Rabu, 09 Agustus 2017

Peran Pendidikan Keagamaan dalam Pembentukan Pribadi Toleran



Peran Pendidikan Keagamaan dalam Pembentukan Pribadi Toleran
Hujair AH. Sanaky [1]

I
Pendahuluan: Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Indonesia merupakan bangsa multikultural, dihuni oleh beragam ras, etnis, budaya dan agama. Keragaman yang bersifat natural dan kodrati ini akan menjadi suatu manisfestasi yang berharga ketika diarahkan dengan tepat menuju situasi dan keadaan yang kondusif. Namun, sebaliknya, ketika tidak diarahkan dengan pola yang tepat, keragaman ini akan menimbulkan benturan peradaban (clash of civilization), sering menghasilkan situasi konflik berdarah, yang menciptakan perpecahan dan disintegrasi sosial.
Dengan keragaman ras, etnis, budaya, dan agama, diperlukan pendidikan yang harus memberikan gambaran dan idealitas moral agamanya secara kontekstual. Maka dalam proses pendidikan diperlukan peninjauan ulang terhadap doktrin-doktrin agama yang kaku dan kurang humanis selama ini dilaksanakan.  Pluralitas agama dan keyakinan tidak lagi dipahami sebagai potensi kerusuhan, melainkan menjadi potensi untuk diajak bersama melaksanakan ajaran demi kepentingan kemanusiaan. Seluruh agama harus mengklaim  membangun peradaban (civilization),  perdamaian dan keselamatan manusia. 
Pendidikan memiliki peran penting  untuk menumbuhkan sikap awal, agar tidak hanya dapat menerima keberdaan agama lain saja, tapi juga mampu bekerja sama dengan keyakinan atau agama yang berbeda. Ini berarti, pendidikan harus memungkinkan tumbuhnya persaudaraan dalam kebersamaan tersebut, sehingga dapat bersama membangun dunia baru yang lebih bermakna bagi seluruh manusia. Disain pendidikan harus mengakomodasi pluralis dan toleran. Ini bearti diperlukan materi pembelajaran dan sikap guru-guru agama yang toleran dan pluralis pula.
Pendidikan merupakan proses di mana bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupannya. Pendidikan merupakan proses menaburkan benih-benih budaya dan perdaban manusia yang hidup dan dihidupi oleh nilai-nilai atau visi yang berkembang dan dikembangkan di dalam suatu masyarakat.  Inilah pendidikan sebagai suatu proses pembudayaan.[2]  Ini berarti pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara, warga masyarakat yang toleran, demokratis serta bertanggung jawab. 
Idealnya dunia pendidikan khususnya pendidikan agama menjadi solusi ampuh dan jitu untuk berperan meredam berbagai aksi kekerasan berbasiskan agama. Pendidikan dianggap memiliki peran yang luhur dan agung dalam sejarah kehidupan manusia. Pendidikan juga dipahami sebagai sarana efektif dalam memberikan berbagai bekal kehidupan bagi peserta didik, sarana mencerdaskan individu masyarakat, negara dan bangsa. Ini berati dalam relasi antar agama, khususnya nilai-nilai kedamaian, toleransi, inklusif dan keharmonisan dapat ditanamkan pada generasi muda bangsa melalui pendidikan.  Ini berarti pendidikan menjadi “panglima” dalam membentuk peradaban bangsa, membentuk karakter bangsa,  membentuk pribadi toleran.
Ironisnya, faktanya justru sebaliknya,  lembaga pendidikan justru diposisikan sebagai “tertuduh”  utama,  penyebab terjadinya berbagai kasus  kekerasan atas nama agama di tengah masyarakat.  Kenyataannya, “beberapa tahun terakhr banyak muncul konflik, intoleransi, dan kekerasan atas nama agama.  Pandangan keagamaan yang cenderung anakronostik memang sangat berpotensi untuk memecah belah,  saling klaim kebenaran, sehingga menimbulkan berbagai macam  konflik”, [3] intoleransi.   Pada posisi ini, pendidikan agama dituding menjadi mesin pencetak “intoleransi” dan  “radikalisme”  peserta didik.    Pendidikan agama belum memberikan solusi konkret terhadap pembentukan sikap keberagaman yang lapang dan santun dalam menyikapi perbedaan yang terjadi di masyarakat.  Pendidikan agama di sekolah “mungkin saja” belum diorientasikan pada tataran moral action-psikomotor, agar peserta didik tidak hanya berhenti pada kompetensi (competence) memahami-memiliki saja, tetapi sampai memiliki kemauan (will), kebiasaan (habit) dalam mewujudkan nilai dalam kehidupan sehari-hari atau “menjadi”. [4]
II

Peran Pendidikan Keagamaan:  Jika merujuk pada undang-undang,  fungsi dan tujuan pendidikan agama dan keagamaan sudah dirumuskan secara sangat ideal. PP. No. 55 tahun 2007 pasal 2 ayat 1 dan 2,  menjelaskan bahwa: Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama. Tujuan pendidikan agama untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Pendidikan pada dasarnya adalah usaha untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia dengan adanya proses pembelajaran. Pendidikan sebagai  usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara efektif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kemampuan dan kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, berakhlak mulia serta keterampilan terhadap dirinya, masyarakat bangsa dan negara. Ini berarti, pendidikan adalah segala usaha dalam mengembangkan potensi jasmani dan rohani ke arah kesempurnaan.[5]
Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Sedangkan “Pendidikan keagamaan” adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.[6]
Penyelenggaraan pendidikan yang ada, khususnya pendidikan agama belum memberikan solusi konkret terhadap pembentukan sikap keberagaman yang lapang dan santun dalam menyikapi perbedaan yang terjadi di masyarakat. Beberapa peristiwa-peristiwa yang dilatarbelakangi oleh perbedaan ras, budaya dan agama serta antar golongan yang merupakan keputusan yang Tuhan tetapkan bagi negara ini dapat dijadikan indikasi kegagalan pendidikan agama dalam menanamkan nilai-nilai ajaran Islam yang damai. Masyarakat belum mampu bersikap toleran terhadap adanya perbedaan kultural yang dihadapi dalam proses interaksi sosial diantara beragam komunitas. Perbedaan yang hakekatnya menjadi nilai positif bagi bangsa Indonesia telah terkotori oleh emosi masyarakat yang mudah terbakar dan perilaku–perilaku destruktif yang membabi buta dalam menyelesaikan sebuah masalah.
Tentunya kita semua sepakat bahwa pendidikan agama perlu dibenahi dan dibongkar secara total dari berbagai aspeknya atau dengan kata lain dilakukan deradikalisasi pendidikan agama/keagamaan. Katakan saja, filosofi pendidikan agama yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa bersedia menerima kebenaran agama lain,  perlu dikritisi untuk selanjutnya dilakukan reorientasi.  Materi pembelajaran agama yang terjebak pada truth of claim, iman-kafir, muslim non-muslim,  sangat berpengaruh pada cara pandang masyarakat pada agama lain perlu di hapus dalam dalam pandangan peserta didik  untuk selanjutnya dikontekstualisasi dengan berbagai isu global seperti HAM, demokrasi climate change, dan lain-lain. Dengan begitu tidak akan membentuk  cara bernalar yang absurd bagi  umat beragama.
Sebuah penelitian yang dilakukan berita harian Kompas, dengan menganalisis buku-buku wajib pelajaran agama, melaporkan bahwa porsi bahasan tentang “toleransi beragama” di dalam buku-buku wajib tersebut tidaklah begitu banyak dibicarakan.  Untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) hanya ditemukan pada buku kelas III SLTP yang disusun oleh Direktorat Pembinaan PAI pada sekolah umum negeri. Sebaliknya, buku-buku wajib tersebut lebih didominasi ajaran-ajaran fundamental tentang prinsip-prinsip kepercayaan dan pengetahuan praktis mengenai macam-macam serta “tata laksana ritual agama” yang ditujukan untuk memperteguh keyakinan peserta didik terhadap agama yang dianutnya.[7]
Disini mengindikasikan bahwa pendidikan agama yang diajarkan disekolah lebih mengarah kepada pembentukan pribadi–pribadi yang cenderung ekslusif dan tidak memiliki kepekaan sosial atas adanya perbedaan serta terisolir dengan kehidupan sosial-budaya Indonesia yang beragam. Dalam hal ini nampak jelas bahwa pendidikan agama  di Indonesia lebih banyak menekankan kepada disiplin ilmu yang bersifat normatif, establish dan jauh dari realitas kehidupan yang heterogen. [8]


III


Pembentukan Pribadi Toleran:  Dalam pembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 disebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”   Sebagai warga Negara sudah sepatutnya menjunjung tinggi sikap saling toleransi antar umat beragama dan saling menghormati antar hak dan kewajiban yang ada diantara kita demi keutuhan Negara.
Toleransi, berkembang dalam kerangka adanya keberagaman, utamanya adalah keberagaman agama dan budaya termasuk di dalamnya kebiasaan-kebiasaan, tradisi atau adat istiadat yang menyertainya. Toleran diartikan sebagai dua kelompok yang berbeda kebudayaan saling berhubungan dengan penuh, bertoleransi, bersikap toleran: sifat fanatik dan tidak, sedangkan menoleransi adalah mendiamkan, membiarkan.[9] Toleransi, suatu sikap yang saling menghargai kelompok-kelompok atau individu dalam masyarakat atau dalam lingkungan lainnya. Bila demikian, maka “toleransi” lebih diartikan dengan sikap “tenggang rasa”, menghargai, dan membolehkan orang lain memiliki sesuatu yang berbeda, baik pada aspek agama, keyakinan, budaya, etnis-suku, pendapat, pendirian, dan sebagainya yang berbeda dengan dirinya.  Sikap ini dalam konteks pendidikan harus terbangun dalam materi pembelajaran,  proses pendidikan dan pembelajaran.
Dalam konteks pendidikan, diharapkan dapat mewujudkan masyarakat yang memiliki sikap toleransi, yaitu; pertama, terbangun sikap menghargai dan membolehkan orang untuk berbeda kepercayaan, keyakinan, dan agama; kedua, terbangun sikap menghargai orang lain untuk berpendirian dan berbeda pendapat. Indikator yang dapat diukur, adalah: (a) tenggang rasa untuk menghormati pilihan dan cara bereksperesi terhadap orang lain dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya; (b) terbangun sikap kesadaran dalam memahami, mengakui, dan menghormati adanya keragaman agama, keyakinan yang diyakini orang lain; (c) membangun dan mengembangkan sikap bersatu dalam keperbedaan, berbeda dalam kebersamaan, dan sebagainya.
Sikap toleransi dapat diwujudkan oleh semua anggota dan semua lapisan masyarakat, sehingga terbentuk masyarakat yang rahmātan lil ‘ālaīmin, yaitu masyarakat yang damai, aman, kompak tapi beragam dan kaya dengan ide-ide. Menurut Juwono Sudarsono,[10] di samping sikap toleransi, juga penting sikap kompromi perlu dikembangkan dalam proses pendidikan. Didukung pula dengan “sikap saling pengertian” yang perlu dikembangkan dalam proses pendidikan, sehingga perbedaan pendapat dan pandangan justru menjadi “rahmah” dan “hikmah” untuk membentuk masyarakat yang memiliki wawasan dan horizon yang luas, kaya dengan perbedaan, dan wawasan sosial kemasyarakatan yang memadai.
Untuk itu, dalam proses pendidikan keagamaan diharapkan dapat mengakomodasi sikap tersebut, sehingga terbentuk budaya sikap toleran, saling menghargai, tenggang rasa, membolehkan orang lain memiliki sesuatu yang berbeda, pandangan yang berbeda, agama, keyakinan, dan sebagainya dengan dirinya, sebagai manifestasi dari nilai ajaran Islam (nilai Ilahiyah) yang apliktif dalam kehidupan sehari-hari, sehingga terwujud insāniyyah dan alāmiyyah yang rahmatan lil ‘ālamin. [11]
Konsep pendidikan keagamaan dapat mewujudkan sikap penghargaan yang tinggi terhadap martabat manusia (human dignity), dengan mambangun sikap dan perilaku peduli, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, mengakui persamaan derajat, persamaan hak, persamaan kewajiban sesama manusia, dan toleransi. 
Konsep pendidikan kegamaan diharapkan dapat mengakomodasi nilai tersebut dalam desain kurikulum dan proses pembelajarannya. Indikatornya adalah: (a) mewujdukan nilai toleransi, kemanusian (humanisme),  mencintai sesama manusia sebagai hamba Tuhan, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan; (b) mewujudkan sikap dan perilaku yang mengakui kesederajatan, dengan mengakui persamaan derajat dari perspektif suku bangsa, ras, gender, golongan, mengakui persamaan hak, persamaan kewajiban sebagai hamba Tuhan, anggota masyarakat dalam pergaulan dan berinteraksi dengan masyarakat yang memiliki keragaman budaya, etnis, suku bangsa, dan agama, baik bersifat lokal maupun global.
Lembaga pendidikan sekolah merupakan wahana yang paling tepat untuk pembentukan nilai-nilai toleransi dan kebersamaan, untuk melatih dan sekaligus menerapkan nilai-nilai ini dalam kehidupan. Proses pendidikan mampu mengembangkan seluruh potensi peserta didik untuk menghargai perbedaan pendapat (the right to be different); kebebasan untuk mengaktualisasikan diri;  kebebasan intelektual;  kesempatan untuk bersaing di dalam perwujudan diri-sendiri (self realization);  pendidikan yang membangun moral, pendidikan yang semakin mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.[12]
Pendidikan keagamaan perlu melakukan sinkronisasi kurikulum dan proses pembelajaran yang berorientasi pada  pembentukan budaya dan perilaku toleran. Pengembangan budaya toleran ke seluruh aspek kehidupan masyarakat, menghargai keperbedaan, membudayakan semangat pluralisme, serta praktik yang menyentuh masalah umat manusia, baik bersifat politik, sosial, maupun budaya, dan mengembangkan konsep pendidikan yang menghargai potensi manusia yang beradab.
Berangkat dari pandangan  bahwa menyelesaikan persoalan intoleransi pada kalangan muda di sekolah atau lembaga perguruan tinggi, harus diawali dengan mendisain ulang kurikulum yang berperspektif pluralis, toleran, dan multikultural telah mengandaikan selama ini kurikulum dalam proses pembelajaran sudah berperan sebagaimana mestinya. Faktanya, antara kurikulum dan  pendidik dalam praktiknya selama ini  berjalan  sendiri-sendiri, seolah tidak saling berkait. Melihat realitas demikian,  penulis sampai hari ini, secara ekstrim, masih meyakini, bahwa meskipun kurikulumnya didisain anti toleransi sekalipun tetapi, jika dijalankan oleh guru yang berpandangan pluralis, pesan-pesan yang disampaikan akan pluralis pula dan begitu pula sebaliknya.
 Pengembangan sikap dan kebersamaan di kalangan siswa harus diletakkan sebagai salah satu bagian mendasar dalam proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah.  Dalam konteks ini, meteri-materi atau kurikulum pendidikan keagamaan yang berbasis torelan dan  proses pembelajaran bagi upaya pengembangan sikap toleransi sangat diperlukan. Dalam proses pembelajaran guru menempati kedudukan yang sangat penting karena bagaimana berlangsungnya proses pembelajaran itu lebih banyak diwarnai oleh rancangan program pembelajaran yang dilakukan atau dibuat guru. Agar sikap toleransi  dapat dikembangkan di kalangan siswa, guru hendaknya dapat merancang kegiatan pembelajaran yang berpengaruh terhadap pengembangan sikap tersebut.
Katakan saja, paham keagamaan para guru lebih terefleksikan dalam pelajaran mereka dan berkontribusi menumbuhkan konservatisme dan radikalisme agama di masyarakat, khususnya di kalangan muda. Karena itu penulis berpandangan, bahwa berbagai upaya deradikalisasi pendidikan agama tidak akan bermakna signifikan atau bahkan sia-sia, jika tidak diimbangi dengan kesiapan guru agama (selaku pelaksana dan perancang pengajaran), baik pada aspek paradigma keagamaanya maupun metode pengajarannya; dari doktrinasi menuju dialogis. Sayangnya sebagaimana dikemukakan di atas, aspek guru nyaris tidak diperhatikan sebagai persoalan yang mendesak untuk dibenahi.

Upaya yang Harus dilakukan; Untuk menghadirkan gura agama yang berperspektif pluralis dan toleran, tentu dibutuhkan proses yang tidak sebentra, karena ini berkaitan dengan perubahan mindset. Namun dalam jangka pendek, menurut Ahmad Asroni sebagaimana dikutip Indriyani Ma’rifah,  ada beberapa cara yang bisa ditempuh, yaitu: Pertama, menyelenggrakan secara intens berbagai training, workshop, seminar dan kegiatan-kegiatan lainnya yang berwawasan toleransi, multicultural, pluralis, kepada para pendidik/guru agama. Kedua, menyelenggarakan dialog keagamaan dengan pendidik agama, pemuka atau umat beragama lainnya. Dengan demikian para pendidik antar agama dapat berbaur dan mengenal satu sama lain.  Sehingga pada gilirannya akan melahirkan sikap apresiatif dan toleran terhadap agama lain. Ketiga, memperkenalkan bahan bacaan atau berbagai refernsi yang bernuansa pendidikan toleransi dan multicultural sejak dini kepada para pendidik.[13]
Langkah yang tidak kalah penting dilakukan  adalah aspek rekrutmen guru baru yang harus mengedepankan perspektif keagamaan calon guru yang pluralis dan toleran.  Memulai pembenahan guru dari hulunya (melalui seleksi ketat) tentunya tidak hanya efektif tapi juga efesien dalam memecahkan persoalan intoleransi guru agama.  Jika kegiatan-kegiatan seperti ini dilakukan secara intens dan serius maka meskipun tidak mudah tapi memberikan ruang terjadinya perubahan  maindset para guru; dari paham anti-pluralis menjadi pluralis dan toleran.
Dari kerangka berpikir di atas, untuk mewujudkan pendidikan toleransi, pendidikan di sekolah perlu diorientasikan pada tataran moral action-psikomotor, agar peserta didik tidak hanya berhenti pada kompetensi (competence) memahami-memiliki saja, tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan nilai dalam kehidupan sehari-hari atau “menjadi”. Lickona (1991) berpendapat untuk mendidik moral anak sampai pada moral action-psikomotor diperlukan tiga proses pembinaan berkelanjutan, mulai dari proses moral knowing, moral feeling, hingga sampai pada moral action.  
Ketiganya harus dikembangkan secara terpadu dan seimbang,[14] sehingga potensi peserta didik dapat berkembang secara optimal, pada aspek: (a) kecerdasan intelektual, memiliki kecerdasan, pintar, kemampuan membedakan yang “baik” dan buruk, benar dan salah, serta menentukan mana yang bermanfaat; (b) kecerdasan emosional, kemampuan mengendalikan emosi, menghargai keperbedaan, mengerti perasaan orang lain, mampu bekerja dengan orang lain; (c) kecerdasan sosial, memiliki kemampuan berkomunikasi, senang menolong, berteman, senang bekerja sama, senang berbuat untuk menyenangkan orang lain; (d) kecerdasan spritual, memiliki iman yang anggun, merasa selalu diawasi Allah, gemar berbuat baik karena Allah, disiplin beribadah, sabar, ikhtiar, jujur, pandai bersyukur dan berterima kasih; (e) kecerdasan kinestetik, menciptakan keperdulian terhadap dirinya dan orang lain, menerima leperbedaan, dan sebagainya.[15] Akan lahir sosok manusia yang mengembangkan berbagai kecerdasan tersebut akan memilik perilaku yang toleran.
Fakta-fakta intoleransi dan  kekerasan mengatasnamakan agama yang terjadi di masyarakat seperti dijelaskan di atas, menunjukkan pada kita tidak mudah menghapus keyakinan-keyakinan dengan simbol agama untuk melakukan kekerasan.  Intoleransi, kekerasan bernuansa agama perlu dicarikan pemecahannya secara mendasar dengan mempertimbangkan sebab-sebab, kelemahan-kelemahan konsep apa yang sudah dilakukan selama ini.  Maka bagimana gagasan-gagasan baru untuk memberi solusi yang lebih baik ke depan. Dengan begitu ajaran  agama yang misi utamanya menjadi rahmat bagi semesta dan penebar kedamaian dapat mewujudkan masyarakat toleran di negara multi etnis, agama dan plural ini.
Katakan saja, dunia pendidikan, khususnya pendidikan keagamaan di Indoensia selama ini dianggap belum mampu menjadi media penyebaran nilai-nilai toleransi di masyarakat.  Padahal dalam masyarakat yang sangat majemuk seperti Indonesia, pendidikan agama harus memberikan gambaran dan idealitas moral agamanya secara kontekstual.  Di sini dipersyaratkan peninjauan ulang atas doktrin-doktrin agama yang kaku. Seperti halnya doktrin jihad, bukan lagi dipahami sebagai persetujuan Islam untuk menggunakan kekerasan dalam menyebarkan agama. Pluralitas agama dan keyakinan tidak lagi dipahami sebagai potensi kerusuhan, melainkan menjadi potensi untuk  diajak bersama melaksanakan ajaran demi kepentingan kemanusiaan. Karena seluruh agama selalu mengklaim demi perdamaian dan keselamatan manusia.
Mencermati kenyataan ini, rekonstruksi pendidikan agama menjadi mendesak dilakukan untuk menjawab berbagai persoalan intoleransi yang sat ini marak terjadi . Pendidikan agama harus memungkinkan tumbuhnya persaudaraan dlm kebersamaan tersebut, sehingga bisa bersama membangun dunia baru yg lebih bermakna bagi seluruh manusia. Itu semua akan bisa terwujud jika pembenahan pendidikan agama kearah  yang pluralis dan toleran diimbangi dengan guru-guru agama yang toleran dan pluralis pula.
                                                                       

                                                                         IV
            Penutup: Dalam masyarakat yang sangat majemuk seperti Indonesia, pendidikan harus memberikan gambaran dan idealitas moral agamanya secara kontekstual.  Pendidikan  memiliki peran penting  menumbuhkan sikap toleran dan dapat menerima keperbedaan, tetapi juga mampu bekerja sama dengan keyakinan atau agama yang berbeda.
            Pendidikan keagamaan harus memungkinkan tumbuhnya persaudaraan dalam kebersamaan tersebut, sehingga dapat bersama membangun dunia baru berperadaban yang lebih bermakna bagi seluruh umat manusia. Itu semua akan dapat terwujud, jika disain pendidikan keagamaan mengakomodasi pluralis dan toleran yang diimbangi dengan guru-guru agama yang toleran dan pluralis pula.



Daftar Pustaka

Definisi pendidikan agama, pendidikan keagamaan dan pendidikan Islam”, dhttp://zonependidikan.blogspot.co.id/2012/06/definisi-pendidikan-agama-pedidikan.html,.

Diding Nurdin, “Reformasi Pendidikan Menuju Masyarakat Madani”, dalam http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php? mib= beritadetail&id=34248,.

Fauzi Muhamad, “Peran Guru Agama Islam Menghadirkan Kedaiaman dalam Keragaman”. http://mufazi881.blogspot.co.id/2012/12/peran-guru-agama-islam-menghadirkan_9536.html, akses, Rabu,  4 November 2015, jam. 5.30 WIB.
H.A.R. Tilaar, 1999, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia,  Remaja Rosdakarya, Bandung.
Hana Mustaqim, dikutip dari http://yhanamedjaya. blogspot.co.id/2014/10/nilai-nilai-toleransi-sebagai-kerangka.html, pada hari Jumat tanggal 13 November 2015, jam. 19.15 WIB

Hujair AH. Sanaky, 2015, Pembaruan Pendidikan Islam, Paradigma, Tipologi, dan Pemetaan Menuju Masyarakat Madani Indonesia, Cetakan I, Kaukaba Dipantara, Yogyakarta.

Indriyani Ma’rifah, Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Sebuah Upaya Membangun Kesadaran untuk Mereduksi Terorisme  dan Radilasime Islam.

Juwono Sudarsono, ICWA, diskusi mengenai “The Development of Educatio and Civil Society”, Jakarta: 9 Maret 1999.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 55 Tahun 2007, tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, dikutip dari http://kemenag.go.id/file/dokumen/PP5507.pdf,.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalam jaringan, dalam http://pusatbahasa.diknas.go.id/ kbbi/ index.php,.

Thomas Lickona,1991,  Educating for Character How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, Bantam Books. New York,


[1]  Hujair AH. Sanaky, Dr., MSI, adalah  Ketua Program Pasvasarjana FIAI UII, Dosen  PPs FIAI UII dan Dosen Tetap Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
[2] H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hal.9.
[3]  Nilai-Nilai Toleransi Sebagai Kerangka Dasar Perdamaian,  Diposkan oleh Hana Mustaqim, dikutip dari http://yhanamedjaya.   blogspot.co.id/2014/10/nilai-nilai-toleransi-sebagai-kerangka.html, pada hari Jumat tanggal 13 November 2015, jam. 19.15 WIB
[4] Hujair AH. Sanaky, Pembaruan Pendidikan Islam, Paradigma, Tipologi, dan Pemetaan Menuju Masyarakat Madani Indonesia, Cetakan I, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2015), hlm. 205.
[5] “Definisi pendidikan agama, pendidikan keagamaan dan pendidikan Islam”, dikutip dari http://zonependidikan.blogspot.co.id/2012/06/definisi-pendidikan-agama-pedidikan.html, pada hari Selasa tanggal 17 November 2015 jam. 21.30 WIB.
[6]  Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 55 Tahun 2007, tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, dikutip dari http://kemenag.go.id/file/dokumen/PP5507.pdf, pada hari Selasa tanggal 17 November 2015 jam. 21.30 WIB.
[7] Fauzi Muhamad, “Peran Guru Agama Islam Menghadirkan Kedaiaman dalam Keragaman”. http://mufazi881.blogspot.co.id/2012/12/peran-guru-agama-islam-menghadirkan_9536.html, akses, Rabu,  4 November 2015, jam. 5.30 WIB.
[8] Fauzi Muhamad, Peran Guru Agama Islam Menghadirkan Kedaiaman dalam Keragaman. http://mufazi881.blogspot.co.id/2012/12/peran-guru-agama-islam-menghadirkan_9536.html, akses, Rabu,  4 November 2015, jam. 5.30 WIB.
[9] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalam jaringan, dalam http:// pusatbahasa. diknas.go.id/ kbbi/ index.php, diakses pada Sabtu, 26/9/2009, jam. 18.00 wib.
[10] Juwono Sudarsono, ICWA, diskusi mengenai “The Development of Educatio and Civil Society”, Jakarta: 9 Maret 1999.
[11]Hujair AH. Sanaky, Pembaruan Pendidikan Islam, Paradigma, Tipologi, dan Pemetaan Menuju Masyarakat Madani Indonesia, Cetakan I, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2015), hlm. 167-168.
[12]Diding Nurdin, “Reformasi Pendidikan Menuju Masyarakat Madani”, dalam http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php? mib= beritadetail&id=34248,  diakses pada Jumat, 6/2/2009, jam 24.00 WIB.
[13] Indriyani Ma’rifah, Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Sebuah Upaya Membangun Kesadaran untuk Mereduksi Terorisme  dan Radilasime Islam, hal. 241.
[14] Thomas Lickona, Educating for Character How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), hlm. 53.
[15] Baca: Hujair AH. Sanaky, Pembaruan Pendidikan Islam, Paradigma, Tipologi, dan Pemetaan Menuju Masyarakat Madani Indonesia, Cetakan I, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2015), hlm. 205.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar