Peran Pendidikan Keagamaan dalam Pembentukan Pribadi
Toleran
I
Pendahuluan: Indonesia adalah
masyarakat yang majemuk. Indonesia merupakan bangsa
multikultural, dihuni oleh beragam ras, etnis, budaya dan agama.
Keragaman yang bersifat natural dan kodrati ini akan menjadi suatu manisfestasi
yang berharga ketika diarahkan dengan tepat menuju situasi dan keadaan yang
kondusif. Namun, sebaliknya, ketika
tidak diarahkan dengan pola yang tepat, keragaman ini akan menimbulkan benturan
peradaban (clash of civilization), sering menghasilkan situasi konflik
berdarah, yang menciptakan perpecahan dan disintegrasi sosial.
Dengan keragaman ras, etnis, budaya,
dan agama, diperlukan pendidikan yang harus memberikan gambaran dan
idealitas moral agamanya secara kontekstual.
Maka dalam proses pendidikan
diperlukan peninjauan ulang terhadap doktrin-doktrin agama yang kaku dan kurang
humanis selama ini dilaksanakan.
Pluralitas agama dan keyakinan tidak lagi dipahami sebagai potensi kerusuhan,
melainkan menjadi potensi untuk diajak bersama melaksanakan ajaran demi
kepentingan kemanusiaan. Seluruh agama harus mengklaim membangun peradaban (civilization),
perdamaian dan keselamatan manusia.
Pendidikan
memiliki peran penting untuk menumbuhkan
sikap awal, agar tidak hanya dapat menerima keberdaan agama lain saja, tapi
juga mampu bekerja sama dengan keyakinan atau agama yang berbeda. Ini berarti,
pendidikan harus memungkinkan tumbuhnya persaudaraan dalam kebersamaan
tersebut, sehingga dapat bersama membangun dunia baru yang lebih bermakna bagi
seluruh manusia. Disain pendidikan harus mengakomodasi pluralis dan toleran. Ini
bearti diperlukan materi pembelajaran dan sikap guru-guru agama yang toleran
dan pluralis pula.
Pendidikan merupakan proses di mana bangsa mempersiapkan generasi
mudanya untuk menjalankan kehidupannya. Pendidikan
merupakan proses menaburkan benih-benih budaya dan perdaban manusia yang hidup
dan dihidupi oleh nilai-nilai atau visi yang berkembang dan dikembangkan di
dalam suatu masyarakat. Inilah
pendidikan sebagai suatu proses pembudayaan.[2] Ini berarti pendidikan
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
menjadi warga negara, warga masyarakat yang toleran, demokratis serta
bertanggung jawab.
Idealnya dunia pendidikan khususnya
pendidikan agama menjadi solusi ampuh dan jitu untuk berperan meredam berbagai
aksi kekerasan berbasiskan agama. Pendidikan dianggap memiliki peran yang luhur dan agung dalam sejarah
kehidupan manusia. Pendidikan juga dipahami sebagai sarana efektif dalam
memberikan berbagai bekal kehidupan bagi peserta didik, sarana mencerdaskan
individu masyarakat, negara dan bangsa. Ini berati dalam relasi antar agama,
khususnya nilai-nilai kedamaian, toleransi, inklusif dan keharmonisan dapat
ditanamkan pada generasi muda bangsa melalui pendidikan. Ini berarti pendidikan menjadi “panglima” dalam membentuk peradaban
bangsa, membentuk karakter bangsa, membentuk pribadi toleran.
Ironisnya, faktanya justru sebaliknya,
lembaga pendidikan justru diposisikan sebagai “tertuduh” utama, penyebab terjadinya berbagai kasus kekerasan atas nama agama di tengah
masyarakat. Kenyataannya, “beberapa tahun terakhr banyak muncul konflik, intoleransi, dan kekerasan atas nama agama. Pandangan keagamaan yang cenderung anakronostik
memang sangat berpotensi untuk memecah belah,
saling klaim kebenaran, sehingga menimbulkan berbagai macam konflik”, [3] intoleransi. Pada
posisi ini, pendidikan agama dituding menjadi mesin pencetak “intoleransi” dan “radikalisme”
peserta didik. Pendidikan agama belum memberikan solusi konkret terhadap pembentukan sikap
keberagaman yang lapang dan santun dalam menyikapi perbedaan yang terjadi di
masyarakat. Pendidikan
agama di sekolah “mungkin saja” belum diorientasikan pada
tataran moral action-psikomotor,
agar peserta didik tidak hanya berhenti pada kompetensi (competence) memahami-memiliki saja, tetapi sampai
memiliki kemauan (will),
kebiasaan (habit) dalam
mewujudkan nilai dalam kehidupan sehari-hari atau “menjadi”. [4]
II
Peran Pendidikan Keagamaan: Jika merujuk pada undang-undang,
fungsi dan tujuan pendidikan agama dan keagamaan sudah dirumuskan secara
sangat ideal. PP. No. 55
tahun 2007 pasal 2 ayat 1 dan 2,
menjelaskan bahwa: Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia
Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak
mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat
beragama. Tujuan pendidikan agama untuk berkembangnya kemampuan peserta
didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang
menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Pendidikan pada dasarnya adalah usaha untuk mengembangkan potensi
sumber daya manusia dengan adanya proses pembelajaran. Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara efektif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kemampuan dan kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, berakhlak mulia serta keterampilan
terhadap dirinya, masyarakat bangsa dan negara. Ini berarti, pendidikan adalah segala
usaha dalam mengembangkan potensi jasmani dan rohani ke arah kesempurnaan.[5]
Pendidikan agama adalah pendidikan
yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan
peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan
sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan. Sedangkan “Pendidikan keagamaan” adalah pendidikan
yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut
penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama
dan mengamalkan ajaran agamanya.[6]
Penyelenggaraan pendidikan yang ada, khususnya pendidikan
agama belum memberikan solusi konkret terhadap pembentukan sikap keberagaman
yang lapang dan santun dalam menyikapi perbedaan yang terjadi di masyarakat.
Beberapa peristiwa-peristiwa yang dilatarbelakangi oleh perbedaan ras, budaya
dan agama serta antar golongan yang merupakan keputusan yang Tuhan tetapkan
bagi negara ini dapat dijadikan indikasi kegagalan pendidikan agama dalam
menanamkan nilai-nilai ajaran Islam yang damai. Masyarakat belum mampu bersikap
toleran terhadap adanya perbedaan kultural yang dihadapi dalam proses interaksi
sosial diantara beragam komunitas. Perbedaan yang hakekatnya menjadi nilai
positif bagi bangsa Indonesia telah terkotori oleh emosi masyarakat yang mudah
terbakar dan perilaku–perilaku destruktif yang membabi buta dalam menyelesaikan
sebuah masalah.
Tentunya kita semua sepakat bahwa pendidikan agama perlu dibenahi dan
dibongkar secara total dari berbagai aspeknya atau dengan kata lain dilakukan
deradikalisasi pendidikan agama/keagamaan. Katakan saja, filosofi pendidikan
agama yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa bersedia menerima
kebenaran agama lain, perlu dikritisi
untuk selanjutnya dilakukan reorientasi.
Materi pembelajaran agama yang terjebak pada truth of claim,
iman-kafir, muslim non-muslim, sangat
berpengaruh pada cara pandang masyarakat pada agama lain perlu di hapus dalam
dalam pandangan peserta didik untuk
selanjutnya dikontekstualisasi dengan berbagai isu global seperti HAM,
demokrasi climate change, dan lain-lain. Dengan begitu tidak akan
membentuk cara bernalar yang absurd
bagi umat beragama.
Sebuah penelitian yang dilakukan berita
harian Kompas, dengan menganalisis buku-buku wajib pelajaran agama, melaporkan
bahwa porsi bahasan tentang “toleransi beragama” di dalam buku-buku
wajib tersebut tidaklah begitu banyak dibicarakan. Untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam
(PAI) hanya ditemukan pada buku kelas III SLTP yang disusun oleh Direktorat
Pembinaan PAI pada sekolah umum negeri. Sebaliknya, buku-buku wajib tersebut
lebih didominasi ajaran-ajaran fundamental tentang prinsip-prinsip kepercayaan
dan pengetahuan praktis mengenai macam-macam serta “tata laksana ritual agama”
yang ditujukan untuk memperteguh keyakinan peserta didik terhadap agama yang dianutnya.[7]
Disini mengindikasikan bahwa pendidikan
agama yang diajarkan disekolah lebih mengarah kepada pembentukan
pribadi–pribadi yang cenderung ekslusif dan tidak memiliki kepekaan sosial atas adanya
perbedaan serta terisolir dengan kehidupan sosial-budaya Indonesia yang
beragam. Dalam hal ini nampak jelas bahwa pendidikan agama di Indonesia lebih banyak menekankan kepada
disiplin ilmu yang bersifat normatif, establish dan jauh dari realitas
kehidupan yang heterogen. [8]
III
Pembentukan Pribadi
Toleran: Dalam pembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2
disebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.” Sebagai warga Negara sudah sepatutnya menjunjung
tinggi sikap saling toleransi antar umat beragama dan saling menghormati antar
hak dan kewajiban yang ada diantara kita demi keutuhan Negara.
Toleransi,
berkembang dalam kerangka adanya keberagaman, utamanya adalah keberagaman agama
dan budaya termasuk di dalamnya kebiasaan-kebiasaan, tradisi atau adat istiadat
yang menyertainya. Toleran diartikan sebagai
dua kelompok yang berbeda kebudayaan saling berhubungan dengan penuh,
bertoleransi, bersikap toleran: sifat fanatik dan tidak, sedangkan
menoleransi adalah mendiamkan, membiarkan.[9] Toleransi,
suatu sikap yang saling menghargai kelompok-kelompok atau individu dalam
masyarakat atau dalam lingkungan lainnya. Bila demikian, maka “toleransi” lebih
diartikan dengan sikap “tenggang rasa”, menghargai, dan membolehkan orang lain
memiliki sesuatu yang berbeda, baik pada aspek agama, keyakinan, budaya,
etnis-suku, pendapat, pendirian, dan sebagainya yang berbeda dengan dirinya. Sikap ini dalam konteks pendidikan harus terbangun dalam materi
pembelajaran, proses pendidikan dan
pembelajaran.
Dalam konteks pendidikan, diharapkan
dapat mewujudkan masyarakat yang memiliki sikap toleransi, yaitu; pertama,
terbangun sikap menghargai dan membolehkan orang untuk berbeda kepercayaan,
keyakinan, dan agama; kedua, terbangun sikap menghargai orang lain untuk
berpendirian dan berbeda pendapat. Indikator yang dapat diukur, adalah: (a)
tenggang rasa untuk menghormati pilihan dan cara bereksperesi terhadap orang
lain dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya; (b)
terbangun sikap kesadaran dalam memahami, mengakui, dan menghormati adanya
keragaman agama, keyakinan yang diyakini orang lain; (c) membangun dan
mengembangkan sikap bersatu dalam keperbedaan, berbeda dalam kebersamaan, dan
sebagainya.
Sikap
toleransi dapat diwujudkan oleh semua anggota dan semua lapisan masyarakat,
sehingga terbentuk masyarakat yang rahmātan lil ‘ālaīmin, yaitu masyarakat
yang damai, aman, kompak tapi beragam dan kaya dengan ide-ide. Menurut Juwono
Sudarsono,[10]
di samping sikap toleransi, juga penting sikap kompromi perlu dikembangkan
dalam proses pendidikan. Didukung pula dengan “sikap saling pengertian” yang
perlu dikembangkan dalam proses pendidikan, sehingga perbedaan pendapat dan
pandangan justru menjadi “rahmah” dan “hikmah” untuk membentuk
masyarakat yang memiliki wawasan dan horizon yang luas, kaya dengan perbedaan,
dan wawasan sosial kemasyarakatan yang memadai.
Untuk
itu, dalam proses pendidikan keagamaan diharapkan dapat mengakomodasi sikap
tersebut, sehingga
terbentuk budaya sikap toleran, saling menghargai, tenggang rasa, membolehkan
orang lain memiliki sesuatu yang berbeda, pandangan yang berbeda, agama, keyakinan,
dan sebagainya dengan dirinya, sebagai manifestasi dari nilai ajaran Islam
(nilai Ilahiyah) yang apliktif dalam kehidupan sehari-hari, sehingga terwujud insāniyyah
dan alāmiyyah yang rahmatan lil ‘ālamin. [11]
Konsep
pendidikan keagamaan dapat mewujudkan sikap penghargaan yang tinggi terhadap
martabat manusia (human dignity), dengan mambangun sikap dan perilaku
peduli, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, mengakui persamaan derajat,
persamaan hak, persamaan kewajiban sesama manusia, dan toleransi.
Konsep pendidikan kegamaan diharapkan dapat mengakomodasi
nilai tersebut dalam desain kurikulum dan proses pembelajarannya. Indikatornya
adalah: (a) mewujdukan nilai toleransi, kemanusian (humanisme), mencintai sesama manusia sebagai hamba Tuhan,
gemar melakukan kegiatan kemanusiaan; (b) mewujudkan sikap dan perilaku yang
mengakui kesederajatan, dengan mengakui persamaan derajat dari perspektif suku
bangsa, ras, gender, golongan, mengakui persamaan hak, persamaan kewajiban
sebagai hamba Tuhan, anggota masyarakat dalam pergaulan dan berinteraksi dengan
masyarakat yang memiliki keragaman budaya, etnis, suku bangsa, dan agama, baik
bersifat lokal maupun global.
Lembaga pendidikan
sekolah merupakan wahana yang paling tepat untuk pembentukan nilai-nilai
toleransi dan kebersamaan, untuk melatih dan sekaligus menerapkan nilai-nilai
ini dalam kehidupan. Proses pendidikan mampu mengembangkan seluruh
potensi peserta didik untuk menghargai perbedaan pendapat (the right to be
different); kebebasan untuk mengaktualisasikan diri; kebebasan intelektual; kesempatan untuk bersaing di dalam perwujudan
diri-sendiri (self realization); pendidikan
yang membangun moral, pendidikan yang semakin mendekatkan diri kepada Sang
Pencipta.[12]
Pendidikan keagamaan
perlu melakukan
sinkronisasi kurikulum dan proses pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan budaya dan perilaku toleran.
Pengembangan
budaya toleran ke seluruh aspek kehidupan masyarakat, menghargai keperbedaan, membudayakan
semangat pluralisme, serta praktik yang menyentuh masalah umat manusia, baik
bersifat politik, sosial, maupun budaya, dan mengembangkan konsep pendidikan
yang menghargai potensi manusia yang beradab.
Berangkat dari pandangan bahwa menyelesaikan persoalan intoleransi
pada kalangan muda di sekolah atau lembaga perguruan tinggi, harus diawali
dengan mendisain ulang
kurikulum yang berperspektif pluralis, toleran, dan multikultural telah
mengandaikan selama ini kurikulum dalam proses pembelajaran sudah berperan
sebagaimana mestinya. Faktanya, antara kurikulum dan pendidik dalam praktiknya selama ini berjalan
sendiri-sendiri, seolah tidak saling berkait. Melihat realitas demikian, penulis sampai hari ini, secara ekstrim,
masih meyakini, bahwa meskipun kurikulumnya didisain anti toleransi sekalipun
tetapi, jika dijalankan oleh guru yang berpandangan pluralis, pesan-pesan yang
disampaikan akan pluralis pula dan begitu pula sebaliknya.
Pengembangan sikap dan
kebersamaan di kalangan siswa harus diletakkan sebagai salah satu bagian
mendasar dalam proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Dalam konteks ini, meteri-materi atau
kurikulum pendidikan keagamaan yang berbasis torelan dan proses
pembelajaran bagi upaya pengembangan sikap toleransi sangat diperlukan. Dalam proses pembelajaran guru
menempati kedudukan yang sangat penting karena bagaimana berlangsungnya proses
pembelajaran itu lebih banyak diwarnai oleh rancangan program pembelajaran yang
dilakukan atau dibuat guru. Agar
sikap toleransi dapat dikembangkan di
kalangan siswa, guru hendaknya dapat merancang kegiatan pembelajaran yang
berpengaruh terhadap pengembangan sikap tersebut.
Katakan saja, paham keagamaan para guru lebih
terefleksikan dalam pelajaran mereka dan berkontribusi menumbuhkan
konservatisme dan radikalisme agama di masyarakat, khususnya di kalangan muda.
Karena itu penulis berpandangan, bahwa berbagai upaya deradikalisasi pendidikan
agama tidak akan bermakna signifikan atau bahkan sia-sia, jika tidak diimbangi
dengan kesiapan guru agama (selaku pelaksana dan perancang pengajaran), baik
pada aspek paradigma keagamaanya maupun metode pengajarannya; dari doktrinasi
menuju dialogis. Sayangnya sebagaimana dikemukakan di atas, aspek guru nyaris
tidak diperhatikan sebagai persoalan yang mendesak untuk dibenahi.
Upaya yang Harus dilakukan; Untuk
menghadirkan gura agama yang berperspektif pluralis dan toleran, tentu
dibutuhkan proses yang tidak sebentra, karena ini berkaitan dengan perubahan mindset. Namun dalam jangka pendek,
menurut Ahmad Asroni sebagaimana dikutip Indriyani Ma’rifah, ada beberapa cara yang bisa ditempuh, yaitu: Pertama, menyelenggrakan secara intens
berbagai training, workshop, seminar dan kegiatan-kegiatan lainnya yang
berwawasan toleransi, multicultural, pluralis, kepada para pendidik/guru agama.
Kedua, menyelenggarakan dialog
keagamaan dengan pendidik agama, pemuka atau umat beragama lainnya. Dengan
demikian para pendidik antar agama dapat berbaur dan mengenal satu sama lain. Sehingga pada gilirannya akan melahirkan sikap
apresiatif dan toleran terhadap agama lain. Ketiga, memperkenalkan
bahan bacaan atau berbagai refernsi yang bernuansa pendidikan toleransi dan multicultural
sejak dini kepada para pendidik.[13]
Langkah yang tidak kalah penting dilakukan adalah aspek rekrutmen guru baru yang harus
mengedepankan perspektif keagamaan calon guru yang pluralis dan toleran. Memulai pembenahan guru dari hulunya (melalui
seleksi ketat) tentunya tidak hanya efektif tapi juga efesien dalam memecahkan
persoalan intoleransi guru agama. Jika
kegiatan-kegiatan seperti ini dilakukan secara intens dan serius maka meskipun
tidak mudah tapi memberikan ruang terjadinya perubahan maindset para guru; dari paham anti-pluralis
menjadi pluralis dan toleran.
Dari kerangka
berpikir di atas, untuk mewujudkan pendidikan toleransi, pendidikan di sekolah
perlu diorientasikan pada
tataran moral action-psikomotor, agar
peserta didik tidak hanya berhenti pada kompetensi (competence)
memahami-memiliki saja, tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan
kebiasaan (habit) dalam mewujudkan nilai dalam kehidupan
sehari-hari atau “menjadi”. Lickona (1991)
berpendapat untuk mendidik moral anak sampai pada moral action-psikomotor diperlukan tiga proses pembinaan berkelanjutan,
mulai dari proses moral
knowing, moral feeling, hingga sampai
pada moral action.
Ketiganya harus
dikembangkan secara terpadu dan seimbang,[14]
sehingga potensi peserta didik dapat berkembang secara optimal, pada aspek: (a)
kecerdasan intelektual, memiliki kecerdasan, pintar, kemampuan membedakan yang
“baik” dan buruk, benar dan salah, serta menentukan mana yang bermanfaat; (b)
kecerdasan emosional, kemampuan mengendalikan emosi, menghargai keperbedaan,
mengerti perasaan orang lain, mampu bekerja dengan orang lain; (c) kecerdasan
sosial, memiliki kemampuan berkomunikasi, senang menolong, berteman, senang
bekerja sama, senang berbuat untuk menyenangkan orang lain; (d) kecerdasan
spritual, memiliki iman yang anggun, merasa selalu diawasi Allah, gemar berbuat
baik karena Allah, disiplin beribadah, sabar, ikhtiar, jujur, pandai
bersyukur dan berterima kasih; (e) kecerdasan kinestetik, menciptakan keperdulian
terhadap dirinya dan orang lain, menerima leperbedaan, dan sebagainya.[15] Akan lahir sosok manusia yang mengembangkan berbagai
kecerdasan tersebut akan memilik perilaku yang toleran.
Fakta-fakta intoleransi dan kekerasan mengatasnamakan agama yang terjadi
di masyarakat seperti dijelaskan di atas, menunjukkan pada kita tidak mudah
menghapus keyakinan-keyakinan dengan simbol agama untuk melakukan
kekerasan. Intoleransi, kekerasan
bernuansa agama perlu dicarikan pemecahannya secara mendasar dengan mempertimbangkan
sebab-sebab, kelemahan-kelemahan konsep apa yang sudah dilakukan selama
ini. Maka bagimana gagasan-gagasan baru
untuk memberi solusi yang lebih baik ke depan. Dengan begitu ajaran agama yang misi utamanya menjadi rahmat bagi
semesta dan penebar kedamaian dapat mewujudkan masyarakat toleran di negara multi
etnis, agama dan plural ini.
Katakan saja, dunia pendidikan,
khususnya pendidikan keagamaan di Indoensia selama ini dianggap belum mampu
menjadi media penyebaran nilai-nilai toleransi di masyarakat. Padahal dalam masyarakat yang sangat majemuk seperti Indonesia,
pendidikan agama harus memberikan gambaran dan idealitas moral agamanya secara
kontekstual. Di sini dipersyaratkan
peninjauan ulang atas doktrin-doktrin agama yang kaku. Seperti halnya doktrin
jihad, bukan lagi dipahami sebagai persetujuan Islam untuk menggunakan
kekerasan dalam menyebarkan agama. Pluralitas agama dan keyakinan tidak lagi
dipahami sebagai potensi kerusuhan, melainkan menjadi potensi untuk diajak bersama melaksanakan ajaran demi
kepentingan kemanusiaan. Karena seluruh agama selalu mengklaim demi perdamaian
dan keselamatan manusia.
Mencermati kenyataan ini, rekonstruksi
pendidikan agama menjadi mendesak dilakukan untuk menjawab berbagai persoalan
intoleransi yang sat ini marak terjadi . Pendidikan agama harus memungkinkan
tumbuhnya persaudaraan dlm kebersamaan tersebut, sehingga bisa bersama
membangun dunia baru yg lebih bermakna bagi seluruh manusia. Itu semua akan
bisa terwujud jika pembenahan pendidikan agama kearah yang pluralis dan toleran diimbangi dengan
guru-guru agama yang toleran dan pluralis pula.
IV
Penutup: Dalam masyarakat yang sangat majemuk seperti Indonesia, pendidikan harus memberikan gambaran dan idealitas moral agamanya secara kontekstual. Pendidikan memiliki peran penting menumbuhkan sikap toleran dan dapat menerima keperbedaan, tetapi juga mampu bekerja sama dengan keyakinan atau agama yang berbeda.
Penutup: Dalam masyarakat yang sangat majemuk seperti Indonesia, pendidikan harus memberikan gambaran dan idealitas moral agamanya secara kontekstual. Pendidikan memiliki peran penting menumbuhkan sikap toleran dan dapat menerima keperbedaan, tetapi juga mampu bekerja sama dengan keyakinan atau agama yang berbeda.
Pendidikan keagamaan harus memungkinkan tumbuhnya persaudaraan dalam kebersamaan tersebut,
sehingga dapat bersama membangun dunia baru berperadaban yang lebih bermakna
bagi seluruh umat manusia. Itu semua akan dapat terwujud, jika disain
pendidikan keagamaan mengakomodasi pluralis dan toleran yang diimbangi dengan
guru-guru agama yang toleran dan pluralis pula.
Daftar
Pustaka
Definisi pendidikan agama, pendidikan keagamaan dan
pendidikan Islam”, dhttp://zonependidikan.blogspot.co.id/2012/06/definisi-pendidikan-agama-pedidikan.html,.
Diding
Nurdin, “Reformasi Pendidikan Menuju
Masyarakat Madani”, dalam http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?
mib= beritadetail&id=34248,.
Fauzi
Muhamad, “Peran
Guru Agama Islam Menghadirkan Kedaiaman dalam Keragaman”. http://mufazi881.blogspot.co.id/2012/12/peran-guru-agama-islam-menghadirkan_9536.html,
akses, Rabu, 4 November 2015, jam. 5.30
WIB.
H.A.R. Tilaar, 1999, Pendidikan, Kebudayaan,
dan Masyarakat Madani Indonesia, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Hana Mustaqim, dikutip dari http://yhanamedjaya.
blogspot.co.id/2014/10/nilai-nilai-toleransi-sebagai-kerangka.html, pada hari
Jumat tanggal 13 November 2015, jam. 19.15 WIB
Hujair AH. Sanaky, 2015, Pembaruan Pendidikan Islam,
Paradigma, Tipologi, dan Pemetaan Menuju Masyarakat Madani Indonesia, Cetakan I, Kaukaba Dipantara,
Yogyakarta.
Indriyani
Ma’rifah, Rekonstruksi Pendidikan Agama
Islam: Sebuah Upaya Membangun Kesadaran untuk Mereduksi Terorisme dan Radilasime Islam.
Juwono
Sudarsono, ICWA, diskusi mengenai “The Development of Educatio and
Civil Society”, Jakarta: 9 Maret 1999.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 55 Tahun
2007, tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, dikutip dari http://kemenag.go.id/file/dokumen/PP5507.pdf,.
Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalam jaringan, dalam
http://pusatbahasa.diknas.go.id/ kbbi/ index.php,.
Thomas Lickona,1991, Educating for
Character How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, Bantam Books. New York,
[1] Hujair AH. Sanaky, Dr., MSI, adalah Ketua Program Pasvasarjana FIAI UII, Dosen PPs FIAI UII dan Dosen Tetap Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta.
[2] H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat
Madani Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hal.9.
[3]
Nilai-Nilai Toleransi Sebagai Kerangka
Dasar Perdamaian, Diposkan oleh Hana Mustaqim, dikutip dari http://yhanamedjaya.
blogspot.co.id/2014/10/nilai-nilai-toleransi-sebagai-kerangka.html, pada hari Jumat tanggal 13 November
2015, jam. 19.15 WIB
[4] Hujair AH. Sanaky, Pembaruan Pendidikan Islam, Paradigma,
Tipologi, dan Pemetaan Menuju Masyarakat Madani Indonesia, Cetakan I,
(Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2015), hlm. 205.
[5] “Definisi pendidikan agama, pendidikan keagamaan dan pendidikan Islam”,
dikutip dari http://zonependidikan.blogspot.co.id/2012/06/definisi-pendidikan-agama-pedidikan.html, pada hari Selasa tanggal 17 November 2015 jam. 21.30 WIB.
[6] Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor: 55 Tahun 2007, tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan, dikutip dari http://kemenag.go.id/file/dokumen/PP5507.pdf, pada hari Selasa tanggal 17 November 2015 jam. 21.30 WIB.
[7] Fauzi Muhamad, “Peran Guru Agama Islam Menghadirkan
Kedaiaman dalam Keragaman”. http://mufazi881.blogspot.co.id/2012/12/peran-guru-agama-islam-menghadirkan_9536.html,
akses, Rabu, 4 November 2015, jam. 5.30
WIB.
[8] Fauzi Muhamad, Peran Guru Agama Islam Menghadirkan
Kedaiaman dalam Keragaman. http://mufazi881.blogspot.co.id/2012/12/peran-guru-agama-islam-menghadirkan_9536.html,
akses, Rabu, 4 November 2015, jam. 5.30
WIB.
[9] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, dalam jaringan, dalam
http:// pusatbahasa. diknas.go.id/ kbbi/ index.php, diakses pada Sabtu,
26/9/2009, jam. 18.00 wib.
[10] Juwono Sudarsono, ICWA, diskusi
mengenai “The Development of Educatio and Civil Society”, Jakarta: 9
Maret 1999.
[11]Hujair
AH. Sanaky, Pembaruan Pendidikan Islam, Paradigma, Tipologi, dan Pemetaan Menuju
Masyarakat Madani Indonesia, Cetakan I, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2015), hlm. 167-168.
[12]Diding Nurdin, “Reformasi Pendidikan Menuju Masyarakat Madani”, dalam http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php? mib=
beritadetail&id=34248, diakses pada Jumat, 6/2/2009, jam 24.00
WIB.
[13] Indriyani Ma’rifah, Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Sebuah Upaya Membangun Kesadaran
untuk Mereduksi Terorisme dan Radilasime
Islam, hal. 241.
[14] Thomas Lickona,
Educating for Character How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility
(New York: Bantam Books, 1991), hlm.
53.
[15] Baca: Hujair
AH. Sanaky, Pembaruan Pendidikan Islam, Paradigma, Tipologi, dan Pemetaan Menuju
Masyarakat Madani Indonesia, Cetakan I, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2015), hlm. 205.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar