Rabu, 09 Agustus 2017

ISLAM DAN STUDI ISLAM

Bahan Kuliah: Metodologi Studi Islam
Modul : II
Pertemuan ke II
Berlaku : 2014 



ISLAM DAN STUDI ISLAM

1.        Studi Islam
2.      Signifikansi Studi Islam
3.      Pertumbuhan Studi Islam di Dunia dan di Indonesia

Hujair AH. Sanaky, Dr. MSI
  



1.  Pentingnya Studi Islam
Studi Islam, adalah pengkajian tentang ilmu-ilmu ke-Islaman. Ilmu-ilmu Islam, meliputi aspek “kepercayaan” normative-dogmatif yang bersumber dari wahyu dan aspek “perilaku manusia” yang lahir oleh dorongan kepercayaan, kemudian menjadi kenyataan-kenyataan emperik[1]   Maka, yang dimaksud dengan ilmu-ilmu ke-Islam-an adalah pengkajian yang tidak hanya kepada aspek-aspek normative, dogmatif,  teologis saja, tetapi pengkajian menyangkut dengan aspek sosiologis.
Pengkajian “agama”, hendaknya dibedakan  dari “studi Islam”[2]. Pengkajian agama agaknya menjadi sasaran bagi “pendidikan keimanan” terhadap sesuatu agama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengkajian “agama Islam” adalah upaya atau usaha pendidikan keimanan dalam Islam bagi kaum muslimin dan pengkajian agama Islam merupakan salah satu dari kegiatan ilmu Islam atau studi Islam. Sedangkan, studi Islam adalah pengkajian terhadap semua ilmu yang diperlukan oleh seorang muslim dalam kehidupan untuk kebahagian dan keselamatan duniawi dan ukhrawi.
 Studi Islam, pengkajian terhadap ilmu-ilmu ke-Islam-an yang tercakup ilmu ukhrawi dan ilmu duniawi[3] Ilmu ukhrawi dalam studi Islam meliputi banyak aspek, misalnya saja aspek kepercayaan normative-dogmatif,  yang tidak termasuk dalam kegiatan penalaran. Pada kawasan tersebut tidaklah tepat atau tidaklah sesuai apabila menerapkan metode ilmu sosial dan kemanusian untuk meneliti objek seperti itu.  Ilmu-ilmu sosial yang berasal dari tradisi keilmuan Barat dengan pendekatan “rasional”, tanpaknya tidak mungkin dapat merangkul dalam metode pengkajian kedua aspek tersebut (normative-dogmatif) yang dipandang tidak dapat dipertemukan menurut hukum logika ilmu pengetahuan yang mengandalkan objektivitas yang bersandar pada penalaran dan bukti empiris. 
Sedangkan ilmu duniawi dalam studi Islam yang tergolong ilmu emperis, dapat menggunakan metode ilmiah yang lazim digunakan pada ilmu-ilmu sosial masih tetap relevan. Dengan demikian  tidak diperlukan metode khusus untuk mengkaji ilmu-ilmu tersebut, walaupun ilmu-ilmu tersebut dimasukan dalam kawasan studi Islam.  Tetapi kedua kawasan normative-dogmatif yang disebutkan di atas,  apabila keduanya sudah masuk dalam “perilaku kehidupan manusia” terutama manusia yang beriman, tentu saja akan menjadi pengalaman dan kenyataan emperis.
Mattulada,[4]  menyatakan bahwa dalam konsepsi keilmuan Islam, hendaknya dapat dibangun pengertian bahwa ilmuwan Islam adalah ilmuawan yang beriman.  Ia akan memandang kenyataan emperik tidak terlepas dari sesuatu yang terletak dalam alam metafisik. Objektivitas yang setinggi-tingginya dapat dicapai, adalah kemampuan menyadari peran subjektivitas dalam menentukan sikap atau pilihan. Sebab sikap ilmiah seorang ilmuwan yang beriman, adalah kesadaran mendalam, bahwa pada batas terakhir kemampuan ilmu pengetahuan untuk memecahkan sesuatu, maka disitulah bermula ilmu yang berpangkal pada iman Islam. 
Dalam posisi ini, tanpaknya perlu penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan ilmu agama  dan studi Islam. Mungkin saja kita akan berpandangan bahwa “agama Islam” tidak dapat diteliti, karena terjebak oleh hal-hal yang transenden, sakral, suci, dan tabu. Padahal, dalam konsepsi Islam, ilmu-ilmu Islam adalah semua ilmu yang dikenal dalam tradisi pengetahuan (Barat) kita menyebutnya Ilmu-Keimanan.[5]  

 

Ilmu-ilmu akaliah, tumbuh dan berkembang dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan sesuatu kebudayaan dan lingkungan kebudayaan lainnya. Maka, metode ilmiah yang digunakan untuk membuat fenomena cultural ini adalah berbagai ilmu-ilmu sosial (masyarakat) yang sudah ada atau metode-metode ilmu-ilmu emperik.
Sedangkan, ilmu-ilmu keimanan Islam, tumbuh dan berkembang dalam penemuan yang sama bagi semua pemeluk  Islam, terutama yang menyangkut dasar-dasar keimanan dalam Islam.        
                   





Sama di semua tempat, negeri dan benua. Iman Islam itu sama, maka metode penghayatan  dapat   saja  berbeda-beda, akan tetapi materi yang disampaikannya adalah sama dan tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu.[6]                   

2. Signifikansi Studi Islam
Dari segi tingkatan kebudayaan, agama merupakan universal cultural. Salah satu prinsip teori fungsional yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya.  Dengan pandangan teori fungsional ini, maka sejak dulu hingga sekarang agama dengan tangguh menyatakan eksistensinya, berarti agama mempunyai dan memerankan sejumlah peran dan fungsi di masyarakat.[7]  Secara umum dapat dikatakan bahwa studi Islam menjadi penting, karena agama termasuk Islam, memerankan sejumlah peran dan fungsi di masyarakat. Harun Nasution,[8]  mengatakan bahwa persoalan yang menyangkut usaha perbaikan pemahaman dan penghayatan agama, terutama dari sisi etika dan moralitasnya, kurang mendapat tempat yang memadai.
Situasi keberagamaan di Indonesia cenderung “menempatkan kondisi yang “legalistic-formalistik”  dan esklusif. Agama “harus” dimanifestasikan dalam bentuk  “ritual-formal”, sehingga muncul formalisme keagamaan yang lebih mementingkan  “bentuk”  dari pada “isi”. Kondisi ini, menyebabkan agama kurang dipahami sebagai seperangkat paradigma moral dan etik yang bertujuan membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Di samping itu, formalisme gejala keagamaan yang “cenderung individualistik” daripada “kesalehan sosial”  yang mengakibatkan munculnya sikap kontra produktif seperti nepotisme, kolusi, dan korupsi.[9]  Harun Nasution,[10] berpendapat bahwa orang yang bertaqwa adalah orang yang melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Dengan demikian, orang yang bertaqwa adalah orang yang dekat dengan Tuhan, dan dekat dengan Tuhan Yang Maha Suci adalah “suci”; orang-orang yang sucilah yang mempunyai moral yang tinggi dan anggun.
Gambaran yang dikemukakan Harun Nasution di atas mendapat sambutan yang cukup serius. Masdar F. Mas’udi (1998:1 dan 3), mengatakan bahwa kesalahan kita sebagai umat Islam Indonesia adalah “mengabaikan agama sebagai sistem nilai etika dan moral yang relevan bagi kehidupan manusia sebagai makhluk yang bermartabat  dan berakal budi”. Karena itulah, bangsa Indonesia tersentak ketika temuan yang memperlihatkan kepada dunia sesuatu yang ironis yaitu para pejabatnya mendudukji peringkat terkemuka di antara negara-negara yang “paling korup di dunia”. Padahal negara Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam [sekitar 90%] dan para pejabatnya rajin merayakan hari-hari raya besar agama, tetapi berperilaku korupsi.  
Dari pandangan di atas, signifikansi studi Islam di Indonesia adalah mengubah pemahaman dan penghayatan ke-Islam-an masyarakat muslim Indonesia secara khusus dan masyarakat beragama pada umumnya. Adapun perubahan yang diharapkan adalah “format formalisme keagamaan Islam diubah menjadi format agama yang substantif”. Sikap enklusivisme, kita ubah menjadi sikap universalisme, yakni agama yang tidak mengabikan nilai-nilai spritualitas dan kemanusian [humanisme] karena pada dasarnya agama diwahyukan kepada dan untuk manusia.
Studi Islam, diharapkan dapat melahirkan suatu komunitas yang mempu melakukan perbaikan secara intern dan ekstern. Perbaiakan secara intern, yaitu komunitas itu diharapkan dapat mempertemukan dan mencari jalan keluar dari konflik intra-agama Islam, tampaknya, konflik internal umat Islam yang didasari dengan organisasi formal keagamaan belum sepenuhnya final. Di samping itu, kita dihadapkan pada krisis kurukunan umat beragama yang ditandai dengan konflik antar umat beragama di Maluku [Ambon], Ternate, Poso dan terjadi pembakaran dan pemboman beberapa Geraja di beberapa tempat di Indonesia.
Dengan demikian, studi Islam diharapkan melahirkan suatu masyarakat yang siap dan mau hidup toleran [tasamuh] dalam wacana pluralitas agama dan keterbukaan, sehingga tidak melahirkan muslim ekstrim yang membalas kekerasan agama dengan kekerasan pula; pembakaran mesjid dibalas dengan pembakaran gereja, dan lain-lain tindakan pembalasan. Oleh sebab itu, dalam situasi hidup keberagamaan di Indonesia, studi agama – terutama Islam, sangat penting dilakukan.[11]

3. Pertumbuhan Studi Islam di dunia dan di Indonesia
Pendidikan Islam dapa zaman awal dilaksanakan di mesjid-mesjid. Mahmud Yunus, menjelaskan bahwa pusat-pusat studi Islam klasik  adalah Mekkah dan Madinah (Hijaz), Basrah dan Kufah [Iraq], Damaskus dan Palestina (Syam), dan Fistat (Mesir). Madrasah Mekkah dipelopori oleh Mu’adz bin Jabal; madrasah Madinah dipelopori oleh Abu Bakar, Umar, dan Usman, madrasah Basrah dipelopori oleh Abu Musa al-Asy’ari dan Anas bin Malik, madrasah Kufah dipelopori oleh Ali bin Abi Thalib dan ‘Abd Allah bin Mas’ud, madrasah Damaskus [Syiria] dipelopori oleh Ubadah dan Abu Dard, sedangkan madrasah Fistat [Mesir] dipelopori oleh Abd Allah bin Amr bin ‘Ash. (Zaini Muchtar, 1986:71)
Pada zaman kejayaan Islam, studi Islam dipusatkan di Baghdad. Di Istana Dinasti  Bani Abbas pada zaman al-Makmun [813-833],  putra Harun al-Rasyid, didirikan Bait al-Hikmah, yang dipelopori oleh khalifah sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dengan wajah ganda: sebagai perpustakaan serta sebagai lembaga pendidikan [sekolah] dan penerjemahan karya-karya Yunani kuno ke dalam bahasa Arab untuk melakukan akselerasi pengembangan ilmu pengetahuan.[12]  Di Eropa terdapat pusat kebudayaan yang merupakan tandingan Bagdad, yaitu Universitas Cordova yang didirikan oleh Abd a-Rahman III [929-961] dari Dinasti Umayyah di Spanyol. Di Timur Islam, Bagdad juga didirikan Madrasah Nizamiah yang didirikan oleh Perdana Menteri Nizam al-Muluk, dan di Kairo Mesir didirikan Universitas al-Azhar yang didirikan oleh Dinasti Fatimiah dari kalangan Syiah. Dengan demikian, pusat-pusat kebudayaan yang juga merupakan pusat studi Islam pada zaman keyajaanm Islam adalah Bagdad, Mesir, dan Spanyol.[13]
Studi Islam, sekarang ini berkembang hampir di seluruh negara di dunia, baik di negara-negara dunia Islam maupun bukan negara-negara Islam. Studi Islam di negara-negara non-Islam diselenggarakan di beberapa negara, antara lain di India, Chicago, Los Angeles, London, Kanada, Belanda dan pada decade sekarang ini studi mulai berkembang di Jerman.  Di India, di Aligarch University, studi Islam dibagi menjadi dua, yaitu: (1) Islam sebagai doktrin dikaji di Fakultas Ushuluddin yang memiliki dua jurusan, yaitu Jurusan Mazhab Ahli Sunnah dan Jurusan Mazhab Syiah. (2) Studi Islam dilihat dari aspek sejarah dan dikaji di Fakultas Humaniora dalam Jurusan Islamic Studies. Di Jamiah Millah Islamia, New Delhi, Islamic Studies Program dikaji di Fakultas Humaniora yang membawahi juga Arabic Studies, Persia Studies dan Political Science.
Di Chicago, kajian Islam diselenggarakan di Chicago University. Secara organisatoris, Studi Islam berada di bawah Pusat Studi Timur Tengah dan Jurusan Bahasa dan Kebudayaan Timur Dekat. Di lembaga ini, kajian Islam lebih mengutamakan kajian tentang pemikiran Islam, bahasa Arab, naskah-naskah klasik, dan bahasa-bahasa Islam non-Arab.  Di Amerika, studi-studi Islam pada umumnya mengutamakan studi sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam selain bahasa Arab, sastra dan ilmu-ilmu sosial. Studi Islam di Amerika berada di bawah naungan Pusat Studi Timur Tengah dan Timur Dekat.  Di UCLA, studi Islam dibagi menjadi empat komponen, yaitu: (1) doktrin dan sejarah Islam. (2)  bahasa Arab, (3)  bahasa Islam non-Arab, seperti Urdu, Turki dan Persia, dan (4) ilmu-ilmu sosial, sejarah dan sosiologi.
Di London, studi Islam digabungkan dalam School of Oriental and African Studies (Fakultas Studi Ketimuran dan Afrika) yang memiliki  jurusan bahasa dan kebudayaan di Asia Afrika. Di Kanada, studi Islam bertujuan: (1) memenuhi kajian budaya dan peradaban Islam di zaman Nabi Muhammad hingga masa kontemporer. (2) memahami ajaran Islam dan masyarakat muslim di seluruh dunia. (3) mempelajari berbagai bahasa muslim seperti bahasa Persia, Urdu dan Turki.[14]  
 Di Belanda, terdapat Pusat Studi Islam di Universitas Leiden.   Pusat Studi Islam di Universitas Leiden sudah sangat tua bahkan berdirinya hampir bersamaan dengan berdirinya universitas ini pada tahun 1575. Jadi sejak lama, kaum cendekiawan Belanda sudah memberikan minat pada studi Islam dan Arab.  Maka ketika Belanda menjajah Indonesia, mereka banyak berhadapan dengan unsur unsur Islam dan berperang dengan tentara kerajaan Islam di Indonesia. Keadaan ini membuat Pusat Kajian Islam Universitas Leiden membuka pusat pelatihan bagi pegawai negeri yang akan dikirim ke Hindia Belanda. Mereka diberi pengetahuan mengenai Islam dan aspeknya termasuk hukum dan adat istiadatnya”.
Direktur Pusat Kajian Islam Universitas Leiden, Dr. Nico JG Kaptein, mengatakan bahwa pelatihan memahami Islam dari segala seginya ini, bukan sekedar penataran singkat. Tetapi mereka yang dikirim ke Hindia Belanda kala itu diajarkan metode penelitian dan menulis buku. Hingga tidak heran jika pegawai belanda yang dikirim ke Indonesia pada masa kolonialisme sangat pandai menulis dan meneliti. Tidak heran jika kemudian banyak sekali literatur mengenai Islam di Indonesia di Universitas Leiden.
Salah satu tokoh intelektual Belanda yang paling terkenal mengenai studi Islam ini adalah Christiaan Snouck Hurgronje. Ia adalah professor dari Pusat Kajian Islam Universitas Leiden yang menjadi penasihat pemerintah colonial Belanda di Indonesia. Christiaan Snouck banyak sekali melakukan penelitian mengenai Islam Indonesia hingga ia menjadi narasumber utama pemerintah colonial Belanda”. Christiaan Snouck Hurgronje adalah seorang orientalis Islam yang sangat fasih berbahasa Arab. Dialah adalah salah orang orientalis pertama yang memasuki Mekkah pada tahuan 1880an. Snouck Hurgronje dan menulis tidak kurang 1400 karangan mengenai Aceh dan Islam di Indonesia. Dialah juga akan memberikan nasehat kepada pemerintah colonial Belanda menaklukkan kerajaan Aceh.
Sejarah yang sangat panjang inilah yang membuat Universitas Leiden sangat kaya dengan buku dan litelatur mengenai Islam di Indonesia.  Pusat Kajian Islam Universitas Leiden tidak hanya menjadi salah satu “kiblat’ bagi mereka yang ingin mempelajari sejarah Islam di Indonesia, melainkan lembaga ini juga mendalami ideology Islam dan kehidupan Islam di negara lain, termasuk juga radikalisme dan ekstimisme Islam di Asia Tenggara.[15]
Perkembangan Studi Islam di dunia Islam, terdapat pusat-pusat studi seperti di Universitas al-Azhar Mesir dan Universitas Ummul Qura di Arab Saudi. Di Teheran didirikan Universitas Teheran dan studi Islam dilakukan dalam satu fakultas yang disebut Kulliyah Ilahiyyat (Fakultas Agama). Di Universitas Damaskus Siria, studi Islam ditampung dalam Kulliyat al-Syari’ah [Fakultas Syari’ah] yang memiliki program studi ushuluddin, tasawuf dan sejenisnya.  Universitas al-Azhar Mesir dapat dibedakan menjadi dua periode: [1] periode sebelum tahun 1961 dan kedua periode sebelum tahun 1961. Pada periode pertama, fakultas-fakultas yang ada sama dengan fakultas-fakultas yang ada di IAIN. Sedangkan setelah tahun 1961, di universitas ini diselenggarakan fakultas-fakultas umum di samping fakultas agama.
Di Universitas Islam Internasional Malaysia, program studi Islam berada di bawah Kulliah of Revealed Knowledge and Human Sciences (Fakultas Ilmu Kewahyuan dan Ilmu Kemanusiaan). Selain jurusan ilmu Kewahyuan dan Warisan Islam, dalam fakultas ini juga ada jurusan-jurusan psikologi, sosiologi, filsafat, ilmu politik dan lain-lain. Fakultas lain, seperti fakultas ekonomi dan managemen, terdapat mata kuliah ke Islaman seperti fiqh untuk ekonomi, pemikiran ekonomi Islam, sistem finansial Islam dan lain-lain [M.Atho Mudzhar, 1998:28]. Begitu juga halnya di Indonesia, perkembangan Studi Islam dilaksanakan di 14 Institui Agama Islam Negeri (IAIN) dan 39 Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN). Selain itu, juga sejumlah perguruan tinggi dan sekolah tinggi Islam swasta yang secara khusus menyelenggarakan studi Islam, seperti di Fakultas Ilmu Agama dan Pusat Studi Islam [PSI] di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fakultas Agama di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Malang, Slolo, Yogyakarta, dan Fakultas-fakultas agama di Universitas Islam Bandung.
Pada dekade sekarang ini, perkembangan studi Islam mulai diminati di Jerman yang dimulai pada tahun 2001. Katakan saja, setelah terjadi peristiwa 11 September 2001, telah membangkitkan perhatian pada sebuah disiplin akademis di Jerman yang sebelumnya sangat jarang memicu minat masyarakat umum.  Para wakil pengajar Islam, sejarahwan dan cendekiawan ilmu politik Islam menjadi tamu undangan yang dicari-cari untuk diajak berdiskusi dan dimintai komentarnya oleh berbagai media massa; sebuah kecenderungan yang sebetulnya sudah terlihat sepuluh tahun lalu selama perang Teluk berlangsung. Serangan teroris terakhir di Amerika Serikat dan berbagai akibatnya yang sejauh ini belum diketahui, sekali lagi mengungkapkan betapa mendesaknya kebutuhan akan analisis akademis atas masyarakat Islam, asal mula sejarah dan perkembangannya hingga kini.
Sejak lama universitas-universitas Jerman menganggap studi mengenai Islam sebagai kasus khusus diantara apa yang disebut "subyek minoritas". Karena mata kuliah ini didasarkan pada tradisi mendalam yang patut dimuliakan dan didukung oleh pengetahuan yang tampak spiritual. Para akademisi Islam tampil sebagai orang-orang yang terlalu terbenam pada sumber-sumber sejarah dan teks-teks keagamaan, dan jarang berperan sebagai orang yang tepat untuk memberikan analisis yang canggih mengenai perkembangan Islam mutakhir. Sekalipun ada minat yang besar atas penelitian di bidang studi Oriental dan studi-studi banding pada awal tahun 70-an hingga kini di Free University, Berlin, untuk beberapa waktu lamanya hampir tidak terjadi penyeberangan di Jerman untuk mempelajari bidang studi Islam.
Berakhirnya konflik klasik Barat – Timur, diikuti secara pesat oleh meningkatnya perseteruan antar etnis di berbagai belahan dunia, pada gilirannya memperbaharui perhatian selama dekade terakhir terhadap berbagai aspek yang mendasari pentingnya identitas kebudayaan dan keagamaan. Perubahan-perubahan dramatis yang menempa hubungan antara "Barat" dan dunia Islam sebagai akibat dari peristiwa Salman Rushdie, Perang Teluk dan terorisme internasional secara alami juga membawa dampak pada pengajaran dan riset yang terkait dengan studi Islam. Dewasa ini, selain menghadapi berbagai pendekatan yang berbeda di tingkat universitas di Jerman, sehingga menjadikan studi Islam dan dunia Muslim sebagai bagian dari ilmu kebudayaan interdisipliner, studi-studi semacam ini juga semakin menjadi penting bagi dialog antar kebudayaan dalam masyarakat kita, seiring makin banyaknya bermunculan komunitas minoritas di seluruh Eropa. Sejalan dengan studi Islam yang disponsori pemerintah Jerman pada tahun 1997 di Universitas Institut Riset Berlin (University Research Institute Berlin) bagi kelompok studi "Dunia Moderen dan Islam", para pakar yang terlibat menekankan pentingnya mempromosikan keseluruhan mata ajaran Islam.
Melihat permasalahan komunikasi yang terus terjadi antara masyarakat Barat dan Islam maupun ketegangan antar masyarakat di dalam masing-masing Negara, maka semakin banyak pakar-pakar Islam berpaling kepada program kehumasan (Public Relations), memanfaatkan keahlian dan pengalaman Humas untuk meningkatkan kesadaran Barat akan perbedaan-perbedaan di dalam Islam sendiri dan berbagai masyarakat Islam. Dengan menggunakan berbagai argumentasi empiris, upaya tersebut merupakan cara yang efektif untuk memerangi teori-teori "pergulatan intra-kebudayaan" yang dikemukakan oleh Samuel Huntington, ahli ilmu politik dari Amerika Serikat. Sesudah peristiwa 11 September, sekitar 100 pakar Islam Jerman mengimbau media massa untuk tidak memproyeksikan citra Islam berdasarkan gambar-gambar di televisi mengenai kaum Muslim yang radikal, menonjolkan perbedaan dan konteks pembahasan, baik di masa lalu dan kini mencakup Islam.
Hal tersebut penting khususnya sehubungan dengan ajaran-ajaran Islam yang selama beberapa dekade menjadi target tuduhan melakukan penggeneralisasian mengenai dunia Timur. Sejak 1978, ketika ahli sastra Amerika Edward Said mengelompokkan pakar Oriental dari Barat ke dalam kategori yang sama persis dengan ambisi-ambisi kekuasaan politik dan kebudayaan dunia Barat selama era kolonialisme, telah terjadi diskusi tanpa henti mengenai kecenderungan kearah "orientalisme" dalam metode-metode penelitian. Perdebatan ini semakin menjadi polemik, setelah beberapa cendikiawan Muslim melancarkan serangan tajam atas para akademisi Islam di Eropa. Kritik utama mereka berpusat pada "pensoalan" doktirn-doktrin suci, Islam dari sudut pandang sejarah, sesuatu yang menurut pendapat banyak umat Muslim mendistorsikan Islam. Ini hanya sekadar memberi gambaran dikotomi yang ada, bila sudut pandang sekuler berbenturan dengan latar belakang kebudayaan seperti dalam kasus studi mengenai Islam yang terus diperalat dalam konflik interen-Islam. Menurut ajaran Islam, satu-satunya jalan keluar dari dilema ini adalah menggambarkan berbagai aspek religius, kultural dan regional masyarakat Muslim, serta membedakan temuan-temuan tersebut dalam diskusi publik. Pada akhirnya, pertukaran informasi antara para akademisi di dunia Muslim maupun orang Muslim di Eropa harus dibiasakan. Wolf Lepenies, mantan rector University Research Institute Berlin, menyimpulkan situasi tersebut dengan kritikan ringkas atas "sikap-sikap menggurui" dunia Barat yang telah membuat mereka kebal terhadap argumen-argumen balasan yang datang dari luar Eropa. Hasil akhirnya adalah bahwa pedoman-pedoman dasar Eropa yang mengatur penelitian akademis tidak pernah dinilai melalui pembandingan dengan hal-hal lain.
Di Jerman, studi Oriental dan studi Islam menetapkan standar-standar yang tinggi. Di banyak bidang studi – seperti linguistik, sejarah kebudayaan dan keagamaan maupun geografi – sumbangan-sumbangan Jerman terhadap penelitian cukup berprestasi, tidak jarang dalam dunia Islam sendiri. Hal ini tercermin dalam berbagai proyek penelitiaan bersama dengan lembaga-lembaga asing, penerjemahan karya-karya penting, penunjukkan pakar lapangan Jerman ke pos-pos terkemuka di luar negeri, banyaknya pelajar dan mahasiswa post graduate dari negara-negara Islam yang belajar di universitas Jerman dan menjalin kemitraan dengan universitas-universitas lain, khususnya dari Timur Tengah, dan secara teratur mengadakan pertukaran pelajar dan pengajar.
Dewasa ini terdapat 24 universitas Jerman yang menawarkan bidang studi Islam dan bahasa-bahasa Oriental, serta sekitar 3000 mahasiswa yang mengambilnya sebagai pilihan studi utama atau studi pilihan. Secara keseluruhan terdapat 34 guru besar, lembaga-lembaga dan departemen yang mengkhususkan diri dalam bahasa, sejarah dan kebudayaan dunia Islam. Kini pengajaran menerapkan pendekatan interdisipliner dengan penekanan pada realitas praktis. Sebagai contoh, di Universitas Erfurt, yang dibuka kembali tahun 1999, bidang studi Islam meliputi riset yang difokuskan khususnya pada kelompok minoritas agama Islam di Eropa. Universitas-universitas lain memberi perhatian pada kawasan tertentu: di Bamberg studi diarahkan pada Iran dan Turki, sementara Bayreuth memusatkan diri pada Islam di Afrika. Masa-masa dimana studi Islam dianggap sebagai sebuah "subyek eksotis" sudah berlalu. Kini, materi kuliah diarahkan pada permintaan pasaran kerja. Temuan-temuan yang tercatat sebagai akibat dari studi tahun 1997 memberi indikasi jelas potensi riset cukup besar yang ditawarkan Jerman, khususnya di pusat-pusat yang menspesialisasikan diri pada kawasan tertentu.
Hal ini pun tidak mengurangi bobot studi Islam, karena riset harus didasarkan pada sinergi akademis yang mirip dengan perekonomian Islam, seperti yang ditunjukkan oleh berbagai hasil riset. Lembaga-lembaga khusus tersebut diantaranya termasuk German-Orient Instutute di Hamburg, Zentrum Moderner Orient di Berlin dan Orient - Society milik pemerintah yang berada di bawah German Oriental Society di Beirut – dengan sebuah departemen eksternal di Istambul dimana riset atas sumber-sumber bersejarah yang meliputi studi Islam digabungkan dengan studi terkini dari negara-negara yang terlibat. Akademi riset tertua mengenai semua hal yang berkaitan dengan Islam adalah German Oriental Society yang didirikan pada tahun 1845. Namanya yang agak tua merupakan peninggalan tradisi akademis Jerman, yang sejak lama telah digantikan dengan metode-metode riset moderen yang disukai oleh banyak anggotanya. Sejak tahun 1993, Kelompok Studi Jerman untuk Timur Tengah (German Studi Group for the Middle East), yang menspesialisasikan diri pada riset dan pendokumentasian terkini, berpusat di Universitas Mainz, telah menjadikan dirinya sebagai panggung kerja sama diantara para sarjana ilmu sosial dan ilmu kebudayaan, khususnya untuk generasi sekarang dan mendatang. Terbitan berkala dua-tahunan kelompok tersebut, memberi pandangan mendalam mengenai berbagai penyebaran silang-kebudayaan internasional yang diliput oleh subyek-subyek terkait dengan studi Oriental yang dilakukan di Jerman. Selama beberapa waktu di Jerman sebagian besar riset diabdikan pada studi Islam yang dipusatkan pada penelitian dokumen-dokumen tradisional dan sejarah kebudayaan dunia Islam. Perspektif moderen menunjukkan bahwa riset dewasa ini cenderung semakin berkonsentrasi pada perkembangan masyarakat Muslim dan berbagai macam mentalitas Islam yang berbeda-beda di dunia sekarang ini, sementara itu masih dipertimbangkan pula relevansi sumber-sumber standar dan sejarah yang berkenaan dengan kebudayaan Islam.
Kini, masalah-masalah yang "berkaitan dengan dialog" yang bersifat multidimensional cenderung mendominasi riset: jangkauan dan implikasi proses globalisasi, sebagai contoh, perubahan hubungan antara kebudayaan setempat dengan komunitas Muslim, perbandingan opini dan reaksi terhadap hubungan Eropa dengan negara-negara Muslim, serta tidak ketinggalan perkembangan kelompok minoritas Muslim di Eropa, Asia dan Afrika. Para akademisi Islam mengikuti secara seksama diskusi terkini mengenai pembenaran-pembenaran sosial dan teologis suatu Islam Eropa – dan mengikuti perdebatan dengan para akademisi Islam dari seluruh Eropa.
Pertukaran Akademis
Walaupun riset selalu berupaya untuk mengeksploitasi berbagai cara berbeda mengenai Islam yang dipraktekkan di masyarakat saat ini, termasuk gerakan Islam, ideologi dan alasan-alasan mengikutsertakan kecenderungan radikal yang semakin meningkat, riset lainnya dapat memberikan analisis cepat dan jalan terbaik bagi para politisi yang mengkhawatirkan penyebaran terorisme bermotivasi Islam yang terjadi dewasa ini, serta implikasinya di masa mendatang. Masalah-masalah yang disebabkan oleh perubahan hubungan dalam tatanan sosio-politik, relatif pada ikatan etnis dan identitas religius, khususnya yang melibatkan orang-orang muda, harus dianalisis lebih mendalam dalam studi mendatang dengan sifat empiris dan sudut pandang yang praktis. Berkaitan dengan itu, tanggung jawab tidak saja diemban oleh para pengajar agama dan sarjana Islam, tetapi juga ditangan para pakar sosiologi, etnologi, psikologi dan peneliti yang meneliti akar-akar konflik. Untungnya, ada generasi baru sarjana Islam di Jerman yang terlatih dengan sangat baik dan bermotivasi tinggi yang siap menanggung beban pekerjaan tersebut. Tahun ini kita akan menyaksikan pertukaran akademis di Mainz: dalam bulan September, asosiasi-asosiasi profesional Jerman dan Eropa akan mengundang para peserta menghadiri Kongres Dunia bagi Studi Timur Tengah yang pertama. Program tersebut akan menampilkan berbagai kelompok studi yang akan mempresentasikan mengenai Islam di masa lalu dan masa kini. Khususnya ada satu hari dimana semua perhatian tercurah pada konferensi ini yaitu tanggal 11 September, peringatan pertama serangan kaum teroris atas New York dan Washington.[16]


[1]  Mattulada, Studi Islam Kontemporer, dalam buku: Metodologi Penelitian Agama, Sebuah Pengantar, Editor, Taufik Abdullah dan Rusli Karim, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hlm.5.
[2]  Ibid, hlm. 11
[3]   Ibid.
[4]   Ibid, hlm. 5.
[5]  Ibid, hlm.6.
[6]  Ibid, hlm. 6
[7] Djamari, Agama dalam Perspektif Sosiologi, (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm. 79.
[8]  Harun Nasution, Format Baru Gerakan Keagamaan, Makalah disajikan dalam Pembukaan Simposium Nasional di PPIM IAIN, Jakarta: 1998, hlm. 1.
[9]     Ibid, hlm. 1-2
[10]    Ibid, hlm. 2-3
[11]    Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm.7-8
[12]    Harun Nasution, hlm. 68.
[13]    Ibid, hlm. 10.
[14]    Atho Mudzhar, 1989, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,  1989), hlm. 24-25.
[15]  IMAJI, Pusat Kajian Islam Universitas Leiden-Belanda, June 2,2005, dalam: http://www.rsi.com.sg /indonesian /imaji/view/20050502184100/1/.html, akses pada, kamis, 7 Juli 2005.
[16]    Ekkehard Rudolph, Pakar Islam Universitas Erfurt yang mengkhususkan diri pada riiset Islam di Eropa Website: www.davo-online Asosiasi Studi Timur Tengah Jerman  Sumber: Majalah DEUTSCHLAND; No:2/2002


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar