Rabu, 09 Agustus 2017

Menumbuhkan Kepekaan Sosial


Naskah Hikmah Ramadhan
Jadwal Pemuatan:  Minggu, 18 Juni 2017.


 Menumbuhkan Kepekaan Sosial

Hujair AH. Sanaky


 Puasa ramadhan melahirkan sebuah konsepsi bahwa seseorang yang melaksakan ibadah puasa ramadhan tidak hanya saja melahirkan ekspresi dari orang yang cerdas secara spritual, tetapi juga cerdas secara emosional.  Implikasi dari cerdar emosional inilah yang akan melahirkan kepekaan sosial, menumbuhkan sikap empati terhadap sesama manusia dalam bentuk ikut merasakan lapar yang biasa dialami orang-orang berkekurangan, mendorong gerakan memberi, membagi, bersedekah, serta disiplin terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku.  Sebenarnya, konsepsi tentang kepekaan sosial telah diintrodusir oleh Islam sejak kedatangannya. Salah satu contohnya adalah kewajiban membayar zakat, infak, bersedekah [QS. Al-Maidah:55],  menyantuni fakir miskin.
 Islam hadir sebagai agama rahmatan lilalamin dalam konteks ibadahnya selalu memiliki ajaran-ajaran yang tidak hanya mengandung esensi ketuhanan (uluhiyyah) semata, tetapi juga esensi kemanusiaan (ubudiyyah)-insaniayah. Ajaran Islam membangun keseimbangan antara relasi  ketuhanan dan kemanusiaan, antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat secara seimbang.  Islam selalu menerapkan dua pilar utama untuk menyeimbangkan kehidupan manusia dengan membentangkan dua garis relasi, yaitu;  (1) relasi manusia secara vertikal dengan Tuhan-nya  dalam hal ibadah (ubudiyah), hablum minallah; dan (2) relasi secara horizontal manusia dengan manusia dan dengan makhluk yang lainnya dalam wujud amaliyah sosial, hablum minan naas [QS.Ali Imron:112].  Kedua relasi ini harus berjalan seimbang dalam tata kehidupan manusia dan lingkungannya.
Untuk menata hubungan “horizontal”, seseorang diharapkan mampu berdialog dengan Tuhan-nya, di mana seseorang harus memiliki kesadaran bahwa setiap perbuatannya dalam relasi dengan sesamanya akan selalu terlihat dan terkontrol. Sementara dalam penataan hubungan “vertikal” dengan Tuhan-nya, seseorang kerap kali lupa akan kewajibannya dalam menata hubungan sosialnya. Terkadang seseorang merasa lepas dari relasi horizontal dengan sesamanya, artinya tidak memiliki kewajiban dalam hal menolong sesamanya. Dalam kenyataan sehari-hari, tidak heran bahwa tidak sedikit orang yang selalu melaksanakan dan taat beribadah secara khusu’ kepada Tuhan-nya ditempat-tempat ibadah, tetapi dalam relasi sosialnya sangat rendah, karena ia tidak peduli dengan sesama, tidak empati terhadap sesamanya, bahkan pada tingkat yang sangat ekstrim berlaku zalim terhadap sesamanya.
 Cerdas secara emosional yang terwujud berupa kepekaan sosial, lahir dari proses sikap kesanggupan berbagi, menolong terhadap golongan yang lemah di bulan ramadhan ini, setidaknya menjadi gerakan yang lahir  untuk mengimbangi budaya hedonisme. Sebuah budaya hidup yang mengejar kenikmatan pribadi sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang timbul akibat penumpukan kenikmatan tersebut. Katakan saja, pada era sekarang ini, harta, kekayaan, kedudukan, jabatan, telah menjadi semacam jejaring pristise-bangga akan status.  Sikap ini kemudian membuat seseorang perlahan terjebak pada kerendahan moral, lahir pula sikap hidup yang menggeser peran Tuhan,  sekaligus mengembangbiakkan sikap kufur nikmat.
 Dalam berpuasa manusia diajari tentang makna solidaritas berupa sikap saling percaya, menumbuhkan sikap empati dalam bentuk ikut merasakan lapar yang biasa dialami orang-orang tidak berkecukupan, mendorong gerakan bersedekah, serta berdisiplin atau istiqamah dalam menjalankan semua ketentuan.  Ibadah puasa ramadhan menjadi momentum penyeimbang dari budaya-budaya hedonisme, budaya yang bertumpu untuk memuaskan kesenangan atau kepentingan diri semata. Kemudian digantikan dengan budaya kepekaan sosial yaitu peduli terhadap sesama umat manusia. Maka ramadhan sebagai madarasah, sarana pendidikan yang dapat mambangun kapital sosial berupa solidaritas sosial dan rasa percaya terhadap sesama masyarakat dalam membangun relasi dan peradaban manusia. Puasa ramadhan haruslah menjadi instrumen yang membentuk pribadi-pribadi muttaqin dan menginspirasi hidup mereka secara lebih baik yang dapat mengimbangi budaya-budaya hedonisme.   
Pribadi-pribadi muttaqin yang ditargetkan pada puasa ramadhan yang memliki kepekaan sosial adalah manusia yang memiliki sikap rahmatal lil alamin, diujudkan dengan mampu berinteraksi dalam pergaulan masyarakat yang pluralistik, multikultural, perbedaan agama dan keyakinan. Manusia yang bersikap proaktif terhadap perbedaan pendapat dan pandangan serta berinteraksi dalam pergaulan yang luas. Bersikap untuk menempatkan diri sebaik-baiknya dalam sistem budaya dan nilai masyarakat yang pluralistik dan global, tanpa membenturkan idealisme diri dengan nilai-nilai relegius dan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat.  
Esensi ibadah puasa dalam menumbuhkan kepekaan sosial adalah menjadikan manusia yang memiliki jiwa sosial, yaitu manusia yang peka dan peduli terhadap lingkungan; selalu bersedia memberi pertolongan bagi yang memerlukannya; ikhlas dalam setiap perbuatan tanpa pamrih; memiliki  sikap menghargai keperbedaan;  baik dalam pergaulan dengan siapa saja;  berlaku jujur-sabar-bijak dalam setiap lini kehidupan; bersikap humanis dalam membangun tata hubungan sesamanya dengan bersendikan  akhlak, moral, budaya; membangun dan memelihara lingkungan dengan bersandar pada hukum-hukum Allah (al-adatuallah), budaya manusia (al-adatunnas), dan ilmu pengetahuan (al-adatulilmu).
Dengan demikian diharapkan pasca ramadhan terciptalah dua hubungan yang harmonis yaitu hablum minallah dan hablum minan naas, sehingga terbentuklah perilaku pribadi-pribdi manusia muttaqin dalam membangun relasi sosial yang berkeadaban berbasis pada moral dan akhlak.

Dr. Hujair AH. Sanaky,  MSI
Ketua Program Pascasarjana  FIAI UII dan Dosen Prodi PAI FIAI UII Yogyakarta.
Telah dimuat pada tanggal 18 Juni 2017 di Rubrik Ramadhan Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar