MAKALAH REVISI1
GAGASAN PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME SEBAGAI UPAYA
MENUJU MASYARAKAT MADANI INDONESIA
Oleh : Hujair Sanaky
A. Pendahuluan
Kenyataan yang tak dapat ditolak bahwa masyarakat dan
bangsa Indonesia terdiri dari berbagai keragaman sosial, kelompok etnis,
budaya, agama, aspirasi politik dan lain-lain, sehingga “masyarakat dan bangsa
Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat
"multikultural". Tentu saja, realitas "multikultural"
tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali
"kebudayaan nasional Indonesia"
atau “budaya bangsa” yang dapat menjadi "integrating force"
yang dapat mengikat seluruh keragaman etnis, sukubangsa dan budaya
tersebut”2
sebagai upaya menuju masyarakat madani Indonesia.
Kesadaran
tentang multikulturalisme sudah muncul sejak negara Republik Indonesia
terbentuk dan digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk ”mendesain
kebudayaan bangsa Indonesia. Tetapi, bagi bangsa Indonesia masa kini konsep
multikulturalisme menjadi sebuah konsep baru dan asing”3, karena kesadaran konsep multikulturalisme
yang dibentuk oleh pendidiri bangsa ini tidak terwujud pada masa Orde Baru. Kesadaran tersebut dipendam atas nama persatuan dan stabilitas negara yang kemudian
muncul paham mono-kulturalisme yang menjadi tekanan utama dan akhirnya
semuanya memaksakan pola yang berkarakteristik
”penyeragaman” berbagai aspek, sistem sosial, politik dan budaya,
sehingga sampai saat ini wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih
sangat rendah.
Perbedadaan
budaya, agama, aspirasi politik, kepentingan,
visi dan misi, keyakinan dan tradisi merupakan sebuah konduksi dalam
hubungan interpersonal yang kadang-kadang juga menjadi perbedaan perilaku dalam
memahami sesuatu. Dari sini, dapat
dikatakan bahwa berbagai kekisruan etnis yang merebak dibanyak tempat di
wilayah Negara Kesatauan Republik Indonesia, merupakan bagian dari krisis multi
dimensi yang dihadapi negara dan bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997
pada masa akhirnya rezim Orde Baru merupakan akibat dari rendahnya kesadaran
dan wawasan multikulturalime.
”Konsep
multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara
suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk,
karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam
kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme akan membahas berbagai permasalahan yang mendukung
ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum,
kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas,
prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas”4.
Hal yang menjadi perhatian adalah upaya untuk
membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat terwujud apabila
konsep multikultural menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa
Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun
lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya. Kesamaan pemahaman diantara para ahli
mengenai multikultural dan bangunan konsep-konsep yang mendukungnya, dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat
mewujudkan cita-cita ini5. Untuk itu, perlu mengkaji konsep
multikultural, karena konsep multikultural tidaklah disamakan dengan konsep
keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa, tetapi konsep multikultural menekankan kesederajatan
dalam keanekaragaman kebudayaan.
B. Konsep Multikulturalisme
Sebagaimana
dikemukakan di awal, suatu kenyataan yang tidak dapat dimungkari bahwa masyarakat
dan negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai keragaman yaitu sejumlah
besar kelompok etnis, budaya, agama, aspirasi politik dan lain-lain, sehingga
“masyarakat dan negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai
masyarakat "multikultural". Tetapi konsep multikulturalisme tidaklah
dapat disamakan dengan konsep ”keanekaragaman” secara sukubangsa atau
kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena
multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.
Konsep
multikulturalisme mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi,
politik, demokrasi, keadilan, penegakan hukum, kesempatan kerja dan usaha, hak
asasi manusia, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip
etika dan moral, tingkat serta mutu produktivitas serta berbagai konsep lainnya
yang lebih relevan6. Konsep ini senada dengan apa yang dikemukakan
Bloom7,
bahwa multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian
atas budaya seseorang dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis
orang lain. Artinya, meliputi sebuah penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan
orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari
kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudayaan
tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri8.
Spradely
[1997], ”menitikberatkan multikultural pada proses transaksi pengetahuan dan
pengalaman yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk menginterpretasikan
pandangan dunia mereka yang berbeda untuk menuju kearah kebutuhan kultur. Kata multikultural menjadi pengertian yang
sangat luas [multi-discursive], tergantung dari konteks pendefinisian
dan manfaat apa yang diharapkan dari pendefinisian tersebut. Yang jelas dalam
kebudayaan multikultural setiap individu mempunyai kemampuan berinteraksi,
meskipun latar belakang kultur masing-masing berbeda, karena sifat manusia
antara lain, adalah [1] akomodatif, [2] asosiatif, [3] adaptabel, [4]
fleksibel, dan [5] kemauan untuk saling berbagi”9. Inilah menunjukan keragaman kultur mengandung
unsur jamak atau keragaman yang sarat dengan nilai-nilai kearifan.
Dalam
kontek membangun tatanan masyarakat dan tatanan sosial yang kokoh, ”nilai-nilai
kearifan” yang dalam hal ini ”kearifan sosial” dan ”kearifan budaya” dapat
dijadikan sebagai tali pengikat dalam upaya bersosialisasi dan berinteraksi
antar individu dengan individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok. Dengan nilai ”kearifan sosial” dan ”kearifan
budaya”, akan berusaha mengeliminir berbagai perselihan dan konflik budaya yang
kurang kondusif. Tatanan kehidupan
sosial masyarakat yang multikultural akan terwujud dalam perilaku yang saling
menghormati, menghargai perbedaan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan
dan menjaga satu dengan lainnya dalam prinsip-prinsip perbedaan tersebut. Untuk itu, harus berusaha untuk mengeliminir
atau menghilangkan hal yang selalu menjadi emberio atau mendasari terjadinya
konflik, yaitu ”[1] prasangka historis, [2] diskriminasi, dan [3] perasaan
superioritas in-group feeling yang berlebihan dengan menganggap inferior
pihak yang lain [out-group]”10.
Apabila
ketiga hal tersebut tidak mampu
dieliminir oleh individu maupu kelompok,
maka konflik dan benturan antar individu atau kelompok yang disebabkan oleh
perbedaan kepentingan, keinginan, visi, keyakinan dan tradisi, politik,
idologi, agama akan menjadi sesuatu legal dan lumrah dalam interaksi sosial,
karena keringnya nilai-nilai
kemanusiaan [humanis], keringnya niai-nilai ”kearifan sosial”, keringnya nilai-nilai ”kearifan budaya” dan
keringnya nilai-nilai ”kearifan moral” dalam relasi antar sesama manusia baik
secara individu maupun kelompok. Jadi pada tahap ini, komitmen pada
nilai-nilai tersebut tidak dapat dipandang hanya ”berkaitan dengan eksklusivisne
personal dan sosial saja atau dengan superioritas kultural saja, tetapi
lebih jauh lagi dengan persoalan kemanusiaan [humanness], komitmen dan
kohesi kemanusiaan termasuk di dalamnya melalui toleransi, saling menghormati
hak-hak personal dan komunal11. Ketika manusia berhadapan dengan
simbol-simbol, nilai-nilai, doktrin-doktrin, prinsip-prinsip dan pola tingkah
laku, sesungguhnya mengungkapkan dan sekaligus mengidealisasikan komitmen
kepada kemanusiaan – baik personal mapun komunal – dan kebudayaan yang
dihasilkannya. Multikulturalisme dapat
pula dipahami sebagai ”kepercayaan” kepada normalitas dan penerimaan
keragaman. Konsep multikulturaliems seperti ini dapat dipandang sebagai titik
tolak dan fondasi bagi kewarganegaraan yang berkeadaban12
dan sebagai wujud masyarakat madani.
Konsep
“multikulturalisme” yang diartikan para ahli sangat beragam antara satu
dengan yang lainnya. Walaupun ada perbedaan, tapi pandangan mereka tentang
“multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan terhadap dunia yang
kemudian diterjemahkan dalam berbagai
kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap “realitas
keragaman”, “pluralitas” dan “multikultural” yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat. Multikulturalisme dipahami
sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam “politics of
recognition”. Parekh, 1997:183-185,
dalam Azyumardi13,
membedakan lima macam bentuk multikulturalisme dan tentu saja kelima bentuk multikulturalisme itu tidak
“kedap air” [watertight], tetapi sebaliknya dapat saja tumpang tindih
satu dengan lainnya dalam segi-segi tertentu, yaitu :
Pertama, “multikulturalisme isolasionis” yang mengacu kepada masyarakat di
mana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat
dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain. Contoh kelompok ini, seperti
masyarakat yang ada pada sistem “millet” di Turki Usmani atau masyarakat
”Amish” di AS. Kelompok ini
menerima keragaman, tetapi pada saat yang sama berusaha mempertahankan budaya
mereka secara terpisah dari masyarakat lain umumnya.
Kedua, “multikulturalisme akomodatif”,
masyarakat plural yang memiliki kultur dominan, membuat penyesuaian dan
akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas. Masyarakat
multikultural akomodatif merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum dan
ketentuan-ketentuan sensitif secara
kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan
dan mengembangkan kebudayaan mereka, sebaliknya kaum minoritas tidak menantang
kultur dominan. Model ”multikulturalisme akomodatif” ini dapat ditemukan di
Inggris, Prancis, dan beberapa negara Eropa lain.
Ketiga, “multikulturalisme otonomis”,
masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural utama berusaha
mewujudkan kesetaraan [equality] dengan budaya dominan dan menginginkan
kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif dapat diterima. Concern
pokok kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah untuk mempertahankan cara
hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka
menantang kelompok kultural dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat
di mana semua kelompok dapat eksis sebagai mitra sejajar. Jenis
multikulturalisme didukung misalnya oleh kelompok Quebecois di Kanada,
dan kelompok-kelompok Muslim imigran di Eropa, yang menuntut untuk dapat
menerapkan syari`ah, mendidik anak-anak mereka pada sekolah Islam, dan
sebagainya.
Keempat, “multikulturalisme kritikal” atau “interaktif”, masyarakat plural di mana kelompok-kelompok
kultural tidak terlalu concern dengan kehidupan kultural otonom, tetapi
lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan
perspektif-perspektif distingtif mereka. Kelompok budaya dominan tentu saja
cenderung menolak tuntutan ini, dan bahkan berusaha secara paksa untuk
menerapkan budaya dominan mereka dengan mengorbankan budaya kelompok-kelompok
minoritas. Itulah kelompok-kelompok minoritas menantang kelompok kultur
dominan, baik secara intelektual maupun politis, dengan tujuan menciptakan
iklim yang kondusif bagi penciptaan secara bersama-sama sebuah kultur kolektif
baru yang egaliter secara genuine. Jenis multikulturalisme, sebagai contoh,
diperjuangkan masyarakat Hitam di Amerika Serikat, Inggris dan lain-lain.
Kelima, “multikulturalisme kosmopolitan”, berusaha menghapuskan
”batas-batas kultural” sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana
setiap individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu
dan sebaliknya, secara bebas terlibat dalam eksperimen-eksperimen interkultural
dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. Para pendukung
multikulturalisme jenis ini yang sebagian besar adalah intelektual diasporik
dan kelompok-kelompok liberal yang memiliki kecenderungan postmodernist
dan memandang seluruh budaya sebagai resources yang dapat mereka pilih
dan ambil secara bebas.
Mengacu
pada pandangan dan konsep yang dikemukakan di atas, konsep multikulturalisme mempunyai relevansi
makna dan fungsi yang tepat. Konsep multikulturalisme menjadi penting untuk
dikembangkan dan diinternalisasikan dalam proses transformasi nilai-nilai
masyarakat dan bangsa yang beragam ini. Sebab prinsip-prinsip dasar
multikulturalisme mengakui dan menghargai keberagaman kelompok
masyarakat seperti etnis, ras, budaya, gender, strata sosial, agama, perbedaan
kepentingan, keinginan, visi, keyakinan dan tradisi yang akan sangat membantu bagi
terwujudnya perubahan format perilaku sosial yang kondusif dan sangat
menjanjikan ditengah kehidupan masyarakat dan bangsa yang majemuk. Sarana
terbaik dan strategis yang digunakan untuk membangun dan mensosialisasikan
konsep multikulturalisme agar melahirkan
perilaku sosial kondusif, ”kearifan
sosial”, ”kearifan budaya” dan “kearifan
moral” atau akhlak adalah melalui “pendidikan multikulturalisme”.
Program pendidikan bagaimanakah yang relevan dengan
kehidupan masyarakat dan bangsa dengan corak masyakarat majemuk ini dengan
berbagai etnis, sukubanga dan agama yang ada di dalamnya. Sebab masing-masing
etnis, sukubangsa dan agama tadi membawa kultur sendiri-sendiri dan
keragaman ini tentu menjadikan masyarakat dan bangsa Indonesia adalah
masyarakat multikultural. Pengakuan akan keragamaan etnis, suku dan budaya
penting ditumbuhkan pada peserta didik, karena para pendiri bangsa ini
sesungguhnya telah menempatkan ideologi multikultural sebagai dasar kehidupan
bernegara dan berkebangsaan yaitu ”Bhineka Tunggal Ika. Dalam ideologi multikultural perbedaan dalam
kesederajatan tentu diakui dan diagungkan, baik secara individual atau kelompok
maupun secara kebudayaan. Sayangnya, penghargaan terhadap perbedaan dalam
kesederajatan ini nyaris tidak pernah
ditumbuhkembangkan terutama selama lebih dari 32 tahun masa pemerintahan Orde
Baru. Selama kurun waktu itu, konsep pendidikan selalu seragam dan selalu
merupakan upaya atau berkarakteristik penyeragaman budaya, tanpa memperhatikan
budaya masing-masing daerah yang ada.
C. Gagasan Pendidikan Multikulturalisme
Pendidikan
merupakan sistem dan cara meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala
aspek kehidupan manusia. Dalam sejarah
umat manusia14,
hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai
alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya, sekalipun dalam masyarakat yang
masih terbelakang [primitif]. Pendidikan sebagai usaha sadar yang
dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa
datang. Jadi, pendidikan yang dilakukan
suatu bangsa tentu memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan rekayasa
bangsa. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia, bahkan M.
Natsir menegaskan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang ikut
menentukan maju mundurnya kehidupan masyarakat tersebut15.
Sistem
pendidikan nasional lebih bercerikan ”keseragaman” berlandaskan pada budaya nasional, berdiri di
atas puncak-puncak kebudayaan daerah. Pendidikan diselenggarakan dengan aturan
dalam konteks mayoritas yang bersaing dan berhadap dengan minoritas dan
dikelola oleh pemerintah untuk meluaskan atau mempersempit hal-hal yang substansi
atau penting yang menyangkut dengan lingkup dan alokasi kewenangan. ”Seiring
dengan proses desentralisasi pendidikan yang dalam melibatkan peran serta
masyarakat mengisyaratkan pengakuan terhadap manusia Indonesia dan masyarakat
setempat [konsep otonomi daerah]. Ini berarti Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional ditinjau dari persepektif filosofis harus beranjak dari suatu
paradigma baru pendidikan menuju pada pengakuan terhadap aspirasi masyarakat
dan individu. Dengan sendirinya, paradigma baru dalam Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional harus mengacu pada pendidikan multikultural yaitu adanya kebudayaan beragam dalam suatu
masyarakat yang tetap merupakan kesatuan”16
”Bhineka Tunggal Ika”. Demikian
kebutuhan pembelajaran individu berada dalam perbedaan realitas sosio-historis,
sosio-ekonomis, suku-bangsa, sosio-psikologis. Artinya akan dihadirkan populasi
sasaran beragam dalam konteks sistem pendidikan dan persekolahan17.
Tanpaknya sistem pendidikan kita masih harus dikelola dengan baik, konsisten, kuat secara nasional yang berdasar pada konsep keragaman atau kebhinnekaan atau multikultural. Sementara sampai sekarang, sistem pendidikan nasional kita tetap hanya bercerikan ”keseragaman” yang berlandaskan pada budaya nasional dan bukan berfokus pada konsep pendidikan multikultural. Sementara realitas Indonesia yang multikultural dengan berbagai masalah dalam era reformasi, terlihat adanya kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali “pendidikan nasional Indonesia” yang dapat mejadi “integrating force” yang memproses, menghidupkan dan mengikat seluruh keragaman etnis, sukubangsa, agama dan budaya dalam prinsip Indonesia sebagai negara “bhinneka tunggal ika”.
Pendidikan merupakan lapangan yang sentral dalam upaya menerjemahkan gagasan multikullturalisme yang menjadi kenyataan dalam perilaku kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Pada posisi ini, pendidikan multikultur memegang peranan kunci, sebab pendidikan merupakan lapangan sentral dalam upaya menerjemahkan dan mensosialisasikan gagasan multikullturalisme, sehingga menjadi kenyataan dalam perilaku. Tetapi ”perlu diketahui, bahwa gagasan pendekatan multikultur relatif baru dianggap sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang akan dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional”18.
”Kebutuhan dan urgensi pendidikan multikultural demokratis setidaknya dalam tiga dasawarsa terakhir dirasakan semakin mendesak bagi negara-negara multikultural lainnya”19, termasuk Indonesia. Bagi Indonesia, hal ini semakin dirasakan terutama pada masa reformasi, otonomi dan desentralisasi yang sekarang ini sedang dijalankan, dan juga diiringi dengan berbagai konflik yang terjadi di negera ini. Kemungkinan saja, menurut hemat penulis tanpa pendekatan multikultur, disintegrasi bangsa yang semula dianggap ancaman mungkin akan menjadi kenyataan dan konflik yang terjadi tak terselesaikan dengan baik. Untuk itu, pendekatan multikultural sangat cocok dan sejalan dengan pengembangan demokrasi yang mulai dijalankan dan juga untuk dapat mengelimir konflik yang sering terjadi.
Pendidikan multikultural
merupakan fenomena yang relatif baru di dalam dunia pendidikan. Sebelum Perang
Dunia II boleh dikatakan pendidikan multikultural belum dikenal. Malah
pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan yang
memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok tertentu. Dengan kata lain
pendidikan multikulturak merupakan gejala baru di dalam pergaulan umat manusia
yang mendambakan persamaan hak, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang
sama untuk semua orang, ”Education for All”20.
Merupakan kenyataan yang tak dapat ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia
terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga
negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat
"multikultural". Tetapi pada pihak lain, realitas
"multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk
merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat
menjadi "integrating force" yang mengikat seluruh keragaman
etnis dan budaya tersebut21.
Kesadaran tentang
multikultur, sudah muncul sejak negara Republik Indonesia terbentuk. Tetapi
konsep ini tidak terwujud pada masa Orde Baru. Kesadaran tersebut dipendam atas
nama kesatuan, persatuan dan stabilitas negara kesatuan. Kemudian muncul paham mono-kulturalisme
yang menjadi tekanan utama. Alhasil, dapat dikatakan sampai saat ini, bahwa
wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. Rendahnya wawasan multikulturalisme,
menyebabkan berbagai kekisruan etnis yang merebak dibanyak tempat di wilayah
Negara Kesatauan Republik Indonesia yang merupakan bagian dari krisis multi
dimensi yang dihadapi negara dan bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun
1997. Konflik dan benturan antar
kelompok yang memeliki perbedaan kepentingan, visi, keyakinan dan tradisi,
seolah-oleh telah menjadi sesuatu lugel dan lumrah di era reformasi ini.
Pendidikan di Indonesia
maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan
strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Penambahan informasi tentang keragaman budaya
merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi
pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks.
Di beberapa negara, reperti di
Amerika Serikat, revisi sistem pembelajaran merupakan strategi yang dianggap
paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali
sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam meruapakan suatu agenda
pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisi pendidikan di
negera itu. Jepang aktivis kemanusiaan
melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut
peran Jerpang pada perang dunia II di Asia.
Di Indonesia masih diperlukan usaha
panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan
partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latarbelakang dalam
pembentukan mulikultural Indonesia. Untuk Indonesia juga memerlukan pula materi
pembelajaran yang bisa mengatasi "dendam sejarah" di berbagai wilayah22.
Dengan
kenyataan ini, maka dapat dikatakan bahwa model pendidikan multikultural tidak
sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem
pembelajaran itu sendiri. Katakan saja, contoh, affirmative action dalam
seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi
untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural terhadap kelompok minoritas.
Contoh yang lain adalah model "sekolah pembauran" Iskandar Muda di
Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya
dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat bersamaan
dengan masuknya wacana multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di
sekolah-sekolah maupun di masyarakt luas untuk meningkatkan kepekaan sosial,
toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok. Maka untuk mewujudkan model-model tersebut,
pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada,
agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga
hal jenis transformasi, yakni: [1] transformasi diri, [2] transformasi sekolah
dan proses belajar mengajar, dan [3] transformasi masyarakat23.
Untuk menyusun
konsep pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh
permasalahan antara kelompok, etnis, sukubangsa dan agama bukan mengandung dan
merupakan tantangan yang tidak ringan.
“Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan
keragaman" dan “kebersamaan”
belaka. Apalagi tatanan masyarakat yang
ada masih penuh diskriminasi yang bersifat rasis dan etnis. Dapat dipertanyakan
apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami
diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari
budaya yang dominan tersebut?24 Contoh lain yang dapat disaksikan sekarang
ini yaitu di Poso, kehidupan anak-anak sehari-harinya dihadapkan pada sistuasi
konflik etnis dan agama [SARA] yang berkepanjangan. Kondisi demikian,
“pendidikan multikultural” lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk
menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.
Dengan dasar
ini, ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural yang perlu
diantisipasi, yaitu : Pertama,
tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan [education]
dengan persekolahan [schooling] atau pendidikan multikultural dengan
program-program sekolah formal. Tetapi pendidikan sebagai “transmisi
kebudayaan” yang dapat membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab
primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata
berada di tangan mereka25.
Tapi justru tanggungjawab tersebut juga menjadi tanggungjawab pihak lain yang
terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah. Kedua, menghindari
pandangan yang menyamakan kebudayaan
dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi
mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik
sebagaimana yang terjadi selama ini. Secra tradisional para pendidik mengasosiasikan
kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self
sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan
berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam
konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami
para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan
kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas
etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar
mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok
etnik. Ketiga, karena
pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya
membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki
kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung
sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan
pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok
adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi
pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara
logis. Keempat, pendidikan
multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Pertanyaannya,
kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi? Kelima, kemungkinan
bahwa pendidikan [baik dalam maupun luar sekolah] meningkatkan kesadaran
tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran
seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi
antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi
individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini
meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal
manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural
berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih
baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik26.
Dalam
konteks ke-Indonesia-an dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah
diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Sebab masyarakat adalah
kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok
sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Maka
untuk penumbuhan dan pengembangan “social and cultural capital”
melalui pendidikan, pendidikan kewargaan
[civic education] menjadi sebuah keharusan. Keadaban dan demokrasi, sekali lagi, tak bisa
dicapai secara trial and error atau diperlakukan secara taken for
granted; sebaliknya justru harus diprogramkan secara konseptual dan
komprehensif pada setiap jenjang pendidikan, dan pada setiap lembaga
pendidikan, baik formal, non-formal, maupun informal. Melalui Civic
Education dapat ditumbuhkan tidak hanya pemahaman lebih benar tentang
demokrasi, HAM, pluralitas, dan respek dan toleransi di antara berbagai
komunitas, tetapi juga pengalaman berdemokrasi keadaban27
dan multikultur. Maka dengan pendidikan ”multikulturalisme” diharapkan
dapat mendukung pengembangan demokratis yang mulai tumbuh di tengah masyarakat Indonesia yang multi
etnis, sukubangsa, budaya, agama untuk menuju masyarakat madani Indonesia atau
Indonesia baru yang dicita-citakan.
D.
Masyarakat Madani
Indonesia
Istilah masyarakat madani sering diartikan sebagai
terjemahan dari civil society.
Istilah civil society
terjemahan dari istilah Latin, civilis societas, yang mula-mula
dipakai oleh Cocero [106-43 S.M, seorang orator dan pujangga Roma], pengertiannya mengacu
kepada gejala budaya perorangan dan masyarakat. Oleh karenanya, masyarakat
sipil disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik [political society]
yang memiliki kode hukum28
sebagai dasar pengaturan hidup29. Filsuf Muslim abad pertengahan al-Farabi,
menyebutkan masyarakat dengan ciri-ciri itu sebagai al-Madinah al-fadhilah [Masyarakat Utama]30.
Nurcholis Madjid mengacu pada konsep ”negara kota
Madinah” yang dibangun Nabi Muhammad saw pada 622 M31,
yaitu ”masyarakat yang berperadaban [ber-”madaniyyah”] karena tunduk dan
patuh [dana-yadinu] kepada ajaran
kepatuhan [din] yang dinyatakan dalam supermasi hukum dan peraturan.
Oleh karenanya, masyarakat madani merupakan reformasi total terhadap masyarakat
tak kenal hukum [lawless] Arab Jahiliyah”32
yang dapat melahirkan masyarakat yang berperadaban, sehingga ”masyarakat madani
juga mengacu pada konsep tamaddun [masyarakat berperadaban]”33. Apabila konsep masyarakat ini, dikaitkan
dengan konsep al-Qur’an surah Ali ’Imran ayat 110 terdapat konsep ”kuntum
khaira ummah”34
– adalah umat terbaik. Jadi masyarakat terbaik yang digambarkan al-Qur’an
tersebut adalah ”masyarakat yang berproses menuju dan memiliki kecenderungan
pada nilai-nilai keutamaan [khayr] yang landasannya pada iman
tauhid35,
dengan mewujudkan dan
melaksanakan ma’ruf dan mencegah atau melarang yang munkar.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masyarakat madani
adalah suatu komunitas masyarakat ”terbaik” yang memiliki ”kemandirian
aktivitas warga masyarakatnya” yang berkembang sesuai dengan potensi budaya,
adat istiadat, dan agama, dengan mewujudkan dan memberlakukan nilai-nilai
keadilan, kesetaraan [persamaan], penegakan hukum, jaminan kesejahteraan,
kebebasan, kemajemukan [pluralisme], dan perlindungan terhadap kaum minoritas.
Jadi, masyarakat madani adalah “masyarakat mandiri dan bertanggung jawab,
masyarakat yang berkembang dari rakyat dan untuk rakyat itu sendiri”36,
masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya dan hidup dalam demokrasi37
dengan berbagai perbedaan kelompok etnis, ras, suku bangsa, budaya, agama dan
lain-lain sebagai wujud masyarakat
multikulralisme.
Sedangkan,
masalah ”pluralisme” adalah sebagai suatu unsur yang sangat asasi dalam
masyarakat madani sebagaimana diletakkan dasar-dasarnya oleh Nabi. Menurut Nurcholis
Madjid, bahwa untuk menghadapi masa depan bangsa kita, khazanah wawasan
kenegaraan dan kemasyarakatan Madinah baik sekali dijadikan rujukan dan
teladan. Menurutnya, hal ini dirasakan amat mendesak bagi masyarakat kita,
mengingat akhir-akhir ini banyak tersingkap perilaku yang menunjukkan tiadanya
kesejatian dan ketulusan dalam mewujudkan nilai-nilai madani ..., sebab
masyarakat kita masih menunjukkan pemahaman yang dangkal dan kurang sejati
terhadap pluralisme dan dalam masyarakat ada tanda-tanda bahwa orang memahami pluralisme
hanya sepintas lalu saja, tanpa makna yang lebih mendalam dan tidak berakar
dalam ajaran kebenaran38.
Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa upaya membangun
untuk menuju masyarakat madani Indonesia bukan persoalan dan perkerjaan yang
mudah. Bukan seperti ”membalik telapak tangan”, sebab hal ini sangat terkaiat
dengan persoalan komitmen, budaya, politik, hukum, ekonomi, pendidikan serta
sikap dan persoalan hidup masyarakat Indonesia yang lain. Tentu saja, diperlukan berbagai terobosan
dalam penyusunan konsep serta tindakan-tindakan, ”dengan kata lain diperlukan
suatu paradigma-paradigma39
baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru. Apabila
tantangan-tantangan tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, tentu
saja segala usaha yang akan dijalankan memenuhi kegagalan”40. Dengan demikian, untuk menjawab tentangan
tersebut, tanpaknya sektor pendidikan memiliki peran yang strategis dan
fungsional untuk mewujudkan konsep tersebut,
sebab pendidikan senantiasa berusaha untuk menjawab kebutuhan dan
tantangan yang muncul di kalangan masyarakat sebagai konsekuensi dari suatu
perubahan. Mungkin saja, kita
akan bertanya model atau konsep pendidikan yang bagaimana yang dapat menjawab
peresoalan tersebut.
Dalam konteks ini, dapat
dikatakan bahwa konsep pendidikan _ulticultural merupakan konsep pendidikan
alaternatif untuk dapat menjawab tantangan untuk membangun dan menuju “masyarakat madani
Indonesia”. Prediksi ini, didasarkan pada konsep bahwa “pendidikan
_ulticultural melihat masyarakat secara lebih luas, dengan segala keperbedaan
yang dimiliki. Selain itu, paradigma
pendidikan _ulticultural juga mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan,
kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam
berbagai bidang kehidupan, seperti: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan
lain sebagainya41.
Oleh karenanya, paradigma seperti ini dapat mendorong tumbuhnya kesadaran untuk
mewujudkan masyarakat madani Indonesia.
E.
Pendidikan
Multikulturalisme Menuju Masyarakat Madani Indonesia
Model
pendidikan di Indonesia menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi
dan sarana yang dipakai untuk mencapainya.
Olah karena itu, dengan tidak bermaksud mengabikan usaha dan hasil yang
telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, tetapi dapat dikatakan bahwa selama ”Orde Baru”, telah tercipta
suatu suasana kehidupan bangsa yang tidak sesuai dengan cita-cita UUD
1945. Katakan saja, pada sektor
pendidikan telah tercipta dan ”menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang
tertekan, tidak kritis, bertindak dan berpikir dalam acuan suatu struktur
kekuasaan yang hanya mengabdi kepada kepentingan sekelompok kecil rakyat
Indonesia”42
yang dirasakan sampai sekarang ini. Era
reformasi telah terjadi dan sudah berlangsung kurang lebih 9 tahun dan perubahan dari sisi demokrasi politik sudah terlihat. Tetapi di sisi lain, sikap
masyarakat Indonesia sampai saat inipun belum mengalami berubah secara signifikan.
Selain itu, dengan era reformasi ini juga telah menambah kompleksnya persoalan
keragaman antara kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain di Indonesia
sebagai masyarakat ”multikultural”.
Kehidupan politik bangsa Indonesia sekarang ini telah
mengalami perubahan dan bangsa Indonesia berkeinginan dan menuntut kembali kedaulatan
rakyat yang telah hilang, termasuk pendidikan. Apabila demikian, maka
”pendidikan nasional haruslah dikembalikan fungsinya kepada upaya memberdayakan
masyarakat dengan mengembalikan kedaulatan rakyat untuk membangun dirinya
sendiri”43,
menuju masyarakat madani Indonesia. Tapi
ironis sekali, dalam kehidupan masyarakat Indonesia, konsep reformasi
diterjemahkan oleh masyarakat ”kebablasan” yang kadang-kadang menjadi
tindakan ”anarkis” dan keluar jauh dari konsep reformasi itu sendiri. Contoh yang dapat diamati sekarang ini adalah
banyak kasus yang terjadi tahun terakhir ini, seperti amuk masa, pembakaran merupakan hal yang lumrah,
masyarakat bertindak sewenang-wenang, main hakim sendiri, moral dan hak-hak
kemanusian [humanis] terabaikan. Katakan saja, pembunuhan dan pemerkosaan merupakan hal yang biasa, kekerasan terjadi dimana-mana, konflik
bernuansa SARA, tindak kekerasan terhadap aliran agama tertentu [Ahmadiyah],
peristiwa tragis berdarah di depan
Universitas Cendrawasi Abepura Papua yang bersifat anarkis dan “kebablasan”
sehingga menelan korban jiwa, dan peristiwa kekerasan lain yang terjadi di
masyarakat Indonesia. Itulah realitas
kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini.
Perilaku semacam ini, dikatakan
“kurang civil, bahkan dapat dikatakan “uncivil society [masyarakat biadab]”44. Dengan realitas ini, mungkinkah saja kita
akan mengatakan bahwa masyarakat Indonesia masih jauh dari protetype civil
society dan “masyarakat madani” atau yang selalu disebut dengan
istilah “Indonesia Baru”.
Kondisi ini memerlukan konsep pendidikan ”alternatif”
yang mampu menjawab perubahan masyarakat yang serba ”instan” dalam kehidupan
ini. Pendidikan nasional perlu
direformasi untuk mewujudkan visi baru masyarakat madani Indonesia. Bangsa ini tanpaknya memerlukan pendidikan
”alternatif” yang sesuai dengan konsep masyarakat madani yang dicita-citakan,
yaitu : Pertama, masyarakat beriman dan bertaqwa, memiliki
pemahaman mendalam akan agama serta hidup berdampingan dan saling menghargai
perbedaan agama masing-masing. Kedua, masyarakat demokratis dan beradab yang menghargai adanya
perbedaan pendapat. Memberi tempat dan penghargaan perbedaan pendapat serta
mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan individu, kelompok dan
golongan. Ketiga, masyarakat yang menghargai hak-hak asasi manusia,
mulai dari hak untuk mengeluarkan pendapat, berkumpul, berserikat, hak atas
kehidupan yang layak, hak memilih agama, hak atas pendidikan dan pengajaran,
serta hak untuk memperoleh pelayanan dan perlindungan hukum yang adil. Keempat,
masyarakat tertib dan sadar hukum yang direfleksikan dari adanya budaya malu
apabila melanggar hukum. Kelima, masyarakat yang kreatif, mandiri dan
percaya diri. Masyarakat yang memiliki orientasi kuat pada penguasaan ilmu
pengatahuan dan teknologi. Keenam, masyarakat yang memiliki semangat
kompetitif dalam suasana kooperatif, penuh persaudaraan dengan bangsa-bangsa
lain dengan semangat kemanusiaan universal [pluralistik]45.
Maka, untuk mengantisipasi perubahan menuju masyarakat
madani Indonesia, diperlukan terobosan pemikiran kembali suatu konsep
pendidikan yang fungsinya dapat memberdayakan manusia dan masyarakat dengan
perbedaan yang dimiliki. Artinya,
konsep pendidikan tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk
merekonstruksi kembali “kebudayaan nasional Indonesia” yang terdiri dari keragaman etnis dan budaya tersebut. Untuk itu, konsep pendidikan multikultural [multicultural
education] sebagai jawaban untuk pendidikan masyarakat madani, sebab
pendidikan multikultural melihat masyarakat secara luas dari keperbedaan yang
dimiliki. Sebab ”pandangan dasar bahwa sikap ”indifference”
dan
”non-recognition” tidak
hanya berakar dari ketimpangan struktural rasial, etnis dan sukubangsa saja,
tapi paradigma pendidikan multikultural mancakup subjek-subjek mengenai
ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok
minoritas dalam berbagai bidang sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan
lain-lain46. Paradigma pendidikan multikultural ini
sejalan dengan paradigma masyarakat madani yaitu masyarakat beriman, demokratis
dan beradab, berbudaya, menghargai hak asasi manusia, masyarakat tertib dan
sadar hukum, kreatif, mandiri dan percaya diri,
sehinggan ”paradigma seperti ini pada gilirannya mendorong tumbuhnya
kajian-kajian tentang ”ethnic studies”, untuk kemudian menemukan
tempatnya di dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai ke
tingkat pendidikan tinggi47.
Untuk
mewujudkan konsep tersebut di atas, konsep pendidikan multikultural, diharapkan
dapat memberikan kontribusi bagi pembentukan masyarakat madani Indonesia
ditengah ”kebihnnekaan” yang betul-betul aktual. Oleha karena itu, ”disain
kurikulum pendidikan multikultural, ”mestilah mencakup subjek-subjek seperti
seperti; toleransi, tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural, suku
bangsa, agama, bahaya diskriminasi,
penyelesaian konflik, HAM, demokrasi dan
pluralitas, kemanusian universal dan subjek-subjek lain yang relevan”48.
Untuk itu, perumusan kurikulum dan implementasi
pendidikan multikultural untuk masyarakat madani Indonesia, dibutuhkan
pembahasan serius yang menyangkut dengan persoalan strategi yang akan ditempuh,
misalnya saja apakah kurikulum tersebut dalam ”bentuk matapelajaran terpisah,
berdiri sendiri [separated curriculum], terpadu [integrated
curriculum] atau menghubungkan atau
korelasi [correlated curriculum]”49.
Dengan
demikian, peran pendidikan” multikultural ”diperlukan untuk mempersiapkan
individu dan masyarakat sehingga memiliki kemampuan dan motivasi serta
berpartisivasi secara aktif dalam aktualisasi dan institusionalisasi masyarakat
madani50 Indonesia, yang mempunyai identitas
berdasarkan budaya Indonesia.
Pendidikan perlu merumuskan suatu
visi pendidikan yang baru yaitu membangun manusia dan masyarakat madani
Indonesia yang mempunyai identitas, berdasarkan budaya Indonesia”51,
dan visi pendidikan yang baru ini adalah ”pendidikan multikultural”. Tetapi,
konsep ”pendidikan multikultural tidak berarti hanya sebatas ”merayakan
keragaman” belaka..., tetapi pendidikan
multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan
masyarakat yang toleran dan bebas toleransi”52,
menuju masyarakat madani Indonesia.
Berdasarkan pada konsep masyarakat madani
yang dikemukakan di atas, yaitu masyarakat yang beriman dan bertaqwa, ”beradab,
sopan dan toleran terhadap sesama manusia, menagatur diri sendiri tanpa campur
tangan, bebas dari paksaan, ancaman dan kekerasan”53. Maka, program pendidikan multikulkural yang
akan dikembangkan merupakan sebuah program pendidikan yang menyediakan
lingkungan belajar yang sesuai dengan kebutuhan dasar akademik dan sosial.
Program pendidikan yang dapat mengakses dan merealisasikan kompotensi-komptensi
yang diinginkan untuk mewujudkan masyarakat madani Indonesia. Maka perlu
menyusum program pendidikan yang bersifat: [1] content integration,
yaitu mengintegrasikan bebagai budaya kelompok masyarakat untuk
mengilustrasikan dalam mata pelajaran, [2] the knowledge construction
process, yaitu membawa peserta didik untuk memahami implikasi budaya ke
dalam sebuah mata pelajaran, [3] an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan
metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi
akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial, dan [4] prejudice
reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan
metode pengajaran mereka”54.
Sedangkan model pembelajaran yang
dikembangkan dan akan diarahkan pada pencapaian kompetensi-kompetensi menuju
masyarakat madani Indonesia, yaitu sebagai berikut: [1] Mengembangkan
kompetensi akademik standar [standard and basic academik skills] tentang
nilai-nilai persatuan dan kesatuan, peradaban, demokrasi, keadilan, kebebasan,
persamaan derajat dan sang menghargai dalam keragaman agama dan budaya. [2]
Mengembangkan kompetensi sosial agar dapat menumbuhkan pemahaman [a better
understanding] tentang latar
belakang budaya sendiri dan budaya lain dalam masyarakat. [3] Mengembangkan
kompetensi akademik untuk menganalisis dan membuat keputusan yang cerdas [inteleligent
decisions] tentang isu-isu dan masalah keseharian [real-life problems] melalui sebuah proses demokratisasi atau
inkuri dialogis [dialogical inquiry]. [4] Membantu mngkonseptualisasi
dan mengaspirasikan sebuah masyarakat yang lebih baik, demokratis dan memiliki
persamaan derajat55. [5] Pendidikan yang mampu mengembangkan
kompetensi kesopanan dan toleransi terhadap satu sama manusia dalam suatu
masyarakat yang tertib dan teratur. [6] Pendidikan yang mampu mengembangkan
kompetensi untuk mandiri dan mampu mengatur diri sendiri tanpa campur tangan pihak lain. [7]
Pendidikan yang mampu mengembangkan kompetensi agar dapat bebas dari paksaan,
ancaman dan kekerasan.
Dari uraian ini, diharapkan gagasan dan konsep pendidikan
"multikultural" dapat merekonstruksi kembali "kebudayaan
nasional Indonesia" yang terdiri
dari keragaman etnis, suku bangsa,
budaya dan agama yang merupakan kenyataan yang tak dapat ditolak dalam
kehidupan negara-bangsa Indonesia. Dengan
demikian, pendidikan multikulturalisme diharapkan dapat mengubah “paradigma
monokultural” yang penuh dengan
prasangka dan diskriminatif ke paradigma pendidikan multikulturalisme yang
menghargai perbedaan dan keragaman dan perbedaan, toleransi dan sikap terbuka56,
membangun masyarakat yang berperadaban, toleransi terhadap sesama manusia,
mandiri dan mampu mengatur diri sendiri, bebas dari paksaan, ancaman dan
kekerasan57
untuk menuju dan tercipta masyarakat
madani Indonesia.
F. Penutup
Gagasan pendidikan multikultural merupakan suatu
pendidikan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara
menyeluruh untuk membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik
diskriminasi dalam proses pendidikan sebagai upaya untuk menuju masyarakat
madani Indonesia.
Untuk mewujudkan gagasan pendidikan
multikulturalisme, harus didasarkan pada
konsep ketaqwaan dan iman, keberadaban, sopan, toleran, mandiri, bebas dari
paksaan, kekerasan, ancaman, keadilan sosial, dan persamaan hak dalam konsep
dan praktik-praktik pendidikan untuk menuju masyarakat madani Indonesia.
Konsep pendidikan multikulturalisme harus berusaha
memfasilitasi proses pembelajaran yang menghargai keragaman etnis dan
perbedaan, persamaan hak, toleransi dan sikap terbuka. Mengembangkan
kompetensi untuk mampu mandiri dan mengatur diri sendiri tanpa campur tangan
pihak lain, bebas dari paksaan, ancaman dan kekerasan sebagai ciri dasar
masyarakat madani.
DAFTAR PUSTAKA
Adeney-Risakotta,
Bernard, 2000, Civil Society dan
Abrahamic Religions, UKDW, Yogyakarta, July, 2000.
Amini, Ernie Isis Aisyah, 2004,
Analisis Kebutuhan Pendidikan Multikultural Berbasis Kompetensi Pada Siswa
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama [SLTP] di Kota Mataram, Program Pascasarjana
IKIP Negeri Singaraja, Mataram.
Atmadja, 2003, Multikulturalisme dalam Perspektif Filsafat Hindu,
Makalah di Sajikan dalam Seminar Damai Dalam Perbedaan, Singaraja, 5 Maret
2003.
Azra,Azyumardi, 2005, Identitas dan Krisis Budaya,
Membangun
Multikulturalisme Indonesia, From: http://kongres.budpar.go.id/agenda/precongress/makalah/
abstrak/58%20 azyumardi%20azra.htm, akses,Selasa,24 Mei 2005,jam.
11.00
Baso, Ahmad, 1999, Civil Society Versus Masyarakat Madani, Arkeologi
Pemikiran “Civil Society” dalam Islam Indonesia, Pustaka Hidayah, Bandung.
Conny, Semiawan, 2002, Belajar dan Pembelajaran Dalam Taraf Usia Dini, Jakarta,
PT. Prenhallindo.
el-Ma’hady, Muhaemin, 2004, Multikulturalisme dan
Pendidikan Multikultural [Sebuah Kajian Awal], From: http://artikel.us/muhaemin6-04.html, senin,
23 maei 2005, jam. 16.00
Rahardjo, M.Dawam, 1999, “Demokrasi,Agama dan Masyarakat Madani”,Jurnal
Ilmu-Ilmu Sosial,UNISIA,(No.39/XXII/III/1999,ISSN:0215-1412).
____,1999, “Masyarakat Madani di Indonesia, Sebuah Penjajakan Awal”,
Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA, (Vol.I,Nomor 2, ISSN; 1410-8410, 1999).
Maarif, Ahmad Syafii, 1996, “Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan
Umat”, Jurnal Pendidikan Islam (JPI),
(No.2 Th. Fakultas Tarbiyah UII, 1 Oktober 1996).
Nasution, S, 1990, Asas-asas Kurikulum, Jammars,
Bandung.
Natsir, M. 1973, Kapita Selecta, Jakarta: Bulan Bintang.
Pengkajian dan Perumusan Filosofi Kebijakan dan Strategi Pendidikan Nasional 1999, Kelompok Kerja Depdikbud, Konferensi Pendidikan
Inonesia Mengatasi Krisis Perubahan-Menuju Pembaruan, Jakarta, 23-24 Februari 1999.
Puwasito, Andrik, 2003, Komunikasi
Multikultural, Surakarta, Muhammadiyah Unuversity Press.
Sanaky, Hujair AH. 2003, Paradigma
Pendidikan Islam: Mambangun Masyarakat Madani Indonesia, Safiria Insania
Press dan MSI UII, Yogyakarta.
Suparlan, Parsudi, 2002, Menuju Masyarakat Indonesia
Yang Multikultural, Makalah, Disajikan pada Simposium Internasional Jurnal Antropologi
Indonesia ke-3, Membangun Kembali “Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika”,
Menuju Masyarakat Multikultural, Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16-19
Juli 2002, From: http://www.scripps.ohiou.edu/news/
cmdd/ artikel ps.htm, Akses, Senin, 23 mei 2005, jam 16.00].
Syarief, Hidayat, 1999, Paradigma Baru Pendidikan Membangun Masyarakat
Madani, REPUBLIKA, 30 Oktober 1999.
Tilaar, H.A.R., 1998, Beberapa Agenda Reformai Pendidikan Nasional Dalam
Perspektif Abad 21, (Magelang:Tera Indonesia.
_______1999, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia,
Strategi Reformasi Pendidikan Nsional, [Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford
Foundation].
______,Multikulturalisme,
Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nsiona,
Grasindo, Jakarta.
Tafsir, Ahmad, 1999, “Pendidikan untuk Masa Depan”,
Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Luar Biasa Ilmu Pendidikan Islam pada
Institusi Agama Islam Lathifah Mubarokiyah Pondok Pesantren Suryalaya, 5
September 1999.
1Makalah
Revisi ini, sebagai makalah pengganti: Civil Societi dan Masyarakat Madani
[Jalan Panjang Perubahan Menuju Masyarakat Madani Indonesia], yang telah
didiskusikan di Rumah Prof. Dr.
Bernard Adeney – Risakotta pada tanggal 31 Maret 2006. Maka stas saran dan permintaan
Prof.Dr.Bernard Adeney – Risakotta, maka makalah sebagai tugas Mata Kuliah
Isu-Isu Global ini, direvisi dengan judul: Gagasan Pendidikan Multikulturalisme Sebagai Upaya
Menuju Masyarakat Madani Indonesia.
2Muhaemin el-Ma’hady,2004, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural
[Sebuah Kajian Awal], From: http://artikel.us/muhaemin6-04.html, akses,
senin, 23 Mei 2005, jam. 16.00
3Prsudi Suparlan, 2002, Menuju
Masyarakat Indonesia Yang Multikultural, Makalah, Disajikan pada Simposium
Internasional Jurnal Antropologi Indonesia ke-3, Membangun Kembali
“Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika”, Menuju Masyarakat Multikultural,
Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16-19 Juli 2002, From: http://www.scripps.ohiou.edu/news/
cmdd/ artikel ps.htm, Akses, Senin, 23 mei 2005, jam 16.00].
4Parsudi
Suparlan, 2002, Ibid.
5Ibid, hlm.
2
6Fay, 1996;
Rex, 1985; dalam Suparlan, 2002, Ibid.
7Bloom, dalam Atmadja, 2003,
Multikulturalisme dalam Perspektif Filsafat Hindu, Makalah di Sajikan
dalam Seminar Damai Dalam Perbedaan, Singaraja, 5 Maret 2003.
8Ernie Isis
Aisyah Amini, 2004, Analisis Kebutuhan
Pendidikan Multikultural Berbasis Kompetensi Pada Siswa Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama [SLTP] di Kota Mataram, Program Pascasarjana IKIP Negeri
Singaraja, Mataram, hlm. 31-32.
9Parsudi
Suparlan, 2002, Op.cit.
10Andrik
Puwasito,2003,Komunikasi Multikultural, Surakarta, Muhammadiyah
Unuversity Press, hlm.147
11Azyumardi Azra, 2005, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun
Multikulturalisme Indonesia, From: http:// kongres.
budpar.go.id/agenda/precongress/makalah/abstrak/58%20 azyumardi%20azra.htm,
akses, Selasa,24 Mei 2005, jam. 11.00
13Parekh,
1997:183-185, dalam Azyumardi Azra,Identitas dan Krisis Budaya,
Membangun
Multikulturalisme Indonesia, From:http://kongres.budpar.go.id/
agenda/ precongress/ makalah/abstrak/58%20 azyumardi%20azra.htm,
akses, Selasa, 24 Mei 2005, jam. 11.00
14Ahmad Syafii Maarif,
menyatakan apabila dilihat dari segi
sejarah, pendidikan merupakan suatu gerakan yang telah berunur sangat tua.
Dalam bentuk sederhana dapat dipahami,
pendidikan telah dijalankan sejak dimulainya manusia di muka bumi ini.
Penguasaan alam semesta, memberi contoh pendidikan kepada manusia dan
dilanjutkan dengan mendidik keluarga. Ahmad
Syafii Maarif, “Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat”,
Jurnal Pendidikan Islam (JPI), (No.2 Th.
Fakultas Tarbiyah UII, 1 Oktober 1996), hlm. 6.
15M.
Natsir, Kapita Selecta, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm. 77.
16Ernie Isis Aisyah Amini,
2004, Op.cit., 15-16.
18Muhaemin el-Ma’hady, Op.cit.
From: http://artikel.us/muhaemin6-04.html.
19Azyumardi Azra, Identitas
dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia,
From:http://kongres. budpar.go.id/
agenda/ precongress/ makalah/abstrak/58%20 azyumardi%20azra.htm,
akses,Selasa,24 Mei 2005,jam. 11.00.
20H.A.R. Tilaar,2004, Multikulturalisme,
Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nsiona,
Grasindo, Jakarta, hlm. 123
21Muhaemin el-Ma’hady, 2004, Op.cit
22Muhaemin el-Ma’hady, 2004, Op.cit, From: http://artikel.us/muhaemin6-04.html,
27Azyumardi
Azra,
Identitas dan Krisis Budaya, Membangun
Multikulturalisme Indonesia,From:http://kongres.
budpar.go.id/agenda/precongress/makalah/abstrak/58%20 azyumardi%20 azra.htm,
akses,Selasa,24 Mei 2005,jam.11.00
28Masyarakat politik [political
society], suatu masyarakat yang
memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup. Maksudnya, adanya hukum
yang mengatur antara individu menandai keberadaan suatu jenis masyarakat
tersendiri dan masyarakat seperti ini,
di zaman dahulu adalah masyarakat yang tinggal di kota. Dalam kehidupan kota
penghuninya telah menundukkan hidupnya di bawah satu dan lain bentuk hukum
sipil [civil law] sebagai dasar dan mengatur kehidupan bersama. Di zaman
modern, istilah itu diambil lagi dan
dihidupkan John Locke [1632-1704] dan Roesseau [1712-1778] untuk
mengungkapkan pemikirannya mengenai masyarakat dan politik. Locke,
mendefinisikan masyarakat sipil sebagai “masyarakat politik” [political
society]. Roesseau, menyatakan masyarakat politik itu sendiri, merupakan
hasil dari suatu perjanjian kemasyarakatan [social constract] dan
anggota masyarakat telah menerima suatu pola perhubungan dan pergaulan bersama.
Dalam konsep Locke dan Roesseau belum dikenal perbedaan antara masyarakat sipil
dan negara dan perbedaan antara masyarakat sipil dan negara timbul dari
pandangan Hegel [1770-1831] pemikir
Jerman yang banyak menarik perhatian, yang ditentang dan sekaligus diikuti oleh
Marx. Sama halnya dengan Locke dan Roesseau, Hegel melihat masyarakat sipil
sebagai wilayah kehidupan orang-orang yang telah meninggalkan kesatuan keluarga
dan masuk ke dalam kehidupan ekonomi yang kompotitif. Ini adalah arena, di mana
kebutuhan-kebutuhan tertentu atau khusus dan berbagai kepentingan perorangan
bersaing, yang menyebabkan perpecahan-perpecahan, sehingga masyarakat sipil itu mengandung
potensi besar untuk menghancurkan dirinya.
Oleh Hegel, masyarakat sipil dihadapkan dengan negara. Dari teori Hegel
inilah dikenal dikotomi antara negara
dan masyarakat (state and society).M.Dawam Rahardjo,“Demokrasi,Agama
dan Masyarakat Madani”,Jurnal Ilmu-Ilmu
Sosial,UNISIA ,(No.39/XXII/ III/1999, ISSN: 0215-1412),hl.27-28.
30Ahmad Baso,
1999, Civil Society Versus Masyarakat Madani, Arkeologi Pemikiran “Civil
Society” dalam Islam Indonesia, Pustaka Hidayah, Bandung, hlm. 91.
31Hidayat Syarief,1999, Paradigma
Baru Pendidikan Membangun Masyarakat Madani,REPUBLIKA, 30 Oktober 1999.
32Nurcholis Madjid, Pengantar [2] Masyarakat
Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan dan Kemungkinan, dalam Ahmad
Baso, 1999, Civil Society Versus Masyarakat Madani, Arkeologi Pemikiran
“Civil Society” dalam Islam Indonesia, Pustaka Hidayah, Bandung, hlm. 21.
33Hidayat Syarief, Paradigma Baru
Pendidikan Membangun Masyarakat Madani,
REPUBLIKA, (30 Oktober 1999).
35Ibid, hlm.
91.
36H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan…,
hlm. 117.
37Ahmad
Tafsir, 1999, “Pendidikan untuk Masa Depan”,Pidato Pengukuhan Sebagai
Guru Besar Luar Biasa Ilmu Pendidikan Islam pada Institusi Agama Islam Lathifah
Mubarokiyah Pondok Pesantren Suryalaya,5 September 1999,hlm.5.
38Nurcholis
Madjid, Op.cit, hlm. 23.
39Paradigma”,
yang dikemukakan L.Wilardjo, yang
dikutip Tilaar, “suatu konsistensi capaian besar (constellation
of great achievemens) berupa konsep, nilai-nilai,teknis, prosedur yang
diterima masyarakat keilmuan dan dipakai sebagai contoh menentukan masalah
keilmuan yang sah dan bagaimana cara memecahkannya. H.A.R. Tilaar, Beberapa
Agenda Reformasi Pendidikan…, hlm.28.
41Muhaemin
el-Ma’hady, 2004, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural [Sebuah
Kajian Awal] Tanggal 27 Mei 2004, From:
http://artikel.us/muhaemin6-04.html,
akses, Senin, 23 Mei 2005, jam. 16.00, hlm.4.
42H.A.R.
Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan…, hlm. 4.
44Bernard Adeney-Risakotta,2000,Civil
Society dan Abrahamic Religions,UKDW,Yogyakarta,July,2000, hlm.5
45Hidayat Syarief, Paradigma
Baru Pendidikan Membangun Masayarakat Madani,REPUBLIKA,(30 Oktober 1999),
hlm.4. dalam Hujair AH. Sanaky, 2003, Paradigma Pendidikan Islam: Mambangun
Masyarakat Madani Indonesia, Safiria Insania Press dan MSI UII, Yogyakarta.
46Azyumardi
Azra,
Identitas dan Krisis Budaya, Membangun
Multikulturalisme Indonesia, From:http://kongres.
budpar.go.id/agenda/precongress/makalah/abstrak/58%20 azyumardi%20azra. htm,
akses, Selasa,24 Mei 2005, jam.11.00
49S. Nasution,
1990, Asas-asas Kurikulum, Jammars, Bandung, hlm. 144-157.
51HAR. Tilaar, menyatakan bahwa dalam era reformasi, pendidikan
nasional tidak sesuai lagi dengan proses budaya yang terjadi pada masa Orde
Baru. Pada masa Orde Baru manusia Indonesia tidak hidup lagi dalam dunianya
yang orisinil , dunia yang berbudaya dan pendidikan nasional telah dipisahkan
dari budaya bangsa. Pendidikan nasional tidak lagi diarahkan untuk melahirkan
manusia-manusia yang berbudaya, yang mempunyai identitas atau jati diri, bukan
lagi menghasilkan manusia yang berbudaya, tetapi manusia beringas, mudah
tersinggung, toleransi tipis dan menganut budaya kekerasan .H.A.R. Tilaar, Pendidikan,
Kebudayaan,…, hlm. 10.
53Bernard
Adeney-Risakotta, 2000, Civil Society dan Abrahamic Religions, Op.cit., hlm.
7.
55Baca: Aisyah Amini, Ernie Isis, 2004, Analisis Kebutuhan Pendidikan Multikultural
Berbasis Kompetensi pada Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama [SLTP] di Kota
Mataram, Tesis, Jurusan Penelitian dan Evcaluasi Pendidikan, Program
Pascasarjana IKIP Negeri Singaraja, hlm.47.
56Baca: Muhaemin
el-Ma’hady, 2004, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural..,
Op.cit, hlm.7..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar