pihak lain, bebas dari paksaan, ancaman dan kekerasan sebagai ciri dasar masyarakat madani.


DAFTAR PUSTAKA



Adeney-Risakotta, Bernard, 2000,  Civil Society dan Abrahamic Religions, UKDW, Yogyakarta, July, 2000.

Amini, Ernie Isis Aisyah,  2004, Analisis Kebutuhan Pendidikan Multikultural Berbasis Kompetensi Pada Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama [SLTP] di Kota Mataram, Program Pascasarjana IKIP Negeri Singaraja, Mataram.

Atmadja, 2003, Multikulturalisme dalam Perspektif Filsafat Hindu, Makalah di Sajikan dalam Seminar Damai Dalam Perbedaan, Singaraja, 5 Maret 2003.

Azra,Azyumardi, 2005, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia, From: http://kongres.budpar.go.id/agenda/precongress/makalah/ abstrak/58%20 azyumardi%20azra.htm, akses,Selasa,24 Mei 2005,jam. 11.00

Baso, Ahmad, 1999, Civil Society Versus Masyarakat Madani, Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam Indonesia, Pustaka Hidayah, Bandung.

Conny, Semiawan, 2002, Belajar dan Pembelajaran Dalam Taraf Usia Dini, Jakarta, PT. Prenhallindo.

el-Ma’hady, Muhaemin, 2004, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural [Sebuah Kajian Awal], From: http://artikel.us/muhaemin6-04.html, senin, 23 maei 2005, jam. 16.00

Rahardjo, M.Dawam, 1999, “Demokrasi,Agama dan Masyarakat Madani”,Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial,UNISIA,(No.39/XXII/III/1999,ISSN:0215-1412).

____,1999, “Masyarakat Madani di Indonesia, Sebuah Penjajakan Awal”, Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA, (Vol.I,Nomor 2, ISSN; 1410-8410, 1999).

Maarif, Ahmad Syafii, 1996, “Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat”, Jurnal Pendidikan Islam (JPI),  (No.2 Th. Fakultas Tarbiyah UII, 1 Oktober 1996).

Nasution, S, 1990, Asas-asas Kurikulum, Jammars, Bandung.

Natsir, M. 1973, Kapita Selecta, Jakarta: Bulan Bintang.

Pengkajian dan Perumusan Filosofi Kebijakan dan Strategi Pendidikan Nasional 1999, Kelompok Kerja Depdikbud, Konferensi Pendidikan Inonesia Mengatasi Krisis Perubahan-Menuju Pembaruan,  Jakarta, 23-24 Februari 1999.

Puwasito, Andrik, 2003, Komunikasi Multikultural, Surakarta, Muhammadiyah Unuversity Press.

Sanaky, Hujair AH. 2003, Paradigma Pendidikan Islam: Mambangun Masyarakat Madani Indonesia, Safiria Insania Press dan MSI UII, Yogyakarta.

Suparlan, Parsudi, 2002, Menuju Masyarakat Indonesia Yang Multikultural, Makalah, Disajikan pada Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia ke-3, Membangun Kembali “Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika”, Menuju Masyarakat Multikultural, Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16-19 Juli 2002, From: http://www.scripps.ohiou.edu/news/ cmdd/ artikel ps.htm, Akses, Senin, 23 mei 2005, jam 16.00].

Syarief, Hidayat, 1999, Paradigma Baru Pendidikan Membangun Masyarakat Madani, REPUBLIKA, 30 Oktober 1999.

Tilaar, H.A.R., 1998, Beberapa Agenda Reformai Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, (Magelang:Tera Indonesia.

_______1999, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nsional, [Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Yayasan Adikarya IKAPI dan  Ford Foundation]. 

______,Multikulturalisme, Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nsiona, Grasindo, Jakarta.

Tafsir, Ahmad, 1999, “Pendidikan untuk Masa Depan”, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Luar Biasa Ilmu Pendidikan Islam pada Institusi Agama Islam Lathifah Mubarokiyah Pondok Pesantren Suryalaya, 5 September 1999.








1Makalah Revisi ini, sebagai makalah pengganti: Civil Societi dan Masyarakat Madani [Jalan Panjang Perubahan Menuju Masyarakat Madani Indonesia], yang telah didiskusikan di Rumah  Prof. Dr. Bernard Adeney – Risakotta pada tanggal 31 Maret 2006.  Maka stas saran dan permintaan Prof.Dr.Bernard Adeney – Risakotta, maka makalah sebagai tugas Mata Kuliah Isu-Isu Global ini, direvisi dengan judul:  Gagasan Pendidikan Multikulturalisme  Sebagai Upaya  Menuju Masyarakat Madani Indonesia.
2Muhaemin el-Ma’hady,2004, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural [Sebuah Kajian Awal], From: http://artikel.us/muhaemin6-04.html, akses, senin, 23 Mei 2005, jam. 16.00
3Prsudi Suparlan, 2002, Menuju Masyarakat Indonesia Yang Multikultural, Makalah, Disajikan pada Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia ke-3, Membangun Kembali “Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika”, Menuju Masyarakat Multikultural, Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16-19 Juli 2002, From: http://www.scripps.ohiou.edu/news/ cmdd/ artikel ps.htm, Akses, Senin, 23 mei 2005, jam 16.00].
4Parsudi Suparlan, 2002, Ibid.
5Ibid, hlm. 2
6Fay, 1996; Rex, 1985; dalam Suparlan, 2002, Ibid.
7Bloom, dalam Atmadja, 2003, Multikulturalisme dalam Perspektif Filsafat Hindu, Makalah di Sajikan dalam Seminar Damai Dalam Perbedaan, Singaraja, 5 Maret 2003.
8Ernie Isis Aisyah Amini,  2004, Analisis Kebutuhan Pendidikan Multikultural Berbasis Kompetensi Pada Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama [SLTP] di Kota Mataram, Program Pascasarjana IKIP Negeri Singaraja, Mataram, hlm. 31-32.
9Parsudi Suparlan, 2002, Op.cit.
10Andrik Puwasito,2003,Komunikasi Multikultural, Surakarta, Muhammadiyah Unuversity Press, hlm.147
11Azyumardi Azra, 2005, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia, From: http:// kongres. budpar.go.id/agenda/precongress/makalah/abstrak/58%20 azyumardi%20azra.htm, akses, Selasa,24 Mei 2005, jam. 11.00
13Parekh, 1997:183-185, dalam Azyumardi Azra,Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia, From:http://kongres.budpar.go.id/ agenda/ precongress/ makalah/abstrak/58%20 azyumardi%20azra.htm, akses, Selasa, 24  Mei 2005, jam. 11.00
14Ahmad Syafii Maarif, menyatakan  apabila dilihat dari segi sejarah, pendidikan merupakan suatu gerakan yang telah berunur sangat tua. Dalam bentuk  sederhana dapat dipahami, pendidikan telah dijalankan sejak dimulainya manusia di muka bumi ini. Penguasaan alam semesta, memberi contoh pendidikan kepada manusia dan dilanjutkan dengan mendidik keluarga. Ahmad  Syafii Maarif, “Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat”, Jurnal Pendidikan Islam (JPI),  (No.2 Th. Fakultas Tarbiyah UII, 1 Oktober 1996), hlm. 6.
15M. Natsir, Kapita Selecta, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm. 77.
16Ernie Isis Aisyah Amini,  2004, Op.cit., 15-16.
17 Conny Semiawan, 2002, Belajar dan Pembelajaran Dalam Taraf Usia Dini, Jakarta, PT. Prenhallindo.
18Muhaemin el-Ma’hady, Op.cit. From: http://artikel.us/muhaemin6-04.html.
19Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia, From:http://kongres. budpar.go.id/ agenda/ precongress/ makalah/abstrak/58%20 azyumardi%20azra.htm, akses,Selasa,24  Mei 2005,jam. 11.00.
20H.A.R. Tilaar,2004, Multikulturalisme, Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nsiona, Grasindo, Jakarta, hlm. 123
21Muhaemin el-Ma’hady, 2004, Op.cit
22Muhaemin el-Ma’hady, 2004, Op.cit, From: http://artikel.us/muhaemin6-04.html,
27Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia,From:http://kongres. budpar.go.id/agenda/precongress/makalah/abstrak/58%20 azyumardi%20 azra.htm, akses,Selasa,24 Mei 2005,jam.11.00
28Masyarakat politik [political society],  suatu masyarakat yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup. Maksudnya, adanya hukum yang mengatur antara individu menandai keberadaan suatu jenis masyarakat tersendiri dan  masyarakat seperti ini, di zaman dahulu adalah masyarakat yang tinggal di kota. Dalam kehidupan kota penghuninya telah menundukkan hidupnya di bawah satu dan lain bentuk hukum sipil [civil law] sebagai dasar dan mengatur kehidupan bersama. Di zaman modern, istilah itu diambil lagi dan  dihidupkan John Locke [1632-1704] dan Roesseau [1712-1778] untuk mengungkapkan pemikirannya mengenai masyarakat dan politik. Locke, mendefinisikan masyarakat sipil sebagai “masyarakat politik” [political society]. Roesseau, menyatakan masyarakat politik itu sendiri, merupakan hasil dari suatu perjanjian kemasyarakatan [social constract] dan anggota masyarakat telah menerima suatu pola perhubungan dan pergaulan bersama. Dalam konsep Locke dan Roesseau belum dikenal perbedaan antara masyarakat sipil dan negara dan perbedaan antara masyarakat sipil dan negara timbul dari pandangan Hegel [1770-1831]  pemikir Jerman yang banyak menarik perhatian, yang ditentang dan sekaligus diikuti oleh Marx. Sama halnya dengan Locke dan Roesseau, Hegel melihat masyarakat sipil sebagai wilayah kehidupan orang-orang yang telah meninggalkan kesatuan keluarga dan masuk ke dalam kehidupan ekonomi yang kompotitif. Ini adalah arena, di mana kebutuhan-kebutuhan tertentu atau khusus dan berbagai kepentingan perorangan bersaing, yang menyebabkan perpecahan-perpecahan,  sehingga masyarakat sipil itu mengandung potensi besar untuk menghancurkan dirinya.  Oleh Hegel, masyarakat sipil dihadapkan dengan negara. Dari teori Hegel inilah dikenal  dikotomi antara negara dan masyarakat (state and society).M.Dawam Rahardjo,Demokrasi,Agama dan Masyarakat Madani”,Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial,UNISIA ,(No.39/XXII/ III/1999, ISSN: 0215-1412),hl.27-28.
29Ibid, hlm. 26-27.
30Ahmad Baso, 1999, Civil Society Versus Masyarakat Madani, Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam Indonesia, Pustaka Hidayah, Bandung, hlm. 91. 
31Hidayat Syarief,1999, Paradigma Baru Pendidikan Membangun Masyarakat Madani,REPUBLIKA, 30 Oktober 1999.
32Nurcholis Madjid, Pengantar [2] Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan dan Kemungkinan, dalam Ahmad Baso, 1999, Civil Society Versus Masyarakat Madani, Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam Indonesia, Pustaka Hidayah, Bandung, hlm. 21.
33Hidayat Syarief, Paradigma Baru Pendidikan Membangun Masyarakat Madani,  REPUBLIKA, (30 Oktober 1999).
34Ahmad Baso, 1999, Civil Society Versus Masyarakat Madani, Op.cit, hlm. 91.
35Ibid, hlm. 91.
36H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan…, hlm. 117.
37Ahmad Tafsir, 1999, “Pendidikan untuk Masa Depan”,Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Luar Biasa Ilmu Pendidikan Islam pada Institusi Agama Islam Lathifah Mubarokiyah Pondok Pesantren Suryalaya,5 September 1999,hlm.5.
38Nurcholis Madjid, Op.cit, hlm. 23.
39Paradigma”, yang dikemukakan  L.Wilardjo, yang dikutip Tilaar,  “suatu  konsistensi capaian besar (constellation of great achievemens) berupa konsep, nilai-nilai,teknis, prosedur yang diterima masyarakat keilmuan dan dipakai sebagai contoh menentukan masalah keilmuan yang sah dan bagaimana cara memecahkannya. H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan…, hlm.28.
40Ibid, hlm. 245.
41Muhaemin el-Ma’hady, 2004, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural [Sebuah Kajian Awal] Tanggal 27 Mei 2004, From:  http://artikel.us/muhaemin6-04.html, akses, Senin, 23 Mei 2005, jam. 16.00, hlm.4.
42H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan…, hlm. 4.
43Ibid, hlm. 4.
44Bernard Adeney-Risakotta,2000,Civil Society dan Abrahamic Religions,UKDW,Yogyakarta,July,2000, hlm.5
45Hidayat Syarief, Paradigma Baru Pendidikan Membangun Masayarakat Madani,REPUBLIKA,(30 Oktober 1999), hlm.4. dalam Hujair AH. Sanaky, 2003, Paradigma Pendidikan Islam: Mambangun Masyarakat Madani Indonesia, Safiria Insania Press dan MSI UII, Yogyakarta.
46Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia, From:http://kongres. budpar.go.id/agenda/precongress/makalah/abstrak/58%20 azyumardi%20azra. htm, akses, Selasa,24 Mei 2005, jam.11.00
49S. Nasution, 1990, Asas-asas Kurikulum, Jammars, Bandung, hlm. 144-157.
50Ibid, hlm. 11.
51HAR. Tilaar, menyatakan bahwa dalam era reformasi, pendidikan nasional tidak sesuai lagi dengan proses budaya yang terjadi pada masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru manusia Indonesia tidak hidup lagi dalam dunianya yang orisinil , dunia yang berbudaya dan pendidikan nasional telah dipisahkan dari budaya bangsa. Pendidikan nasional tidak lagi diarahkan untuk melahirkan manusia-manusia yang berbudaya, yang mempunyai identitas atau jati diri, bukan lagi menghasilkan manusia yang berbudaya, tetapi manusia beringas, mudah tersinggung, toleransi tipis dan menganut budaya kekerasan .H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan,…, hlm. 10.
52Muhaemin el-Ma’hady, 2004, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural.., Op.cit, hlm.5.
53Bernard Adeney-Risakotta, 2000, Civil Society dan Abrahamic Religions, Op.cit., hlm. 7.  
54Muhaemin el-Ma’hady, 2004, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural.., Op.cit, hlm.3.
55Baca: Aisyah Amini, Ernie Isis, 2004,  Analisis Kebutuhan Pendidikan Multikultural Berbasis Kompetensi pada Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama [SLTP] di Kota Mataram, Tesis, Jurusan Penelitian dan Evcaluasi Pendidikan, Program Pascasarjana IKIP Negeri Singaraja, hlm.47.
56Baca: Muhaemin el-Ma’hady, 2004, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural.., Op.cit, hlm.7..
57Baca: Bernard Adeney-Risakotta, 2000, Civil Society dan Abrahamic Religions, Op.cit., hlm. 7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar