MENGAPA HARUS ADA KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN?
(Pendidikan Tanpa Kekerasan antara Idealitas dan Realitas)
Oleh: Hujair AH. Sanaky[1]
1.
Pendahuluan
Bangsa kita sesungguhnya bangsa
berbudaya, bangsa berbudi halus, bangsa yang toleran, bangsa yang tepaseliro. Para leluhur, nenek moyang kita, telah
meninggalkan instrumen-instrumen budaya, bahasa, budi pekerti, sopan santun, tenggang
rasa, yang sesungguhnya tidak untuk
menjadikan anak bangsa ini berjiwa keras, hoby, suka pada kekerasan, brutal,
dll. Kenapa mutiara-mutiara instrumen tersebut
sekan-akan hilang, teggelam ditelan laut dari kehidupan bangsa ini, apabila
kita menyaksikan berbagai tayangan televisi dan berbagai berita di media cetak,
mengenai bentuk-bentuk tindak kekerasan yang dilakukan masyarakat.[2]
Fenomena tindak kekerasan
akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian serius para pakar pendidikan, pendidik dan orangtua.
Pemerintah pun telah merespon persoalan di atas dengan pelbagai peraturan
perundangan yang lebih responsif, seperti UU Perlindungan Anak (UU PA), UU
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU RKDRT). Kenyataannya tidak secara
otomatis akan menghapus tindak kekerasan bahkan kejahatan kemanusiaan tersebut,
bahkan terkesan terus berlanjut, intensitasnya makin meningkat dengan motif
semakin beragam, bukan hanya
kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan
psikis.
Di era reformasi
dan globalisasi ini, banyak sekali
kejadian-kejadian yang sangat ironis, menyedihkan dan memalukan menimpa bangsa
kita terutama dalam dunia pendidikan. Tentu
saja sangat tidak sesuai dengan tujuan, visi dan misi pendidikan nasional
bangsa ini yang berfungsi
untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Tujuan pendidikan nasional tersebut sangat mulia, tapi pendidikan
dengan bentuk kekerasan yang ada di bangsa kita ini selalu saja ada dan
tanpaknya belum dapat terselesaikan dan hilang.[3]
Kekerasan anak di Indonesia tidak semakin berkurang, tetapi meningkat dari tahun ke tahun. Kekerasan telah terjadi di masyarakat dan lembaga pendidikan, baik yang bersifat verbal maupun kekerasan fisik yang selalu merebah dan ditayangkan oleh beberapa stasium TV. Seakan-akan perilaku kekerasan sudah melembaga dan terstruktur. Katakan saja, setiap tahun akademik baru mesti saja kita mendengar bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi dari kampus-kampus karena acara perplocoan. Sekarang ini, kita menyaksikan tontonan paling mutahir yaitu telah terjadi kekerasan di SMUN 1 Timika Papua yang didisain oleh seorang guru BP dengan memberikan sarung tinju kepada dua orang siswa putri untuk bertarung seperti layaknya di atas ring tinju, bertindak segai wasit adalah seorang guru BP dan ditonton semua siswa. Kejadian ini direkan oleh seorang siswa dengan menggunakan telepon genggam. Bentuk kekerasan lain yang dilakukan oleh kepolisian dan tentara di tempat latihan dan di asrama. Di Palu, dimana 3 oknom polisi dihajar oleh seniornya yang tak patut ditiru. Meskipun pada akhirnya dibantah bahwa itu hanya rekayasa, sandiwara, skenario, tapi dampaknya tidak baik untuk pencitraan korps. Artinya, sesamanya saja dapat melakukan tindakan kekerasan apalagi dengan orang lain. Kekerasan yang terjadi diantara senior dan yunior di Kodam Pattimura Ambon. Mungkin saja kita bertanya dengan nada yang menyedihkan, mengapa kekerasan ada di mana-mana? Apa ada sesuatu yang salah pada bangsa ini atau ada sesuatu yang hilang pada bangsa ini.
Ada apa dengan bangsa ini, apakah pilar-pilar budaya, moral, etika, akhlak sudah hilang dari kehidupan bangsa ini. Mengapa dan kenapa kekerasan ada di mana-mana dan terjadi di mana saja. Apakah sistem pendidikan kita tidak mampu lagi menghasilkan manusia-manusia yang berbudaya, berbudi, bermoral, berakhlak. Ataukah pendidikan budi pekerti yang mendidik kehalusan, sopan santun, menghargai yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, menghormati hak-hak asasi, seakan-akan hilang dari lembaga-lembaga pendidikan. Apakah sekolah-sekolah hanya mengajarkan pendidikan budi pekerti dalam bentuk pendidikan kognitif semata atau mungkin saja di sekolah-sekolah tak kelihatan diajarkan lagi. Sehingga lahir anak bangsa yang tidak perduli dengan orang lain, keras, kurang santun, yang penting apa mau kita, harus diikuti dan tidak boleh dihalang-halangi atau dibatas-batasi. Bila demikian kondisnya, maka bangsa ini dalam kondisi sakit, kita harus sedih dan prihatin, sebab kerinduan pada perilaku bangsa yang tidak primitive, tidak brutal, tidak bar-barian, tidak demonstrative, tapi perilaku bangsa yang berbudaya, santun, penuh toleransi menjadi kian terasa.
2. Mengapa Kekerasan Ada di Mana-mana
Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) merumuskan kekerasan sebagai penggunaan kekatan atau daya fisik yang
disengaja, yang merupakan ancaman terhadap diri sendiri, orang lain, atau terhadap
sebuah kelompok, sehingga berakibat atau kemungkinan besar mengakibatkan
cedera, kematian, atau bahaya fisik (WHO, 2002: 5). Jack
D. Douglas dan Frances Chalut Waksler, istilah kekerasaan (violence) dipakai
untuk menggambarkan tindakan atau perilaku, baik secara terbuka (over) maupun
tertutup (covert) dan baik yang sifatnya menyerang (offensive) maupun bertahan
(defensive), yang diikuti dengan penggunaan kekuatan fisik terhadap orang lain.
Kekerasan telah terjadi dimana-mana, mungkin saja kita menyaksikan tayangan televisi dan media cetak mengenai berbagai bentuk kekerasan yang dialakukan di masyarakat, antar pelajar, mahasiswa, sampai dilembaga kepolisian dan tentara. Kita menyaksikan perkalihan mahasiswa antar kampus dan demontrasi mahasiswa yang selalu menampilkan kekerasan untuk menpacai tujuan tuntutan mereka kepada pimpinan lembaga perguruan tinggi, padahal lembaga ini bertujuan untuk mencetak intelektual bangsa. Perkalian atau tauran masal antara siswa dibeberapa kota yang dipertontonkan. Tidak cuma kekerasan antar pelajar dan mahasiswa terjadi. Bahkan gurupun mengasari murid, menghukum murid yang tidak wajar, guru merekayasa perkelahian, sehingga terekam oleh alat canggih siswa. Kita melihat bentuk kekerasan ditambah anarkis dari masyarakat di DPRD Sumatera Utara yang berbuntut dengan meninggalnya Ketua DPRD Sumatera Utara. Menyaksikan bentuk-bentuk kekerasa yang terjadi di kepolisian dan tentara di tempat-tempat latihan, kantor, dan diasrama. Contoh-tontoh tersebut tidak patutut ditiru, sebab menggambarkan tindakan primitifisme, bar-barianisme, brutalisme, dll.
Penyebab lain adalah perilaku para
pemimpin masyarakat dan tokoh panutan sendiri juga tidak memberi contoh yang
baik. Selain itu, peran
media sendiri juga menentukan, terutama tayangan
TV pun berperan besar dalam ikut menyebarkan perilaku kekerasan, dengan berlomba-lomba
mempertontonkan program-program berbagai perilaku kekerasan, termasuk dalam
berita yang terus menerus di tayangankan beberapa TV dengan mempertonkan gambar
perilaku kekerasan. Sinetron remaja, juga
semakin berdarah-darah, semakin hot, dan semakin banyak menarik pemirsa[4]
dan lepas dari unsur educasi. Nah pada era keterbukaan ini, kelihatannya kekerasan
menjadi tontonan atau komoditas tersendiri dan menarik yang dapat dijual di
tengah masyarakat yang sakit.
Apapun penyebabnya, apapun alasannya, berbagai tindak kekerasan yang terjadi di institusi pendidikan kita itu jelas memprihatinkan, mengharukan dan bahkan memalukan. Para pelajar merupakan generasi penerus bangsa ini, mereka adalah para calon pemimpin bangsa dan negara ini. Bila semasa belajarnya mereka terbiasa dengan perilaku kekerasan, baik aktif (terlibat langsung) maupun pasif (menyaksikan), maka dapat dipastikan cara-cara kekerasan itu pulalah yang akan mereka tempuh untuk menyelesaikan segala perbedaan ketika mereka sudah di masyarakat atau di lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta.
Mungkin saja, kita tidak dapat menyalahkan seluruhnya kepada mahasiswa atau siswa. Sebab berbagai aksi kekerasan yang mereka lakukan seringkali penyebabnya justru dari para orang tua atau guru. Katakan saja, di SMUN 1 Timika Papua, seorang guru BP menjadikan dua orang siswi seperti berada di atas ring tinju. Selain itu, kekerasan sering terlihat di sejumlah kampus lain biasanya terjadi lantaran mahasiswa lebih dipandang sebagai objek dan bukan subjek. Segala keputusan yang menyangkut perguruan tinggi, terutama mahasiswa, acapkali diambil secara sepihak oleh rektorat tanpa melibatkan mahasiswa. Begitu pula kekerasan yang berlangsung di sekolah-sekolah, para guru seolah punya hak prerogatif memutuskan dan berbuat sesukanya terhadap para siswa yang dianggap mbeling.
Bila semua ini terus berlangsung di institusi-institusi pendidikan kita, lantas apa jadinya bangsa dan negara ini. Hukum hanya akan menjadi asesoris. Sedangkan yang berlaku hukum rimba, adu otot, dan anarkisme. Berbeda pendapat tentu saja boleh. Berunjuk rasa juga boleh. Bahkan yang terakhir ini merupakan salah satu ciri demokrasi. Yang tidak boleh adalah menyelesaikan perbedaan pendapat dengan kekerasan dan anarkisme. Karena itu, barangkali ada baiknya bila tema-tema seperti demokrasi, menghargai pendapat orang lain, dan penyelesaian perbedaan pendapat dijadikan kurikulum di kampus-kampus dan sekolahan kita. Tentu saja para ‘orang tua’, pimpinan lembaga pendidikan, dosen, guru-guru, harus menjadi teladan terlebih dulu.
Kontrol sosial dengan cara
memberi sanksi kepada siswa yang melanggar aturan atau tata tertib sekolah
sudah sesuai. Tapi saja, efektivitasnya masih dipertanyakan, karena sangat
terkait dengan lingkungan di dalam dan di luar sekolah yang mendukung tujuan
hukuman tersebut. Dalam upaya membentuk
perilaku yang berkaitan dengan pendidikan moral dan kedisiplinan merupakan
pembahasan yang banyak dikaji dalam pendidikan. Cara yang biasa digunakan adalah dengan
menghukum siswa mulai dari yang ringan berupa ungkapan verbal yang
“menyakitkan”, hingga tidak jarang siswa mendapatkan hukuman fisik yang tidak
sepadan dengan kesalahan siswa. Pendidikan semestinya dapat memberikan pencerahan
dan bimbingan terhadap hukuman yang belum humanis. Pendekatan dan strategi yang dilakukan
tersebut memang berbeda dengan konsep pendidikan konvensional tentang reward and punishmen yang pada dasarnya berfungsi sebagai sebagai reinforcerment.
3. Bagaimana Pendidikan Meredam Kekerasan
Pendidikan merupakan proses
dimana bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupannya[5] di masa
depan. Pendidikan
adalah suatu proses menaburkan benih-benih budaya dan perdaban manusia yang hidup
dan dihidupi oleh nilai-nilai atau visi yang berkembang dan dikembangkan di
dalam suatu masyarakat. Inilah pendidikan sebagai suatu proses pembudayaan.[6] Sedangkan pendidikan dalam perspektif UU 20
Tahun 2003, didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[7]
Dalam perspektif yang sama, pendidikan
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Begitu mulia tunjuan pendidikan
tersebut diselenggarakan di Indonesia, yang tersurat dalam UU tersebut. Namun
pertanyaan kita, kenapa praktek kekerasan itu terus menerus terjadi di
masyarakat dan di dunia pendidikan kita? Apakah ada sesuatu yang salah dari
sistem pendidikan dan kehidupan kita di Indonesia? Bila dicermati, memang ada beberapa penyebab
yang dapat mendasarinya, yaitu: Pertama, dari
pengajar itu sendiri, masih cukup banyak para pengajar, bahkan di
sekolah-sekolah negeri yang cukup ternama, melakukan praktek kekerasan seperti
menampar, menjewer atau mencubit dan yang paling sering dilakukan adalah intimidasi
secara psikologis kepada para peserta didiknya Kedua, adalah
terjadi perilaku feodalisme, perilaku ini masih tumbuh subur di hampir seluruh
lembaga pendidikan. Perilaku ini dimulai dengan dari kegiatan yang namanya
ospek dan atau sejenisnya. Tendensinya adalah mengekalkan praktek feodalisme di
lembaga pendidikan yang berbuntut pada perilaku kekerasan. Seharusnya institusi
pendidikan berfungsi untuk membentuk manusia-manusia merdeka yang berjiwa
demokratis. Kenapa konsep feodalisme
yang pertama kali ditanamkan ketika anak mulai sekolah dan masuk kampus. Apapun
alasannya, untuk pengenalan dan membangun mental untuk siap masuk sekolah atau kuliah.
Kegiatan tersebut membangun sikap feodalisme untuk pertama kalinya. Ketiga, adalah penegakkan hukum yang masih
minimal. Inilah yang kemudian
melanggengkan seluruh struktuk dan praktek kekerasan yang terjadi di lembaga
pendidikan. Kontrol dan pengawasan institusi pendidikan
sangat lemah, sehingga lembaga
pendidikan secara institusional maupun pimpinannya secara personal tidak
mengetahui praktek kekerasan dan premanisme yang terjadi di lembaga yang
dipimpinnya. Keempat,
bagi orang tua, perlu melakukan control
dan pengawasan terhadap putra-putrinya.
Orang tua diharapkan dapat membuka komunikasi dua arah yang jujur dan
terbuka untuk anak menjadi penting dan perioritas. Harus ada keberanian melakukan tindakan untuk melawan
praktek kekerasan, terus menerus disuarakan, baik di forum kumpul-kumpul, seminar, diskusi,
atau bila perlu menggugat.[8]
Hasil
seminar nasional Reaktualisasi Pendidikan Tanpa Kekerasan, yang dilaksanakan
oleh Prodi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Universitas Islam
Indonesia, pada tanggal 21 Februari 2009, menyimpulkan (1) Stop kekerasan dalam
dunia pendidikan, karena tidak sesuai dengan visi dan misi pendidikan; (2) anak
harus dipandang sebagai siswa, sebagai guru, sekaligus sebagai teman; (3) guru
sebagai tenaga profesioal dituntut untuk menciptakan pembelajaran yang
menyenangkan, memanusiakan, dan memberdayakan potensi anak dengan memperhatikan
varian kecerdasan anak, (4) strategi pembelajaran yang digunakan diupayakan
agar menciptakan setting pembelajaran dan lingkungan belajar yang ramah, tidak
ada ketegangan dalam pembelajaran sehingga memudahkan anak menerima informasi
yang disampaikan, (5) perlu reformulasi tentang reward dan punishment dalam
praktik pendidikan di keluarga, sekolah dan masyarakat sesuai dengan
prinsip-prinsip dalam ajaran Islam dan dilakukan secara bertahap serta
disesuaikan dengan tingkat kesalahan yang dilakukan.[9]
Dari hasil seminar tersebut, mungkinkah pendidikan kita dapat meredam kekerasan? Pertanyaan ini cukup mendasar yang harus dijawab oleh lembaga pendidikan di Indonesia. Untuk melaksanakan pendidikan tanpa kekerasan diperlukan penanaman nilai-nilai dan perilaku prasosial, mendisiplinkan peserta didik dengan cara yang positif, dan mengajarinya menyelesaikan masalah konflik tanpa kekerasan dengan diikuti pedoman yang jelas dan mengikat bagi guru dan peserta didik, serta pengawasan kooperatif oleh komunitas sekolah, orangtua dan tokoh masyarakat. Hal ini semestinya dilakukan agar dapat mengatasi tindak kekerasan, seperti tawuran antar pelajar dan tindak kejahatan serta kekerasan lain yang sering terjadi di sekolah dan luar sekolah.
Bila dilihat
dari sering terjadi perilaku kekerasan,
ada beberapa indikator model kekerasan, yaitu: Pertama, kekerasan
terbuka, kekerasan yang dilakukan
seseorang terhadap orang lain yang dapat dilihat dan diamati secara langsung,
seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa, dan yang berkaitan dengan
tindakan fisik lainnya. Kedua, kekerasan
tertutup, kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain secara
tersembunyi, seperti mengancam dan intimidasi. Ketiga, kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap
orang lain dengan tujuan mendapatkan seseuatu, seperti perampokan, pemerkosaan,
dll. Ketiga indikator model kekerasan
di atas selalu menjadi langganan dalam dunia pendidikan kita saat ini. Kekerasan tidak pernah diinginkan oleh
siapapun, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah
secara edukatif. Namun tak dapat
dihindari, di lembaga ini ternyata masih sering terjadi tindakan yang sifatnya
destruktif.
Dalam
melihat fenomena ini, terdapat beberapa analisa yang dapat diajukan untuk
mencermati pemicu terjadinya kekerasan dalam dunia pendidikan. Pertama, kekerasan dalam dunia pendidikan muncul
akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman terutama berupa hukuman
fisik. Kedua, kekerasan dalam dunia pendidikan
dapat terjadi akibat buruknya sistem dan kebijakan dunia pendidikan yang
berlaku. Kurikulum dunia pendidikan di negeri ini
ternyata lebih mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan aspek
pendidikan yang efektif sehingga proses humanisasi dalam pendidikan menjadi
sesuatu yang jauh dari harapan. Mengabaikan pendidikan budi pekerti yang mendidik
kehalusan, sopan santun, menghargai yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda,
menghormati hak-hak asasi.[10] Ketiga, mungkin saja
sistem pendidikan kita menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang tertekan,
tidak kritis, bertindak dan berpikir dalam acuan suatu struktur kekuasaan yang
hanya mengandalkan kepentingan sekelompok kecil rakyat Indonesia. [11] Keempat,
kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan
media massa yang sarat dengan aksi-aksi kekerasan dan ditayangkan secara
berlebih-lebihan.. Kelima, kekerasan
dalam pendidikan merupakan cerminan dalam perkembangan kehidupan masyarakat
kita yang mengalami transformasi begitu cepat sehingga membuka ruang bagi timbulnya sikap
instant solution. Keenam, kekerasan
dalam pendidikan dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku.[12]
Tumbuh dan
berkembang kekerasan dalam dunia pendidikan juga terjadi karena sistem yang
telah melembaga. Kekerasan telah menjadi
suatu cultur organisasi, tersistematis, terstruktur dalam lembaga pendidikan.
Tesis ini dapat dapat kita buktikan dengan melihat fenomena yang terjadi di
beberapa lembaga pendidikan. Dengan merajalelan
irasionalitas dalam bentuk kekerasan dalam pendidikan, menunjukkan betapa lemahannya
sistem pendidikan kita. Kelemahan sistem
ini terjadi karena lemahnya kepemimpinan dalam lembaga tersebut. Lemahnya
kepemimpinan diakibatkan oleh tidak jelasnya visi pendidikan kita. Jika keadaan ini terus berlangsung, maka
perilaku dan tindak kekerasan dalam pendidikan tidak dapat diretas. Daftar kekecewaan kita juga diperpanjang
dengan unculnya kasus-kasus kekerasan yang melibatkan oknom guru dan murid,
bahkan di lingkungan kampus ada
kekerasan secara turun-temurun yang disebut perploncon dilakukan oleh senior
pada yuniornya secara sistematik dan tersktruktur.
Agar
perilaku kekerasan dalam pendidikan dapat diredam, harus ada visi pendidikan yang jelas dan
sistem pendidikan yang terbuka atas kontrol publik. Mayarakat mempunyai hak
untuk mengetahui bagaimana sistem pendidikan dan pembinaan dalam lembaga
pendidikan. Untuk menciptakan lembaga pendidikan yang terbuka atas control
public dibutuhkan tiga syarat. Pertama, dibutuhkan
figur pemimpin berkarakter yang mempunyai visi pendidikan yang jelas dan dapat
menciptakan struktur dan kultur pendidikan yang sehat. [13]
Kedua, memiliki kemampuan managemen yang memadai
untuk mengatur dan mengontrol berbagai kegiatan siswa disekolah. Ketiga, setiap lembaga pendidikan harus
mempertanggungjawabkan kinerjanya terhadap pemangku kepentingan, yaitu orangtua
dan masyarakat.[14]
Institusi pendidikan merupakan sebuah ranah
(domain) sosial yang diharapkan mampu berperan sebagai kawah candradimuka untuk
lahirnya intelektualitas, moralitas, orde kehidupan yang menjunjung tinggi
perdamaian, kebebasan, dan demokratis. Upaya
ke arah ini harus dilakukan melalui pembelajaran yang menyenangkan, memanusian,
dan memberdayakan potensi siswa, terhadap
humaniora, ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan. Itulah sebabnya, institusi pendidikan
dieksplisitkan sebagai center of excellence bagi
terwujudnya pembedayaan potensi anak, humanisme yang transendental. Maka dengan sendirinya, sebuah institusi
pendidikan berarti sebuah lingkungan yang jauh lebih berwibawa dibandingkan
dengan lingkungan pabrik, bengkel, pasar, hotel dan atau dibandingkan barak
militer. Ini karena, secara
eksistensial, setiap manusia dalam lingkungan pendidikan didorong mengenal
hakikat kemanusiaan dirinya secara utuh, potensi dirinya dengan berbagai varian
potensi yang dimiki, serta belajar menerima keberadaan orang lain dengan
prinsip tepaselira. Itulah mengapa, pembudayaan akal budi dalam
dunia pendidikan seiring dan sejalan dengan pengukuhan hati nurani dan dalam
dunia pendidikan itulah intelektualitas berfungsi merawat hati nurani,[15] dan merawat perilaku.
Berdasarkan
uraian di atas, pertanyaannya adalah dari
mana harus dimulai untuk meredam perilaku kekerasan yang membudaya ini. Menurut penulis, harus dimulai dari tiga lingkungan pendidikan yaitu mulai dari lingkungan rumah
atau keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Ketiganya memiliki hubungan
interalasi dalam upaya meredam
kekerasan. Hubungan tersebut dapat
digambarkan pada diagram di bawah ini.
Pertama, di lingkungan
rumah atau keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan
yang berlaku di lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Orang tua mulai melakukan pembiasaan perilaku
dan contoh-contoh perilaku yang baik dengan pembiasaan sikap moral, akhlak, sopan
santun, menciptakan sikap disiplin, sikap menghargai sesamanya, sikap menghargai pendapat walaupun berbeda,
menghormati yang tua, menyangi yang muda, dan menghindari tindakan kekerasan
dalam lingkungan keluarga. Sudah barang
tentu dalam pembelajaran di lingkungan keluarga, anak cenderung mencontoh
perilaku yang terjadi di rumah, menjadi kebiasaan, menjadi perilaku, dan
membudaya.
Dalam
konteks ini, banyak orang tua menganggap
kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan ini adalah bagian
dari upaya mendisiplinkan anak. Tapi di
sisi lain, mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung
jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan
hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Memang bila
dicermati, “kekerasan
yang terjadi di dalam lingkungan keluarga menduduki porsi terbesar dalam kasus
kekerasan yang menimpa anak-anak pada rentang usia tiga sampai 18 tahun”. Maka sudah barang tentu dalam proses belajar
ini, anak cenderung melakukan kesalahan. Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, tentu
saja anak akan lebih mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak
bermanfaat, patut atau tidak patut.[16] Tapi di sisi lain, pada hakekatnya kekerasan orang tua terhadap
anaknya boleh dilakuakan, asalkan tidak melanggar norma-norma yang ada di
masyarakat dengan dalih supaya anak patuh pada orang tua. Karena anak adalah titipan dari sang Ilahi
mestinya harus kita jaga sebaik mungkin dan sudah seharusnya kita didik
setinggi mungkin jangan samapai telantarkan.[17]
Kedua, di sekolah, berusaha membangun dan mengembangkan rana kognitif, afeksi, dan psikomotorik anak dalam pembelajaran.
Para guru berusaha membangun model pembelajaran
yang berpusat pada siswa (student
centre) dengan mengoptimal semua
potensi siswa, memanusiakan, menyenangka dengan memperhatikan varian kecerdasan
yang dimiliki siswa. Menurut Howard Gardner dalam
bukunya Multiple Intelligences, yang dikutip Seto Mulyadi, menyatakan
bahwa skala kecerdasan yang selama ini
dipakai ternyata memiliki banyak keterbatasan sehingga kurang dapat meramalkan
kinerja yang sukses untuk masa depan seseorang. Menurut
Gardner, kecerdasan seseorang meliputi unsur-unsur: kecerdasan
matematika-logika, kecerdasan bahasa, kecerdasan musikal, kecerdasan visual, kecerdasan kinestetik,
kecerdasan inter-personal, kecerdasan intra-personal, dan kecerdasan naturalis.[18]
Dengan mengetahui varian kecerdasan
tersebut, para guru didorong untuk dapat memahami jenis kecerdasan murid-muridnya,
sekaligus dapat mengajarkan meteri pelajaran dan mengembangkan serta
memberdayakan murid-muridnya sesuai dengan jenis kecerdasan tersebut.
Respons
sekolah terhadap fenomena kekerasan sendiri bermacam-macam. Beberapa sekolah yang sangat maju sudah
menciptakan sistem yang cukup efektif untuk mengurangi insiden-insiden
kekerasan dan memberi dukungan pada korban kekerasan. Tapi sampai kini ada sejumlah guru masih menganggap atau merasa
bahwa hukuman fisik sebagai strategi dalam pembelajaran untuk menegakkan wibawa
guru di mata murid. Maka, guru sengaja membuat atau mengkondisikan suasana agar
murid takut pada guru. Maka setelah terkondisi rasa takut, si murid akan mau
melaksanakan perintah gurunya. Menurut guru, yang penting si murid tidak berani berkutik di
hadapan guru demi wibawa. Bahkan sangat
ironis sekali, ada sebagian guru yang bangga jika ditakuti murid. Paradigma hukuman menjadi fenomena bagi
sebagian guru yang kurang percaya diri dan kurang mampu untuk mengelola
pembelajaran, sehingga menurut
mereka "tanpa hukuman, murid tidak
akan disiplin," murid tidak patuh, kata guru yang masih menggunakan cara
kekerasan dalam memberi pelajaran kepada siswa.
Kekerasan dalam dunia pendidikan
tampaknya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: Pertama, menyiksa fisik yakni menyakiti siswa dengan cara menjewer, menendang,
memukul, menempeleng, mencubit, sampai menjambak rambut. Konon strategi ini digunakan oleh guru zaman penjajahan sampai
beberapa waktu kemudian. Kini, guru
membawa kayu atau alat pemukul lainnya untuk menyakiti fisik siswa bukan
zamannya lagi. Mestinya hukuman menyehatkan fisik si anak atau yang bersifat
mendidik -- membuat siswa lebih pintar dengan hukuman, bukan malah membuat si
anak harus berobat gara-gara hukuman. Keberhasilan masa lalu dengan kekerasan bukan terletak pada
cara kekerasan itu, melainkan motivasi peserta didik memang tinggi dalam
belajar. Kedua, membunuh karakter dengan meneror mental si anak. Misalnya, anak tidak
diberikan ikut pelajaran gara-gara terlambat, tanpa ditanyakan terlebih dahulu
penyebab keterlambatan itu. Anak tidak diberikan ikut pelajaran gara-gara belum
bayar uang sekolah, padahal bayar uang sekolah menjadi urusan orangtua. Kalau
belum bayar uang sekolah mestinya orangtualah yang dipanggil ke sekolah untuk
memberikan keterangan soal keterlambatan pembayaran.[19]
Cara-cara tersebut telah menutup
komunikasi, menutup dialog, diskusi dengan
siswa yang berkait dengan kesalahan yang dilakukan. Anak harus menerima hukuman,
padahal mereka ingin menyampaikan kejadian yang sesungguhnya. Dalam kondisi ini, bahkan bukan si anak saja yang menjadi
sasaran maran dan dimaki, tapi kadang orangtua pun disebut-sebut dan
diseret-seret dalam kasus siswa di sekolah. Apa begitu diajar sama orangtuamu? Saya tidak peduli walau orangtua-mu
berpangkat tinggi sekalipun. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa guru itu
sudah arogan, kehilangan kendali, dan kehilangan
akal dalam mendidik.
Kondisi di atas, menunjukkan hanya saja
guru yang kehabisan akal, kurangan ide, kurang strategilah yang masih
menggunakan kekerasan dalam mendidik dan menyelesaikan masalah siswanya. Maka pembelajaran dengan strategi kekerasan
sudah waktunya untuk ditinggalkan, dihentikan, sebab refrensi (landasan teori)
yang mendukungnya sulit ditemukan, dan bahkan tidak ada dalam kamus teori pendidikan dan
teori mendidik. Maka sebuah gagasan
maupun strategi pembalajaran akan dianggap baik jika ada teori yang mendukung,
seperti halnya dalam karya tulis ilmiah.[20]
Dengan
demikian konsep pendidikan humanis dan pemberdayakan potensi anak harus
dilakukan dalam pembelajaran. Sebab pendidikan adalah ilmu normatif, maka
fungsi institusi pendidikan adalah menumbuhkan etika dan moral subjek didik ke
tingkat yang lebih baik dengan cara atau proses yang baik pula serta dalam
konteks positif. Adanya beberapa bentuk kekerasan dalam pendidikan yang masih
merajalela merupakan indikator bahwa kegiatan pendidikan kita masih jauh dari
nilai-nilai kemanusiaan dan disinilah urgensi humanisasi pendidikan.
Humanisasi
pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi bangsa yang cerdas nalar,
cerdas emosional, dan cerdas spiritual, bukan malah menciptakan
individu-individu yang berwawasan sempit, tradisional, pasif, dan tidak mampu
menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi. Perilaku kekerasan pada dasarnya adalah
insting primitf manusia untuk bertahan hidup dan menunjukan kekuatan dan
kekuasaan serta sebagai saluran ekspresi dan emosi yang terpendam. Hal inilah
yang terjadi dalam dunia pendidikan kita saat ini sehingga terjadi dekadensi
kemanusiaan. Tim evaluasi yang dibentuk oleh presiden diharapkan dapat
menghumanisasi kembali dunia pendidikan kita.[21]
Ketiga, lingkungan masyarakat, adalah
tempat anak belajar bersosialisasi, belajar bergaul, mengenal kebiasaan, mengenal aturan dan
norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses belajar ini,
anak cenderung meniru kebiasaan atau contoh-contoh yang diperoleh di lingkungan
masyarakat. Mungkin
saja bagi sebagian orang, menganggap kekerasan yang terjadi di masyarakat adalah
hal yang wajar. Kerana mereka
beranggapan ini adalah bagian dari dinamika kehidupan dalam bermasyarakat. Tapi
mungkin saja, mereka lupa bahwa di lingkungan masyarakat adalah tempat bermasyarakat,
bergaul, bersosialisasi yang akan membentuk sikap dan tingkah laku seseorang.
Hal-hal
yang sering terjadi di lingkungan masyarakat adalah bentuk tindakan yang dapat berupa
kekerasan verbal, seperti ejekan, hinaan, fitnah, mengancam, dan membuat
komentar-komentar berbau rasis, dan kekerasa secara mental atau psikologis, seperti
mengucilkan, mempermalukan di depan umum, meneror lewat telepon genggam,
membentak, dan sebagainya, serta tindakan fisik, memukul, menampar, menendang,
meludahi, dan sebagainya. Memang pelaku biasanya sengaja menyakiti
orang lain, baik secara fisik maupun psikologis, untuk mendapatkan kepuasan
karena merasa lebih berkuasa sehingga target biasanya orang yang lebih lemah
dan tidak cukup memiliki dukungan sosial untuk melawan. [22]
Hal lain
adalah perilaku para pemimpin masyarakat dan tokoh panutan sendiri juga tidak
memberi contoh yang baik.
Peran media (terutama TV dan Surat Kabar) pun ikut menyebarkan kekerasan,
dengan berlomba-lomba mengeksplitir berbagai berita bentuk kekerasan. Dalam siaran TV, kita dapat menyaksikan para tokoh yang
berdebat dan saling mengancam, karena mempertahan pandangan dan
prinsipnya. Tayangan TV juga selalu menayangkan
perkelahian antar pelajar, perkelahian antar mahasiswa, perkelahian antar desa,
perkelahian antar sporter bola, pengrusakan rumah warga karena berbeda aliran,
perkelahian antar anggota demostrasi yang menuntut pembubar suatu aliran
tertentu. Berita-berita tersebut didesain sedemikian
besar-besaran dan ditayangkan secara berulang-ulang, sehingga semakin menarik pemirsa. Tanpaknya bentuk
perilaku kekerasan menjadi tontonan atau komoditas tersendiri yang bisa dijual
di tengah masyarakat. Sunggung ironisnya
bangsa ini, yang medianya kurang selektif terhadap hal-hal yang tidak perlu
diekspolitir secara besar-besaran dan berlebih-lebihan.
4.
Penutup
Kata akhir
dari tulisan ini, segera hentikan bentuk kekerasan apapun, baik dilingkungan sekolah, lingkungan
keluarga, dan lingkungan masyarakat.
Ciptakan budaya yang santun dan sopan, berbudi halus, sikap toleran dan
tepaseliro.
Pendidikan kita harus mampu melahirkan
manusia-manusia yang berbudaya, berbudi, bermoral, berakhlak. Oleh karena itu,
pendidikan budi pekerti yang mendidik kehalusan, sopan santun, menghargai yang
lebih tua, menyayangi yang lebih muda, menghormati hak-hak asasi, harus didesan
dalam kurikulum l pendidikan yang lebih
bersifat aaplikatif.
Para guru harus menghentikan paradigma hukuman fisik sebagai
strategi dalam pembelajaran untuk menegakkan wibawanya di mata murid. Ciptakan suasana pembelajaran yang
menyenangkan, memanusiakan, dan memberdayakan potensi anak.
Pendidikan budi pekerti dan melalui keteladanan seorang
guru di sekolah ataupun pembinaan yang lebih intesif terhadap kegiatan-kegiatan
siswa dalam wadah ekstrakurikuler kiranya dapat mencegah aksi-aksi kekerasan
yang dilakukan kalangan pelajar.
Pemerintah atau KPI harus dapat menunjukkan taringnya dalam
menindak tegas stasiun-stasiun siaran televisi yang masih menayangkan acara
yang mengandung kekerasan atau perilaku-perilaku amoral lainnya.
DAFTAR
BACAAN
Anwari WMK, Sebuah Refleksi http://www.jubilee-school.net/jubilee/index. php?option=com_ content& task=view&id= 213&Itemid=38, access, selasa, 3/2/2009, jam. 05.00 wib.
Artikel: Pendidikan tanpa Kekerasan From:http://beutyreligi. wordpress. Com/2007/06/07/pendidikan-tanpa-kekerasan/, access, selasa, 3/2/2009, jam. 12.45 wib.
Assegaf,
Abd. Rachman, dkk, Kondisi dan Pemicu
Kekerasan dalam Pendidikan, Ringkasan Laporan Hasil Penelitian "Kondisi
dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan" http://www.ditpertais.net/istiqro/ist02-03.asp, access,
selasa, 3/2/3009, jam. 11.45 wib
Guru
Gunakan Kekerasan, Ketinggalan Zaman, From:http://www. indoforum. org/showthread.
php?t=65709,access, selasa, 3/2/2009, jam. 12.30 wib.
Hasil Seminar Nasional, Reaktualisasi Pendidikan Tanpa Kekarasa, Prodi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam,
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 21 Februari 2009.
Komentar: Ancaman Kekerasan di Lembaga Pendidikan, Nopember 26, 2007, http://anggara.org/2007/11/26/ancaman-kekerasan-di-lembaga-pendidikan/, access, selasa, 3/2/2009, jam. 05.00 wib.
Kekerasan di Dunia Pendidikan, http://www.bloggaul.com/ foksraad/ readblog/ 74581/kekerasan-dalam-dunia-pendidikan, Diterbitkan Mei 14, 2007 access, selasa, 3/2/2009, jam. 11.30 wib.
Mulyadi, Seto, Suses dan Profesional
Sebagai Guru, makalah disampaikan dalam seminar
nasional tentang Reaktualisasi Pendidikan Tanpa Kekerasan,
Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta, Sabtu, 21 Februari 2009.
Pendidikan tanpa Kekerasan, From: http://beutyreligi.wordpress.com/2007/
06/07/pendidikan-tanpa-kekerasan/, access, selasa, 3/2/2009, jam. 12.45 wib.
Samhadi, Sri
Hartati, Budaya Kekerasan di Lembaga
Pendidikan, From: http://www2.kompas.
com/kompas-cetak/0704/14/Fokus/3456065.htm, access, selasa, 3/2/2009, jam.10.30
wib
Sanaky,
Hujair AH., 2015, Pembaruan Pendidikan Islam, Paradigma, Tipologi, dan Pemetaan
Menuju Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta:
Kaukaba Dipantara.
Surat Kabar Kedaulatan Rakyat, Mengapa Kekerasan Ada di Mana-mana?,
Opini, Tajuk Rencana Kedaulatan Rakyat, Kamis, 26 Februari 2009, hlm14.
Tilaar, H.A.R., Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999).
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
[1] Hujair AH. Sanaky, Dr. MSI, adalah Dosen Program
Pascasarjana FIAI UII dan Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam FIAI UII Yogyakarta.
[2] Baca: Surat Kabar Kedaulatan Rakyat, Mengapa
Kekerasan Ada di Mana-mana?, Opini, Tajuk Rencana Kedaulatan Rakyat, Kamis, 26
Februari 2009, hlm14.
[3] Baca: Pendidikan tanpa Kekerasan, From: http://beutyreligi.wordpress.com/2007/06/07/pendidikan-tanpa-kekerasan/,
access, selasa, 3/2/2009, jam. 12.45 wib.
[4] Baca: Sri Hartati Samhadi, Budaya Kekerasan di Lembaga Pendidikan,
From: http://www2.kompas.
com/kompas-cetak/0704/14/Fokus/3456065.htm, access, selasa, 3/2/2009, jam.10.30
wib
[5] Hujair AH. Sanaky, Pembaruan Pendidikan Islam, Paradigma, Tipologi, dan
Pemetaan Menuju Masyarakat Madani Indonesia,
(Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2015), hlm.184.
[6] H.A.R. Tilaar, Pendidikan,
Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hlm.9.
[7] Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[8] Baca: Komentar, Ancaman Kekerasan di Lembaga Pendidikan, Nopember 26, 2007, http://anggara.org/ 2007/11/26/ancaman-kekerasan-di-lembaga-pendidikan/, access, selasa, 3/2/2009, jam. 05.00 wib.
[9] Hasil Seminar Nasional, Reaktualisasi
Pendidikan Tanpa Kekarasa, Prodi Pendidikan Agama
Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 21
Februari 2009.
[10] Abd. Rachman Assegaf, M. Ag., dkk, Kondisi
dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan, Ringkasan Laporan
Hasil Penelitian "Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan" http://www.ditpertais.net/istiqro/ist02-03.asp,
access, selasa, 3/2/3009, jam. 11.45 wib
[11] H.A.R. Tilaar, Pendidikan,
Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hlm.4.
[12] Abd. Rachman Assegaf, M. Ag., dkk, Kondisi dan
Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan, Ringkasan Laporan Hasil
Penelitian "Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan" http://www.ditpertais.net/istiqro/ist02-03.asp,
access, selasa, 3/2/3009, jam. 11.45 wib
[13] Kekerasan di Dunia Pendidikan, http://www.bloggaul.com/foksraad/readblog/74581/kekerasan-dalam-dunia-pendidikan, Diterbitkan Mei 14, 2007 access, selasa, 3/2/2009, jam. 11.30 wib.
[14] Kekerasan di Dunia Pendidikan, http://www.bloggaul.com/foksraad/readblog/74581/kekerasan-dalam-dunia-pendidikan, Diterbitkan Mei 14, 2007 access, selasa, 3/2/2009, jam. 11.30 wib.
[15]
Anwari
WMK,
Sebuah Refleksi http://www.jubilee-school.net/jubilee/index.php?option=com_
content& task=view&id= 213&Itemid=38, access, selasa,
3/2/2009, jam. 05.00 wib.
[16] Artikel: Pendidikan tanpa Kekerasan From:http://beutyreligi. wordpress. Com/2007/06/07/pendidikan-tanpa-kekerasan/, access, selasa, 3/2/2009, jam. 12.45 wib.
[17] Artikel: Pendidikan tanpa Kekerasan From:http://beutyreligi. wordpress. Com/2007/06/07/pendidikan-tanpa-kekerasan/, access, selasa, 3/2/2009, jam. 12.45 wib.
[18] Seto Mulyadi, Suses dan
Profesional Sebagai Guru, makalah
disampaikan dalam seminar nasional tentang Reaktualisasi Pendidikan Tanpa Kekerasan, Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu
Agama Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Sabtu, 21 Februari 2009, hlm.4-5.
[19] Guru Gunakan Kekerasan, Ketinggalan Zaman, From:http://www.indoforum.org/showthread. php?t=65709,access,
selasa, 3/2/2009, jam. 12.30 wib.
[20] Guru Gunakan Kekerasan, Ketinggalan Zaman, From:http://www.indoforum.org/showthread. php?t=65709,access,
selasa, 3/2/2009, jam. 12.30 wib.
[21] Kekerasan di
Dunia Pendidikan, http://www.bloggaul.com/foksraad/readblog/74581/kekerasan-dalam-dunia-pendidikan,
Diterbitkan Mei
14, 2007 access, selasa, 3/2/2009, jam. 11.30 wib.
[22] Baca: Sri Hartati Samhadi, Budaya Kekerasan di Lembaga Pendidikan,
From: http://www2.kompas.
com/kompas-cetak/0704/14/Fokus/3456065.htm, access, selasa, 3/2/2009, jam.10.30
wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar