Bahan Kuliah: Metodologi Studi Islam
Modul : III
Pertemuan ke III
Berlaku : 2014
KEDUDUKAN PENELITIAN AGAMA
1. Pendekatan Penilaian
terhadap Islam
2. Pendekatan-pendekatan Studi Islam
3. Konstruksi
metodologi penelitian agama
Hujair AH. Sanaky, Dr. MSI
1. Pendekatan-
pendekatan penilaian terhadap Islam
Berbicara tentang penelitian agama dianggap tabu,
sacral dan orang akan berkata kenapa
agama yang sudah begitu mapan dan sebagai wahyu Allah, kenapa harus diteliti.
Sikap serupa juga pernah terjadi di dunia Barat. Dahulu orang atau bangsa Eropa
juga menolak anggapan adanya kemungkinan meneliti agama, sebab antara ilmu dan
nilai (value), antara ilmu dan agama (kepercayaan) tidak dapat
disinkronkan. Maka kita akan melihat agama sebagai gejala budaya dan sosial,
Islam sebagai wahyu dan produk sejarah.
a. Agama sebagai Gejala Budaya
dan Sosial
Timbul pertanyaan, dapatkah agama didekati secara
kualitatif atau kuantitatif? Jawabannya, dapat. Artinya agama dapat didekati
secara kualitatif dan kuantitatif sekaligus, atau salah satunya, tergantung
unsure-unsur agama yang diteliti itu dilihat sebagai gejala apa.
Lima bentuk gejala agama yang diperhatikan, apabila
kita hendak mempelajari atau meneliti suatu agama, yaitu: (1) Scripture,
naskah-naskah atau sumber ajaran dan simbol-simbol agama. (2) Para penganut,
pimpinan, pemuka agama, menyangkut dengan sikap, perilaku dan penghayatan
para penganutnya. (3) Ritus-ritus, lembaga-lembaga, ibadat-ibadat,
seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris. (4) Alat-alat,
seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya. (5) Organisasi-organisasi
kegamaan, tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti
Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Gejera Katholik, Protestan, Syi’ah, Sunni dan
sebagainya.[1]
Dari pandangan ini, elemen-elemen yang harus
diketahui dalam Islam adalah persoalan teologi, komsmologi, dan antropologi yang tentu menyangkut dengan persoalan sosial
kemanusian dan budaya. Dengan demikian, agama Islam merupakan suatu agama yang
membentuk suatu masyarakat dan berperadaban.
Maka pendekatan yang digunakan dalam memahami Islam, menurut Mukti Ali
adalah metode filosofis, karena mengkaji hubungan manusia dan Tuhan yang
dibahas dalam filsafat. Dalam arti pemikiran “metafisik” yang umum dan
bebas. Selain itu metode-metode ilmu manusia juga perlu digunakan, karena dalam
agama Islam masalah kehidupan manusia di bumi ini dibahas. Metode lain, yaitu
metode sejarah dan sosiologi yang Islam juga merupakan agama yang membentuk
suatu masyarakat dan peradaban serta mengatur hubungan manusia dengan manusia,
b. Islam sebagai Wahyu dan
Produk Sejarah
1) Islam sebagai Wahyu
Islam biasanya didefinisikan
sebagai berikut: al-Islam wahyu ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammad
Salallahu ‘alaihi wassalam lisa’adati al-dunya wa al akhirah (Islam adalah
wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai pedoman untuk kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat).
Tujuan studi Qur’an, bukan mempertanyakan kebenaran al-Qur’an sebagai
wahyu, tetapi misalnya mempertanyakan: bagaimana cara membaca al-Qur’an, kenapa
cara membacanya begitu, ada berapa jenis bacaan, siapa yang menggunakan jenis
bacaan tertentu, apa kaitannya dengan bacaan sebelumnya.
Apa yang melatarbelakangi
lahirnya suatu ayat, dan apa maksud ayat tersebut, Maka lahirlah misalnya tafsir
maudu’I yang merupakan salah satu bentuk jawaban terhadap pertanyaan
tersebut.
2) Islam Sebagai produk Sejarah dan sasaran
penelitian
Perlu ditegaskan bahwa
ternyata ada bagian dari Islam yang merupakan produk sejarah. Konsep Piagam
Madinah merupakan produk sejarah. Konsep tentang Khulafa al-Rasyidin
merupakan produk sejarah, karena nama itu muncul belakangan. Teologi Syiah, Mu’tazilah adalah merupakan
bagian dari wajah Islam produk sejarah. Seluruh bangunan sejarah Islam klasik,
tengah dan modern, sebagai produk sejarah, Filsafat Islam, kalam, fiqh,
ushul fiqh produk sejarah Tasawuf dan
akhlak sebagai ilmu juga produk sejarah. Akhlak sebagai nilai bersumber dari
wahyu, tetapi sebagai ilmu yang disistematisasir akhlak adalah produk
sejarahKebudayaan Islam klasik, tengah, modern, arsitektur Islam, seni lukis,
musik, bentuk-bentuk masjid Timur Tengah, Indonesia, Cina adalah produk
sejarah, dll. Semuanya dapat dan perlu dijadikan sasaran penelitian. Demikian
juga Seni dan metode baca al-Qur’an yang berkembang di Indonesia adalah
merupakan produk sejarah.
2. Pendekatan-pendekatan
Studi Islam
Studi
metodologi di perguruan tinggi agama Islam seringkali dianggap baru, dan baru
dimulai pada awal 1970-an. Menurut Atho Mudzhar, anggapan itu ada benarnya jika
yang dimaksud adalah mata kuliah medologi penelitian yang diajarkan secara
berdiri sendiri. Tetapi apabila dicermati, sesungguhnya yang baru adalah
metodologi penelitian sosial. Sedangkan, untuk metodologi penelitian budaya,
paling tidak banyak penelitian-penelitian khususnya studi naskah dan pemikiran.
Lebih dari itu, sebetulnya sejak awalnya munculnya perguruan tinggi agama Islam
telah mengajarkan metodologi studi Islam yang secara konvensional telah
berkembangnya sejak lahirnya ilmu-ilmu ke-Islaman.[2]
Paling
tidak ada 3 (tiga) jenis metodologi konvensional yang telah berkembang : Pertama,
metodologi penelitian tafsir yang menekankan pada pentingnya ilmu asbab al-nuzul,
linguistika (aspek-aspek kebahasaan) ayat al-Qur’an, konsep nasikh
mansukh (abrogation). Kita
dapat melihat, bahwa penafsiran al-Qur’an dilakukan melalaui empat cara atau
metode, yaitu (1) metode ijmali (global), (2) metode tahlili
(analitis), (3) metode muqarin [perbandingan], dan (4) metode maudhu’I
(tematik),[3] dan lain-lain. Pendek kata, semua topik yang
sekarang tercakup dalam Ulum al-Qur’an dapat dikatakan sebagai konsep
metodologis dalam studi al-Qur’an. Kedua,
metode penelitian Hadis yang sering disebut dengan ilmu Mustalah Hadis. Ilmu
ini pada intinya dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: (1) Ilmu yang membahas teks
[matan] hadis dan yang membahas bagaimana hadis itu ditransmisikan dari satu
generasi kegenerasi berikutnya sehingga sampai kepada para perawi Hadis yang
kemudian membukukannya. (2) Ilmu ini yang membahas teks dan membahas proses
transmisi hadis, sering juga disebut Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu
Hadis Dirayah. Ketiga, ilmu ushul fiqh atau ilmu dasar-dasar fiqh,
yaitu ilmu yang mempelajari tentang dalil-dalil nash dari segi penunjukan (dilalah)-nya
kepada hukum.
Dengan
demikian dapat dikatakan, bahwa metodologi studi Islam sudah dikenal,
diajarkan, dan berkembang di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam, tetapi
belum dapat diintegrasikan dengan konsep-konsep metodologi penelitian ilmiah
kontemporer, termasuk metodologi penelitian sosial. Selain itu, istilah-istilah
metodologi yang dipakai dalam metode studi Islam konvensional belum ditemukan
istilah yang sesuai dengan istilah-istilah yang digunakan dalam metode
penelitian kontemporer, sehingga metodologi studi Islam konvensional dianggap
asing hanya karena konsep tersebut menggunakan istilah Arab dan bukan Inggris.
Misalnya saja, konsep tafsir bi al-ma’tsur dan asbab al-nuzul,
dianggap asing ketika orang menggunakan istilah hermeneutuk, meskipun
kedua konsep itu tidak persis sama, tetapi satu sama lain erat kaitannya. Konsep isnad atau rijal
al-hadis dianggap tidak ada
kaitannya dengan konsep historisitas dan historiografi. Konsep jami’
dan man’i dalam ilmu mantiq dianggap asing dengan konsep berfikir induktif
dan deduktif. Konsep studi matan dalam hadis dianggap asing dari
konsep studi naskah atau filologi, yang tentu saja keliru. Masih
banyak lagi metodologi studi Islam konvensional yang seolah-olah tidak ada
kaitannya dalam konsep metoodologi penelitian yang berkembang sekarang, tentu
saja pandangan ini keliru.[4]
3.
Konstruksi
metodologi penelitian agama
Mukti
Ali, menyatakan bahwa Syekh Mahmoud Syaltout membagi Islam terdiri dari dua
elemen, yaitu aqidah dan syariat. Kemudian cara atau metode mendekatainya
adalah filosofis dan doktriner. Sebenarnya metodologi yang
digunakan Syekh Mahmoud Syaltout sudah berbeda dengan metode yang digunakan
ulama-ulama sebelumnya, yang menyatakan bahwa Islam terdiri dari aqidah
dan muamalah, kemudian muamalah dibagi dua yaitu muamalah yang
berhubungan dengan Tuhan dan muamalah yang berhubungan dengan manusia dan
pendekatan yang digunakan adalah doktriner.
Fazlur
Rahman, menyatakan bahwa pokok ajaran Islam ada 3 (tiga), yaitu: (1) percaya
kepada keesaan Tuhan, (2) pembentukan masyarakat yang adil, (3) kepercayaan
hidup setelah mati. Menurut Fazlur Rahman, cara mempelajari ketiga hal tersebut
dengan cara mempelajari al-Qur’an. Cara mempelajari al-Qur’an harus disertai
dengan mempelajari konteks sejarahnya, yaitu dalam suasana dan situasi apa ayat
al-Qur’an itu diturunkan. Begitu juga dalam mempelajari Hadis sangat hati-hati
dan hanya Hadis yang benar (Hadis sahih) yang dipergunakan. Fazlur Rahman[5]
menggunakan dua metode yaitu: (1) Historiko critical method (metode
kritik sejarah), merupakan sebuah pendekatan kesejarahan yang pada prinsipnya
bertujuan menemukan fakta-fakta objektif secara utuh dan mencari nilai-nilai [values]
tertentu yang terkandung di dalamnya. (2) Hermeneutic method, metode yang
digunakan untuk memahami dan menafsirkan teks-teks kuno seperti kitab sucim
sejarah, hokum dan juga dalam bidang filsafat. Metode ini digunakan untuk
melakukan interpretasi terhadap teks kitab suci dan penafsiran terhadap
teks-teks sejarah yang menggunakan bahasa yang rumit
Fazlur Rahman, menyatakan kedua metode tersebut merupakan
dua buah metode yang berkaitan erat. Metode “critical history”
berfungsi sebagai upaya dekonstruksi metodologi, sedangkan hermeneutic
difungsikan sebagai upaya rekonstruksinya. Sehubungan dengan ini,
Fazlur Rahman membuat kategori Islam menjadi dua, yaitu Islam Normatif
dan Islam Historis.[6]
Ali Syari’ati, menyetakan dalam mempelajari dan meneliti Islam, ada 2 (dua)
metode yang fundamental untuk memahami Islam secara tepat. Pertama,
adalah mempelajari al-Qur’an yang merupakan himpunan ide dan output ilmiah dan
linier. Kedua, adalah mempelajari sejarah Islam, yaitu
mempelajari secara menyeluruh perkembangan Islam sejak permulaan misi Nabi
Muhammad Saw, sampai sekarang, atau dalam klasifikasi Harun Nasution adalah
periode klasik, periode pertengahan, dan periode modern.[7]
Melihat perkembangan metodologi tersebut, maka orang
dapat memahami bahwa sekalipun pendekatan mereka berbeda, namun dapat diambil
keseimpulan bahwa elemen-elemen yang harus diketahui dalam Islam adalah: (1)
Tuhan, (2) alam, dan (3) manusia. Maka Tuhan (teologi), alam (kosmologi)
dan manusia (antropologi)
sebagai tiga masalah pokok yang dibahas oleh Islam dan juga oleh agama-agama
lain.[8]
Dewasa ini, tiga masalah besar itu masih mengejar-ngejar
pemikiran manusia modern. Di antara mereka tidak sedikit yang mengikuti pemikiran-pemikiran
saintis dan mengambil sains sebagai jawabannya. Orang-orang yang “progresif”
berpendapat bahwa mempelajari tiga soal tersebut berarti “spikulasi metafisis”,
sedangkan orang-orang yang “paling progresif” melihat bahwa tiga persoalan
tersebut hanya dapat dijawab dengan pendekatan agama, dan inilah menurut Mukti
Ali merupakan metodologi keempat.[9]
Metode lain untuk mempelajari Islam adalah tipologi,
karena metode ini oleh banyak para ahli sosiologi menganggap lebih objektif
karena berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan topikinya, kemudian
dibandingkan dengan topik dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Maka
pendekatan ini digunakan sarjana Barat untuk memahami ilmu-ilmu manusia. Dengan
demikian, metode ini dapat digunakan untuk memahami agama, maka ada orang yang berusaha memahami ajaran Islam
dengan pendekatan membahas: (1) Tuhan dan kemudian dibandingkan
dengan tuhan-tuhan di lain agama. (2) Ada yang memahami dan mempelajari
kitab suci al-Qur’an dan dibandingkan dengan kitab-kitab yang diwahyukan
atau dianggap diwahyukan. (3) Ada juga cara untuk memahami Islam dengan
mempelajari diri pribadi Nabi Muhammad dan dibandingkan dengan
nabi-nabi agama lain. (4) Kedaan sekitar pada waktu munculnya Nabi dari
tiap-tiap agama dan kondisi orang-orang yang dida’wahi. (5) Ada juga yang
mempelajari pemikiran orang dan membandingkan antara satu dengan yang
lain, dan lain-lain.
Sumber Bacaan:
A.Mukti Ali, 1991, Metode Memahami Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
Atho Mudzhar, 1989, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Fazlur Rahman, 1985, Islam dan Modernitas
Tentang Transformasi Intelektual , Pustaka, Bandung.
Harun Nasution, 1975, Pembaharuan Dalam Islam,
Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta.
Hujair AH. Sanaky, 1998, Penelitian Hadis
Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Sunnah dan Hadis, Makalah
Diajukan dalam diskusi Mata Kuliah Pendekatan dalam Pengkajian Islam, Tanggal
17 Nopember 1998, Program Pascasarja Magister Studi Islam [MSI] Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta.
--------, 1998, Metode Tafsir, Makalah
Diajukan dalam diskusi Mata Kuliah “Al-Qur’an”,
Program Pascasarja Magister Studi Islam [MSI] Universitas Islam
Indonesia.
[1]Atho Mudzhar, Pendekatan
Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta:. Pustaka Pelajar, 1989),
hlm. 13-14.
[3] Hujair AH. Sanaky, Metode Tafsir, Makalah
Diajukan dalam diskusi Mata Kuliah “Al-Qur’an”, Program Pascasarja Magister Studi Islam (MSI),
1998. Universitas Islam Indonesia, hlm. 10.
[6] Hujair
AH. Sanaky, 1998, Penelitian Hadis Pemikiran Fazlur Rahman Tentang
Metodologi Sunnah dan Hadis, Makalah Diajukan dalam diskusi Mata Kuliah
Pendekatan dalam Pengkajian Islam, Tanggal 17 Nopember 1998, Program Pascasarja
Magister Studi Islam (MSI) Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta., hlm. 5.
[7] Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975),
[8] A.Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam,
(Jakarta:Bulan Bintang, 1991), hlm. 24-25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar