PERUMUSAN VISI
DAN MISI SEBAGAI ORIENTASI PENGELOLAAN PENDIDIKAN
ISLAM
Perubahan
dan inovasi merupakan kata kunci dan dijadikan sebagai titik tolak dalam
mengembangkan pendidikan pada umumnya. Dalam pengelolaan program-program pendidikan,
diperlukan perumusan visi, misi, orientasi, strtaegi, tujuan dan perioritas
yang dituju secara jelas, sehingga dalam pelaksanaan dan pengambangan program
pendidikan selau berorientasi kepada visi dan misi yang telah ditetapkan
tersebut. Pada era sekarang ini,
pengelola pendidikan juga dihadapkan pada tuntutan manajemen kualitas
penjaminan mutu (quality assurance) pendidikan,
sehingga lembaga dan institusi
pendidikan mulai mengguna kan manajemen mutu dan kemudian merumuskan dan
menetapkan visi dan misi sekolah atau madrasah masing-masing untuk memenuhi
tuntutan tersebut.
Lembaga dan
institusi pendidikan Islam, mulai dari madrasah ibtidaiyah sampai dengan
perguruan tinggi Islam telah merumuskan visi dan misi masing-masing sebagai
tuntutan kualitas penjamin mutu (quality
assurance) atau (Quality
Management System) pendidikan dengan berbagai gaya bahasa. Katakan saja ada
yang merumuskan visi pendidikan Islam adalah pendidikan yang unggul, berilmu, terampil,
berakhlakul karimah,
mewujudkan insan beriman, bertaqwa, dan beramal. Sedangkan
misi pendidikan Islam adalah pendidikan yang akan menjadikan peserta didik unggul di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi; bersikap mandiri; terampil dalam penguasaan
teknologi informasi; terampil dalam penguasaan bahasa asing; pembentukan
karakter Islami; melibatkan seluruh warga madrasah, komite dan stakeholders
dalam pengambilan keputusan; membangun kesadaran ukhuwah islamiyah,
mewujudkannya dalam kehidupan masyarakat; madrasah sebagai lembaga pendidikan
yang mendapatkan kepercayaan masyarakat, dan sebagainya.
Tetapi yang menjadi pertanyaan apakah program-program pendidikan yang
dilaksanakan selalu mengacu kepada visi dan misi yang telah dietapkan
tersebut? Kemudian bagaimana standar
pengukurannya untuk mengetahui tingkat
pencapaiannya, sehingga dapat diketahui apakah telah terjadi prubahan terus
menerus, perubahan berkelanjutan (Continual Improvemnet).
Sistem
pendidikan yang bagaimana yang mampu membawa peserta didik dengan jeli memahami
visi dan mampu memilih periorita.[2]
dalam melaksanakan program-program pendidikannya. Pengelola lembaga pendidikan tidak perlu
terkecoh dengan kepentingan yang sifatnya sesaat, kepentingan normatif sebagai
pemenuhan standar, perumusan visi dan misi hanya sebagai suatu ”merah gading”
atau hanya sebagai ”pemeo” yang dibanggakan, tetapi sulit dilaksanakan dan
dicapai. Untuk itu, diperlukan suatu
rumusan visi dan misi pendidikan Islam yang
jelas, mampu dilaksakan, dapat dikur, dapat dicapai, dan terjadi
perubahan, dengan mempertimbangkan budaya organisasi dan keterpaduan dengan core
biliefs dan core values atau nilai-nilaia keunggulan dan nilai
pengabdian.
Para
penyelenggara pendidikan dituntut memiliki visi dan misi untuk mencapai
pendidikan yang selenggarakan. Sebelum membahas misi dan visi[3]
pendidikan Islam, terlebih dahulu dijelaskan konsep misi dan visi serta
keterkaitannya dengan core biliefs dan core values. Menurut beberapa pengertian misi adalah
“jalan pilihan (the chosen track) suatu organisasi untuk menyediakan
produk/jasa bagi customer-nya.
Perumusan misi merupakan suatu usaha untuk menyusun peta perjalanan
mewujudkan visi,[4] sedangkan visi,
pandangan jauh ke depan, ”idea” yang ingin diwujudkan (turning idea into
reality),[5]
atau visi merupakan “suatu pikiran yang melampaui realitas sekarang, sesuatu
yang kita ciptakan yang belum pernah ada sebelumnya, suatu keadaan yang akan kita wujudkan yang belum pernah
kita alami sebelumnya”.[6]
Visi
pendidikan merupakan suatu pandangan atau keyakinan bersama seluruh komponen
pendidikan (sekolah) akan keadaan masa depan yang diinginkan. Misalnya, dalam
merumuskan visi pendidikan adalah ”menjadi sekolah atau perguruan tinggi yang
paling unggul di Indonesia”.[7] Keberadaan
visi akan memberikan inspirasi dan mendorong seluruh warga sekolah dan kampus,
bekerja lebih giat untuk mencapai visi tersebut. Visi pendidikan (sekolah dan perguruan
tinggi) harus dinyatakan dalam kalimat yang jelas, posetif, realistis,
menantang, mengundang partisipasi, dan menunjukkan gambaran masa depan”.[8] Misi erat kaitannya
dengan visi, apabila visi pernyataan
tentang gambaran global masa depan, misi merupakan pernyataan formal tentang
tujuan utama yang akan direalisir.
Jadi
kalau visi merupakan ide, cita-cita dan gambaran di masa depan yang tidak
terlalu jauh yang ingin diujudkan, misi merupakan upaya untuk konkritisasi visi
dalam ujud tujuan dasar yang akan diujudkan.[9] Jadi, visi dan
misi pendidikan (suatu sekolah dan
perguruan tinggi) “merupakan penjabaran
atau spesipikasi visi dan misi pendidikan nasional yang disesuaikan dengan
latar belakang dan kondisi lokal”,[10] serta didasarkan
pada nilai-nilai (values) yang dianut, nilai-nilai keunggulan, dan
nilai-nilai pengabdian. Misi dan visi tersebut kemudian diujudkan dalam
program-program yang harus dilakukan untuk menjadikan lembaga atau sekolah dan
perguruan tinggi paling unggul di Indonesia.
Misalnya, untuk meningkatkan mutu tenaga pengajar, agar dalam 5 tahun ke
depan semua guru sudah tersertifikasi, sistem pembelajaran sudah berbasis IT.
Tenaga pengajar di perguruan tinggi minimal bergelar Magister, dan sebagian
besar lebih dari 50% sudah bergelar Doktor, mempunyai jabatan guru besar. Misi pendirian perpustakaan yang modern,
dalam 5 tahun ke depan sistem pelayanan diperpustakaan telah menggunakan IT dan
lengkap dengan buku-buku keilmuan mutakhir.[11]
Dalam
konteks out-put pendidikan, dari pandangan ini dapat dikatakan bahawa visi dan misi sekolah-sekolah Islam merupakan
penjabaran atau spesipikasi dari visi dan misi pendidikan Islam itu sendiri,
yaitu membentuk “insan kamil” yang berfungsi mewujudkan rahmatan lil
‘alamin. Selain itu, visi dan misi
tersebut juga perlu disesuaikan dengan latar belakang, kondisi lokal
masing-masing, didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam, nilai-nilai budaya,
nilai-nilai keunggulan, dan nilai pengabdian.
Dengan demikian, dalam merumuskan misi
dan visi pendidikan harus
didasarkan pada core beliefs dan core values. Sedangkan untuk mencapai visi dan misi tersebut, harus
dilaksanakan dengan penyusunan kebijakan, orientasi, sasaran dan strategi
secara operasional. Hubungan antara
misi, visi, core beliefs, core values, kebijakan, dan strategi dapat
digambarkan, sebagai berikut:
Gambar 1
Hubungan
antara misi, visi, core biliefs, core values dan strategis dari gambar
di atas, dapat dijelaskam sebagai berikut:
a. Pertama kali organisasi, dalam hal ini
lembaga pendidikan Islam perlu menetapkan misi yang merupakan the chosen
track – memilih misi untuk menyediakan produk atau jasa bagi customer-nya. Misi ditetapkan berdasarkan asumsi
tentang lingkungan yang akan dimasuki oleh organisasi tersebut. Organisasi perlu mengamati trend
perubahan di masa akan datang. Hasil trend
watching ini kemudian digunakan untuk melakukan envisioning, yang
merupakan pengembangan visi dari suatu kondisi yang akan diwujudkan di masa
yang akan datang.
b. Visi pada hakekatnya merupakan perubahan dan
seringkali perubahan dapat
diibaratkan dengan swimming upstream, maka perwujudan
visi menuntut organisasi atau lembaga melakukan
long and rocky journey yang membutuhkan energi luar biasa
besarnya. Energi yang diperlukan untuk
mewujudkan visi, perlu digali diri setiap anggota organisasi atau lembaga
dengan menanamkan core biliefs tentang kebenaran visi dan perjalanan
untuk mewujudkan visi. Maka untuk
mewujudkan visi, hanya dapat dilakukan dengan cara: Pertama,
mengkomunikasikan visi tersebut secara jelas kepada seluruh anggota organisasi
atau lembaga; dan Kedua, mengkomunikasikan tentang kebenaran visi
organisasi dan perjalanan untuk mewujudkannya. Keberhasilan dalam
mengkomunikasikan visi tersebut akan mengubah visi organisasi atau lembaga
menjadi shared vision.
c. Untuk mewujudkan visi melalui the chosen
track (misi) menuntut perilaku tertentu dari para anggota organisasi[13] atau lembaga; (1) Perilaku yang diharapkan dari anggota
organisasi, diwujudkan melalui core values dan perlu dijunjung
tinggi. Sebab core values merupakan nilai ideal yang perlu dijunjung
tinggi setiap anggota organisasi suatu
lembaga. Maka tanpa core values
yang ditetapkan sebagai perilaku yang diharapkan, perjalanan untuk mewujudkan
visi akan dilakukan berdasarkan prinsip yang salah dalam konteks ini dapat
dikatakan bahwa “tujuan menghalal cara”.[14] Core values,
dijelaskan sebagai pemberian makna terhadap pekerjaan sebagai pengabdian kepada
Tuhan, karena perilaku luhur sebagaimana diajarkan dalam agama diujudkan
melalui pekerjaan untuk merealisasi visi lembaga atau organisasi; (2) Dalam
pendidikan Islam, nilai-nilai pengabdian (Ibadah) yang dibagun berupa;
keimanan, ke Islaman, ihksan, amanah, jujur dan tanggung jawab, qona’ah,
komitmen, sabar, sidiq, ukhuwah, kerjasama, toleran, pelayanan,
perlindungan. Nilai-nilai keunggulan
yang dibangun, adalah cerdas, inovatif, kreatif, disiplin, kerja keras,
proaktif, terbuka, efisien dan efektif, serta
integratif.
d. Untuk mewujudkan visi harus dilaksanakan
dengan orientasi, sasaran, tujuan, dan “strategi”. Dengan
strategi yang jelas diharapkan dapat menyusun langkah-langkah yang
terencana, sistematis, dan efisien untuk menjawab persoalan yang dihadapi suatu
lembaga atau organisasi untuk mewujudkan visi yang telah dirumuskan atau
ditetapkan. Selanjutnya harus didukung dengan ”rencana kerja” yang jelas,
sehingga akan menghasilkan suatu perubahan dalam proses kerja orgenisasi
tersebut.
Atas
dasar itu, Suyanto, mengusulkan langkah-langkah reformasi pendidikan untuk
menyongsong era informasi dan globalisasi menuju masyarakat Indonesia baru dan
masyarakat madani, adalah: (a) pendidikan
hendaknya memiliki visi yang berorientasi pada demokrasi bangsa sehingga
memungkinkan terjadinya proses pembedayaan seluruh komponen masyarakat secara
demokratis, (b) pendidikan hendaknya
memiliki misi agar tercapai partisipasi masyarakat secara menyeluruh sehingga
secara mayoritas seluruh kompnen bangsa yang ada dalam masyarakat menjadi
terdidik,[15] (c) misi pendidikan harus diorientasikan pada
“perwujudan sistem dan iklim pendidikan yang demokratis dan bermutu guna
memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas,
sehat, berdisiplin dan bertanggungjawab,
berketerampilan serta menguasai IPTEK dalam rangka mengembangkan kualitas
manusia Indonesia.[16]
Berdasarkan
pandangan di atas lembaga-lembaga atau institusi pendidikan Islam mau tidak mau
dituntut untuk menyusun misi dan visi,
baik pada tingkat makro maupun tingkat mikro serta kebijakan dan strategi
pengelolaan pendidikannya. Apabila
mencoba merumuskan misi pendidikan
Islam, adalah bagaimana pendidikan Islam dapat: (a) memgembangkan potensi
peserta didik secara optimal melalui pendidikan dan pengajaran bermutu
berdasarkan nilai-nilai Islam, (b) mendorong pembaruan pemikiran Islam menuju
masyarakat madani, (c) mengintegrasikan “ilmu agama Islam” dengan “ilmu
pengetahuan umum”, (d) menghasilkan individu dan masyarakat yang relegius (iman
dan taqwa), akhlak mulia, cerdas, berketerampilan, menguasai iptek, kreatif,
inovatif, memiliki integritas pribadi, merdeka, demokrasi, bersikap adil,
disiplin, memiliki sikap toleran yang tinggi, menghargai hak asasi
manusia, taat hukum, dalam rangka
mengembangkan kualitas manusia Indonesia yang
memiliki orientasi global.
Pendidikan
Islam, sebenarnya telah memiliki visi
dan misi yang ideal, yaitu “rahmatan lil’alaim”. Konsep dasar filosofis
pendidikan Islam lebih mendalam, menyangkut dengan persoalan hidup multi
diemensional, yaitu pendidikan yang
tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan manusia atau lebih khusus lagi
sebagai penyiapan kader-kader khalifah dalam rangka membangun kehidupan
dunia yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari sebagaimana diisyaratkan oleh
Allah dalam Qur’an. Hal ini berarti bahwa
“pendidikan Islam sebenarnya mengemban misi melahirkan manusia yang
tidak hanya memanfaatkan pesediaan alam,
tetapi juga manusia yang mau bersyukur kepada yang membuat manusia dan alam,
memperlakukan dan memberdayakan manusia sebagai khalifah, memperlakukan
alam tidak hanya sebagai obyek penderita semata, tetapi juga sebagai komponen
integral dari dari sistem kehidupan”.[17] Mestinya pendidikan Islam adalah pendidikan yang ideal, sebab visi dan misinya adalah “rahmatan
lil’alamin” untuk membangun kehidupan dunia yang makmur, demokrasi, adil,
damai, taat hukum, dinamis, dan harmonis.
Tutuntan
perumusan visi baru pendidikan menjadi suatu keharusan dalam upaya perubahan
manajemen pendidikan Islam, baik pada tingkat makro maupun tingkat mikro. Perumusan visi pendidikan Islam pada
ditingkat makro yaitu “bagaimana pendidikan dapat menunjang transformasi menuju
masyarakat madani Indonesia yang ditandai oleh suatu sistem kehidupan baru
sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia pada era reformasi ini” atau “bagaimana pendidikan Islam membangun manusia
dan masyarakat madani Indonesia, yang memiliki identitas berdasarkan
nilai-nilai Islam dan budaya Indonesia”.
Perumusan visi pendidikan Islam pada tingkat mikro, yaitu “bagaimana
pendidikan Islam menghasilkan individu relegius yang memiliki integritas
pribadi merdeka, demokrasi, toleransi kemanusian yang tinggi serta berpikir
local tetapi memiliki orientasi global.
Bagaimana menjadikan lembaga pendidikan Islam unggul dalam pembinaan moral dan pengembangan
ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu Islam, sehingga terwujudnya pendidikan
Islam yang “rahmatan lil’alamin”. Kehadiran pendidikan Islam diharapkan
benar-benar dapat membawa kemaslahatan bagi seluruh masyarakat yang memiliki
komitmen pada kesempurnaan, keunggulan risalah Islamiyah di bidang pendidikan
dan penelitian.
Strategi
baru dalam mencapai pendidikan yang bermutu, berupa kerja pendidikan adalah
kerja akademik dan bukan kerja birokrasi atau perkantoran. Hal ini perlu
dibedakan, sehingga tidak menyamakan dalam kerja pengelolaan akademik dengan
kerja birokrasi perkantoran. Di dalam
kerja akademik yang dipertimbangkan adalah pengembangan proses berpikir atau
metodologi pencarian kebenaran dan proses pendewasaan berpikir, emosi,
karakter, dan spritual, atau dengan satu kata adalah proses pendewasaan
kepribadian. Dari perspektif ini Mastuhu, sengaja menggunakan istilah proses
”mengajar-belajar” dan bukan proses belajar-mengajar sebagai ganti istilah
pembelajaran. Dengan kemampuan ”mengajar-belajar” dimaksudkan untuk
mengembangkan kemampuan cara-cara belajar lebih lanjut ”learn how to learn”;
sedangkan dengan istilah ”belajar-mengajar”, dikhawatirkan akan terjebak dalam
kebiasaan ”menggurui” di mana guru tahu, murid tidak tahu;[18] atau seperti dikatakan Paulo Freire adalah pendidikan
”gaya bank”,[19]
padahal dalam paradigma baru pendidikan; ilmu itu dicari, bukan ditunggu,
belajar adalah menemukan, hadap masalah, menganalisis, dan memecahkan.
Meskipun
demikian, kata Mastuhu, tidak berarti dalam penyelenggaraan pendidikan di
sekolah atau perguruan tinggi sama sekali tidak memerlukan otorita
administrasi-birokrasi sebagai bagian dari otorita kekuasaan dari suatu
organisasi. Maka dalam wacana penyelenggaraan pendidikan di sekolah atau
perguruan tinggi, otorita administrasi diperlukan untuk menunjang dan
memfasilitasi kelancaran proses akademik dan proses mengajar-belajar atau
pembelajaran. Perbedaan dengan otorita
administrasi-birokrasi dalam kerja kantor yang merupakan kekuatan inti bagi
penyelenggaan suatu kantor non-kependidikan.[20] Dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah dan perguruan
tinggi, sering terjadi praktik
”birokrasi” sehingga membuat administrasi akademik menjadi sulit atau
dipersulit dan kaku dalam pelayanan.
Dari
kerangka berpikir Mastuhu dan digelisahkan Paulo Freire di atas, kemudian
Teunku Amiruddin, mengusulkan perlu mempertimbangkan lima visi dasar pendidikan
manusia di abad 21, sebagaimana yang diajukan oleh UNESCO (Unites Nation
Education Scientific, and Cultural Organization). Lima visi dasar pendidikan tersebut; Pertama, learning haw to think
(belajar bagaimana berpikir), arti dalam proses memuat aspek-aspek pendidikan
yang mengedepankan rasional, keberanian bersikap kritis, mandiri, dan hobi
membaca; Kedua, learning haw to do, memuat aspek-aspek keterampilan dalam
keseharian hidup termasuk kemampuan pribadi memecahkan setiap masalah; Ketiga, learning to be (belajar
menjadi diri sendiri), memuat aspek-aspek mendidik orang agar kemudian hari
orang dapat tumbuh berkembang sebagai pribadi yang mandiri, memiliki harga
diri, dan bukan sekedar memiliki having (materi); Keempat, learning haw to learn
(belajar untuk belajar hidup), yang berarti menyadarkan bahwa pengalaman
sendiri itu tak pernah mencukupi sebagai bekal hidup. Orang juga perlu
mengembangkan sikap-sikap kreatif, daya pikir imajinatif – hal-hal yang
barangkali tidak diperoleh dari bangku sekolah;
Kelima, learning haw to live together (belajar hidup
bersama), artinya masyarakat pendidikan memberikan ruang bagi pembentukan
kesadaran bahwa manusia hidup dalam sebuah dunia yang global bersama banyak
manusia dari berbagai belahan dunia dengan latar belakang budaya dan etnik yang
berbeda.[21]
Dari
sinilah, pendidikan nilai seperti tanggungjawab atas pelestarian lingkungan,
kejujuran, keadilan, toleransi, perdamaian, penghormatan hak-hak asasi manusia
menjadi hal yang perlu diperhatikan.
Apabila konsep Islam dan UNESCO ini dipadukan atau dipertemukan,
barangkali akan menjadi alternatif baru bagi pendidikan Islam. Dalam artian
pendidikan Islam dapat dikembangkan
dengan mengedepankan rasionalitas, sikap kritis, mandiri, mampu memecahkan masalah,
mengembangkan sikap kreatif, memiliki daya pikir imajinatif, toleransi,
perdamaian, menghargai hak asasi manusia
serta siap bersaing dalam dunia global yang dilandasi dengan nilai-nilai
Islami menuju masyarakat madani. Tetapi yang penting adalah bagaimana
mengoperasionalkan gagasan-gagasan itu sedini mungkin, setidaknya dimulai dari
tingkat pendidikan dasar.
Visi
dan misi atau pandangan dunia yang
jelas, akan mempengaruhi hakekat dan tujuan pendidikan. Maka dalam upaya mewujudkan misi dan visi
pendidikan tersebut, harus didasarkan pada core beliefs, core values,
serta dilaksanakan dengan ”kebijakan”, yaitu menetapkan berbagai program dan
kegiatan untuk mencapai tujuan dengan memanfaatkan berbagai potensi yang
tersedia. Core biliefs, berupa keyakinan tentang kebenaran visi dan
kebenaran jalan yang dipilih untuk mewujudkan visi pendidikan Islam. Core
beliefs berfungai untuk membangkitkan semangat tinggi
terhadap usaha perwujudan visi. Core biliefs pendidikan Islam adalah
bagaimana “upaya pengembangan pandangan hidup Islami untuk dimanifestasikan
dalam sikap hidup dan keterampilan hidupnya selaras dengan minat, bakat,
kemampuan dan bidang kehidupannya masing-masing. Paradigma ini berimplikasi
pada pendidikan Islam yang berorientasi pada peningkatan iman dan takwa”.[22]
Nilai-nilai
ajaran Islam yang digunakan sebagai core biliefs yang “mengandung makna bahwa setiap muslim
dituntut untuk menjadi aktor beragama yang loyal, concern dan commitment
dalam menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai Islam dalam segala aspek
kehidupannya, serta bersedia dan mampu berdedikasi sesuai dengan minat, bakat,
kemampuan dan bidang keahliannya masing-masing dalam perpektif Islam untuk
kepentingan kemanusiaan”.[23] Dari persfektif
ini kiranya core biliefs pendidikan Islam sebagai upaya menegakkan wahyu Ilahi dan
Sunnah Nabi, sebagai sumber kebenaran mutlak yang menjadi rahmat bagi alam
semesta dan mendukung cita-cita luhur
dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui upaya membentuk manusia
Indonesia yang bertaqwa, berakhlak, berilmu pengetahuan dan teknologi, terampil,
dan dapat dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan nilai-nilai
Islam.
Core values,
memberikan makna terhadap suatu proses sebagai pengabdian kepada Tuhan.
Untuk itu, core values merupakan nilai-nilai yang dijunjung
tinggi, berupa nilai-nilai yang
terkndung dalam al-Qur’an dan Hadis oleh lembaga pendidikan Islam dalam usaha
atau perjalanan mewujudkan visi. Core
values, akan memberikan batasan dalam pemilihan cara-cara yang ditempuh
dalam usaha mewujudkan visi. Misalnya
saja nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan Islam berupa nilai
pengabdian, keimanan, keikhlasan, kejujuran, qona’ah, kerjasama dan toleran (ukhuwah),
sedangkan nilai-nilai pengembangan adalah berupa nilai inovatif, disiplin,
terbuka dan proaktif, efesien, efektif,
dan nilai integratif.
Nilai-nilai
tersebut dapat digunakan dalam mewujudkan visi pendidikan, karena pendidikan
Islam “sebagai upaya pengembangan pandangan hidup Islami, yang diwujudkan dalam
sikap hidup dan dimanifestasikan dalam keterampilan hidup sehari-hari.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan bertolak dari suatu pandangan
yang theosentris, di mana proses dan
produk pencarian, penemuan iptek lewat studi, penelitian dan eksperimen,
serta pemanfaatannya dalam kehidupan yang merupakan realisasi dari misi kekhalifahan
serta pengambdiannya kepada Allah.[24] Dengan core
values, dapat membentuk perilaku yang diharapkan, memberikan batasan dan
penilaian cara-cara yang ditempuh dalam upaya mewujudkan visi yang dilaksanakan
dengan kebijakan, strategi, dan atau langkah-langkah yang sistematis, sehingga
mampu mengembangkan sumber daya manusia berkualitas.
Dari
uraian di atas, tutuntan perubahan manajemen mutu dengan perumusan visi baru
pendidikan menjadi suatu keharusan dalam upaya perubahan dan inovasi manajemen
pendidikan Islam. Dalam pengelolaan
pendidikan Islam, diperlukan menajemen perubahan (managing
change), yang bertolak dari visi (vision) yang jelas, dijabarkan
dalam misi (mission), didukung dengan roles (aturan),
didukung dengan skill, insentif (incentive),
disertai dengan sumber daya (resource) baik fisik dan non fisik, termasuk SDM
yang memadai, dan diwujudkan dalam “rencana kerja” (action plan) yang
jelas, dengan demikian akan terjadilah perubahan (change),[25] dan perubahan itu harus terjadi dalam suatu proses yang
dilakukan secara terus menerus (continual improvemnet) quality sistem
menajemen. Perubahan manajemen tersebut
dapat digambar dalam diagram, sebagai berikut:
Diagram[26]
di atas, menunjukkan proses secara ideal perubahan manajemen (managing change) yang dapat ditempuh dalam pengembangan
pendidikan; dimulai dari perumusan visi yang jelas; dijabarkan dalam misi; roles yang jelas; skills yang memadai; insentif (incentive); sumber daya baik fisik maupun nonfisik, SDM
yang memadai; serta ”rencana kerja” (action plan) yang jelas, sehingga
akan terjadi perubahan (change) dalam pengelolaan pendidikan Islam
secara terus menerus (continual improvemnet) atau perubahan yang
berkesinambungan. Tetapi jika salah satu
dari aspek manajemen perubahan tersebut ditinggalkan, akan mempunyai ekses
tertentu pada pelaksanaan pendidikan.
Misalnya saja; (1) Jika pengembangan pendidikan Islam ”tidak bertolak
dari visi” yang jelas, tapi hanya memiliki misi, roles, skills, insentif,
sumber daya, rencana kerja, akan ”berakibat kehancuran” (perish); (2)
Jika memiliki visi, roles, skills, insentif, sumber daya, rencana kerja,
”tetapi tidak memiliki misi” yang jelas, akan ”berakibat bingung” (confusion),
karena tidak tahu apa yang akan diperbuat;
(3) Jika mimiliki visi, misi, skills, insentif, sumber daya, dan rencana
kerja, tapi tidak memiliki ”roles”, akan berakibat konflik (priority conflik); (4) Jika memiliki visi, misi, roles,
insentif, sumber daya, rencana kerja, tapi ”tidak memiliki skills”, akan
terjadi adalah ”kecemasan” atau anxietly (kuno); (5) Jika memiliki visi,
misi, roles, skills, sumber daya, rencana kerja, tapi tidak ”memiliki
insentif”, akan berakibat ”perubahan
yang lambat” (slow change); (6)
Jika memiliki visi, misi, roles, skills, insentif, rencana kerja, tapi ”tidak
memiliki sumber daya”, maka yang akan terjadi adalah ”prustrasi” (frustration); (7) Jika memiliki visi, misi, roles, skills,
insentif, sumber daya, tapi tidak memiliki
”rencana kerja” yang terarah, akan berakibat sebagai ”awal keliru” (false
star).[27]
Perubahan dan inovasi itu sendiri hanyalah sebagai alat
dan bukan tujuan, apa yang dituju oleh perubahan tersebut adalah sebagai upaya
peningkatan mutu pendidikan, sehingga masing-masing institusi lembaga pendidikan
Islam dituntut untuk menyelenggarakan dan mengelola pendidikan secara serius
dan ”tidak sekedar”nya. Meminjam istilah
Arif Furchan, bahwa banyak pengelolaan lembaga pendidikan Islam yang bekerja
dengan hanya berbekal ”niat yang baik dan ikhlas” saja.[28] Paradigma ini harus dirubah dan ditinggalkan, dalam
artian institusi pendidikan Islam mulai dikelola dengan keahlian yang memadai,
profesional, mampu memberikan jaminan mutu (quality assurance) kepada
pengguna, mampu memberikan layanan yang prima, melakukan perubahan terus
menerus (continual improvemnet), serta mampu
mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada peserta didik, orang tua, masyarakat
ataupun stakeholders lainnya.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa
dalam pengelolaan atau memanajen pendidikan harus disertai visi, misi, tujuan,
orientasi, sasaran, tujuan dan strategi secara jelas dan terarah, sehingga tercapai perubahan yang diinginkan.
a. Visi pendidikan yang jelas akan terwujudnya
sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk
memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang
berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu
berubah.
b. Misi
pendidikan adalah untuk menemukan, mengamalkan dan mengembangkan iptek dalam
bingkai nilai-nilai dan ajaran agama, menjadikan iptek sebagai alat mencapai puncak kebenaran
agama, memberantas “kebodohan
bangsa”, sebab kebodohan adalah sumber segala malapetaka.
c. Orientasi, dimaksudkan kemampuan menyesuaikan
diri dengan tantangan dan kebutuhan zaman.
Dalam artian, orientasi pada pendidikan bermutu, untuk kepentingan
peserta didik dalam menyongsong dan menata kehidupannya yang lebih baik. Untuk itu sudah saatnya harus meninggalkan
pelaksaan pendidikan di bawah otoritas kekuasaan yang lengkap dengan praktik
administrasf dan birokrasi yang imperative, pendidikan harus
dilaksanakan di bawah otoritas akademik, dan demokratis. Orientasi pendidikan
untuk semua, secara merata dan adil, kebutuhan, kenyataan dan “life skill”
dalam tata kehidupan bersama kebutuhan “duniawiyah” tanpa melepaskan diri dari
bayang-bayang kehidupan surgawi–ukhrowiyah.
d. Sasaran, para penyelenggara pendidikan di
sekolah dan perguruan tinggi harus mampu memprogramkan sasaran-sasaran lengkap
dengan target yang jelas dan terukur, yang harus dicapai sesuai dengan visi dan
misi organisasi tersebut. Sasaran
pendidikan dalam rangka mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan
memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat. Membantu dan
memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini
sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarkat belajar, meningkatkan
kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan
pembentukan kepribadian yang bermoral, meningkatkan keprofesionalan dan
akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan,
keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan
global, memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggara pendidikan
berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks negara kesatuan.
e. Tujuan, penyelenggara perlu merumuskan tujuan
yang ingin dicapai, baik tujuan paling dekat, kecil, dan praktis maupun tujuan
yang paling mendasar, filosofis dan makro harus dirumuskan dengan bahasa yang
sederhana, jelas, mantap sehingga dapat dimengerti oleh semua pihak yang
terlibat dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah
dan perguruan tinggi yang bersangkutan.
Tujuan pendidikan, untuk mengembangkan potensi kemampuan peserta
didik dalam menguasai iptek untuk kemaslahatan kehidupan bersama dan
memelihara lingkungan kehidupan, mengembang-kan budaya belajar dan sekolah
boleh selesai, belajar tak mengenal berhenti.
f. Strategi penyelenggaraan pendidikan
(sekolah-madrasah), berfokus pada mutu, untuk itu diperlukan: otonomi,
akreditasi, evaluasi, dan akuntabilitas, bersaing mutu, kemandirian,
keterbukaan, disiplin dan profesional dalam meningkatkan pelayanan terhadap
peserta didik melalui peningkatan SDM dan manajemen atau pengelolaan sekolah.
Strategi, penyelenggara sekolah atau perguruan tinggi, terutama pimpinan, harus
mampu menghadap masalah dan mengelola masalah. Pimpinan tidak hanya ”leader”
tetapi juga ”manager”. Dalam
konteks ini, pengelola pendidikan harus mampu menciptakan strategi pencapaian
tujuan pendidikan yang mudah dipahami, diikuti dan dapat dikembangkan oleh
sumber daya (para petugas) yang lain sesuai dengan posisi, peran, dan tanggung
jawab masing-masing.[29] Dalam artian,
bahwa semua komponen sumber daya manusia[30] yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan, harus
memahami jelas dan dapat melaksanakan visi, misi, orientasi, sasaran, tujuan,
dan strategi pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi.
Perumusan keenam komponen tersebut (visi,
misi, orientasi, sasaran, tujuan, dan strategi) harus jelas dan mudah dipahami
oleh semua pihak atau petugas yang bersangkutan. Keenam rumusan tersebut merupakan satu
kesatuan yang ”utuh” yang ”interdependensi” satu terhadap rumusan yang lain. Maka dalam konteks menghadapi tututan
reformasi pendidikan menuju masyarakat madani, mengharuskan lembaga-lembaga
pendidikan Islam merumuskan misi, visi, orientasi, sasaran, tujuan, dan
strategi pendidikan baik ditingkat makro maupun pada tingkat mikro. Dengan
demikian berbagai langkah yang perlu ditempuh sebagai upaya untuk melakukan
perubahan dan perbaikan baik di bidang manajemen, perencanaan, samapai pada
praksis operaasional pendidikan di tingkat mikro.
Dari kesemua uraian di atas, disimpulkan bahwa pada aspek
manajemen pendidikan Islam dapat merumuskan visi dan misi yang jelas
berorientasi kepada pencapaian tujuan pendidikan dan untuk menjawab tuntutan
pengguna (customer) dan stakeholder.
Program pendidikan Islam; (1) dikelola dengan menggunakan management
profesional, dapat dipertanggungjawabkan (responsibility), dengan
memiliki sumber daya manajemen (resources management) yang berkualitas;
(2) mengembangkan program pendidikan berkualitas (quality plan),
kebijakan dan perubahan pendidikan yang berorientasi pada kualitas (quality
policy); (3) mengembangkan program pendidikan yang berorientasi pada
kualitas capaian (quality objective),
berorientasi pada aktivitas untuk pancapaian lulusan (activity to
output) yang berkualitas, memiliki sistem penilaian (measurement)
yang dapat dipertanggungjawabkan; dan (4) secara terbuka dapat menerima umpan
balik dari pengguna (impact customer), kemudian melakukan analysis
secara terus menerus (kontinu) terhadap program-program pendidikan yang
dilakukan, sehingga terjadi perubahan yang terus menerus dan berkelanjutan (improvement
continual) sehingga terjadi improvemnet quality management sistem
pendidikan Islam.
3. Strategi Pembaruan Pendidikan Islam
Pembangunan
pendidikan dan pendidikan Islam di Indonesia sekurang-kurangnya menggunakan
empat strategi dasar, yakni; (1) pemerataan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan; (2) relevansi pendidikan; (3) peningkatan kualitas pendidikan; dan
(4) efisiensi pendidikan. Maka secara
umum keempat strategi tersebut dapat
dibagi menjadi dua aspek yakni; (1) aspek peningkatan mutu; dan (2) pemerataan
pendidikan. Pembangunan peningkatan mutu diharapkan dapat meningkatkan
efisiensi, efektivitas dan produktivitas pendidikan. Sedangkan aspek pemerataan
pendidikan diharapkan dapat memberikan kesempatan yang sama dalam memperoleh
pendidikan bagi semua usia sekolah.[31]
Untuk
menjamin kesempatan memperoleh pendidikan
yang merata disemua kelompok strata dan wilayah tanah air sesuai dengan
kebutuhan dan tingkat perkembangannya, perlu menyusun strategi dan kebijakan pendidikan Islam, yaitu:
(a) Menyelenggarakan pendidikan Islam yang relevan dan bermutu sesuai dengan
kebutuhan masyarakat madani Indonesia dalam menghadapi tantangan global; (b)
menyelenggarakan pendidikan Islam yang dapat dipertanggungjawabkan (accountasle)
kepada masyarakat sebagai pemilik sumberdaya dan dana serta pengguna hasil
pendidikan; (c) menyelenggarakan proses pendidikan Islam yang demokratis secara
profesional sehingga tidak mengorbankan mutu pendidikan; (d) meningkatkan efisiensi internal dan
eksternal pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan; (e) memberi peluang
yang luas dan meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga terjadi diversifikasi
program pendidikan sesuai dengan sifat multikultural bangsa Indonesia; (f)
secara bertahap mengurangi peran pemerintah (dalam hal ini Departemen Agama)
menuju ke peran fasilitator dalam implementasi sistem pendidikan Islam; (g)
merampingkan birokrasi pendidikan Islam sehingga lebih lentur (fleksibel)
untuk melakukan penyesuaian terhadap dinamika perkembangan masyarakat dalam
lingkungan global.[32]
Apabila
pembahasan ini berangkat dari rumusan misi dan visi pendidikan yang dikemukakan
di atas, maka kebijakan pendidikan nasional
termasuk pendidikan Islam harus diorientasikan pada upaya, untuk: (a)
perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi
bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas;
(b) peningkatan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan
kesejahteraan tenaga kependidikan
sehingga mampu berfungsi secara optimal terutama dalam meningkatkan
pendidikan watak dan budi pekerti; (c)
perlu melakukan pembaruan kurikulum, berupa deversifikasi keurikulum
untuk melayani keberagaman peserta didik, (d) memberdayakan lembaga pendidikan
baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap dan
kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat; (e) melakukan pembaruan dan pemantapan sistem
pendidikan berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen; (f) memantapkan sistem pendidikan yang efektif
dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni; (g) mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara
terarah, terpadu, dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif
oleh seluruh komponen bangsa, sehingga generasi muda dapat berkembang secara
optimal sesuai dengan potensinya.[33]
Bila prinsip
tersebut diterapkan di sekolah, maka strategi pengelolaan pendidikan di
sekolah, berorientasi pada: (a) “school policy (kebijakan sekolah) yang memuat visi, misi,
tujuan dan target-target perioritas pengembangan sekolah untuk mencapai visi,
misi, dan tujuan yang dikehendaki bersama; (b) school annual planning
(rencana tahunan sekolah) yang memuat rincian program kerja tahunan sekolah
dalam berbagai aspek kegiatan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki; (c) school
planning review, yaitu rencana jangka pendek sekolah yang memuat berbagai
macam dan target pengembangan sekolah untuk jangka waktu tiga sampai lima tahun.[34] Strategi
pendidikan merupakan target pencapaian, baik bersifat jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang dalam merealisasikan terlaksanaya penyelenggaraan
pendidikan menuju masyarakat madani Indonesia. Maka dalam menetapkan sasaran
pencapaian strategi pendidikan harus memiliki
nilai khusus (specific),
dapat terukur dan terhitung (measurable), dapat tercapai
(achievable), realis dan
wajar (realistic), dan berjangka
waktu (time frame). Berdasarkan time frame (berjangka waktu)
tersebut, perlu disusun langkah-langkah
atau strategi untuk mencapai visi
pendidikan adalah, sebagai berikut:
Pertama, strategi jangka panjang,
diperlukan upaya untuk membangun lembaga pendidikan Islam yang memadai
secara ”akademik” dan ”finansial” melalui kebijakan restrukrisasi dan
rekapitulasi yang berkesinambungan.
Dengan demikian, rumusan strategi jangka panjang pendidikan adalah: (1)
Menciptakan sistem perencanaan yang berbasis kepentingan lokal untuk
mengakomodasikan aspirasi dan kemajuan masyarakat, berorientasi nasional untuk
menjamin persamaan, dan berwawasan global agar mampu mempertimbangkan
kecenderungan global dan regional; (2) Menerapkan sistem manajemen mutu secara
menyeluruh berupa penataan kembali manajemen organisasi di semua tingkat
kelembagaan dan proses pembelajaran; (3) Melakukan review kurikulum secara
periodik serta meningkatkan pengembangan implementasi kurikulum secara kontinu
dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan sehingga menghasilkan lulusan
yang memiliki keunggulan
kompetitif yang bertumpu
pada pendidikan global (global education); (4) Melakukan perekayasaan proses, yaitu berupa
penerapan pendekatan dan metode serta isi pendidikan yang memberi kesempatan
luas kepada peserta didik dan warga negara untuk mengembangkan potensi kemampuannya
secara utuh; (5)
Menjaga konsistensi dan
kontiniutas internalisasi nilai-nilai pendidikan Islam di antara tiga
pusat pendidikan, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat, sehingga terhindar
dari benturan-benturan pada peserta didik dengan norma-norma sosial yang ada
dimasyarakat.
Kedua, strategi jangka menengah, upaya untuk memantapkan infra
struktur melalui kebijakan rekapitulasi terhadap komponen penunjang dalam
sistem pendidikan. Strategi pendidikan Islam jangka menengah menyangkut dengan
demokratisasi pendidikan, relevansi
pendidikan, akuntabilitas pendidikan, profesionalisme, meningkatkan efisiensi
pendidikan, mengakomodasi kemajemukan,
dan desentralisai.[35] Mak untuk lebih
jelasnya, strategi tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1)
Demokratisasi
pendidikan Islam, mengoptimalkan pendayagunaan institusi pendidikan Islam yang
berwujud pusat kegiatan belajar, kelompok kerja sekolah, pesantren untuk
mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar, pendidikan dasar yang berbasis di
mesjid dan pusat latihan kerja.
2)
Relevansi
pendidikan Islam, dalam rangka
meningkatkan relevansi pendidikan ada beberapa upaya yang dapat dilakukan; Pertama,
menjamin pendidikan melalui program pendidikan yang bermutu dan lebih
fungsional baik bagi individu maupun masyarakat. Dalam konteks ini, dianggap
perlu untuk melibatkan para tokoh
masyarakat ataupun stakeholders di samping para ahli untuk merancang isi
kurikulum dan jenis kegiatan-kegiatan pembelajaran pendidikan Islam; Kedua,
untuk menghadapai tantangan globalisasi
yang menuntut kualifikasi tertentu
setiap lulusan dari jenis dan jenjang pendidikan Islam tidak hanya
dituntut menguasai kemampuan akademik saja,
melainkan perlu juga diorientasikan pada kompotensi tambahan berupa,
keterampilan kerja (skill),
manajemen diri, keterampilan komunikasi, kemampuan komputer dan internet,
kemampuan memobilisasi dan inovasi; Ketiga, kompetensi tambahan ini
dapat dimasukan dalam kurikulum pendidikan Islam pada seluruh jenjang dan jenis
pendidikan secara komprehensif dalam program kurikulum, ekstra kurikulum,
maupun hidden curriculum.
3)
Akuntabilitas
proses pendidikan Islam, proses pendidikan diharapkan benar-benar mampu
menjamin pendidikan yang dapat menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan serta
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Mutu tidak hanya menyangkut
masalah isi saja, melainkan juga kesesuaian metodologi pembelajaran.
Akuntabilitas pendidikan dapat dikembangkan dengan: Pertama, pendidikan
lebih ditekankan pada kegiatan belajar dari pada mengajar, pada setiap tingkat
satuan pendidikan; Kedua, menerapkan pengembangan kurikulum secara
komprehensif yang dirancang untuk memelihara integritas pengembangan kemampuan
akademik, keterampilan teknis dalam proses pendidikan; Ketiga, mengembangkan sistem penilaian
menyeluruh terhadap peserta didik untuk menentukan keberhasilan pendidikan
sesuai dengan tuntutan masyarakat; dan Keempat, mengembangkan manajemen
pendidikan yang berbasis pada masyarakat dan sekolah, sehingga program dan
proses pendidikan yang berlangsung dapat diterima dan didukung oleh sekolah
serta masyarakat.[36]
4)
Profesionalisme
pendidikan, merupakan salah satu aspek penting untuk menentukan kualitas
pendidikan Islam. Tuntutan personil atau
sumberdaya pendidikan yang profesional merupakan tumpuan bagi keberhasilan
suatu proses yang berkualitas.
Pihak-pihak yang bertanggungjawab atas kelangsungan dan keberhasilan
proses pendidikan Islam, seperti para
pengajar sebagai penanggungjawab utama perlu mendapatkan perhatian yang serius,
karena keberhasilan proses pendidikan lebih banyak bertumpu pada manajemen
pengajar. Berbagai aspek yang perlu diperhatikan dan diperhitungkan di
antaranya: (1) rekruitmen tenaga pengajar diorientasikan pada kebutuhan serta
kualitas; (2) pelatihan tenaga pengajar
sangat diperlukan untuk peningkatan
kualitas pembelajaran dan
pelatihan lebih diorientasikan pada hal-hal yang praktis sehingga mudah
diterapkan di lapangan; (3) pemilihan, penunjukkan dan penempatan dapat dilihat
sebagai satu rangkaian dari perjalanan pengembangan profesi pendidikan.
Pemilihan dan penunjukan lebih mementingkan profesionalisme seseorang dan
prosedur penempatan hendaknya disesuaikan dengan kemampuan serta pertimbangan efisiensi; (4)
perkembangan karier dan sistem promosi menjadi lebih penting apabila
perhitungan angka kredit dilakukan
secara objektif dan selalu berorientasi
pada kemampuan profesional dan tidak hanya sekedar banyak kreditnya; (5) perlu
diperhatikan sistem insentif atau reward
bagi para pengajar. Apabila seorang guru atau dosen yang
berprestasi perlu diberikan penghargaan yang memadai sehingga dapat
mendorongnya untuk terus maju. Selain itu,
personil lain yang ikut menentukan mutu pendidikan dan memiliki posisi
sangat strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan, seperti kepala sekolah,
konselor sekolah, rektor, dekan, ketua jurusan, dan para pengelola administrasi
pendidikan.
5)
Mengakomodasi
kemajemukan, perlu menyadari akan kondisi obyektif kemajemukan bangsa dan
masyarakat Indonesia. Penegakan uniformitas perlu dihindari secara
berangsur-angsur dan menuju kepada keperdulian secara sungguh-sungguh melalui
upaya mengakomodasi kemajemukan kultural, etnis dan kebutuhan individu dan
masyarakat. Maka perlu memberdayakan
segala potensi daerah, meningkatkan
otoritas dan kreativitas daerah, dan mengurangi kurikulum pendidikan Islam
muatan nasional sampai batas toleransi tertentu.
6)
Desentralisasi,
sejalan dengan semangat reformasi, maka secara berangsur-angsur pergeseran
peran dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan dari pemerintah ke non
pemerintah dalam berbagai jenis persoalan pendidikan. Manajemen pendidikan Islam, mulai dari
penentuan kebijaksanaan, pembinaan lembaga, pengambilan keputusan, koordinasi,
pengendalian kualitas sampai kepada pengawasan yang selama ini sepenuhnya
dikendalikan oleh pusat (Departemen Agama RI) pada akhirnya akan bergeser ke daerah dan lembaga-lembaga
pendidikan. Selama ini daerah dan lembaga-lembaga pendidikan menjadi obyek
penyelenggaraan sistem pendidikan, maka kini dan masa depan akan menjadi obyek
yang sangat menentukan gerak dan langkah pendidikan di daerahnya dan
dilembaganya masing-masing. Perlu
dikembangkan dan dilaksanakan manajemen yang berbasis pada sekolah dan
masyarakat (Community Seholl Based Management), sehingga rasa memiliki dan
bertanggung jawab sekolah dan masyarakat akan mulai terbangun. Pendidikan Islam
perlu mengantisipasi penggeseran paradigma ini, karena selama ini masyarakat
tidak merasa memiliki dan mempunyai keperdulian yang berarti terhadap
pengelolaan pendidikan[37] Islam. Pada era
sekarang ini, masyarakat mulai diharapkan untuk meningkatkan partisipasinya,
yang tidak hanya sebagai penyandang dana saja, tetapi juga terlibat dalam
pengambilan keputusan dan inisiatif yang konstruktif bagi pengembangan dan
kelangsungan proses pendidikan.
Ketiga, strategi jangka pendek, perlu membangun perangkat infra
struktur sistem pendidikan yang memihak kepada pemberdayaan masyarakat melalui
kebijakan restrukturisasi dalam sistem pendidikan Islam. Setidaknya yang
diperlukan pendidikan Islam adalah
menyusun “strategi untuk meningkatkan relevansi pendidikan, meningkatkan
akuntabilitas proses pendidikan, meningkatkan profesionalisme pendidikan, dan
mengurangi uniformitas”.[38] Maka untuk lebih jelanya, strategi tersebut
setidaknya dapat:
1) Meningkatkan relevansi pendidikan, artinya
perlu diwujudkan kesesuaian antara pengetahuan dan keterampilan teknik di dunia
kerja (link and match). Relevansi
pendidikan Islam, harus diwujudkan dalam bentuk kemampuan adaptasi secara cepat
dalam menghadapi tuntutan perubahan.
Maka strategi yang diperlukan adalah
pengetahuan dan keterampilan teknis yang diberikan di dunia pendidikan,
perlu dilengkapi dengan keterampilan pengelolaan diri, keterampilan komunikasi,
keterampilan interaksi dengan orang lain dan kemampuan memobilisasi, inovasi
dan perubahan. Keterampilan-keterampilan tersebut perlu dibina sejak dini sesuai tingkat
kemampuan peserta didik. Dengan
demikian perlu pengkajian kembali kurikulum pendidikan Islam dengan pendekatan
komprehensif, yang dapat menampung pendidikan kemampuan keterampilan dan
pendekatan integratif yang dapat
mengintegrasikan kajian-kajian
agama dengan kajian-kajian ilmu-ilmu lainnya.
2) Akuntabilitas proses pendidikan Islam,
yaitu kualitas hasil pendidikan Islam harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
peserta didik, orang tua, masyarakat pemakai produk pendidikan dan
pemerintah. Proses pendidikan Islam pada
semua jalur, jenis dan jenjang harus dapat dipertanggungjawabkan untuk menjamin
kualitas lulusan yang harapkan. Strategi untuk meningkatkan akuntabilitas
proses pendidikan Islam, dengan meningkatkan pengembangan satuan acara
pengajaran yang menterjemahkan kurikulum ke dalam rencana harian yang lebih
operasional baik dalam konteks intra kurikulum, ekstra kurikulum, dan kurikulum
tersembunyi (hidden curriculum), peningkatan kualitas guru pendidikan
agama Islam melalui inservis training atau pelatihan-pelatihan. Agar proses pendidikan Islam dapat memenuhi
tuntutan semua pihak, maka pihak-pihak
yang berkepentingan dapat bersama-sama ikut mengambil keputusan kebijakan
operasional dengan tetap berpegang pada kemandirian, profesionalisme, dan berwawasan global.
3) Strategi meningkatkan profesionalisme
pendidikan Islam, diwujudkan dengan menerapkan standar kualifikasi
tenaga kependidikan yang diperlukan dalam setiap program rekruitmen tenaga
kependidikan, mengembangkan re-training untuk memberikan kemampuan
peningkatan keahlian dan penambahan keahlian baru yang sejenis, meningkatkan kemampuan profesional
pengelolaan pendidikan baik pada tingkat satuan pendidikan maupun manajemen dan
mengembangkan orientasi pengembangan profesi dengan misi utama untuk memberikan
layanan kepada peserta didik secara optimal.
4) Strategi meningkatkan efisiensi, yaitu
meningkatkan kemampuan para pengelola pendidikan untuk menerapkan
prinsip-prinsip manajemen efisiensi manajerial pendidikan.[39]
Kata akhir: Selain itu, dalam menyusun strategi pendidikan Islam perlu didasarkan pada beberapa prinsip,
diantaranya, adalah: (1) prinsip relevan dengan kebutuhan masyarakat madani
yang bermutu tinggi, profesionalisme,
efisienasi dan efeiktivitas, sehingga pendidikan Islam dapat
dipertanggungjawabkan kepada peserta didik, orang tua, pemakai lulusan dan
pemerintah; (2) proses pendidikan Islam harus berifat demokratis dan profesional
untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, mengurangi peran pemerintah dalam
pengelolaan pendidikan serta bersifat fleksibel terhadap dinamika perkembangan
masyarakat dalam lingkungan global; (3) strategi pendidikan Islam berupa
langkah-langkah yang disusun secara terencana dan sistimatis, diharapkan dapat menyentuh semua aspek kehidupan, mengantisipasi perubahan, mampu merekayasa
terbentuknya sumberdaya manusia cerdas serta dapat meningkatkan kualitas manusia dengan memiliki
kemampuan inovasi serta responsif terhadap perubahan. Dari kerangka pemikiran tersebut, pendidikan
Islam betul-betul diharapkan dapat
berpengaruh terhadap perubahan kehidupan masyarakat serta dapat memberikan sumbangan optimal terhadap
proses transformasi ilmu pengetahuan yang dapat diimplementasikan atau
dioperasionalkan dalam kehidupan masyarakat dan mewujudkan visi pendidikan
Islam yang telah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Mastuhu,
2003, Menata
Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Yogyakarta:
Safiria Insania Press dan MSI.
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Departemen Pendidikan Nasional RI, From: http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php,
accessed, Senin, 7/9/2009, jam. 18.30 Wib.
Mulyadi,
1998, Total
Quality Manajemen, Prinsip Manajemen Komputer untuk Mengarungi Lingkungan
Bisnis Global, Yogyakarta: Aditya Media.
Zamroni, “Reformasi Pendidikan Dari Pondasi ke Aksi”, Jurnal Pendidikan Islam, Konsep dan Implementasi, Jurusan Tarbiyah, Fakultas Ilmu
Agama Islam UII, Volume V Th IV Agustus 1999, ISSN: 0853-7437, Yogyakarta.
Suyanto dan Dijah Hisyam,2000, Refleksi dan Reformasi
Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, Yogyakarta:Adicita
Karya Nusa.
Soedijarto, Memahami Arah Kebijakan GBHN 1999-2004
Tentang Pendidikan Sebagai Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun
Peradaban Negara Bangsa Indonesia, Makalah Seminar Nasional, Mencari
Paradigma Baru Sistem Pendidikan Nasional Menghadapi Milenium Ketiga, IPSI dan PRIMAGAMA, Yogyakarta, 9 November
1999.
A. Malik Padjar, 1999, Reformasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia.
Paulo Freire, 1984, Pendidikan
Sebagai Praktek Pembebasan, terjemahan A.A. Nugroho, Jakarta: Gramedia.
Teuku Amiruddin, 1997, Reorientasi Manajemen Pendidikan Islam
di Era Indonesia Baru, Yogyakarta: UII Press.
Muhaimin, 2001, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Cetakan
Pertama, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Muhaimin,2006, Nuansa Baru Pendidikan Islam,Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo.
Arief Furchan, 2004, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia Anatomi Keberadaan
Madrasah dan PTAI, Yogyakarta: Gama Media.
Nanat Fatah Natsir, Strategi Pembangunan
Pendidikan di Indonesia, From:http://www.
kopertis4. or.id/ media/ strategi. htm, dirint 5 April 2002, dan aktikel ini telah dimuat dalam
Surat Kabar Pikiran Rakyat, 17 Januari 2002.
Kelompok Kerja Pengkajian dan Perumusan, Rangkuman
Filosofi, Kebijaksanaan dan Strategi Pendidikan Nasional, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1999, Jakarta.
Udin S. Sa’ud, Manajemen Berbasis Sekolah, [Shool
Based Management] Sebagai Strategi Implementasi Desentralisasi
Pengelolaan Pendidikan Dalam Rangka Otonomi Daerah, Jurnal Administrasi
Pendidikan No.I, Tahun 2002, Jurusan Administrasi Pendidikan Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, hlm. 17.
[1]Hujair AH. Sanaky,Dr., MSI., adalah dosen Program
Pascasarjana FIAI UII dan Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam FIAI UII
Yogyakarta.
[2]Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem
Pendidikan Nasional dalam Abad 21, (Yogyakarta:
Safiria Insania Press dan MSI, 2003), hlm. 11.
[3]Visi, diartikan sebagai kemampuan untuk
melihat pada inti persoalan; pandangan atau wawasan ke depan; kemampuan untuk
merasakan sesuatu yang tidak tampak melalui kehalusan jiwa dan ketajaman
penglihatan; apa yang tampak dalam khayalan; penglihatan; pengamatan. Misi, diatikan sebagai perutusan yang dikirimkan oleh suatu negara
ke negara lain untuk melakukan tugas khusus dl bidang diplomatik, politik,
perdagangan, kesenian; tugas yang
dirasakan orang sebagi suatu kewajiban untuk melakukannya demi agama, ideologi,
patriotisme, dsb. Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional RI, From: http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php,
accessed, Senin, 7/9/2009, jam. 18.30 Wib.
[4]Mulyadi, Total Quality Manajemen, Prinsip
Manajemen Komputer untuk Mengarungi Lingkungan Bisnis Global, (Yogyakarta:
Aditya Media,1998), hlm.100.
[5]Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem
Pendidikan Nasional dalam Abad 21,
hlm. 66-67.
[6]Mulyadi, Total Quality Manajemen, Prinsip
Manajemen Komputer untuk Mengarungi Lingkungan Bisnis Global, hlm.100.
[7]Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem
Pendidikan Nasional dalam Abad 21,
hlm. 67.
[8]Zamroni, Reformasi
Pendidikan Dari Pondasi, hlm.35-36.
[9]Zamroni, Reformasi
Pendidikan Dari Pondasi, hlm. 36.
[10]Zamroni, Reformasi
Pendidikan Dari Pondasi, hlm. 36.
[11]Periksa lebih lanjut:
Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, hlm. 67.
[12]Mulyadi, Total Quality
Manajemen, hlm.100.
[13]Mulyadi, Total Quality
Manajemen, hlm. 100-101.
[14]Mulyadi, Total Quality
Manajemen, hlm. 100.
[15]Suyanto dan Dijah Hisyam, Refleksi
dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, (Yogyakarta:Adicita
Karya Nusa,2000), hlm.8.
[16]Soedijarto, Memahami
Arah Kebijakan GBHN 1999-2004 Tentang Pendidikan Sebagai Upaya Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara Bangsa Indonesia, Makalah
Seminar Nasional, Mencari Paradigma Baru Sistem Pendidikan Nasional Menghadapi
Milenium Ketiga, IPSI dan PRIMAGAMA,
Yogyakarta, 9 November 1999, hlm. 1-2.
[17]A. Malik Padjar, Reformasi
Pendidikan Islam, hlm. 37.
[18]Mastuhu, Menata Ulang
Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, hlm. 70.
[19]Paulo Freire, Pendidikan
Sebagai Praktek Pembebasan, terjemahan A.A. Nugroho, (Jakarta: Gramedia,
1984), hlm. 6-7.
[20]Mastuhu, Menata Ulang
Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, hlm. 70.
[21]Teuku Amiruddin, Reorientasi Manajemen Pendidikan Islam di
Era Indonesia Baru, (Yogyakarta:UII Press, 1997), hlm. xiv.
[22]Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam, hlm. 63.
[23]Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam, hlm. 63.
[24]Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam, hlm. 65.
[25]Muhaimin, Nuansa Baru
Pendidikan Islam, hlm. 73., dan juga periksa lebih lanjut: Mastuhu, Menata
Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 (Yogyakarta:
Safiria Insania Press dan MSI, 2003), hlm. 80.
[26]Diagram tersebut merupakan
modefikasi dari diagram yang dibuat Muhaimin dan Mastuhu, sehingga dapat
dilihat gambaran langkah-langkah seterusnya dari konsep yang dikemukakan
Muhaimin dalam buku: ”Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia
Pendidikan” dan Mastuhu dalam buku: ”Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan
Nasional dalam Abad 21”. Periksa lebih lanjut: Muhaimin: Nuansa Baru
Pendidikan Islam, hlm. 74., dan juga periksa lebih lanjut: Mastuhu, Menata
Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, hlm. 80.
[27]Muhaimin, Nuansa Baru
Pendidikan Islam, hlm. 74., dan juga
periksa lebih lanjut: Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan
Nasional dalam Abad 21, hlm. 80.
[28]Arief Furchan, Transformasi
Pendidikan Islam di Indonesia Anatomi Keberadaan Madrasah dan PTAI,(Yogyakarta:
Gama Media, 2004),hlm.21.
[29]Periksa lebih lanjut:
Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, hlm. 67-69. Penjelasan lebih lanjut:
Orientasi sesuai dengan zaman, sistem pendidikan nasional sampai sekarang
memandang pendidikan sebagai kerja di bawah otoritas kekuasaan lengkap dengan
praktik administrasf dan birokrasi yang imperative, sudah harus
ditinggalkan dan diganti dengan orientasi baru yang sesuai dengan tantangan dan
kebutuhan serta hakekat dari makna pendidikan itu sendiri, yaitu harus
dilaksanakan di bawah otoritas akademik, dan demokratis. Abad mendatang menuntut
pendidikan yang bermutu demi peserta didik dalam menyongsong dan menata
kehidupannya yang lebih baik dari pada kehidupan para pendidiknya atau
pendahulunya. Sasaran yang harus dicapai
sesuai dengan visi dan misi organisasi tersebut; Misalnya, seorang program
pengadaan buku atau penerbitan-penerbitan yang harus dihasilkan oleh civitas
akademiknya, baik guru/dosen atau siswa/mahasiswa dalam beberapa tahun ke
depan. Penetapan sasaran penelitian-penelitian, sasaran kerjasama dengan
lembaga-lembaga pendidikan atau keilmuan, baik yang ada dalam negeri maupun
luar negeri, dan sebagainya. Tujuan, misalnya, petugas kebersihan ruang kelas
mengerti bahwa dengan ruangan kelas atau belajar yang bersih dapat membawa pada
siswa merasa senang dan nyaman belajar sehingga mereka dapat menyelesaikan
studinya dengan cepat. Demikian pula halnya dengan petugas administrasi
memahami sepenuhnya bahwa dengan layanan administrasi, birokrasi yang pendek,
cepat, dan tidak berbelit-belit akan membawa siswa senang dan selanjutnya
menimbulkan semangat belajar. Demikian
pula, pimpinan dan pendidik dan pengajar harus selalu menciptakan suasana
interaksi akademik yang dinamis, menantang, dan menyenangkan, agar peserta
didik selalu rindu belajar, dan mampu mengukir prestasi belajar yang baik. Pada
aspek strategis, pada strategi ”lama” dalam penyelenggaraan kegiatan pendidikan
dan pengajaran sangat tergantung pada aset atau dana dan sarana pembelajaran
yang dimiliki. Malahannya adalah bagaimana menggunakan asetnya se-optimal
mungkin yaitu efektif dan efisien.
Strategi ”baru” bukan hanya menggunakan aset sendiri seperti itu, tetapi
lebih penting dari itu adalah bagaimana mengembangkan kerjasama untuk
memanfaatkan berbagai sumber pendidikan dan pengajaran yang dimiliki oleh
berbagai pihak dan terdapat di mana-mana dengan berbagai pihak, terutama dengan
lembaga akademik lainnya. Misalnya, menggunakan Perpustakaan Nasional,
Perpustakaan sekolah atau perguruan tinggi lain, kerjasa dalam menggunakan
leboratorium komputer sekolah atau lembaga lain, menggunakan laboratorium milik
sebuah perusahaan, atau pihak lain dan sebagainya. Mastuhu, Menata Ulang
Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, hlm. 67-69.
[30]Yang demaksud semua
komponen sumber daya manusia yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan,
pimpinan sekolak atau perguruan tinggi, guru an dosen, pegawai administratif
(tenaga kependidikan), siswa dan mahasiswa, keamanan sekolah atau kampus
(Satpam), penjaga kebersihan dan pembuat
minuman kantor, dan tukang kebun.
[31]Nanat Fatah
Natsir, Strategi Pembangunan Pendidikan di Indonesia, From:http://www. kopertis4. or.id/ media/ strategi. htm,
dirint 5
April 2002, dan aktikel ini telah dimuat dalam Surat Kabar Pikiran Rakyat, 17
Januari 2002.
[32]Kelompok Kerja Pengkajian
dan Perumusan, Rangkuman Filosofi, Kebijaksanaan dan Strategi Pendidikan
Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1999,
Jakarta, hlm.3.
[33]Soedijarto, Memahami
Arah Kebijakan GBHN 1999-2004, hlm. 2-3.
[34]Udin S. Sa’ud, Manajemen
Berbasis Sekolah, [Shool Based Management] Sebagai Strategi
Implementasi Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan Dalam Rangka Otonomi Daerah,
Jurnal Administrasi Pendidikan No.I, Tahun 2002, Jurusan Administrasi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, hlm. 17.
[35]Kelompok Kerja Pengkajian
dan Perumusan, hlm. 34-38.
[36]Kelompok Kerja Pengkajian
dan Perumusan, hlm. 36.
[37]Kelompok Kerja Pengkajian
dan Perumusan, hlm. 32-38.
[38]Kelompok Kerja Pengkajian
dan Perumusan, hlm. 32-38.
[39]Kelompok Kerja Pengkajian
dan Perumusan, hlm. 43-45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar