Naskah Hikmah Ramadhan
Jadwal Pemuatan: Minggu, 18 Juni 2017.
Menumbuhkan Kepekaan Sosial
Hujair AH. Sanaky
Puasa ramadhan
melahirkan sebuah konsepsi bahwa seseorang yang melaksakan ibadah puasa
ramadhan tidak hanya saja melahirkan ekspresi dari orang yang cerdas secara
spritual, tetapi juga cerdas secara emosional. Implikasi dari cerdar emosional inilah yang
akan melahirkan kepekaan sosial, menumbuhkan sikap empati terhadap sesama
manusia dalam bentuk ikut merasakan lapar yang biasa dialami orang-orang
berkekurangan, mendorong gerakan memberi, membagi, bersedekah, serta disiplin
terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku. Sebenarnya, konsepsi tentang kepekaan sosial telah diintrodusir
oleh Islam sejak kedatangannya. Salah satu contohnya adalah kewajiban membayar
zakat, infak, bersedekah [QS. Al-Maidah:55],
menyantuni fakir miskin.
Islam hadir sebagai agama rahmatan lilalamin dalam konteks ibadahnya selalu memiliki ajaran-ajaran
yang tidak hanya mengandung esensi ketuhanan (uluhiyyah) semata, tetapi juga esensi kemanusiaan (ubudiyyah)-insaniayah. Ajaran Islam membangun keseimbangan antara relasi ketuhanan dan kemanusiaan, antara kepentingan
dunia dan kepentingan akhirat secara seimbang. Islam selalu menerapkan
dua pilar utama untuk menyeimbangkan kehidupan manusia dengan membentangkan dua
garis relasi, yaitu; (1) relasi manusia
secara vertikal dengan Tuhan-nya dalam
hal ibadah (ubudiyah), hablum
minallah; dan (2) relasi secara horizontal manusia dengan manusia dan dengan makhluk yang lainnya dalam
wujud amaliyah sosial, hablum minan naas [QS.Ali Imron:112]. Kedua relasi ini harus berjalan seimbang
dalam tata kehidupan manusia dan lingkungannya.
Untuk
menata hubungan “horizontal”, seseorang diharapkan mampu berdialog dengan Tuhan-nya,
di mana seseorang harus memiliki kesadaran bahwa setiap perbuatannya dalam
relasi dengan sesamanya akan selalu terlihat dan terkontrol. Sementara dalam penataan
hubungan “vertikal” dengan Tuhan-nya, seseorang kerap kali lupa akan
kewajibannya dalam menata hubungan sosialnya. Terkadang seseorang merasa lepas
dari relasi horizontal dengan sesamanya, artinya tidak memiliki kewajiban dalam
hal menolong sesamanya. Dalam kenyataan sehari-hari, tidak heran bahwa tidak sedikit orang yang selalu melaksanakan
dan taat beribadah secara khusu’ kepada Tuhan-nya ditempat-tempat ibadah,
tetapi dalam relasi sosialnya sangat rendah, karena ia tidak peduli dengan
sesama, tidak empati terhadap sesamanya, bahkan pada tingkat yang sangat
ekstrim berlaku zalim terhadap sesamanya.
Cerdas secara emosional yang terwujud berupa kepekaan
sosial, lahir dari proses sikap kesanggupan berbagi, menolong terhadap golongan
yang lemah di bulan ramadhan ini, setidaknya menjadi gerakan yang lahir untuk mengimbangi budaya hedonisme. Sebuah budaya hidup yang mengejar kenikmatan pribadi
sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang timbul akibat penumpukan
kenikmatan tersebut. Katakan saja, pada era sekarang ini, harta, kekayaan, kedudukan,
jabatan, telah menjadi semacam jejaring pristise-bangga
akan status. Sikap ini kemudian membuat seseorang perlahan
terjebak pada kerendahan moral, lahir pula sikap hidup yang menggeser peran
Tuhan, sekaligus mengembangbiakkan sikap
kufur nikmat.
Dalam berpuasa manusia
diajari tentang makna solidaritas berupa sikap saling percaya, menumbuhkan
sikap empati dalam bentuk ikut merasakan lapar yang biasa dialami orang-orang tidak
berkecukupan, mendorong gerakan bersedekah, serta berdisiplin atau istiqamah dalam menjalankan semua
ketentuan. Ibadah puasa ramadhan menjadi
momentum penyeimbang dari budaya-budaya hedonisme,
budaya yang bertumpu untuk memuaskan kesenangan atau kepentingan diri semata. Kemudian
digantikan dengan budaya kepekaan sosial yaitu peduli terhadap sesama umat
manusia. Maka ramadhan sebagai
madarasah, sarana pendidikan yang dapat mambangun kapital sosial berupa
solidaritas sosial dan rasa percaya terhadap sesama masyarakat dalam membangun
relasi dan peradaban manusia. Puasa ramadhan haruslah menjadi
instrumen yang membentuk pribadi-pribadi muttaqin
dan menginspirasi hidup mereka secara lebih baik yang dapat mengimbangi
budaya-budaya hedonisme.
Pribadi-pribadi
muttaqin yang ditargetkan pada puasa
ramadhan yang memliki kepekaan sosial adalah manusia yang memiliki sikap rahmatal lil alamin, diujudkan dengan mampu
berinteraksi dalam pergaulan masyarakat yang pluralistik, multikultural, perbedaan
agama dan keyakinan. Manusia yang bersikap proaktif terhadap perbedaan pendapat
dan pandangan serta berinteraksi dalam pergaulan yang luas. Bersikap untuk
menempatkan diri sebaik-baiknya dalam sistem budaya dan nilai masyarakat yang
pluralistik dan global, tanpa membenturkan idealisme diri dengan nilai-nilai
relegius dan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat.
Esensi
ibadah puasa dalam menumbuhkan kepekaan sosial adalah menjadikan manusia yang memiliki
jiwa sosial, yaitu manusia yang peka dan peduli terhadap lingkungan; selalu
bersedia memberi pertolongan bagi yang memerlukannya; ikhlas dalam setiap
perbuatan tanpa pamrih; memiliki sikap menghargai
keperbedaan; baik dalam pergaulan dengan siapa
saja; berlaku jujur-sabar-bijak dalam setiap
lini kehidupan; bersikap humanis dalam membangun tata hubungan sesamanya dengan
bersendikan akhlak, moral, budaya; membangun
dan memelihara lingkungan dengan bersandar pada hukum-hukum Allah (al-adatuallah), budaya manusia (al-adatunnas), dan ilmu pengetahuan (al-adatulilmu).
Dengan demikian
diharapkan pasca ramadhan terciptalah dua hubungan yang harmonis yaitu hablum minallah dan hablum minan naas, sehingga terbentuklah perilaku pribadi-pribdi manusia muttaqin dalam membangun relasi sosial
yang berkeadaban berbasis pada moral dan akhlak.
Dr. Hujair AH. Sanaky, MSI
Ketua Program Pascasarjana FIAI UII dan Dosen Prodi PAI FIAI UII Yogyakarta.
Telah dimuat pada tanggal 18 Juni 2017
di Rubrik Ramadhan Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar