Bahan Kuliah: Metodologi Studi Islam
Modul : II
Pertemuan ke II
Berlaku : 2014
ISLAM DAN STUDI ISLAM
1.
Studi Islam
2.
Signifikansi Studi Islam
3.
Pertumbuhan Studi Islam di Dunia dan di Indonesia
Hujair AH. Sanaky, Dr. MSI
1. Pentingnya Studi Islam
Studi Islam, adalah
pengkajian tentang ilmu-ilmu ke-Islaman. Ilmu-ilmu Islam, meliputi aspek
“kepercayaan” normative-dogmatif yang bersumber dari wahyu dan aspek
“perilaku manusia” yang lahir oleh dorongan kepercayaan, kemudian menjadi
kenyataan-kenyataan emperik[1] Maka, yang dimaksud dengan ilmu-ilmu
ke-Islam-an adalah pengkajian yang tidak hanya kepada aspek-aspek normative,
dogmatif, teologis saja,
tetapi pengkajian menyangkut dengan aspek sosiologis.
Pengkajian “agama”,
hendaknya dibedakan dari “studi Islam”[2].
Pengkajian agama agaknya menjadi sasaran bagi “pendidikan
keimanan” terhadap sesuatu agama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
pengkajian “agama Islam” adalah upaya atau usaha pendidikan keimanan dalam
Islam bagi kaum muslimin dan pengkajian agama Islam merupakan salah satu dari
kegiatan ilmu Islam atau studi Islam. Sedangkan, studi Islam adalah pengkajian
terhadap semua ilmu yang diperlukan oleh seorang muslim dalam kehidupan untuk
kebahagian dan keselamatan duniawi dan ukhrawi.
Studi Islam, pengkajian terhadap
ilmu-ilmu ke-Islam-an yang tercakup ilmu ukhrawi dan ilmu duniawi[3] Ilmu ukhrawi dalam
studi Islam meliputi banyak aspek, misalnya saja aspek kepercayaan normative-dogmatif, yang tidak termasuk dalam kegiatan penalaran.
Pada kawasan tersebut tidaklah tepat atau tidaklah sesuai apabila menerapkan
metode ilmu sosial dan kemanusian untuk meneliti objek seperti itu. Ilmu-ilmu sosial yang berasal dari tradisi
keilmuan Barat dengan pendekatan “rasional”, tanpaknya tidak mungkin
dapat merangkul dalam metode pengkajian kedua aspek tersebut (normative-dogmatif)
yang dipandang tidak dapat dipertemukan menurut hukum logika ilmu pengetahuan
yang mengandalkan objektivitas yang bersandar pada penalaran dan bukti
empiris.
Sedangkan ilmu duniawi dalam studi Islam yang tergolong ilmu
emperis, dapat menggunakan metode ilmiah yang lazim digunakan pada ilmu-ilmu
sosial masih tetap relevan. Dengan demikian
tidak diperlukan metode khusus untuk mengkaji ilmu-ilmu tersebut,
walaupun ilmu-ilmu tersebut dimasukan dalam kawasan studi Islam. Tetapi kedua kawasan normative-dogmatif yang
disebutkan di atas, apabila keduanya
sudah masuk dalam “perilaku kehidupan manusia” terutama manusia yang beriman, tentu
saja akan menjadi pengalaman dan kenyataan emperis.
Mattulada,[4] menyatakan bahwa dalam konsepsi keilmuan
Islam, hendaknya dapat dibangun pengertian bahwa ilmuwan Islam adalah ilmuawan
yang beriman. Ia akan memandang
kenyataan emperik tidak terlepas dari sesuatu yang terletak dalam alam
metafisik. Objektivitas yang setinggi-tingginya dapat dicapai, adalah kemampuan
menyadari peran subjektivitas dalam menentukan sikap atau pilihan. Sebab sikap
ilmiah seorang ilmuwan yang beriman, adalah kesadaran mendalam, bahwa pada
batas terakhir kemampuan ilmu pengetahuan untuk memecahkan sesuatu, maka
disitulah bermula ilmu yang berpangkal pada iman Islam.
Dalam posisi ini, tanpaknya perlu penjelasan tentang apa yang dimaksud
dengan ilmu agama dan studi Islam. Mungkin
saja kita akan berpandangan bahwa “agama Islam” tidak dapat diteliti, karena
terjebak oleh hal-hal yang transenden, sakral, suci, dan tabu. Padahal,
dalam konsepsi Islam, ilmu-ilmu Islam adalah semua ilmu yang dikenal dalam
tradisi pengetahuan (Barat) kita menyebutnya Ilmu-Keimanan.[5]
Ilmu-ilmu akaliah, tumbuh dan berkembang
dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan sesuatu kebudayaan dan lingkungan
kebudayaan lainnya. Maka, metode ilmiah yang digunakan untuk membuat fenomena cultural
ini adalah berbagai ilmu-ilmu sosial (masyarakat) yang sudah ada atau
metode-metode ilmu-ilmu emperik.
Sedangkan,
ilmu-ilmu keimanan Islam, tumbuh dan berkembang dalam penemuan yang sama
bagi semua pemeluk Islam, terutama yang
menyangkut dasar-dasar keimanan dalam Islam. |
Sama di semua tempat, negeri dan benua. Iman Islam itu
sama, maka metode penghayatan dapat saja
berbeda-beda, akan tetapi materi yang disampaikannya adalah sama dan
tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu.[6]
2. Signifikansi Studi Islam
Dari segi tingkatan kebudayaan, agama merupakan universal
cultural. Salah satu prinsip teori fungsional yang menyatakan bahwa segala
sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Dengan pandangan teori fungsional ini,
maka sejak dulu hingga sekarang agama dengan tangguh menyatakan eksistensinya,
berarti agama mempunyai dan memerankan sejumlah peran dan fungsi di masyarakat.[7]
Secara umum dapat dikatakan bahwa studi
Islam menjadi penting, karena agama termasuk Islam, memerankan sejumlah peran
dan fungsi di masyarakat. Harun Nasution,[8] mengatakan bahwa persoalan yang menyangkut
usaha perbaikan pemahaman dan penghayatan agama, terutama dari sisi etika dan
moralitasnya, kurang mendapat tempat yang memadai.
Situasi keberagamaan di Indonesia cenderung “menempatkan
kondisi yang “legalistic-formalistik” dan esklusif. Agama “harus” dimanifestasikan
dalam bentuk “ritual-formal”,
sehingga muncul formalisme keagamaan yang lebih mementingkan “bentuk” dari pada “isi”. Kondisi ini,
menyebabkan agama kurang dipahami sebagai seperangkat paradigma moral dan etik
yang bertujuan membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan, dan
kemiskinan. Di samping itu, formalisme gejala keagamaan yang “cenderung
individualistik” daripada “kesalehan sosial” yang mengakibatkan munculnya sikap kontra
produktif seperti nepotisme, kolusi, dan korupsi.[9] Harun Nasution,[10]
berpendapat bahwa orang yang bertaqwa adalah orang yang melaksanakan perintah
Tuhan dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Dengan demikian, orang yang bertaqwa
adalah orang yang dekat dengan Tuhan, dan dekat dengan Tuhan Yang Maha Suci
adalah “suci”; orang-orang yang sucilah yang mempunyai moral yang tinggi dan
anggun.
Gambaran yang dikemukakan Harun Nasution di atas mendapat
sambutan yang cukup serius. Masdar F. Mas’udi (1998:1 dan 3), mengatakan bahwa
kesalahan kita sebagai umat Islam Indonesia adalah “mengabaikan agama
sebagai sistem nilai etika dan moral yang relevan bagi kehidupan manusia
sebagai makhluk yang bermartabat dan
berakal budi”. Karena itulah, bangsa Indonesia tersentak ketika temuan yang
memperlihatkan kepada dunia sesuatu yang ironis yaitu para pejabatnya
mendudukji peringkat terkemuka di antara negara-negara yang “paling korup di
dunia”. Padahal negara Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam
[sekitar 90%] dan para pejabatnya rajin merayakan hari-hari raya besar agama,
tetapi berperilaku korupsi.
Dari pandangan di atas, signifikansi studi Islam di
Indonesia adalah mengubah pemahaman dan penghayatan ke-Islam-an masyarakat
muslim Indonesia secara khusus dan masyarakat beragama pada umumnya. Adapun
perubahan yang diharapkan adalah “format formalisme keagamaan Islam diubah
menjadi format agama yang substantif”. Sikap enklusivisme, kita ubah
menjadi sikap universalisme, yakni agama yang tidak mengabikan nilai-nilai spritualitas
dan kemanusian [humanisme] karena pada dasarnya agama diwahyukan kepada dan
untuk manusia.
Studi Islam, diharapkan dapat melahirkan suatu komunitas
yang mempu melakukan perbaikan secara intern dan ekstern.
Perbaiakan secara intern, yaitu komunitas itu diharapkan dapat
mempertemukan dan mencari jalan keluar dari konflik intra-agama Islam,
tampaknya, konflik internal umat Islam yang didasari dengan organisasi formal
keagamaan belum sepenuhnya final. Di samping itu, kita dihadapkan pada krisis kurukunan
umat beragama yang ditandai dengan konflik antar umat beragama di Maluku
[Ambon], Ternate, Poso dan terjadi pembakaran dan pemboman beberapa Geraja di
beberapa tempat di Indonesia.
Dengan demikian, studi Islam diharapkan melahirkan suatu
masyarakat yang siap dan mau hidup toleran [tasamuh] dalam wacana
pluralitas agama dan keterbukaan, sehingga tidak melahirkan muslim ekstrim yang
membalas kekerasan agama dengan kekerasan pula; pembakaran mesjid dibalas
dengan pembakaran gereja, dan lain-lain tindakan pembalasan. Oleh sebab itu,
dalam situasi hidup keberagamaan di Indonesia, studi agama – terutama Islam,
sangat penting dilakukan.[11]
3. Pertumbuhan Studi Islam di dunia dan di Indonesia
Pendidikan Islam dapa zaman awal dilaksanakan di
mesjid-mesjid. Mahmud Yunus, menjelaskan bahwa pusat-pusat studi Islam klasik adalah Mekkah dan Madinah (Hijaz), Basrah dan
Kufah [Iraq], Damaskus dan Palestina (Syam), dan Fistat (Mesir). Madrasah
Mekkah dipelopori oleh Mu’adz bin Jabal; madrasah Madinah dipelopori oleh Abu
Bakar, Umar, dan Usman, madrasah Basrah dipelopori oleh Abu Musa al-Asy’ari dan
Anas bin Malik, madrasah Kufah dipelopori oleh Ali bin Abi Thalib dan ‘Abd
Allah bin Mas’ud, madrasah Damaskus [Syiria] dipelopori oleh Ubadah dan Abu
Dard, sedangkan madrasah Fistat [Mesir] dipelopori oleh Abd Allah bin Amr bin
‘Ash. (Zaini Muchtar, 1986:71)
Pada zaman kejayaan Islam, studi Islam dipusatkan di
Baghdad. Di Istana Dinasti Bani Abbas
pada zaman al-Makmun [813-833], putra
Harun al-Rasyid, didirikan Bait al-Hikmah, yang dipelopori oleh khalifah
sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dengan wajah ganda: sebagai
perpustakaan serta sebagai lembaga pendidikan [sekolah] dan penerjemahan
karya-karya Yunani kuno ke dalam bahasa Arab untuk melakukan akselerasi pengembangan
ilmu pengetahuan.[12]
Di Eropa terdapat pusat kebudayaan yang
merupakan tandingan Bagdad, yaitu Universitas Cordova yang didirikan oleh Abd
a-Rahman III [929-961] dari Dinasti Umayyah di Spanyol. Di Timur Islam, Bagdad
juga didirikan Madrasah Nizamiah yang didirikan oleh Perdana Menteri Nizam
al-Muluk, dan di Kairo Mesir didirikan Universitas al-Azhar yang didirikan oleh
Dinasti Fatimiah dari kalangan Syiah. Dengan demikian, pusat-pusat kebudayaan
yang juga merupakan pusat studi Islam pada zaman keyajaanm Islam adalah Bagdad,
Mesir, dan Spanyol.[13]
Studi Islam, sekarang ini berkembang hampir di seluruh
negara di dunia, baik di negara-negara dunia Islam maupun bukan negara-negara
Islam. Studi Islam di negara-negara non-Islam diselenggarakan di beberapa
negara, antara lain di India, Chicago, Los Angeles, London, Kanada, Belanda dan
pada decade sekarang ini studi mulai berkembang di Jerman. Di India, di Aligarch University, studi Islam
dibagi menjadi dua, yaitu: (1) Islam sebagai doktrin dikaji di Fakultas
Ushuluddin yang memiliki dua jurusan, yaitu Jurusan Mazhab Ahli Sunnah dan
Jurusan Mazhab Syiah. (2) Studi Islam dilihat dari aspek sejarah dan dikaji di
Fakultas Humaniora dalam Jurusan Islamic Studies. Di Jamiah Millah Islamia, New
Delhi, Islamic Studies Program dikaji di Fakultas Humaniora yang membawahi juga
Arabic Studies, Persia Studies dan Political Science.
Di Chicago, kajian Islam diselenggarakan di Chicago
University. Secara organisatoris, Studi Islam berada di bawah Pusat Studi Timur
Tengah dan Jurusan Bahasa dan Kebudayaan Timur Dekat. Di lembaga ini, kajian
Islam lebih mengutamakan kajian tentang pemikiran Islam, bahasa Arab,
naskah-naskah klasik, dan bahasa-bahasa Islam non-Arab. Di Amerika, studi-studi Islam pada umumnya
mengutamakan studi sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam selain bahasa Arab,
sastra dan ilmu-ilmu sosial. Studi Islam di Amerika berada di bawah naungan
Pusat Studi Timur Tengah dan Timur Dekat.
Di UCLA, studi Islam dibagi menjadi empat komponen, yaitu: (1) doktrin
dan sejarah Islam. (2) bahasa
Arab, (3) bahasa Islam non-Arab,
seperti Urdu, Turki dan Persia, dan (4) ilmu-ilmu sosial, sejarah dan
sosiologi.
Di London, studi Islam digabungkan dalam School of
Oriental and African Studies (Fakultas Studi Ketimuran dan Afrika) yang
memiliki jurusan bahasa dan kebudayaan
di Asia Afrika. Di Kanada, studi Islam bertujuan: (1) memenuhi kajian budaya
dan peradaban Islam di zaman Nabi Muhammad hingga masa kontemporer. (2)
memahami ajaran Islam dan masyarakat muslim di seluruh dunia. (3) mempelajari
berbagai bahasa muslim seperti bahasa Persia, Urdu dan Turki.[14]
Di Belanda, terdapat Pusat Studi Islam di
Universitas Leiden. Pusat Studi Islam di Universitas Leiden sudah
sangat tua bahkan berdirinya hampir bersamaan dengan berdirinya universitas ini
pada tahun 1575. Jadi sejak lama, kaum cendekiawan Belanda sudah memberikan
minat pada studi Islam dan Arab. Maka
ketika Belanda menjajah Indonesia, mereka banyak berhadapan dengan unsur unsur
Islam dan berperang dengan tentara kerajaan Islam di Indonesia. Keadaan ini membuat Pusat Kajian Islam
Universitas Leiden membuka pusat pelatihan bagi pegawai negeri yang akan
dikirim ke Hindia Belanda. Mereka diberi pengetahuan mengenai Islam dan
aspeknya termasuk hukum dan adat istiadatnya”.
Direktur Pusat Kajian Islam Universitas
Leiden, Dr. Nico JG Kaptein, mengatakan bahwa pelatihan memahami Islam dari
segala seginya ini, bukan sekedar penataran singkat. Tetapi mereka yang dikirim
ke Hindia Belanda kala itu diajarkan metode penelitian dan menulis buku. Hingga
tidak heran jika pegawai belanda yang dikirim ke Indonesia pada masa
kolonialisme sangat pandai menulis dan meneliti. Tidak heran jika kemudian
banyak sekali literatur mengenai Islam di Indonesia di Universitas Leiden.
Salah satu tokoh intelektual Belanda yang
paling terkenal mengenai studi Islam ini adalah Christiaan Snouck Hurgronje. Ia
adalah professor dari Pusat Kajian Islam Universitas Leiden yang menjadi
penasihat pemerintah colonial Belanda di Indonesia. Christiaan Snouck banyak
sekali melakukan penelitian mengenai Islam Indonesia hingga ia menjadi
narasumber utama pemerintah colonial Belanda”. Christiaan Snouck Hurgronje
adalah seorang orientalis Islam yang sangat fasih berbahasa Arab. Dialah adalah
salah orang orientalis pertama yang memasuki Mekkah pada tahuan 1880an. Snouck
Hurgronje dan menulis tidak kurang 1400 karangan mengenai Aceh dan Islam di
Indonesia. Dialah juga akan memberikan nasehat kepada pemerintah colonial
Belanda menaklukkan kerajaan Aceh.
Sejarah yang sangat panjang inilah yang
membuat Universitas Leiden sangat kaya dengan buku dan litelatur mengenai Islam
di Indonesia. Pusat Kajian Islam
Universitas Leiden tidak hanya menjadi salah satu “kiblat’ bagi mereka yang
ingin mempelajari sejarah Islam di Indonesia, melainkan lembaga ini juga
mendalami ideology Islam dan kehidupan Islam di negara lain, termasuk juga
radikalisme dan ekstimisme Islam di Asia Tenggara.[15]
Perkembangan Studi Islam di dunia Islam,
terdapat pusat-pusat studi seperti di Universitas al-Azhar Mesir dan Universitas
Ummul Qura di Arab Saudi. Di Teheran didirikan Universitas Teheran dan studi
Islam dilakukan dalam satu fakultas yang disebut Kulliyah Ilahiyyat (Fakultas
Agama). Di Universitas Damaskus Siria, studi Islam ditampung dalam Kulliyat
al-Syari’ah [Fakultas Syari’ah] yang memiliki program studi ushuluddin,
tasawuf dan sejenisnya. Universitas
al-Azhar Mesir dapat dibedakan menjadi dua periode: [1] periode sebelum tahun
1961 dan kedua periode sebelum tahun 1961. Pada periode pertama,
fakultas-fakultas yang ada sama dengan fakultas-fakultas yang ada di IAIN.
Sedangkan setelah tahun 1961, di universitas ini diselenggarakan
fakultas-fakultas umum di samping fakultas agama.
Di Universitas Islam Internasional Malaysia,
program studi Islam berada di bawah Kulliah of Revealed Knowledge and Human
Sciences (Fakultas Ilmu Kewahyuan dan Ilmu Kemanusiaan). Selain jurusan
ilmu Kewahyuan dan Warisan Islam, dalam fakultas ini juga ada jurusan-jurusan
psikologi, sosiologi, filsafat, ilmu politik dan lain-lain. Fakultas lain,
seperti fakultas ekonomi dan managemen, terdapat mata kuliah ke Islaman seperti
fiqh untuk ekonomi, pemikiran ekonomi Islam, sistem finansial Islam dan
lain-lain [M.Atho Mudzhar, 1998:28]. Begitu juga halnya di Indonesia,
perkembangan Studi Islam dilaksanakan di 14 Institui Agama Islam Negeri (IAIN)
dan 39 Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN). Selain itu, juga sejumlah perguruan
tinggi dan sekolah tinggi Islam swasta yang secara khusus menyelenggarakan
studi Islam, seperti di Fakultas Ilmu Agama dan Pusat Studi Islam [PSI] di
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fakultas Agama di Universitas
Muhammadiyah Jakarta, Malang, Slolo, Yogyakarta, dan Fakultas-fakultas agama di
Universitas Islam Bandung.
Pada dekade
sekarang ini, perkembangan studi Islam mulai diminati di Jerman yang dimulai
pada tahun 2001. Katakan saja, setelah terjadi peristiwa 11 September 2001,
telah membangkitkan perhatian pada sebuah disiplin akademis di Jerman yang
sebelumnya sangat jarang memicu minat masyarakat umum. Para wakil pengajar Islam, sejarahwan dan
cendekiawan ilmu politik Islam menjadi tamu undangan yang dicari-cari untuk
diajak berdiskusi dan dimintai komentarnya oleh berbagai media massa; sebuah
kecenderungan yang sebetulnya sudah terlihat sepuluh tahun lalu selama perang
Teluk berlangsung. Serangan teroris terakhir di Amerika Serikat dan berbagai
akibatnya yang sejauh ini belum diketahui, sekali lagi mengungkapkan betapa
mendesaknya kebutuhan akan analisis akademis atas masyarakat Islam, asal mula
sejarah dan perkembangannya hingga kini.
Sejak lama
universitas-universitas Jerman menganggap studi mengenai Islam sebagai kasus
khusus diantara apa yang disebut "subyek minoritas". Karena mata
kuliah ini didasarkan pada tradisi mendalam yang patut dimuliakan dan didukung
oleh pengetahuan yang tampak spiritual. Para akademisi Islam tampil sebagai
orang-orang yang terlalu terbenam pada sumber-sumber sejarah dan teks-teks
keagamaan, dan jarang berperan sebagai orang yang tepat untuk memberikan
analisis yang canggih mengenai perkembangan Islam mutakhir. Sekalipun ada minat
yang besar atas penelitian di bidang studi Oriental dan studi-studi banding
pada awal tahun 70-an hingga kini di Free University, Berlin, untuk beberapa
waktu lamanya hampir tidak terjadi penyeberangan di Jerman untuk mempelajari
bidang studi Islam.
Berakhirnya konflik
klasik Barat – Timur, diikuti secara pesat oleh meningkatnya perseteruan antar
etnis di berbagai belahan dunia, pada gilirannya memperbaharui perhatian selama
dekade terakhir terhadap berbagai aspek yang mendasari pentingnya identitas
kebudayaan dan keagamaan. Perubahan-perubahan dramatis yang menempa hubungan
antara "Barat" dan dunia Islam sebagai akibat dari peristiwa Salman
Rushdie, Perang Teluk dan terorisme internasional secara alami juga membawa
dampak pada pengajaran dan riset yang terkait dengan studi Islam. Dewasa ini,
selain menghadapi berbagai pendekatan yang berbeda di tingkat universitas di
Jerman, sehingga menjadikan studi Islam dan dunia Muslim sebagai bagian dari
ilmu kebudayaan interdisipliner, studi-studi semacam ini juga semakin menjadi
penting bagi dialog antar kebudayaan dalam masyarakat kita, seiring makin
banyaknya bermunculan komunitas minoritas di seluruh Eropa. Sejalan dengan
studi Islam yang disponsori pemerintah Jerman pada tahun 1997 di Universitas
Institut Riset Berlin (University Research Institute Berlin) bagi
kelompok studi "Dunia Moderen dan Islam", para pakar yang terlibat
menekankan pentingnya mempromosikan keseluruhan mata ajaran Islam.
Melihat
permasalahan komunikasi yang terus terjadi antara masyarakat Barat dan Islam
maupun ketegangan antar masyarakat di dalam masing-masing Negara, maka semakin
banyak pakar-pakar Islam berpaling kepada program kehumasan (Public
Relations), memanfaatkan keahlian dan pengalaman Humas untuk meningkatkan
kesadaran Barat akan perbedaan-perbedaan di dalam Islam sendiri dan berbagai
masyarakat Islam. Dengan menggunakan berbagai argumentasi empiris, upaya
tersebut merupakan cara yang efektif untuk memerangi teori-teori "pergulatan
intra-kebudayaan" yang dikemukakan oleh Samuel Huntington, ahli ilmu
politik dari Amerika Serikat. Sesudah peristiwa 11 September, sekitar 100 pakar
Islam Jerman mengimbau media massa untuk tidak memproyeksikan citra Islam
berdasarkan gambar-gambar di televisi mengenai kaum Muslim yang radikal,
menonjolkan perbedaan dan konteks pembahasan, baik di masa lalu dan kini
mencakup Islam.
Hal tersebut
penting khususnya sehubungan dengan ajaran-ajaran Islam yang selama beberapa
dekade menjadi target tuduhan melakukan penggeneralisasian mengenai dunia
Timur. Sejak 1978, ketika ahli sastra Amerika Edward Said mengelompokkan pakar
Oriental dari Barat ke dalam kategori yang sama persis dengan ambisi-ambisi
kekuasaan politik dan kebudayaan dunia Barat selama era kolonialisme, telah
terjadi diskusi tanpa henti mengenai kecenderungan kearah
"orientalisme" dalam metode-metode penelitian. Perdebatan ini semakin
menjadi polemik, setelah beberapa cendikiawan Muslim melancarkan serangan tajam
atas para akademisi Islam di Eropa. Kritik utama mereka berpusat pada
"pensoalan" doktirn-doktrin suci, Islam dari sudut pandang sejarah,
sesuatu yang menurut pendapat banyak umat Muslim mendistorsikan Islam. Ini
hanya sekadar memberi gambaran dikotomi yang ada, bila sudut pandang sekuler
berbenturan dengan latar belakang kebudayaan seperti dalam kasus studi mengenai
Islam yang terus diperalat dalam konflik interen-Islam. Menurut ajaran Islam,
satu-satunya jalan keluar dari dilema ini adalah menggambarkan berbagai aspek
religius, kultural dan regional masyarakat Muslim, serta membedakan
temuan-temuan tersebut dalam diskusi publik. Pada akhirnya, pertukaran
informasi antara para akademisi di dunia Muslim maupun orang Muslim di Eropa
harus dibiasakan. Wolf Lepenies, mantan rector University Research Institute
Berlin, menyimpulkan situasi tersebut dengan kritikan ringkas atas
"sikap-sikap menggurui" dunia Barat yang telah membuat mereka kebal
terhadap argumen-argumen balasan yang datang dari luar Eropa. Hasil akhirnya
adalah bahwa pedoman-pedoman dasar Eropa yang mengatur penelitian akademis
tidak pernah dinilai melalui pembandingan dengan hal-hal lain.
Di Jerman, studi
Oriental dan studi Islam menetapkan standar-standar yang tinggi. Di banyak
bidang studi – seperti linguistik, sejarah kebudayaan dan keagamaan maupun
geografi – sumbangan-sumbangan Jerman terhadap penelitian cukup berprestasi,
tidak jarang dalam dunia Islam sendiri. Hal ini tercermin dalam berbagai proyek
penelitiaan bersama dengan lembaga-lembaga asing, penerjemahan karya-karya
penting, penunjukkan pakar lapangan Jerman ke pos-pos terkemuka di luar negeri,
banyaknya pelajar dan mahasiswa post graduate dari negara-negara Islam
yang belajar di universitas Jerman dan menjalin kemitraan dengan
universitas-universitas lain, khususnya dari Timur Tengah, dan secara teratur
mengadakan pertukaran pelajar dan pengajar.
Dewasa ini terdapat
24 universitas Jerman yang menawarkan bidang studi Islam dan bahasa-bahasa
Oriental, serta sekitar 3000 mahasiswa yang mengambilnya sebagai pilihan studi
utama atau studi pilihan. Secara keseluruhan terdapat 34 guru besar,
lembaga-lembaga dan departemen yang mengkhususkan diri dalam bahasa, sejarah
dan kebudayaan dunia Islam. Kini pengajaran menerapkan pendekatan
interdisipliner dengan penekanan pada realitas praktis. Sebagai contoh, di
Universitas Erfurt, yang dibuka kembali tahun 1999, bidang studi Islam meliputi
riset yang difokuskan khususnya pada kelompok minoritas agama Islam di Eropa.
Universitas-universitas lain memberi perhatian pada kawasan tertentu: di Bamberg
studi diarahkan pada Iran dan Turki, sementara Bayreuth memusatkan diri pada
Islam di Afrika. Masa-masa dimana studi Islam dianggap sebagai sebuah
"subyek eksotis" sudah berlalu. Kini, materi kuliah diarahkan pada
permintaan pasaran kerja. Temuan-temuan yang tercatat sebagai akibat dari studi
tahun 1997 memberi indikasi jelas potensi riset cukup besar yang ditawarkan
Jerman, khususnya di pusat-pusat yang menspesialisasikan diri pada kawasan
tertentu.
Hal ini pun tidak
mengurangi bobot studi Islam, karena riset harus didasarkan pada sinergi
akademis yang mirip dengan perekonomian Islam, seperti yang ditunjukkan oleh
berbagai hasil riset. Lembaga-lembaga khusus tersebut diantaranya termasuk German-Orient
Instutute di Hamburg, Zentrum Moderner Orient di Berlin dan Orient
- Society milik pemerintah yang berada di bawah German Oriental Society di
Beirut – dengan sebuah departemen eksternal di Istambul dimana riset atas
sumber-sumber bersejarah yang meliputi studi Islam digabungkan dengan studi
terkini dari negara-negara yang terlibat. Akademi riset tertua mengenai semua
hal yang berkaitan dengan Islam adalah German Oriental Society yang
didirikan pada tahun 1845. Namanya yang agak tua merupakan peninggalan tradisi
akademis Jerman, yang sejak lama telah digantikan dengan metode-metode riset
moderen yang disukai oleh banyak anggotanya. Sejak tahun 1993, Kelompok Studi
Jerman untuk Timur Tengah (German Studi Group for the Middle East), yang
menspesialisasikan diri pada riset dan pendokumentasian terkini, berpusat di
Universitas Mainz, telah menjadikan dirinya sebagai panggung kerja sama
diantara para sarjana ilmu sosial dan ilmu kebudayaan, khususnya untuk generasi
sekarang dan mendatang. Terbitan berkala dua-tahunan kelompok tersebut, memberi
pandangan mendalam mengenai berbagai penyebaran silang-kebudayaan internasional
yang diliput oleh subyek-subyek terkait dengan studi Oriental yang dilakukan di
Jerman. Selama beberapa waktu di Jerman sebagian besar riset diabdikan pada
studi Islam yang dipusatkan pada penelitian dokumen-dokumen tradisional dan
sejarah kebudayaan dunia Islam. Perspektif moderen menunjukkan bahwa riset
dewasa ini cenderung semakin berkonsentrasi pada perkembangan masyarakat Muslim
dan berbagai macam mentalitas Islam yang berbeda-beda di dunia sekarang ini,
sementara itu masih dipertimbangkan pula relevansi sumber-sumber standar dan
sejarah yang berkenaan dengan kebudayaan Islam.
Kini,
masalah-masalah yang "berkaitan dengan dialog" yang bersifat
multidimensional cenderung mendominasi riset: jangkauan dan implikasi proses
globalisasi, sebagai contoh, perubahan hubungan antara kebudayaan setempat
dengan komunitas Muslim, perbandingan opini dan reaksi terhadap hubungan Eropa
dengan negara-negara Muslim, serta tidak ketinggalan perkembangan kelompok minoritas
Muslim di Eropa, Asia dan Afrika. Para akademisi Islam mengikuti secara seksama
diskusi terkini mengenai pembenaran-pembenaran sosial dan teologis suatu Islam
Eropa – dan mengikuti perdebatan dengan para akademisi Islam dari seluruh
Eropa.
Pertukaran Akademis
Pertukaran Akademis
Walaupun riset
selalu berupaya untuk mengeksploitasi berbagai cara berbeda mengenai Islam yang
dipraktekkan di masyarakat saat ini, termasuk gerakan Islam, ideologi dan
alasan-alasan mengikutsertakan kecenderungan radikal yang semakin meningkat,
riset lainnya dapat memberikan analisis cepat dan jalan terbaik bagi para
politisi yang mengkhawatirkan penyebaran terorisme bermotivasi Islam yang
terjadi dewasa ini, serta implikasinya di masa mendatang. Masalah-masalah yang
disebabkan oleh perubahan hubungan dalam tatanan sosio-politik, relatif pada
ikatan etnis dan identitas religius, khususnya yang melibatkan orang-orang
muda, harus dianalisis lebih mendalam dalam studi mendatang dengan sifat
empiris dan sudut pandang yang praktis. Berkaitan dengan itu, tanggung jawab
tidak saja diemban oleh para pengajar agama dan sarjana Islam, tetapi juga
ditangan para pakar sosiologi, etnologi, psikologi dan peneliti yang meneliti
akar-akar konflik. Untungnya, ada generasi baru sarjana Islam di Jerman yang
terlatih dengan sangat baik dan bermotivasi tinggi yang siap menanggung beban
pekerjaan tersebut. Tahun ini kita akan menyaksikan pertukaran akademis di
Mainz: dalam bulan September, asosiasi-asosiasi profesional Jerman dan Eropa
akan mengundang para peserta menghadiri Kongres Dunia bagi Studi Timur Tengah
yang pertama. Program tersebut akan menampilkan berbagai kelompok studi yang
akan mempresentasikan mengenai Islam di masa lalu dan masa kini. Khususnya ada
satu hari dimana semua perhatian tercurah pada konferensi ini yaitu tanggal 11
September, peringatan pertama serangan kaum teroris atas New York dan
Washington.[16]
[1] Mattulada, Studi
Islam Kontemporer, dalam buku: Metodologi Penelitian Agama, Sebuah
Pengantar, Editor, Taufik Abdullah dan Rusli Karim, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1989), hlm.5.
[8] Harun Nasution, Format
Baru Gerakan Keagamaan, Makalah disajikan dalam Pembukaan Simposium Nasional
di PPIM IAIN, Jakarta: 1998, hlm. 1.
[11] Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2001), hlm.7-8
[14] Atho Mudzhar, 1989,
Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1989), hlm. 24-25.
[15]
IMAJI, Pusat Kajian Islam Universitas Leiden-Belanda, June
2,2005, dalam: http://www.rsi.com.sg
/indonesian /imaji/view/20050502184100/1/.html, akses pada, kamis, 7 Juli
2005.
[16] Ekkehard Rudolph, Pakar Islam Universitas Erfurt
yang mengkhususkan diri pada riiset Islam di Eropa Website: www.davo-online Asosiasi Studi Timur Tengah Jerman Sumber: Majalah DEUTSCHLAND; No:2/2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar