TANTANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI ERA REFORMASI DAN
INFORMASI,
PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM DI
INDONESIA
Hujair AH. Sanaky, Dr., MSI
1. Pendahuluan
Era reformasi ditandai dengan tergulingnya
reszim pemerintahan Soeharto, dibarengi dengan krisis
moneter, ekonomi, dan politik telah mendorong arus pembaruan dalam semua aspek
kehidupan (Hujair AH. Sanaky, 2015:1). Pembaruan dan reformasi[2] telah menggerakkan perubahan dalam semua aspek
kehidupan, bahkan berdampak pada euforia[3] kebebasan yang nyaris kebablasan.[4] Era reformasi, selain
memberikan harapan besar hadirnya kebebasan, keamanan, dan kenyaman untuk
hidup di bumi pertiwi Indonesia ini.
Euforia reformasi telah menggiring
keinginan publik untuk membongkar banyak hal dalam tatanan kehidupan bangsa
Indonesia, termasuk bidang pendidikan, walaupun sampai saat ini reformasi belum
menunjukkan hasil dan perubahan yang signifikant. Kondisi krisis moneter dengan
kompetisi bebas di ambang pintu dan sudah dimulai, situasi politik yang kurang
kritis dan demokratis, juga ikut membawa perubahan pada kehidupan masyarakat
Indonesia. Melihat kenyataan ini, maka
ada baiknya kita berfikir sejenak
tentang kondisi dan pengkondisian Sumber Daya Manusia yang ada di Indonesia.
Tanpaknya wajah pendidikan kita di Indonesia harus dirubah, sebab proses
perjalanan peradaban modern bangsa ini ke masa depan akan bergerak di atas
peralatan yang amat rapuh. Katakan saja ada 88.8 persen sekolah di Indonesia,
mulai dari SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan minimal. Berdasarkan data yang ada, 40.31 persen dari
201.557 sekolah di Indonesia berada di bawah standar pelayanan minimal, 48.89
persen pada posisi standar pelayanan minimal, dan 10.15 persen yang memenuhi
standar nasional pendidikan. Katakan saja, sekolah-sekolah yang dinilai mampu
bersaing dengan mutu pendidikan negara-negara lain, yang selalu disebut dengan
istilah rintisan sekolah bertaraf internasional hanya 0.65 persen. Tercatat sekitar 3,600 perguruan tinggi
swasta dan hanya 92 perguruan tinggi negeri. Dari jumlah itu terdapat 6.000
program studi yang belum terakreditasi (Kompas, 18/5/2012), 42 persen dari semua
tenaga pengajarnya masih berpendidikan S-1. Hanya 6-7 persen dari semua program
studi yang terakretitasi A (Hafid Abbas, 2015:7). Inilah kondisi dan realitas pendidikan di Indonesia yang
sangat memprihatinkan.
Saat ini pendidikan di Indonesia berhadapkan dengan perkembangan dunia yang semakin terbuka dan
transfaran. Hal-hal yang tadinya tidak mungkin
menjadi mungkin, hal-hal yang tadinya tabu sekarang menjadi profan dan massal. Apa yang terjadi kadang-kadang sulit
diprediksi. Muncul pertanyaannya, siapkah kita untuk menghadapi kompetisi bebas dalam
dunia reformasi dan globalisasi? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu saja
setiap orang akan memberikan respon menurut sudut
pandangnya masing-masing. Ada yang dengan lantang menyatakan
siap menghadapi perubahan tersebut dengan “persiapan” yang mungkin kurang memadai. Ada pula dengan suara yang “kurang optimis” menyatakan belum siap dengan
berbagai perubahan. Biarlah perubahn itu terjadi. Sementara kita menghadapi percepatan perkembangan
teknologi informasi comunikasi yang begitu cepat, menyebabkan terjadi beberapa konsekuensi
logis seperti percepatan aliran ilmu
pengetahuan, dan tentu saja akan menjadi ancaman bagi sistem pendidikan yang selama ini berjalan.
2. Peran Teknologi
Informasi
Dunia
pendidikan sekarang sudah begitu maju seiring dan atau mengikuti irama kemjuan teknologi Informasi. Paradigma pendidikan
sudah berubah, karena siswa pada era sekarang adalah generasi yang terlahir
sebagai “digital native” (terlahir dalam dunia digital), sementara para guru dan dosen sekarang ini terlahir sebagai
“pemakai perangkat digital” (“digital immigrant”). Ini berarti telah terjadi perubahan paradigma
pendidikan dalam artian proses pendidikan dituntut untuk menyesuaikan dengan
perkembangan teknologi informasi khususnya dalam bidang pembelajaran.
Perkembangan informasi comunikasi
teknologi, telah terjadi perubahan, terjadi beberapa
pergesaran mendasar dan drastis terhadap
paradigma pendidikan. Laju perkembangan pesat di dunia teknologi informasi,
khususnya “teknologi informasi internet” yang pada akhirnya mempercepat aliran ilmu pengetahuan menembus
batas-batas dimensi wilayah, giografi, ruang, birokrasi, kemapanan dan waktu. Kita perlu
menyadari bahwa “teknologi informasi” bukan hanya ilmu pengetahuan yang
dapat di transmisikan pada kecepatan tinggi akan tetapi juga data dan informasi
lain. “Kemampuan” dan “kesempatan” untuk mengakumulasi, mengolah, menganalisis,
mensintesa data menjadi informasi, kemudian menjadi ilmu pengetahuan yang
bermanfaat sangatlah penting artinya dalam dunia informasi saat ini. Tentu saja, kondisi ini akan berpengaruh pada kebiasaan dan budaya pendidikan yang selama ini
dilakukan.
Dewasa ini masyarakat dan bangsa Indonesia menghadapi tantangan
perkembangan ilmu pengetahuan yang menunjukkan percepatan sangat drastis. Akan menjadi indikator tantangan pembaruan dan
pengembangan kurikulum pendidikan, termasuk pendidikan Islami. Misalnya saja, perkembangan teknologi
“informasi internet” merupakan faktor pendukung utama percepatan yang memungkinkan tembusanya batas-batas dimensi
ruang dan waktu serta akan berpengaruh
pada paradigma pendidikan termasuk program kurikulum. Paradigma pendidikan lama dimana ilmu pengetahuan terpusat
pada lembaga pendidikan formal, dengan program kurikulum yang muatannya terlalu
berat, berorientasi pada pada produk
belajar, bukan pada proses belajar, didominasi oleh masalah-masalah yang bersifat
normatif, ritual dan eskatologis (hal-hal
terakhir) (http://kbbi.web.id/eskatologis),[5] akan mulai tergeser dengan paradigma
pendidikan baru.
Kenapa demikian, karena “semakin pesatnya
aktivitas manusia di muka bumi, maka menjadikan informasi sebagai kata kunci dalam meraih kesuksesan maupun
tujuan” (Irwan Prayitno,http://www.irwanprayitno.or.id/a/0203/1101.html,akses,1/8/2003).Katakan saja, keterlambatan kita dalam menerima dan mengakses informasi
boleh jadi akan berakibat lepasnya harapan atau peluang yang akan dicapai.
Begitu juga sebaliknya, kecepatan dalam menerima dan mengakses informasi akan
memperbesar peluang, harapan, mengefisienkan dan mengefektifkan kerja-kerja
yang ada ataupun aktivitas lainnya, bahkan meningkatkan produktivitas
sekalipun. Seiring dengan semakin
meningkatnya peranan informasi dalam berbagai aktivitas kehidupan maupun
teknologi, akses terhadap sumber dan jaringan informasi menjadi semakin penting
bagi siapapun. Informasi Comunikasi Teknologi internet[6]
(interconnection networking) adalah
jaringan komunikasi global yang terbuka dan menghubungkan jutaan bahkan
milyaran jaringan komputer dengan berbagai tipe dan jenis, dengan menggunakan
tipe komunikasi seperti telepon, satelit dan lain sebagainya (http://nesabamedia.com/pengertian-fungsi-dan-manfaat-internet/,akses,Selasa,10-11-2015,
jam,13.45 WIB). Jaringan informasi yang berkembang sangat pesat dan dapat
dikatakan sebagai jaringan informasi terbesar di dunia pada saat ini dan kini
internet telah digunakan oleh jutaan manusia dengan berbagai tujuan.
Salah satu manfaat teknologi informasi
adalah diperoleh melalui kerjasama antar
individu atau kelompok yang tak mengenal batas jarak dan waktu. Mungkin saja
akan terjadi, seseorang tidak perlu mengunjungi sebuah tempat kuliah karena
bahan-bahannya sudah tersedia di internet, cukup men-download saja. Disinilah kelebihan teknolofi
informasi internet sebagai wadah penyebaran
informasi. Ada sarana lain seperti alat komunikasi via satelit (wireless) yang juga
perkembangannya sangat pesat saat ini maupun berbagai software ataupun hardware
lainnya yang ikut mempengaruhi budaya, cara berpikir, dan bertindak pada era
informasi ini. Perkembang media teknologi informasi telah mengakibatkan terciptanya dunia
tanpa batas negara. Informasi dapat tersampaikan ke seluruh pelosok hanya dalam
hitungan menit, bahkan detik. Setiap kejadian yang ada di dunia, kini dapat
diketahui oleh hampir seluruh penduduk dunia dalam hitungan menit.
Kondisi yang dipaparkan di atas, merupakan peluang dan sekaligus tantangan
bagi pendidikan Islam. “Peluang yang terlihat adalah besarnya kemungkinan untuk
menyebarkan nilai-nilai Islami ke seluruh pelosok dunia dengan menggunakan biaya
minimal namun hasilnya maksimal”(Ibid,From:http://www.irwanprayitno.or.id/a/0203/1101.html). Katakan saja internet
akan menjadi alat penyebaran bagi
perangkat teknologi informasi. Lembaga-lembaga pendidikan Islam dapat
mendisain program-program seperti
pengajaran Al-Qur'an, ceramah-ceramah ulama, kajian-kajian agama Islam yang ada kaitannya dengan pengajaran
pendidikan Islam yang dapat di download dengan mudah oleh siapa saja
dari seluruh negara. Sedangkan, “tantangan yang akan muncul dari perkembangan
teknologi informasi adalah “persoalan nilai”
dan informasi itu sendiri. Artinya,“penyampaian berita-berita ataupun
informasi yang bersifat mendistorsikan ajaran Islam, menjerumuskan umat melalui
informasi yang salah”(Ibid,From:http://www.irwanprayitno.or.id/a/0203/1101.html), atau informasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islami. Pada posisi
ini, pendidikan Islam ditantang untuk
melakukan upaya-upaya yang dapat meluruskan berbagai penyimpangan tersebut.
Teknologi informasi dapat menjadi media yang efektif dan berperan signifikan
dalam menyampaikan pengajaran pendidikan Islam ke seluruh penjuru dunia dalam
upaya menghadapi “perang pemikiran” yang semakin meluas dari setiap lini
kehidupan, karena semakin terasa bahwa betapa media teknologi informasi harus
menjadi media untuk mengcounter segala aspek pemikiran yang distortif
terhadap nilai-nilai Islam.
Hemat penulis, pendidikan Islam tidak terlepas dari dan sangat membutuhkan
media teknologi informasi dalam mensosialisasikan pengajaran dan pendidikan
Islam. Pendidikan Islam sangat membutuhkan media
teknologi informasi untuk menginformasikan nilai-nilai Islami. Perlu
digarisbawahi dalam hal ini adalah pendidikan Islam yang sifatnya lebih kepada
“sektor informal”. Dalam sektor ini tidak melihat usia penggunanya, sehingga
teknologi informasi dapat membantu
akselerasi perkembangan Islam, terutama masalah pendidikan antar negara. Katakan saja, globalisasi yang selalu dikonotasikan dengan “penyebaran budaya” secara cepat dan di sisi lain dapat
juga berarti penyampaian informasi
nilai-nilai Islama secara cepat bila kita mampu
merubah paradigma yang saat ini sudah terlanjur lekat di masyarakat.
Fenomena yang menarik adalah
penggunaan informasi dalam pendidikan Islam pada sektor formal semakin
semarak dan tak kalah pentingnya. “Hal ini mengingat keterbatasan jangkauan
dari “sektor formal” untuk menjangkau umat yang berada di seluruh permukaan
bumi dalam menikmati proses pendidikan Islam yang “formal”. Seseorang yang mau belajar tidak perlu datang ke suatu tempat yang jauh dari tempat
tinggalnya untuk menjalani pendidikan “formal”. Dia hanya cukup mempersiapkan
peralatan yang dibutuhkan untuk mendapatkan materi-materi pendidikan, melalui
situs-situs yang memuat tulisan-tulisan tentang ke-Islam-an.
Teknologi informasi pada saat ini berperan sebagai media akselerator
bagi berbagai informasi yang berkaitan dengan persoalan-persoalan ke-Islam-an
dalam berbagai aspek, tak terkecuali adalah aspek pendidikan di dalamnya. Peran vital dari “teknologi informasai internet”, kini semakin dirasakan oleh sebagian umat
Islam yang memiliki kesempatan dan kemampuan untuk itu. Dapat kita saksikan
berbagai situs-situs Islam semakin hari semakin bertambah banyak dan terdiri
dari berbagai macam jenis, baik dari institusi pendidikan sampai dengan hal-hal
yang sifatnya hiburan. Keragaman situs ini, menunjang sebagai upaya untuk
penyampaian dan mensosialisasikan nilai-nilai Islam ke tengah masyarakat pada
era ini. Contohnya; situs Isnet yang menyediakan materi-materi ke Islam an ditambah dengan
berbagai fasilitas yang disediakan seperti mailing list, perpustakaan
atau kolom tanya jawab. Setiap orang dengan
mudah dapat mengakses situs ini, mendapatkan berbagai hal yang menyangkut
tentang Islam. Disamping situs, mailing list Islam juga banyak muncul
bagaikan cendawan yang tumbuh di musim hujan seiring dengan meningkatnya jumlah
anggota maling list tersebut. Fenomena ini menggambarkan betapa peran media teknologi
informasi semakin signifikan dalam penyebaran nilai-nilai Islami (Irwan Prayitno,From:http://www.irwanprayitno.or.id/a/ 0203/1101.html,akses,12/8/2003).
3. Konsekuensi
Logis Percepatan Ilmu Pengetahuan
Perkembangan teknologi informasi,
akan membawa beberapa konsekuensi logis yaitu percepatan aliran ilmu
pengetahuan yang akan menantang sistem pendidikan konvensional yang selama ini
berjalan, antara lain:
Pertama, sumber
ilmu pengetahuan yang selama ini dianggap terpusat pada institusi pendidikan
formal yang konvensional, mungkin saja
akan tergeser. Sumber ilmu pengetahuan akan tersebar
dimana-mana dan setiap orang akan dengan mudah memperoleh pengetahuan tanpa
kesulitan karena diperoleh melalui sarana “internet” dan “media informasi”
lainnya. “Paradigma ini dikenal sebagai distributed intelligence (distributed
knowledge). Dengan paradigma ini, fungsi guru/dosen/lembaga-lembaga pendidikan yang
akhirnya akan beralih dari sebuah sumber ilmu pengetahuan menjadi mediator dari
ilmu pengetahuan. Proses long life
learning dalam dunia informal yang sifatnya lebih learning based
daripada teaching based akan menjadi kunci perkembangan SDM. Peran web,
Homepage, Search Engine, CD-ROM tentu akan merupakan alat bantu yang akan
sangat mempercepat proses distributed knowledge (OnnoW.Purbo,2000,Form:http://www.detik.com/onno/jurnal/200004/aplikasi/pendidikan/p-19.shtml). Para guru dan dosen pendidikan Islam harus
memiliki kemampuan dan kesempatan untuk menyesuaikan, mengakses, dan dapat menggunakan
sarana tersebut sebagai media pembelajaran.
Kedua,
konsekuensi ekstrim yang akan terjadi dalam percepatan informasi tersebut adalah “adanya paradigma generation lap (kebalikan dari generation gap)
dimana siswa atau mahasiswa akan
memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada guru atau dosen. Kondisi ini,
berakibat pada guru atau dosen yaitu tidak lagi dapat memaksa pandangan
dan kehendaknya karena mungkin para
siswa atau mahasiswa telah memiliki pengetahuan yang lebih dari infromasi yang
mereka peroleh. Ilmu
pengetahuan akan terbentuk secara kolektif dari banyak pemikiran dan pandangan
yang tersosialisasi melalui media teknologi informasi
internaet dan media informasi lainnya. “Proses interaksi elektronik, diskusi
melalui berbagai internet mailing list, newsgroup, IRC, webchat merupakan kunci proses pembentukan collective
wisdom” (Onno W. Purbo, 2000,
form: http://www.detik.com/ onno/jurnal/ 200004/ aplikasi/
pendidikan/p-19.shtml) yang akan diperoleh dari waktu ke waktu.
Ketiga, menarik dari
kondisi ini adalah dari sisi kurikulum,
artinya program kurikulum “tidak
akan pernah terjadi kurikulum baku, resmi yang rigid. Kurikulum akan
selalu berubah beradaptasi dengan berbagai perkembangan sesuai dengan “collective
wisdom”(Ibid, form:
http://www.detik.com/ onno/jurnal/200004/aplikasi/pendidikan/p-19.shtml) yang diperoleh siswa atau mahasiswa dari waktu ke waktu. Misalnya saja, kalau dulu santri hanya menerima
materi dari sumber tunggal, yakni kiai. Tetapi, kini santri akan menerima
materi dari banyak sumber. Kiai bukan lagi satu-satunya sumber belajar, karena
santri dapat belajar dari siapa saja
dengan bahasa yang mereka kuasai (Onno
W.Purbo,2000,form: http://www.detik.com/ onno/jurnal/ 200004/ aplikasi/
pendidikan/p-19.shtml.). Santri dapat belajar dari
perpustakaan, internet, cd-rom, media masa, dan media lain, yang akan
menjadi pusat kegiatan belajar mandiri.
Keempat, prasyarat lain yang akan mempercepat pergeseran paradigma dunia pendidikan
adalah “kompetisi bebas, free trade dan hilangnya monopoly” (Mastuhu,1999:34). Kemungkinan prasyarat ini, akan menghambat di Indonesia karena lambatnya adopsi dan
mengakses kompetisi bebas di Indonesia. Tetapi, cepat atau lambat, mau tidak mau kompetisi bebas akan berjalan di Indonesia
karena desakan dunia global. Maka yang akan bergerak dan betul-betul hidup
serta mengambil manfaat dalam dunia informasi berbasis Internet, akan siap
menghadapi tantangan perubahan tersebut. “Kemampuan” dan “kesempatan” untuk mengakumulasi, mengolah, menganalisis,
mensintesa data menjadi informasi, yang kemudian menjadi ilmu pengetahuan yang
bermanfaat dan sangat penting artinya dalam dunia informasi saat ini menjadi
syarat mutlak dalam perkembangan teknologi informasi.
Pertanyaan apa yang harus dilakukan pendidikan Islam? Jawabannya sederhana, yaitu:
meningkat sumber daya pendidikan Islami, merubah sistem pengelolaan pendidikan, memiliki kemampuan untuk cepat mengakses
informasi dan menggunakan teknologi informasi, merubah paradigma berpikir konvensional
ke paradigma berpikir modern yang
inovatif, merubah paradigma pembelajaran yang berorientasi pada hafalan ke
paradigma yang berorientasi pada pemahaman, analisis, komparasi, dan pemecahan
masalah, sehinga pendidikan mampu mewujudkan kualitas sumberdaya manusia untuk berperan dalam menentukan masa depan
umat. Kualitas sumber daya manusia yang baik hanya dapat
dihasilkan oleh sistem pendidikan Islam yang mampu mengakses perubahan, lengkap
serta menyeluruh (komprehensif) dan tidak mengabaikan atau terlepas dari nilai-nilai
ilahiyah-ketuhanan.
4. Perubahan Paradigma Pendidikan Islam Pada Era Reformasi
Pada era reformasi, masyarakat Indonesia menginginkan perubahan dalam semua aspek kehidupan bangsa. Berbagai terobosan telah dilakukan dalam penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan, dengan kata lain diperlukan paradigma-paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan perubahan masyarakat tersebut. Katakan saja, pembaharuan pada sektor pendidikan yang memiliki peran strategis dan fungsional (Hujair AH. Sanaky, 2003:3), juga memerlukan paradigma baru yang harus menekankan pada perubahan cara berpikir dalam pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan.
Paradigma
pendidikan dalam pembangunan yang diikuti para penentu kebijakan (pemerintah) kita dewasa ini memiliki
kelemahan, baik teoritis maupun metodologis.
Dalam hal ini, tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana
proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu. Hal ini, memang secara mudah dapat dikatakan
bahwa pendidikan formal kita akan mampu mengembangkan kemampuan yang diperlukan
untuk memasuki sistem dunia kerja yang semakin kompleks. Tetapi, mungkin saja
pendidikan kita tidak mempu menjawab tantangan tersebut, sebab pada
kenyataannya, kemampuan (kompetensi) yang diterima dari lembaga
pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada (Baca: Zamroni, 2000:6).
Pengambil
kebijakan pendidikan perlu memperhatikan berbagai persoalan yang sedang akan
akan dihadapi bangsa ini. Langkah-langkah untuk melakukan rekonstruksi
pendidikan dalam rangka membangun paradigma baru pendidikan era
reformasi, meliputi:
(1) Pendidikan hendaknya
memiliki visi dan misi yang berorientasi pada demokratisasi bangsa,
sehingga memungkinkan terjadinya proses pemberdayaan seluruh komponen
masyarakat secara demokratis. Partisipasi masyarakat
secara menyeluruh, sehingga secara
mayoritas seluruh komponen bangsa ada dalam masyarakat terdidik. (2) Substansi
pendidikan dasar hendaknya mengacu pada pengembangan potensi dan kreativitas
“pembelajar” dalam totalitasnya yang seimbang dan serasi. Pendidikan menengah
dan tinggi hendaknya diarahkan pada
membuka kemungkinan pengembangan individu (kepribadian)
secara vertical dan horizontal. Pengembangan vertikal mengacu pada struktur
keilmuan, sedangkan pengembangan horizontal mengacu pada keterkaitan dan
relevansi antar bidang keilmuan. (3) Pendidikan
dasar dan menengah perlu mengembangkan sistem pembelajaran yang egaliter dan
demokratis agar tidak terjadi pengelompokan kelas atas dasar kemampuan
akademik. Pengelompokan mengakibatkan eksklusivisme bagi yang siperior dan
perasaan terisolasi bagi bagi mereka yang berada pada kelas dua. (4) Pendidikan
tinggi, jangan hanya berorientasi pada penyiapan tenaga kerja. Pendidikan
tinggi, mempersiapkan dan memperkuat kemampuan dasar mahasiswa untuk
memungkinkan mereka berkembang baik secara individu, anggota masyarakat, maupun
sebagai warga negara dalam konteks kehidupan yang global. Pendidikan tinggi,
diselenggarakan dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen yang fleksibel dan
dinamik, agar memungkinkan perguruan tinggi untuk berkembang sesuai dengan
potensi masing-masing serta tuntutan eksternal yang dihadapinya (Suyanto,
2006: 18). (5) Kebijakan kurikulum untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, harus
memperhatikan tahap perkembangan “pembelajar” dan kesesuaian dengan lingkungan,
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, seni, serta sesuai dengan
jenjang masing-masing satuan pendidikan (Hujair AH. Sanaky, 2003:158) dan juga mengembangan kurikulum keunikan local. Jangan menjadikan
pendidikan sebagai bentuk model yang dikatakan
Paulo Freire, “pendidikan gaya bank” (banking
concept of education), arinya pendidik selalu melakukan deposito
beberapa macam informasi ke bank “pembelajar” tanpa harus tahu untuk apa informasi
itu bagi kehidupan mereka (Paulo
Freire, 1995:57). Akibatnya, “pembelajar” memiliki pengetahuan, tetapi “pembelajar” kering
dan tidak memiliki sikap, minat, motivasi, dan kreativitas untuk mengembangkan
diri atas dasar pengetahuan yang dimiliki, serta “pembelajar” sendiri tidak
memahami dan tidak tahu untuk apa pengetahuan tersebut (Hujair AH. Sanaky,
2003:164).[7] (6) Dalam
pembelajaran pada tingkat apa saja mesti dapat mengaktualisasi enam unsur
kapasitas belajar yaitu: (a) kepercayaan (confidence),
(b) keingintahuan (curioucity),
(c) sadar tujuan (intensionality),
(d) kendali diri (self
control), (e) mampu
bekerja sama (work together)
dengan pihak mana saja, dan (f)
kemampuan bergaul secara harmonis dan
saling pengertian (relatedness) (Ibrahim
Musa:From:
http://202.
159.18.43/ jp/ 22 ibrahim. htm,). (7) Untuk
menjaga relevansi outcome pendidikan (knowledge, skill,
attitude),
perlu diimplementasikan filsafat rekonstruksionisme dalam berbagai tingkat
kebijakan dan praktisi pendidikan. Berorientasi pada filsafat ini, pendidikan
akan mampu merekonstruksi berbagai bentuk penyakit sosial, mental dan moral
yang ada dalam masyarakat. Pendidikan kita, akan
mampu menanamkan sikap toleransi etnis, rasial, agama, dan budaya kepada
“pembelajar” dalam konteks kehidupan yang plural. (8) Realisasi pendidikan dalam konteks lokal,
diperlukan badan-badan pembantu dalam dunia pendidikan antara lain “Dewan
Sekolah” yang di dalamnya harus ada unsur-unsur Pemerintah Daerah, perwakilan
guru-guru dan sudah tentu ada pula di dalamnya tokoh-tokoh masyarakat dan para
orang tua peserta didik. “Dewan Sekolah”, berperan untuk memberi masukan yang
tidak hanya pada aspek material dan
kesejahteraan guru saja, tetapi harus masukan dalam berbagai aspek, termasuk
dalam perumusan, pembinaan, dan evaluasi misi, visi dan substansi (kurikulum
lokal dll) pendidikan yang relevan dengan kebutuhan daerah masing-masing. (9) Perlu
menetapkan model rekrutmen pejabat pendidikan secara professional, sehingga
dapat diperoleh the right person in the right place, bukannya: the
right person in the wrong place, atau kata Suyanto lebih parah lagi : the
wrong person in the wrong place (Suyanto,
2006:20)
atau yang lebih suver parah lagi adalah konsep familier, “kocoisme” dan
“kronisme”.
Sektor pendidikan memiliki peran yang strategis dan fungsional dalam upaya
membangun masyarakat baru di Indonesia.
Pendidikan senantiasa berusaha untuk menjawab kebutuhan dan tantangan yang
muncul di kalangan masyarakat sebagai konsekuensi dari suatu perubahan (Hujair AH.Sanaky, 2003:1). Katakan saja, pendidikan sebagai "sarana
terbaik yang didisain untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang
tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus
tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka
atau tidak menyadari adanya perkembangan-perkembangan disetiap cabang
pengetahuan manusia" (Comference
Book,1987:15-17).
Pendidikan Islami[8] adalah sebuah
proses penerapan nilai-nilai Islami, dapat mengimplementasikan hasilnya dalam kehidupan manusia sebagai individu
maupun sebagai anggota masyarakat yang mengacu kepada landasan yang digariskan Allah.
Konsep pendidikan dalam Islam memang berbeda dengan konsep pendidikan Barat
yang telah menjadi mainstream dunia pendidikan dewasa ini. Konsep pendidikan
Barat (education) tidak memadukan unsur jasad, akal, dan jiwa sebagaimana halnya tarbiyah, ta’lim dan
ta’dib dalam konsep Islam yang memadukan ketiga unsur tersebut. Boleh jadi konsep pendidikan Barat
lebih bersifat pengajaran ataupun
transfer ilmu tanpa memasukkan nilai-nilai yang seharusnya terdapat dalam diri
manusia. Pendidikan dalam Islam pada dasarnya
bukanlah semata pendidikan formal seperti di bangku sekolah, tetapi juga
pendidikan non formal yang turut memegang peranan penting dalam membentuk insan
yang Islami. Sebagai contoh, pendidikan yang dilakukan oleh Nabi dan para
sahabatnya telah mengantarkan umat Islam
kepada cahaya peradaban yang dicatat dengan tinta emas oleh sejarah (Irwan
Prayitno, From: http://www.irwanprayitno. or.id/a/ 0203/ 1101.html,akses,12/8/2003.).
Ahmad Tafsir(1994), pendidikan dalam Islami merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif
(kedewasaan), baik secara akal, mental maupun moral, untuk
menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban, sebagai seorang hamba (abd) dihadapan Khaliq-nya dan sebagai “pemelihara” (khalifah) pada semesta. Fungsi utama pendidikan adalah
mempersiapakn generasi penerus dengan kemampuan (knowledge) dan keahlian (skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan pengetahuan, kesiapan skill, dan
kepribadian yang anggun untuk
siap terjun ke tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Apabila melacak paradigma pendidikan Islami, dalam lintasan sejarah peradaban Islam, sebenarnya peran pendidikan
benar-benar dapat dilaksanakan pada masa-masa kejayaan Islam. Kemajuan
pendidikan benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban Islam
menjadi peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang Jazirah
Arab, Asia Barat hingga Eropa Timur.
Artinya, kemajuan peradaban dan kebudayaan Islam pada masa kejayaan pada
sepanjang abad pertengahan, tentu tidak dapat dilepaskan dari adanya sistem dan
paradigma pendidikan yang dikembangkan dan dilaksanakan pada masa itu, dengan
kemampuan teknologi pada masa itu. Kemajuan yang dihasilkan dan diperoleh
generasi Islam abad pertengahan adalah survive pada masanya. Tetapi untuk
melakukan perubahan dan pengembangan pendidikan sekarang dan masa akan datang,
tentu kita tidak akan menggunakan “paradigma lama”, tetapi harus menggunakan
paradigma baru yang sesuai dengan irama perubahan dan tantangan zaman saat ini.
Proses pendidikan itu sendiri
“dipandang sangat berkaitan dengan kepentingan manusia dan masyarakat untuk
masa kini dan masa yang akan datang”(Suyanto dan
Djihad Hisyam, 2000:61). Diperlukan berbagai terobosan dalam penyusunan konsep,
serta tindakan-tindakan, dengan kata lain diperlukan suatu paradigma-paradigma
baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata filsuf
Kuhn. Menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru atau “paradigma baru” dihadapi dengan
menggunakan “paradigma lama”, tentu saja segala usaha yang dijalankan akan memenuhi kegagalan (H.A.R. Tilaar, 1998:28).
Umat manusia sekarang ini dihadapkan dengan perkembangan
teknologi informasi yang telah merambah ke seluruh polosok dunia, sudah mampu meraih semua titik yang terpencil sekalipun. Masyarakat mulai belajar serta
mendapatkan informasi dan ilmu dari berbagai sumber seperti radio, televisi,
komputer internet, media masa. Sekolah sebagai institusi pendidikan mungkin saja akan tergeser perannya. Sudah tidak menjadi sumber informasi satu-satunya, bahkan bukan lagi menjadi
pencetus sumber informasi yang mutakhir. Ini berarti, kata kuncinya adalah “harus berubah”. Apabila tanpa adanya kesadaran untuk
malakukan perubahan, perkembangan kemajuan dunia akan menjadi ancaman, dapat menjadikan sekolah sebagai lembaga usang, mungkin makin lama makin tidak berguna (Winarno Surakhmad,from:http://www.Bpkpenabur.or.id/kps-jkt/berita/200006/artikel2.htm.). Kondisi ini mengharuskan
pendidikan untuk berubah paradigmanya yaitu menggunakan paradigma baru untuk menghadapi tantangan perubahan
tersebut, sebab sifat kehidupan umat
manusia dewasa ini telah terjadi perubahan yang semakin cepat dan semakin
beragam. Misalnya saja dalam dunia kerja, telah terjadi berbagai perubahan yang
dibutuhkan masyarakat dengan persyaratan ilmu, kemampuan, dan keterampilan (skill) lain yang belum tercantum di dalam program kurikulum pendidikan. Sudah
tiba saatnya dunia kerja “tidak akan bertanya tentang ijazah formal” yang
dimiliki seseorang, tetapi keterampilan (skill)
apa yang dimiliki dan sesuai dengan job yang dibutuhkan.
Implikasi dari tuntutan perubahan tersebut adalah “para pengajar” (guru dan dosen) harus lebih menekankan peserta
didik memiliki kemampuan dasar untuk bejalar mandiri, bereksplorasi, mengakses
informasi dari internet dan bukan lagi kemampuan untuk menghafal materi
pelajaran tertentu dengan sistem evaluasi (ujian) yang berorientasi pada “aspek
kognitif”. Pendidikan harus mampu mendisain suatu kurikulum yang
mampu menjawab tantangan perubahan paradigma baru pendidikan tersebut. Mengingat kurikulum yang berlaku di Indonesia dinilai berbagai kalangan (pakar, guru, peserta didik, dan orang tua) sarat dengan
matapelajaran dan terlalu luas cakupan topik bahannya. Akibatnya, selain rentan
terhadap krisis karena inefisien (memerlukan biaya tinggi), juga kurikulum itu telah menjadikan sebagian besar peserta didik tidak
atau kurang memiliki deeper insight pada tiap matapelajaran. Beberapa laporan menunjukkan, kurikulum tersebut menyebabkan sebagaian besar peserta
didik mengalami stres berat. Jika dikatikan dengan kepentingan jangka
pendek, diperlukan ekstra kehati-hatian karena bersangkut-paut dengen
keterlibatan banyak orang, apalagi sudah lazim terjadi, perubahan kurikulum
dilakukan manakalah telah mencapai 10 tahun (Ibid, Jawa Pos).
Tuntutan perubahan tersebut dalam
konsep kurikulum disebut dengan “determinasi tertentu”. Apabila perubahan kurikulum dengan menggunakan prinsip
“determinasi tertentu”, tuntutan perubahan pendidikan yang mencakup analisis
perubahan masyarakat, analisis kebudayaan,
konsepsi kekinian, era global, disentralisasi pendidikan, otonomi, dan informasi comunikasi teknologi (ICT), maka rancangan kurikulum perlu dirubah mengikuti warna dan irama perubahan
tersebut. Suatu kurikulum dikatakan berubah
apabila terdapat perbedaan mendasar antara satu atau lebih komponen antara
kurikulum pada periode tertentu dengan periode lainnya atau perubahan maupun
pengembangan kurikulum biasanya juga didorong oleh determinasi tertentu. Saylor dan Alexander (1986) misalnya, menyebut determinasi itu antara lain pengaruh historis,
keinginan, eksperesi nilai-nilai dan kondisi siswa sebagai peserta didik. Sementara secara sosiologis, determinasi itu
dapat mencakup analisis masyarakat, analisis kebudayaan dan konsepsi kekinian
tentang fungsi-fungsi persekolahan (Ibid, Jawa Pos).
Kurikulum yang dirancang secara nasional maupun daerah
faktor masyarakat (konsumen pendidikan dan pengguna
lulusan) sangatlah penting. Artinya, jika
ada tuntutan perubahan maupun pengembangan, berarti ada sesuatu yang dirasa
belum pas dan memerlukan perhatian serius agar dibenahi. Apabila menggunakan
pandangan ini, maka pada kurikulum pendidikan Islami terdapat beberapa titik lemah yang secara psikologis,
sosiologis, apalagi secara ekonomi tak
dapat dipertanggungjawabkan, baik kurikulum yang berlaku di lingkungan
pendidikan dasar (Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah
Sanawiyah), maupun kurikulum yang berlaku di lingkungan
pendidikan menengah (Madrasah Aliyah) dan perguruan tinggi.
Dari aspek kurikulum, pendidikan Islami menghadapi persoalan serius yang harus diselesaikan. Tetapi, apabila
memperhatikan kondisi perkembangan pendidikan di Indonesia, sebenarnya
tantangan yang dihadapi pendidikan Islam juga sama dengan tantangan yang
dihadapi dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya, terutama dalam
meningkatkan sumber daya manusia Indonesia, dalam menghadapi tantangan
“era kompotetif yang disebabkan oleh meningkatnya strandar dunia kerja.
Jika kualitas pendidikan menurun, maka kualitas sumber daya manusiapun juga
menurun dan lemah pula dalam hal keimanan dan ketaqwaan serta penguasaan iptek.
Kemajuan teknologi informasi menyababkan banjirnya informasi yang tidak
terakses dengan baik oleh para pendidikan dalam proses belajar, sehingga pada gilirannya berpengaruh pada hasil
pendidikan itu sendiri. Selain itu, dunia pendidikan juga tertinggal dalam hal
metodologi, sehingga terjadi kesenjangan
antara kualitas pendidikan dengan kenyataan emperis perkembangan masyarakat” (Suwarman al-Muhtar,1996:4). Tantangan yang dihadapi pendidiakan Islam dalam upaya
perubahan kurikulum, yaitu perubahan yang akan terjadi pada era global, kemajuan teknologi informasi, lemahnya
metodologi, sehingga akan terjadi kesenjangan antara kualitas
pendidikan dengan kenyataan emperis perkembangan masyarakat. Diperlukan suatu disain program
kurikulum dan metodologi yang dapat
menjawab tantangan tersebut.
Setelah mengetahui perubahan yang mendasar dari paradigma ini, apa yang
perlu dan dapat lakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan
Islam? Secara sederhana yaitu mari kita manfaatkan sebaik-baiknya kesempatan
yang semakin terbuka untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan sertifikasi
profesioanl untuk kebaikan nasib kita
masing-masing. Pendidikan formal bukan lagi satu-satunya media untuk
mengembangkan diri, karena ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari mana saja.
Sertifikasi dan akreditasi-pun sebetulnya dapat diperoleh dari mana saja.
Kemampuan bahasa (bahasa Inggris) akan menjadi salah satu aset yang sangat penting untuk
dapat mengakses sumber ilmu yang terdistribusi dan menjadi rantai dalam collective
wisdom. Selain itu, kemampuan untuk
membaca, mencerna dan menulis (menghasilkan) informasi atau pengetahuan dengan
menggunakan teknologi informasi Internet akan sangat strategis untuk dapat
memperoleh keuntungan dan manfaat yang besar dari keberadaan teknologi
informasi (Onno W.Purbo,2000,Form:http://www.detik.com/ onno/jurnal/
200004/ aplikasi/ pendidikan/p-19.shtml.).
Pendidikan Islami dituntut menghadirkan sutau wacana
konstruksi pendidikan baik pada tataran filosofiknya, tujuan, materi, kurikulum, metodologis, cara
penyampaian atau mengkomunikasikannya, dan sampai pada masalah yang berkaitan
dengan aspek institusi serta teknik operasionalnya. Untuk menjawab hal tersebut, ada tiga hal penting yang
menyangkut dengan orientasi pendidikan Islami, yaitu: (1) “pendidikan Islami harus didisain untuk integrasi dengan keseluruhan proses
maupun institusi pendidikan lain; (2) pendidikan Islami harus mampu melakukan internalisasi
nilai-nilai dan norma-norma keislaman yang fungsional secara normal untuk
mengembangkan keseluruhan sistem sosial budaya; (3) pembentukan wawasan ijtihadiyah secara aktif sehingga mampu menjawab
tuntutan masa depan” (Malik Fajar, 1999), sebab perubahan
masyarakat terus berlangsung mengikuti irama perubahan. Strategi pengembangan pendidikan Islam harus
“didasarkan pada kurikulum yang secara integral memiliki cakupan disiplin ilmu
dan keterampilan yang dapat membentuk kompotensi-kompotensi tertentu dalam
suatu sistem yang utuh walaupun komponennya secara transparan berbentuk
berbagai macam disiplim ilmu dan teknologi” (Jusuf Amir Feisal,1995:51). Strategi pengembangan program kurikulum juga didasarkan pada kebutuhan
masyarakat masa kini dan masa yang akan datang. Tidak berhenti sampai disitu, artinya
kesesuaian program kurikulum pendidikan Islami harus diorientasikan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sedang dan akan terjadi.
Pendidikan Islami pada era ini akan menghadapi kompetisi yang ketat, yaitu kompertisi
kualitas, pasar penerima produk lembaga pendidikan, akreditasi baik dari
pemerintah maupun masyarakat, dan kemampuan menggunakan teknologi informasi.
Untuk itu, pengelolaan dan pengembangan manajemen bagi pendidikan Islami merupakan hal yang urgen sekali, agar pengelolaan dan
manajemen pendidikannya dapat memenuhi Standar Manajemen Mutu (SMM) yang dapat dikur, dievalausi, dan diperbaiki secara terus
menerus (continu). Dalam penerapan dan pengelolaan
manajemen pendidikannya perlu memberanikan untuk mengadopsi sistem manajemen ISO
9000 (The International
Organization for Standardizatior), sehingga, dapat “mengambil sertifikasi global dari lembaga internasional,
jika lembaga pendidikan Islam menginginkan survive untuk kompetisi
global” (Udin S. Sa’ud,
2002: 17), dengan standar manajemennya yang dapat diukur, dievaluasi dan diperbaiki
secara terus menerus.
Pada era reformasi dan informasi Pendidikan Islam, akan menghadapi kompetisi yang cukup
ketat untuk memperoleh akreditasi dan sertifikasi terbaik. Kerja keras dan kerjasama kemitraan yang strategis dalam
sebuah kelompok akan sangat menentukan keberhasilan kita dalam persaingan
penetrasi pasar dan kemampuan menggukan teknologi informasi. Oleh karena itu,
belajar dari kuliah di kelas saja tanpa mempunyai visi dan kemauan yang kuat
untuk bertempur di dunia profesional tidak akan cukup. Mahasiswa yang aktif dalam dunia dan kegiatan
kemahasiswaan, maupun membantu kelompok-kelompok penelitian, kelompok diskusi
dan kajian-kajian buku yang ada di
masing-masing lembaga pendidikan, mahasiswa memiliki kemampuan untuk akses
dengan teknologi informasi internet, dan media informasi lainnya untuk mencari
dan mengesplorasi materi-materi yang membatu bahan kuliah, akan sangat membantu
membentuk kemampuan kompetisi yang tangguh.
Terus terang pendapat saya pribadi
sebagai orang Indonesia akan sangat sederhana yaitu “mari kita manfaatkan
sebaik-baiknya kesempatan yang semakin terbuka untuk memperoleh ilmu
pengetahuan dan sertifikasi profesioanl ini untuk kebaikan nasib kita
masing-masing. Pendidikan formal bukan lagi satu-satunya media untuk mengembangkan
diri. Ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari mana saja, baik melalui
lembaga-lembaga pendidikan formal dan informal, internet, CD room, surat
kabar, majalah, jurnal, radio, televisi, dan media informasi yang lain. Begitu
juga sertifikasi dan akreditasi-pun sebetulnya dapat diperoleh dari mana saja,
apakah dari masyarakat sebagai user pengguna lulusan maupun pemerintah.
Bagi dunia pendidikan, skala ekonomi akan dapat dengan mudah dikembangkan
dengan bertumpu pada teknologi informasi beberapa strategi mendasar yang akan
membantu antara lain adalah :
Pertama, membuka aliansi
kerjasama dengan berbagai universitas dan dosen terbaik yang ada baik di
Indonesia maupun di manca negara. Konsep aliansi untuk kerjasama pendidikan
jarak jauh perlu dikembangkan dan di encourage oleh Diknas. Jangan
sampai terjadi kesan "monopoli" bagi penyelenggaraan pendidikan jarak
jauh hanya dilakukan oleh Universitas Terbuka (UT) saja. Tetapi pendidikan formal yang
lain pun dapat melakukan pendidikan jarak jauh dengan menggunakan sarana
informasi internet dan sarana komunikasi lainnya.
Kedua, berikan akses
Internet bagi mahasiswa, penggunaan konsep warung Internet yang sifatnya self-finance
akan sangat menguntungkan bagi investasi dan operasional warung tersebut.
Akhirnya mahasiswa dan lembaga pendidikan yang akan di untungkan. Terus terang,
dalam bisnis plan maka modal atau investasi sebuah warung Internet dengan 5-10
komputer di sebuah universitas dengan sebuah saluran telepon ke Internet akan
kembali dalam jangka waktu 8-12 bulan
saja. Jadi pendekatan warung Internet akan menjadi sangat menarik, kunci
keberhasilan berada pada kemampuan teknik dan management SDM yang menjalankan
warung tersebu. Rasanya tidak banyak yang mempunyai kemampuan ini, umumnya orang
yang ahli di dunia pendidikan berada di institusi yang terkait ke
Internet.
Lembaga-lembaga pendidikan Islami harus mulai melakukan re-engineering manajemen
pendidikan tinggi, untuk mengakomodasi perkembangan pada era informasi ini.
Disain manajemen pendidikan tinggi Islam mulai menghilangkan batas fisik kampus
dalam operasional pendidikan tinggi, dengan mengadopsi mahasiswa part-time,
sebagai mahasiswa profesional. Contoh; dapat dibayangkan kalau
mahasiswa IAIN, UGM, UNY, UII dan perguruan tinggi swasta lainnya di Yogyakarta
tidak hanya berada di Yogyakarta saja, tetapi juga berada di Irian Jaya, di
Maluku, di Aceh, di Padang, di Kalimantan, di Sulawesi dan atau mungkin juga kuliah-kuliah hanya melalui
internet, televisi, dan media informasi lainnya yang dapat diakses oleh
mahasiswa di tempat kos di kota Yogyakarta sendiri melalui sarana teknologi
informasi. Tanpaknya, re-engineering manajemen pendidikan tinggi untuk
menghilangkan dimensi waktu dan membuat proses pendidikan menjadi lebih adaptif
terhadap perubahan, adaptif terhadap perkembangan kemajuan bidang eloktronik
komputer dan internet. Di sini waktu
belajar siswa dan mahasiswa menjadi lebih fleksibel, tidak harus seorang
mahasiswa di D.O. hanya karena tidak tepat waktu misalnya. Selain itu, re-engineering
otoritas perguruan tinggi untuk melihat sebuah perguruan tinggi sebagai sebuah corporate,
kemudian otoritas finansial dan open management distribusi yang dapat
diaudit (Onno W.Purbo,16 Mei 2002). Diperlukan keberanian untuk melakukan perubahan manajemen
pendidikan tinggi Islam yang didukung
sistem pendidikannya, kurikulum, sistem evaluasi, sumber daya, fasilitas,
pendanaan yang memadai dan handal, sehingga mampu mengelola perguruan tinggi
dengan baik dan layak jual.
Dari gambaran di atas, terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai
upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada
peran yang semestinya sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam
sehingga kembali aktif-progresif,
yakni :
Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifitas pendidikan (talab al-ilm) di bawah frame work Qur’an dan Hadis. Seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh
nilai-nilai Qur’an dan Hadis yang dapat
menyentuh semua aspek kehidupan manusia yang bersifak aplikatif atau
membumi. Artinya nilai-nilai tersebut dapat
diterapkan dalam perilaku kehidupan manusia dan masyarakat pada era informasi
sebagai “core values, yang akan memberikan batasan-batasan dalam
pemilihan cara-cara yang ditempuh dalam mewujudkan kehidupannya”(Hujair AH. Sanaky, 2003:145).
Kedua, adanya perimbangan (balancing) antara disiplin ilmu agama dan
pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor
utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan Islami adalah kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada
kajian agama dan memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian
non-agama (M.Khoirul Anam,http://www.pendidikan.net/mk-anam.html). Perimbangan antara materi pengetahuan agama, ilmu
pengetahuan, dan teknologi dalam pendidikan Islam adalah suatu hal yang
urgen jika ingin dunia pendidikan Islam
kembali survive di tengah kehidupan masyarakat pada era informasi ini.
Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk
melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal. Karena selama masa kemunduran
Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan
perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan
intelektual. Dengan menghilangkan sekat-sekat
tersebut, minimal membuka kembali, sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini
terlarang bagi perdebatan, maka wilayah pengembangan intelektual akan semakin
luas dan tentunya akan membuka peluang
lebih lebar bagi pengembangan keilmuan Islam pada khususnya dan Islam pada umumnya.
Keempat, mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang
membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan
kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan.
Materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang
ada, setidaknya selalu ada materi yang applicable dan memiliki relasi
dengan kenyataan faktual yang ada (M.Khoirul
Anam, http://www. pendidikan.net/mk-anam.html). Dengan strategi ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu
menghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi tantangan dan mampu
bersaian pada era informasi dan peka
terhadap lingkungan.
Dari pandangan di atas,
paling tidak memberikan arah sesuai dengan arah pendidikan. Secara makro dituntut menghantarkan masyarakat menuju masyarakat Indonesia yang relegius,
kritis, berkualitas, dan tangguh dalam menghadapi lingkungan global dan era
informasi. Upaya pembaruan
pendidikan Islam, perlu ada ikhtiar yaitu
strategi kebijakan perubahan diletakan pada upaya menangkap kesempatan
perubahan. Maka, mau tidak maun,
pendidikan Islam harus meninggalkan paradigma lama menuju paradigma baru, berorientasi pada masa
depan, merintis kemajuan, berjiwa demokratis, bersifat desentralistik, berorientasi pada peserta didik, bersifat multicultural, berorientasi pada perspektif global, dan era reformasi dan era informasi, sehingga terbentuk paradigma pendidikan yang berkualitas dalam
menghadapi tantangan prubahan global menuju terbentuknya masyarakat Indonesia
yang demokratis, kritis, berkualitas,
siap dan memiliki kemampuan untuk bersaing dalam dunia global dan era
informasi.
Pada dataran konsep, pendidikan baik formal maupun non
formal “pada dasarnya memiliki peran strategi dan penting dalam melegitimasi
bahkan melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada dan sebaliknya pendidikan merupakan proses perubahn
sosial. Tetapi, peran pendidikan
terhadap sistem dan struktur sosial tersebut, sangat bergantung pada paradigma
pendidikan yang mendasarinya” (Mansour
Fakih,2002:18). Penggeseran
peradigma pendidikan di era informasi harus menjadi perhatian bagi lembaga-lembaga
pendidikan Islam, agar berikhtiar untuk merumuskan filosofis, visi, misi,
metodelogi, kurikulum, sumber daya manusia, dan manajemen pendidikan diorientasikan pada paradikma tersebut.
Peran pendidikan Islam mestinya bukan hanya “dipahami
dalam konteks mikro (kepentingan anak didik yang dilayani melalui proses interaksi pendidikan), melainkan juga
dalam konteks makro, yaitu kepentingan masyarakat yang dalam hal ini termasuk
masyarakat bangsa, negara dan bahkan juga kemanusiaan pada umumnya” (Fasli Jalal, 2001:16-17), sehingga pendidikan Islam terintegrasi
antara proses belajar di sekolah dengan belajar di masyarakat (learning
society). Brubacher dalam bukunya, Modern
Philosophies of Education (1978), menyatakan hubungan pendidikan dengan masyarakat
mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik
dan negara, kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi, karena pendidikan itu terjadi di masyarakat, dengan sumber daya
masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu
memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan pengetahuan dan
teknologi, sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan secara simultan. Secara
mikro pendidikan senantiasa memperhitungkan individualitas atau karakteristik
perbedaan antara individu peserta didik (Fasli Jalal, 2001: 16), dalam kerangka interaksi proses
belajar.
Kerangka acuan pemikiran dalam penataan dan pengembangan
sistem pendidikan Islam, harus mampu mengakomodasikan berbagai pandangan (paradigma) secara selektif
sehingga terdapat keterpaduan dalam konsep, yaitu: Pertama,
pendidikan harus membangun prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan dengan
sektor-sektor lain, termasuk sektor teknologi informasi. Pendidikan harus
senantiasa bersama-sama dengan sistem lain untuk mewujudkan cita-cita
masyarakat Indonesia yang berkualitas
dan kritis. Pendidikan bukan merupakan sesuatu yang eksklusif dan terpisah
dari masyarakat dan sistem sosialnya, tetapi pendidikan sebagai suatu sistem
terbuka dan senantiasa berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya. Kedua,
pendidikan merupakan wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan
penciptaan dan pemeliharaan sumber yang berpengaruh, seperti keluarga, sekolah,
media massa (informasi), dan dunia usaha. Ketiga, prinsip pemberdayaan masyarakat
dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang
dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Seperti pesantren,
keluarga, dan berbagai wadah organisasi pemuda, diberdayakan untuk dapat
mengembangkan fungsi pendidikan dengan baik serta menjadi bagian yang terpadu
dari pendidikan. Keempat, prinsip kemandirian dalam pendidikan
dan prinsip pemerataan menurut warga negara secara individual maupun kolektif
untuk memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerja sama. Kelima,
dalam kondisi masyarakat pluralistik diperlukan prinsip toleransi dan
konsensus. Untuk itu, pendidikan sebagai wahana pemberdayaan masyarakat dengan
mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber-sumber tersebut secara
dinamik. Keenam, prinsip
perencanaan pendidikan, selalu dituntut
untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi dan melakukan upaya yang tepat
secara normatif sesuai dengan cita-cita masyarakat Indonesia baru. Pendidikan
selalu bersifat progresif tidak
resisten terhadap perubahan, sehingga mampu mengendalikan dan mengantisipasi
arah perubahan. Ketujuh, prinsip rekonstruksionis, bahwa kondisi
masyarakat selalu menghendaki perubahan mendasar. Maka pendidikan harus mampu
menghasilkan produk-produk pendidikan yang dibutuhkan oleh perubahan tersebut.
Paham rekonstruksionis mengkritik pandangan pragmatis sebagai suatu pandangan
yang cocok untuk kondisi yang relatif stabil. Pendekatan pemecahan masalah
bersifat lebih berorientasi masa kini,
sedangkan pendekatan rekonstruksionis lebih berorientasi masa
depan dengan tetap berpijak pada kondisi sekarang. Kedelapan,
prinsip pendidikan berorientasi pada peserta didik. Dalam memberikan pelayanan
pendidikan, sifat-sifat peserta didik yang umum maupun yang spesifik harus menjadi pertimbangan. Layanan
pendidikan untuk kelompok usia anak berbeda dengan remaja dan dewasa, termasuk
perbedaan pelayanan bagi kelompok anak-anak berkelainan fisik dan mental
termasuk pendekatan pendidikan bagi anak-anak di daerah terpencil tidak dapat
disamakan dengan anak-anak di perkotaan. Kesembilan, prinsip
pendidikan multicultural, bahwa sistem pendidikan harus memahami bahwa
masyarakat yang dilayaninya bersifat plural, sehingga pluralisme harus menjadi
acuan dalam mengembangkan pendidikan dan pendidikan dapat mendayagunakan
perbedaan tersebut sebagai sumber dinamika yang bersifat posetif dan
konstruktif (Fasli Jalal,2001:16-17). Kesepuluh, pendidikan dengan prinsip
global dan era informasi, artinya pendidikan harus berperan dan harus
menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global dan masyarakat pada
era informasi.
Pendidikan Islam harus mulai berbenah diri dengan menyusun
strategi untuk dapat menyongsong dan dapat menjawab tantangan perubahan
tersebut, apabila tidak maka pendidikan Islam akan tertinggal dalam persaingan
global pada era informasi. Dalam menyusun strategi untuk menjawab tantangan
perubahan tersebut, paling tidak
harus memperhatikan beberapa ciri,
yaitu: (a) Pendidikan Islami, diupayakan lebih diorientasikan atau “lebih menekankan pada upaya proses
pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching)”. (b) Pendidikan Islami dapat “diorganisir dalam suatu struktur yang lebih bersifat fleksibel”. (c) Pendidikan Islami dapat
“memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik
khusus dan mandiri”, (d) Pendidikan Islami, “merupakan proses
yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan”(Zamroni,2000:9), dan (e) Pendidikan Islami, dapat mengakses perkembangan teknologi informasi internet dan media
informasi lainnya sebagai sarana pembelajaran. Kelima ciri ini, dapat disebut
dengan paradigma pendidikan sistematik-organik yang menuntut pendidikan
bersifat double tracks, artinya pendidikan sebagai suatu proses tentu
tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakat, serta
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi saat ini.
5. Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa; (1) pendidikan Islami harus
berbenah diri dengan menyusun strategi untuk dapat menjawab tantangan perubahan pada era
teknologi informasi, bila tidak maka pendidikan Islami akan tertinggal dalam
persaingan global pada era informasi ini; (2) lembaga-lembaga pendidikan Islami
harus berbenah diri dengan menyusun strategi untuk ikut aktif menjawab
tantangan perubahan dalam persaingan global dan era informasi; (3) pendidikan
Islami mampu mendisain sistem pendidikan untuk mampu menghasilkan lulusan yang
dibutuhkan dalam era ini; (4) pendidikan Islami membenahi menajmen dengan
mengakses perkembangan teknologi informasi komunikasi dan mendia informasi yang
lain sebagai sarana pembelajaran; (5) sistem pendidikan Islami menganut sistem
pendidikan multicultural, artinya sistem pendidikan harus memahami bahwa
masyarakat yang dilayani bersifat plural, sehingga pluralisme harus menjadi
acuan dalam mengembangkan pendidikan dan pendidikan dapat mendayagunakan
perbedaan tersebut sebagai sumber dinamika yang bersifat posetif dan
konstruktif.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, 1995, Epistimologi
untuk Ilmu Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati,
Bandung.
A. Malik Fadjar, 1995, Menyiasati Kebutuhan Masyarakat
Modern Terhada Pendidikan Agama Luar Sekolah, makalah disampaikan pada
Seminar dan Lokakarya “Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, IAIN,
Tgl. 31 Agustus – 1 September 1995, Cirebon.
Comference Book, 1987, London.
Fasli Jalal, 2001, Reformasi Pendidikan dalam Konteks
Otonomi Daerah, Aditia Yogyakarta.
Hafid Abbas, 2015, Meluruskan Arah Pendidikan, PT.
Mardi Mulyo: Jakarta.
H.A.R. Tilaar, 1998, Beberapa Agenda
Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, Cet. I, Tera
Indonesia, Magelang.
Hujair AH. Sanaky, 2003, Paradigma Pendidikan Islam,
Membangun Masyarakat Madni Indonesia, Safiria Insania Press dan MSI,
Yogyakarta.
Hujair AH. Sanaky, 2015, Pembaruan Pendidikan Islam, Paradigma, Tipologi,
dan Pemetaan Menuju Masyarakat Madani, Kaukaba, Yogyakarta, 2015.
Ibrahim Musa, Otonomi
Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah,
From: http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm,
Akses, 5 Juni 2002
Irwan Prayitno, Urgensi dan Peran Teknologi Informasi
dalam Pendidikan Islam, From: http:// www.
irwanprayitno.or.id/a/0203/1101.html.
Jusuf Amir Feisal, 1995, Reformasi Pendidikan Islam,
Gema Insani Press, Jakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus versi online/daring (dalam jaringan), http://kbbi.web.id/eskatologis. akses, Selasa, 10 November 2015.
Malik Fajar,
1999, Reorientasi Pendidikan Islam, Fajar Dunia, Jakarta.
Mastuhu, 1999, Pemberdayaan sistem Pendidikan Islam, Logos, Jakarta.
Mansur Fakih, 2002, Pendidikan Pupulas Membangun
Kesadaran Kritis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Bahas Tuntas: Pengertian, Fungsi dan Manfaat Internet, http://nesabamedia.com/pengertian-fungsi-dan-manfaat-internet/, akses, Selasa, 10-11-2015, jam, 13.45 WIB.
M. Khoirul Anam, Melacak Paradigma Pendidikan Islam,
Sebuah Upaya Menuju Pendidikan yang Memberdayakan, From:http://www.pendidikan.net/
mk. anam.htm.
Onno W. Purbo, 2000, Tantangan Bagi Pendidikan
Indonesia, Form: http://www. detik. com/ onno/jurnal/ 200004/
aplikasi/ pendidikan/p-19.shtml.
Paulo Freire, 1995, Pendidikan
Kaum Tertindas, Terjemahan, Utomo Dananjaya, LP3ES, Jakarta.
Suwarman al-Muhtar, “Arah Inovasi dalam Pembelajaran,
sebagai Upaya Strategis bagi Pembinaan Manusia Indonesia Tahun 2020”, makalah
disampaikan pada Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia III, Ujung Pandang,4-7
Maret 1996.
Suyanto dan Djihad Hisyam, 2000, Refleksi dan Reformasi
Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta.
Suyanto, 2006, Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam
Percaturan Dunia Global), PSAP Muhammadiyah, Jakarta.
Udin S. Sa’ud, 2002, Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management) Sebagai Strategi Implementasi Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan Dalam
Rangka Otonomi Daerah”, Jurnal Administrasi Pendidikan, Jrusan Administrasi
Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia,
Bandung.
Winarno Surakhmad, Profesionalisme Dunia Pendidikan, From: http://www. Bpk
penabur.or.id/ kps-jkt/berita/ 200006/ artikel2.htm, Jakarta, 27 Mei 2002.
Zamroni, 2000, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Bigraf Publishing,
Yogyakarta.
[1] Hujair AH. Sanaky, Dr., MSI, adalah Ketua
Program Pascasarjana FIAI UII, Dosen PPs FIAI UII, dan Dosen
Tetap Fakultas Ilmu Agama Islam
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Makalah ini disampaikan
dalam Seminar Formulasi Konsep Dan Implementasi Pendidikan Islami Pada Lembaga
Pendidikan Di Aceh Majelis Pendidikan Daerah Aceh Banda Aceh – Indonesia, 14 – 15 November 2015.
[2] Reformasi muncul dengan berbagai penafsiran
mengenai arti reformasi seperti antara lain yang dikemukakan oleh Emil Salim
dan Din Syamsuddin dalam polemik perumusannya. Emil Salim menekankan arti
reformasi untuk perubahan dengan melihat keperluan masa depan. Din Syamsuddin
menekankan kepada kembali dalam bentuk asal. Tilaar mengatakan bahwa kedua
penafsiran reformasi tersebut sah-sah saja, karena keduanya menginginkan
perubahan. Tilaar menggunakan definisi kerja mengenai reformasi sebagai “to
make better by putting a stop to abuses or malpractices or by introducing
better procedures”. Di dalam definisi ini ditunjukkan perlu adanya suatu
perombakan menyeluruh dari suatu sistem kehidupan dalam aspek-aspek politik,
ekonomi, hukum, juga termasuk pendidikan. H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda
Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21 (Magelang: Tera
Indonesia, 1998), hal. 25.
[3] Euforia demokrasi yang sedang marak dalam
masyarakat melahirkan berbagai pemikiran, pendapat, pandangan, dan konsep
mengenai bentuk masyarakat dan bangsa Indonesia yang dicita-citakan di masa
depan, tetapi kadang-kadang satu sama lain bertentangan. H.A.R.
Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia:
Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999),
hal. 3. Untuk membangun suatu masyarakat yang
disebut dengan “masyarakat madani” atau sering juga disebut dengan istilah
masyarakat “Indonesia Baru,” sebagai ciri dari masyarakat demokrasi.
[4] “Kebablasan” diartikan atau dikonotasikan
dengan “kebebasan tanpa aturan”. Azyumardi Azra menyatakan sekarang ini di
kalangan masyarakat semakin berkembang “kelatahan sosial” seperti tuntutan
demokrasi yang diartikan sebagai “kebebasan tanpa aturan,” tuntutan otonomi
sebagai kemandirian tanpa kerangka acuan dan tuntutan hak asasi manusia yang
mendahulukan hak tanpa memperhatikan kewajiban, pada akhirnya berkembang ke
arah berlakunya hukum rimba yang memicu kesukubangsaan (ethnicity).
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan
Demokratisasi (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hal. xiv.
[5] Eskatologis/es·ka·to·lo·gis/ /éskatologis/ a “mengenai hal-hal terakhir”, seperti kematian, hari kiamat, kebangkitan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus versi online/daring (dalam jaringan), http://kbbi.web.id/eskatologis, akses, Selasa, 10 November 2015, jam.20.15 WIB.
[6] Istilah INTERNET berasal dari bahasa Latin “inter”, yang berarti “antara”. Secara kata per kata INTERNET berarti jaringan antara atau penghubung. Fungsinya, INTERNET adalah menghubungkan berbagai jaringan yang tidak saling bergantung pada satu sama lain sedemikian rupa, sehingga mereka dapat berkomunikasi. Sistem apa yang digunakan pada masing-masing jaringan tidak menjadi masalah, apakah sistem DOS atau UNIX. Keseimpulan; Internet merupakan hubungan antar berbagai jenis komputer dan jaringan di dunia yang berbeda sistem operasi maupun aplikasinya di mana hubungan tersebut memanfaatkan kemajuan media komunikasi (telepon dan satelit) yang menggunakan protokol standar dalam berkomunikasi yaitu protokol TCP/IP. https://nessaifana.wordpress.com/bab-1-pengertian-internet-dan-intranet/, akses pada Selasa,10 November 2015, jam.15.30 WIB.
[7] Kedaan semacam ini, perlu dikoreksi mulai dari tingkat
pendidikan di sekolah dasar. Proses pembelajaran yang mementingkan kemampuan
analisis dan sistesis, sikap, minat, motivasi, dan kreativitas yang tinggi
terhadap pencapaian prestasi di kalangan “pembelajar” perlu segera direkayasa (Suyanto
& Djihad Hisyam, 2000: 64), sehingga mampu melahirkan manusia yang memiliki
kemampuan kreatif, inovatif, mandiri, dan memiliki kebebasan dalam berpikir[Hujair
AH. Sanaky, 2003:164].
[8] Seminar Aceh: Para pemakalah sepakat bahwa yang
dimaksud dengan pendidikan Islami ialah pendidikan yang berbasis pada
nilai-nilai Islami, yaitu nilai-nilai yang bersumber dari ajaran Islam.
Pendidikan berbasis nilai-nilai Islami adalah pendidikan yang bersifat integralistik,
humanistik, profetik, komprehensif, yang berakar pada budaya Islami. Rumusan
Kesimpulan Seminar Internasional Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Islami, Banda
Aceh pada tanggal 9 – 13 November 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar