Minggu, 20 Agustus 2017

MATERI KULIAH ISU-ISU PENDIDIKAN ISLAM: MENGAPA HARUS ADA KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN




MENGAPA HARUS ADA KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN?
(Pendidikan Tanpa  Kekerasan  antara  Idealitas dan Realitas)

Oleh: Hujair AH. Sanaky[1]


1. Pendahuluan
Bangsa kita sesungguhnya bangsa berbudaya, bangsa berbudi halus, bangsa yang toleran, bangsa yang tepaseliro.   Para leluhur, nenek moyang kita, telah meninggalkan instrumen-instrumen budaya, bahasa, budi pekerti, sopan santun, tenggang rasa,  yang sesungguhnya tidak untuk menjadikan anak bangsa ini berjiwa keras, hoby, suka pada kekerasan, brutal, dll.  Kenapa mutiara-mutiara instrumen tersebut sekan-akan hilang, teggelam ditelan laut dari kehidupan bangsa ini, apabila kita menyaksikan berbagai tayangan televisi dan berbagai berita di media cetak, mengenai bentuk-bentuk tindak kekerasan yang dilakukan masyarakat.[2]  
Fenomena tindak kekerasan akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian serius  para pakar pendidikan, pendidik dan orangtua. Pemerintah pun telah merespon persoalan di atas dengan pelbagai peraturan perundangan yang lebih responsif, seperti UU Perlindungan Anak (UU PA), UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU RKDRT). Kenyataannya tidak secara otomatis akan menghapus tindak kekerasan bahkan kejahatan kemanusiaan tersebut, bahkan terkesan terus berlanjut, intensitasnya makin meningkat dengan motif semakin beragam,  bukan hanya kekerasan  fisik, tetapi juga kekerasan psikis.
Di era reformasi dan globalisasi ini,  banyak sekali kejadian-kejadian yang sangat ironis, menyedihkan dan memalukan menimpa bangsa kita terutama dalam dunia pendidikan.  Tentu saja sangat tidak sesuai dengan tujuan, visi dan misi pendidikan nasional bangsa ini yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.   Tujuan pendidikan nasional tersebut sangat mulia,  tapi pendidikan dengan bentuk kekerasan yang ada di bangsa kita ini selalu saja ada dan tanpaknya belum dapat terselesaikan dan hilang.[3]  

Kekerasan anak di Indonesia tidak semakin berkurang, tetapi meningkat dari tahun ke tahun.   Kekerasan telah terjadi di masyarakat dan lembaga pendidikan, baik yang bersifat verbal maupun kekerasan fisik yang selalu merebah dan ditayangkan oleh beberapa stasium TV.  Seakan-akan perilaku kekerasan sudah melembaga dan terstruktur. Katakan saja, setiap tahun akademik baru mesti saja kita mendengar bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi dari kampus-kampus karena acara perplocoan.  Sekarang ini, kita menyaksikan tontonan paling mutahir yaitu telah terjadi kekerasan di SMUN 1 Timika Papua yang didisain oleh seorang guru BP dengan memberikan sarung tinju kepada dua orang siswa putri untuk bertarung seperti layaknya di atas ring tinju,  bertindak segai wasit adalah seorang guru BP dan ditonton semua siswa.  Kejadian ini direkan oleh seorang siswa dengan menggunakan telepon genggam.  Bentuk kekerasan lain yang dilakukan oleh kepolisian dan tentara di tempat latihan dan di asrama. Di Palu,  dimana  3 oknom polisi dihajar oleh seniornya yang tak patut ditiru. Meskipun pada akhirnya dibantah bahwa itu hanya rekayasa, sandiwara, skenario, tapi dampaknya tidak baik untuk pencitraan korps. Artinya, sesamanya saja dapat melakukan tindakan kekerasan apalagi dengan orang lain.  Kekerasan yang terjadi diantara senior dan yunior di Kodam Pattimura Ambon. Mungkin saja kita bertanya dengan nada yang menyedihkan, mengapa kekerasan ada di mana-mana?  Apa ada sesuatu yang salah pada bangsa ini atau ada sesuatu yang hilang pada bangsa ini.

Ada apa dengan bangsa ini, apakah pilar-pilar budaya, moral, etika, akhlak sudah hilang dari kehidupan bangsa ini.   Mengapa dan kenapa kekerasan ada di mana-mana dan terjadi di mana saja.  Apakah sistem pendidikan kita tidak mampu lagi menghasilkan manusia-manusia yang berbudaya, berbudi, bermoral, berakhlak.  Ataukah pendidikan budi pekerti yang mendidik kehalusan, sopan santun, menghargai yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, menghormati hak-hak asasi, seakan-akan hilang dari lembaga-lembaga pendidikan. Apakah sekolah-sekolah hanya mengajarkan pendidikan budi pekerti dalam bentuk pendidikan kognitif semata atau mungkin saja di sekolah-sekolah tak kelihatan diajarkan lagi.  Sehingga lahir anak bangsa yang tidak perduli dengan orang lain, keras, kurang santun,  yang penting apa mau kita, harus diikuti dan tidak boleh dihalang-halangi atau dibatas-batasi.   Bila demikian kondisnya, maka bangsa ini dalam kondisi sakit,  kita harus sedih dan prihatin, sebab kerinduan pada perilaku bangsa yang tidak primitive, tidak brutal, tidak bar-barian, tidak demonstrative, tapi perilaku bangsa yang berbudaya, santun, penuh toleransi menjadi kian terasa.   

 

2.  Mengapa Kekerasan Ada di Mana-mana

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merumuskan kekerasan sebagai penggunaan kekatan atau daya fisik yang disengaja, yang merupakan ancaman terhadap diri sendiri, orang lain, atau terhadap sebuah kelompok, sehingga berakibat atau kemungkinan besar mengakibatkan cedera, kematian, atau bahaya fisik (WHO, 2002: 5). Jack D. Douglas dan Frances Chalut Waksler, istilah kekerasaan (violence) dipakai untuk menggambarkan tindakan atau perilaku, baik secara terbuka (over) maupun tertutup (covert) dan baik yang sifatnya menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive), yang diikuti dengan penggunaan kekuatan fisik terhadap orang lain.

Kekerasan telah terjadi dimana-mana, mungkin saja kita menyaksikan tayangan televisi dan media cetak mengenai berbagai bentuk kekerasan yang dialakukan di masyarakat, antar pelajar, mahasiswa, sampai dilembaga kepolisian dan tentara.  Kita menyaksikan perkalihan mahasiswa antar kampus dan demontrasi mahasiswa yang selalu menampilkan kekerasan untuk menpacai tujuan tuntutan mereka kepada pimpinan lembaga perguruan tinggi, padahal  lembaga ini bertujuan untuk mencetak intelektual bangsa.   Perkalian atau tauran masal antara siswa dibeberapa kota yang dipertontonkan.  Tidak cuma kekerasan antar pelajar dan mahasiswa terjadi.   Bahkan gurupun mengasari murid, menghukum murid yang tidak wajar, guru merekayasa perkelahian, sehingga terekam oleh alat canggih siswa.  Kita melihat bentuk kekerasan ditambah anarkis dari masyarakat di DPRD Sumatera Utara yang berbuntut dengan meninggalnya Ketua DPRD Sumatera Utara.  Menyaksikan bentuk-bentuk kekerasa yang terjadi di kepolisian dan tentara di tempat-tempat latihan, kantor, dan diasrama. Contoh-tontoh tersebut tidak patutut ditiru, sebab menggambarkan tindakan primitifisme, bar-barianisme, brutalisme, dll.    


Penyebab lain adalah perilaku para pemimpin masyarakat dan tokoh panutan sendiri juga tidak memberi contoh yang baik.  Selain itu, peran media sendiri juga menentukan,  terutama tayangan TV pun berperan besar dalam ikut menyebarkan perilaku kekerasan, dengan berlomba-lomba mempertontonkan program-program berbagai perilaku kekerasan, termasuk dalam berita yang terus menerus di tayangankan beberapa TV dengan mempertonkan gambar perilaku kekerasan.  Sinetron remaja, juga semakin berdarah-darah, semakin hot, dan semakin banyak menarik pemirsa[4]  dan lepas dari unsur educasi.  Nah pada era keterbukaan ini, kelihatannya kekerasan menjadi tontonan atau komoditas tersendiri dan menarik yang dapat dijual di tengah masyarakat yang sakit.

 

Apapun penyebabnya, apapun alasannya,  berbagai tindak kekerasan yang terjadi di institusi pendidikan kita itu jelas memprihatinkan, mengharukan dan bahkan memalukan.  Para pelajar merupakan generasi penerus bangsa ini, mereka adalah para calon pemimpin bangsa dan negara ini.  Bila semasa belajarnya mereka terbiasa dengan perilaku kekerasan, baik aktif (terlibat langsung) maupun pasif (menyaksikan), maka dapat dipastikan cara-cara kekerasan itu pulalah yang akan mereka tempuh untuk menyelesaikan segala perbedaan ketika mereka sudah di masyarakat atau di lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta.

Mungkin saja, kita tidak dapat menyalahkan seluruhnya kepada mahasiswa atau siswa.  Sebab berbagai aksi kekerasan yang mereka lakukan seringkali penyebabnya justru dari para orang tua atau guru.  Katakan saja, di SMUN 1 Timika Papua, seorang guru BP menjadikan dua orang siswi seperti berada di atas ring tinju.  Selain itu,  kekerasan sering terlihat di sejumlah kampus lain biasanya terjadi lantaran mahasiswa lebih dipandang sebagai objek dan bukan subjek. Segala keputusan yang menyangkut perguruan tinggi, terutama mahasiswa, acapkali diambil secara sepihak oleh rektorat tanpa melibatkan mahasiswa.  Begitu pula kekerasan yang berlangsung di sekolah-sekolah, para guru seolah punya hak prerogatif memutuskan dan berbuat sesukanya terhadap para siswa yang dianggap mbeling.

Bila semua ini terus berlangsung di institusi-institusi pendidikan kita, lantas apa jadinya bangsa dan negara ini. Hukum hanya akan menjadi asesoris. Sedangkan yang berlaku hukum rimba, adu otot, dan anarkisme. Berbeda pendapat tentu saja boleh. Berunjuk rasa juga boleh. Bahkan yang terakhir ini merupakan salah satu ciri demokrasi. Yang tidak boleh adalah menyelesaikan perbedaan pendapat dengan kekerasan dan anarkisme. Karena itu, barangkali ada baiknya bila tema-tema seperti demokrasi, menghargai pendapat orang lain, dan penyelesaian perbedaan pendapat dijadikan kurikulum di kampus-kampus dan sekolahan kita.  Tentu saja para ‘orang tua’, pimpinan lembaga pendidikan, dosen, guru-guru, harus menjadi teladan terlebih dulu.

Kontrol sosial dengan cara memberi sanksi kepada siswa yang melanggar aturan atau tata tertib sekolah sudah sesuai. Tapi saja, efektivitasnya masih dipertanyakan, karena sangat terkait dengan lingkungan di dalam dan di luar sekolah yang mendukung tujuan hukuman tersebut.  Dalam upaya membentuk perilaku yang berkaitan dengan pendidikan moral dan kedisiplinan merupakan pembahasan yang banyak dikaji dalam pendidikan.  Cara yang biasa digunakan adalah dengan menghukum siswa mulai dari yang ringan berupa ungkapan verbal yang “menyakitkan”, hingga tidak jarang siswa mendapatkan hukuman fisik yang tidak sepadan dengan kesalahan siswa.   Pendidikan semestinya dapat memberikan pencerahan dan bimbingan terhadap hukuman yang belum humanis.  Pendekatan dan strategi yang dilakukan tersebut memang berbeda dengan konsep pendidikan konvensional tentang reward and punishmen yang pada dasarnya berfungsi sebagai sebagai reinforcerment.

3.  Bagaimana Pendidikan Meredam Kekerasan
Pendidikan merupakan proses dimana bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupannya[5] di masa depan. Pendidikan adalah suatu proses menaburkan benih-benih budaya dan perdaban manusia yang hidup dan dihidupi oleh nilai-nilai atau visi yang berkembang dan dikembangkan di dalam suatu masyarakat. Inilah pendidikan sebagai suatu proses pembudayaan.[6]   Sedangkan pendidikan dalam perspektif UU 20 Tahun 2003, didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[7]   Dalam perspektif yang sama, pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Begitu mulia tunjuan pendidikan tersebut diselenggarakan di Indonesia, yang tersurat dalam UU tersebut. Namun pertanyaan kita, kenapa praktek kekerasan itu terus menerus terjadi di masyarakat dan di dunia pendidikan kita? Apakah ada sesuatu yang salah dari sistem pendidikan dan kehidupan kita di Indonesia?  Bila dicermati, memang ada beberapa penyebab yang dapat mendasarinya, yaitu:  Pertama, dari pengajar itu sendiri, masih cukup banyak para pengajar, bahkan di sekolah-sekolah negeri yang cukup ternama, melakukan praktek kekerasan seperti menampar, menjewer atau mencubit dan yang paling sering dilakukan adalah intimidasi secara psikologis kepada para peserta didiknya   Kedua, adalah terjadi perilaku feodalisme, perilaku ini masih tumbuh subur di hampir seluruh lembaga pendidikan.  Perilaku ini  dimulai dengan dari kegiatan yang namanya ospek dan atau sejenisnya. Tendensinya adalah mengekalkan praktek feodalisme di lembaga pendidikan yang berbuntut pada perilaku kekerasan. Seharusnya institusi pendidikan berfungsi untuk membentuk manusia-manusia merdeka yang berjiwa demokratis.  Kenapa konsep feodalisme yang pertama kali ditanamkan ketika anak mulai sekolah dan masuk kampus. Apapun alasannya, untuk pengenalan dan membangun mental  untuk siap masuk sekolah atau kuliah. Kegiatan tersebut membangun sikap feodalisme untuk pertama kalinya.  Ketiga, adalah penegakkan hukum yang masih minimal.  Inilah yang kemudian melanggengkan seluruh struktuk dan praktek kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan.   Kontrol dan pengawasan institusi pendidikan sangat lemah,  sehingga lembaga pendidikan secara institusional maupun pimpinannya secara personal tidak mengetahui praktek kekerasan dan premanisme yang terjadi di lembaga yang dipimpinnya.  Keempat,   bagi orang tua, perlu melakukan control dan pengawasan terhadap putra-putrinya.  Orang tua diharapkan dapat membuka komunikasi dua arah yang jujur dan terbuka untuk anak menjadi penting dan perioritas.  Harus ada keberanian melakukan tindakan untuk melawan praktek kekerasan, terus menerus disuarakan,  baik di forum kumpul-kumpul, seminar, diskusi, atau bila perlu menggugat.[8]
Hasil seminar nasional Reaktualisasi Pendidikan Tanpa Kekerasan, yang dilaksanakan oleh Prodi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Universitas Islam Indonesia, pada tanggal 21 Februari 2009, menyimpulkan (1) Stop kekerasan dalam dunia pendidikan, karena tidak sesuai dengan visi dan misi pendidikan; (2) anak harus dipandang sebagai siswa, sebagai guru, sekaligus sebagai teman; (3) guru sebagai tenaga profesioal dituntut untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, memanusiakan, dan memberdayakan potensi anak dengan memperhatikan varian kecerdasan anak, (4) strategi pembelajaran yang digunakan diupayakan agar menciptakan setting pembelajaran dan lingkungan belajar yang ramah, tidak ada ketegangan dalam pembelajaran sehingga memudahkan anak menerima informasi yang disampaikan, (5) perlu reformulasi tentang reward dan punishment dalam praktik pendidikan di keluarga, sekolah dan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip dalam ajaran Islam dan dilakukan secara bertahap serta disesuaikan dengan tingkat kesalahan yang dilakukan.[9]

Dari hasil seminar tersebut, mungkinkah pendidikan kita dapat meredam kekerasan?  Pertanyaan ini cukup mendasar yang harus dijawab oleh lembaga pendidikan di Indonesia.  Untuk melaksanakan pendidikan tanpa kekerasan diperlukan penanaman nilai-nilai dan perilaku prasosial, mendisiplinkan peserta didik dengan cara yang positif, dan mengajarinya menyelesaikan masalah konflik tanpa kekerasan dengan diikuti pedoman yang jelas dan mengikat bagi guru dan peserta didik, serta pengawasan kooperatif oleh komunitas sekolah, orangtua dan tokoh masyarakat. Hal ini semestinya dilakukan agar dapat mengatasi tindak kekerasan, seperti tawuran antar pelajar dan tindak kejahatan serta kekerasan lain yang sering terjadi di sekolah dan luar sekolah.

Bila dilihat dari sering terjadi perilaku kekerasan,  ada beberapa indikator model kekerasan, yaitu:  Pertama, kekerasan terbuka,  kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain yang dapat dilihat dan diamati secara langsung, seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa, dan yang berkaitan dengan tindakan fisik lainnya. Kedua, kekerasan tertutup, kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain secara tersembunyi, seperti mengancam dan intimidasi. Ketiga, kekerasan agresif,  kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain dengan tujuan mendapatkan seseuatu, seperti perampokan, pemerkosaan, dll.   Ketiga indikator model kekerasan di atas selalu menjadi langganan dalam dunia pendidikan kita saat ini.  Kekerasan tidak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif.  Namun tak dapat dihindari, di lembaga ini ternyata masih sering terjadi tindakan yang sifatnya destruktif.
Dalam melihat fenomena ini, terdapat beberapa analisa yang dapat diajukan untuk mencermati pemicu terjadinya kekerasan dalam dunia pendidikan. Pertama, kekerasan dalam dunia pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman terutama berupa hukuman fisik. Kedua, kekerasan dalam dunia pendidikan dapat terjadi akibat buruknya sistem dan kebijakan dunia pendidikan yang berlaku.   Kurikulum dunia pendidikan di negeri ini ternyata lebih mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan aspek pendidikan yang efektif sehingga proses humanisasi dalam pendidikan menjadi sesuatu yang jauh dari harapan. Mengabaikan pendidikan budi pekerti yang mendidik kehalusan, sopan santun, menghargai yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, menghormati hak-hak asasi.[10] Ketiga, mungkin saja sistem pendidikan kita menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang tertekan, tidak kritis, bertindak dan berpikir dalam acuan suatu struktur kekuasaan yang hanya mengandalkan kepentingan sekelompok kecil rakyat Indonesia. [11]  Keempat, kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang sarat dengan aksi-aksi kekerasan dan ditayangkan secara berlebih-lebihan.. Kelima, kekerasan dalam pendidikan merupakan cerminan dalam perkembangan kehidupan masyarakat kita yang mengalami transformasi begitu cepat  sehingga membuka ruang bagi timbulnya sikap instant solution.  Keenam, kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku.[12]
Tumbuh dan berkembang kekerasan dalam dunia pendidikan juga terjadi karena sistem yang telah melembaga.  Kekerasan telah menjadi suatu cultur organisasi, tersistematis, terstruktur dalam lembaga pendidikan. Tesis ini dapat dapat kita buktikan dengan melihat fenomena yang terjadi di beberapa lembaga pendidikan.  Dengan merajalelan irasionalitas dalam bentuk kekerasan dalam pendidikan, menunjukkan betapa lemahannya sistem pendidikan kita.  Kelemahan sistem ini terjadi karena lemahnya kepemimpinan dalam lembaga tersebut. Lemahnya kepemimpinan diakibatkan oleh tidak jelasnya visi pendidikan kita.  Jika keadaan ini terus berlangsung, maka perilaku dan tindak kekerasan dalam pendidikan tidak dapat diretas.  Daftar kekecewaan kita juga diperpanjang dengan unculnya kasus-kasus kekerasan yang melibatkan oknom guru dan murid, bahkan  di lingkungan kampus ada kekerasan secara turun-temurun yang disebut perploncon dilakukan oleh senior pada yuniornya secara sistematik dan tersktruktur. 
Agar perilaku kekerasan dalam pendidikan dapat diredam,  harus ada visi pendidikan yang jelas dan sistem pendidikan yang terbuka atas kontrol publik. Mayarakat mempunyai hak untuk mengetahui bagaimana sistem pendidikan dan pembinaan dalam lembaga pendidikan. Untuk menciptakan lembaga pendidikan yang terbuka atas control public dibutuhkan tiga syarat. Pertama, dibutuhkan figur pemimpin berkarakter yang mempunyai visi pendidikan yang jelas dan dapat menciptakan struktur dan kultur pendidikan yang sehat. [13]  Kedua, memiliki kemampuan managemen yang memadai untuk mengatur dan mengontrol berbagai kegiatan siswa disekolah. Ketiga, setiap lembaga pendidikan harus mempertanggungjawabkan kinerjanya terhadap pemangku kepentingan, yaitu orangtua dan masyarakat.[14]  
 Institusi pendidikan merupakan sebuah ranah (domain) sosial yang diharapkan mampu berperan sebagai kawah candradimuka untuk lahirnya intelektualitas, moralitas, orde kehidupan yang menjunjung tinggi perdamaian, kebebasan, dan demokratis.  Upaya ke arah ini harus dilakukan melalui pembelajaran yang menyenangkan, memanusian, dan memberdayakan potensi siswa,  terhadap humaniora, ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan.  Itulah sebabnya, institusi pendidikan dieksplisitkan sebagai center of excellence bagi terwujudnya pembedayaan potensi anak, humanisme yang transendental.  Maka dengan sendirinya, sebuah institusi pendidikan berarti sebuah lingkungan yang jauh lebih berwibawa dibandingkan dengan lingkungan pabrik, bengkel, pasar, hotel dan atau dibandingkan barak militer.  Ini karena, secara eksistensial, setiap manusia dalam lingkungan pendidikan didorong mengenal hakikat kemanusiaan dirinya secara utuh, potensi dirinya dengan berbagai varian potensi yang dimiki, serta belajar menerima keberadaan orang lain dengan prinsip tepaselira.  Itulah mengapa, pembudayaan akal budi dalam dunia pendidikan seiring dan sejalan dengan pengukuhan hati nurani dan dalam dunia pendidikan itulah intelektualitas berfungsi merawat hati nurani,[15] dan  merawat perilaku.
Berdasarkan uraian di atas, pertanyaannya adalah  dari mana harus dimulai untuk meredam perilaku kekerasan yang membudaya ini.  Menurut penulis, harus dimulai dari tiga lingkungan pendidikan yaitu mulai dari lingkungan rumah atau keluarga,  sekolah,  dan masyarakat.  Ketiganya memiliki hubungan interalasi  dalam upaya meredam kekerasan.  Hubungan tersebut dapat digambarkan pada diagram di bawah ini.




 
















Pertama, di lingkungan rumah atau keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat.  Orang tua mulai melakukan pembiasaan perilaku dan contoh-contoh perilaku yang baik dengan pembiasaan sikap moral, akhlak, sopan santun, menciptakan sikap disiplin, sikap menghargai sesamanya,  sikap menghargai pendapat walaupun berbeda, menghormati yang tua, menyangi yang muda, dan menghindari tindakan kekerasan dalam lingkungan keluarga.  Sudah barang tentu dalam pembelajaran di lingkungan keluarga, anak cenderung mencontoh perilaku yang terjadi di rumah, menjadi kebiasaan, menjadi perilaku, dan membudaya.
Dalam konteks ini,  banyak orang tua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan ini adalah bagian dari upaya  mendisiplinkan anak. Tapi di sisi lain, mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya.   Memang bila dicermati,  “kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan keluarga menduduki porsi terbesar dalam kasus kekerasan yang menimpa anak-anak pada rentang usia tiga sampai 18 tahun”.  Maka sudah barang tentu dalam proses belajar ini, anak cenderung melakukan kesalahan.  Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, tentu saja anak akan lebih mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau tidak patut.[16]   Tapi di sisi lain,  pada hakekatnya kekerasan orang tua terhadap anaknya boleh dilakuakan, asalkan tidak melanggar norma-norma yang ada di masyarakat dengan dalih supaya anak patuh pada orang tua.  Karena anak adalah titipan dari sang Ilahi mestinya harus kita jaga sebaik mungkin dan sudah seharusnya kita didik setinggi mungkin jangan samapai telantarkan.[17]
Kedua, di sekolah, berusaha membangun dan mengembangkan rana kognitif, afeksi, dan psikomotorik anak dalam pembelajaran. Para guru berusaha membangun  model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centre) dengan mengoptimal semua potensi siswa, memanusiakan, menyenangka dengan memperhatikan varian kecerdasan yang dimiliki siswa.    Menurut Howard Gardner dalam bukunya Multiple Intelligences, yang dikutip Seto Mulyadi, menyatakan bahwa skala  kecerdasan yang selama ini dipakai ternyata memiliki banyak keterbatasan sehingga kurang dapat meramalkan kinerja yang sukses untuk masa depan seseorang.  Menurut  Gardner, kecerdasan seseorang meliputi unsur-unsur: kecerdasan matematika-logika, kecerdasan bahasa, kecerdasan musikal,  kecerdasan visual, kecerdasan kinestetik, kecerdasan inter-personal, kecerdasan intra-personal, dan kecerdasan naturalis.[18]  Dengan mengetahui varian kecerdasan tersebut, para guru didorong untuk dapat memahami jenis kecerdasan murid-muridnya, sekaligus dapat mengajarkan meteri pelajaran dan mengembangkan serta memberdayakan murid-muridnya sesuai dengan jenis kecerdasan tersebut.
Respons sekolah terhadap fenomena kekerasan sendiri bermacam-macam.  Beberapa sekolah yang sangat maju sudah menciptakan sistem yang cukup efektif untuk mengurangi insiden-insiden kekerasan dan memberi dukungan pada korban kekerasan. Tapi sampai kini ada sejumlah guru masih menganggap atau merasa bahwa hukuman fisik sebagai strategi dalam pembelajaran untuk menegakkan wibawa guru di mata murid. Maka, guru sengaja membuat atau mengkondisikan suasana agar murid takut pada guru. Maka setelah terkondisi rasa takut, si murid akan mau melaksanakan perintah gurunya. Menurut guru,  yang penting si murid tidak berani berkutik di hadapan guru demi wibawa.  Bahkan sangat ironis sekali, ada sebagian guru yang bangga jika ditakuti murid.  Paradigma hukuman menjadi fenomena bagi sebagian guru yang kurang percaya diri dan kurang mampu untuk mengelola pembelajaran,  sehingga menurut mereka  "tanpa hukuman, murid tidak akan disiplin," murid tidak patuh, kata guru yang masih menggunakan cara kekerasan dalam memberi pelajaran kepada siswa.
Kekerasan dalam dunia pendidikan tampaknya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: Pertama, menyiksa fisik yakni menyakiti siswa dengan cara menjewer, menendang, memukul, menempeleng, mencubit, sampai menjambak rambut. Konon strategi ini digunakan oleh guru zaman penjajahan sampai beberapa waktu kemudian.  Kini, guru membawa kayu atau alat pemukul lainnya untuk menyakiti fisik siswa bukan zamannya lagi. Mestinya hukuman menyehatkan fisik si anak atau yang bersifat mendidik -- membuat siswa lebih pintar dengan hukuman, bukan malah membuat si anak harus berobat gara-gara hukuman. Keberhasilan masa lalu dengan kekerasan bukan terletak pada cara kekerasan itu, melainkan motivasi peserta didik memang tinggi dalam belajar.  Kedua, membunuh karakter dengan meneror mental si anak. Misalnya, anak tidak diberikan ikut pelajaran gara-gara terlambat, tanpa ditanyakan terlebih dahulu penyebab keterlambatan itu. Anak tidak diberikan ikut pelajaran gara-gara belum bayar uang sekolah, padahal bayar uang sekolah menjadi urusan orangtua. Kalau belum bayar uang sekolah mestinya orangtualah yang dipanggil ke sekolah untuk memberikan keterangan soal keterlambatan pembayaran.[19]
Cara-cara tersebut telah menutup komunikasi, menutup dialog, diskusi  dengan siswa yang berkait dengan kesalahan yang dilakukan. Anak harus menerima hukuman, padahal mereka ingin menyampaikan kejadian yang sesungguhnya.  Dalam kondisi ini, bahkan bukan si anak saja yang menjadi sasaran maran dan dimaki, tapi kadang orangtua pun disebut-sebut dan diseret-seret dalam kasus siswa di sekolah.  Apa begitu diajar sama orangtuamu?    Saya tidak peduli walau orangtua-mu berpangkat tinggi  sekalipun.  Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa guru itu sudah arogan, kehilangan kendali, dan  kehilangan akal dalam mendidik. 
Kondisi di atas, menunjukkan hanya saja guru yang kehabisan akal, kurangan ide, kurang strategilah yang masih menggunakan kekerasan dalam mendidik dan menyelesaikan masalah siswanya.  Maka pembelajaran dengan strategi kekerasan sudah waktunya untuk ditinggalkan, dihentikan, sebab refrensi (landasan teori) yang mendukungnya sulit ditemukan, dan bahkan  tidak ada dalam kamus teori pendidikan dan teori mendidik.  Maka sebuah gagasan maupun strategi pembalajaran akan dianggap baik jika ada teori yang mendukung, seperti halnya dalam karya tulis ilmiah.[20]
Dengan demikian konsep pendidikan humanis dan pemberdayakan potensi anak harus dilakukan dalam pembelajaran. Sebab pendidikan adalah ilmu normatif, maka fungsi institusi pendidikan adalah menumbuhkan etika dan moral subjek didik ke tingkat yang lebih baik dengan cara atau proses yang baik pula serta dalam konteks positif. Adanya beberapa bentuk kekerasan dalam pendidikan yang masih merajalela merupakan indikator bahwa kegiatan pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan disinilah urgensi humanisasi pendidikan.
Humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi bangsa yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual, bukan malah menciptakan individu-individu yang berwawasan sempit, tradisional, pasif, dan tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi.  Perilaku kekerasan pada dasarnya adalah insting primitf manusia untuk bertahan hidup dan menunjukan kekuatan dan kekuasaan serta sebagai saluran ekspresi dan emosi yang terpendam. Hal inilah yang terjadi dalam dunia pendidikan kita saat ini sehingga terjadi dekadensi kemanusiaan. Tim evaluasi yang dibentuk oleh presiden diharapkan dapat menghumanisasi kembali dunia pendidikan kita.[21]
Ketiga,  lingkungan masyarakat,  adalah tempat anak belajar bersosialisasi, belajar bergaul,  mengenal kebiasaan, mengenal aturan dan norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakat.   Sudah barang tentu dalam proses belajar ini, anak cenderung meniru kebiasaan atau contoh-contoh yang diperoleh di lingkungan masyarakat.   Mungkin saja bagi sebagian orang, menganggap kekerasan yang terjadi di masyarakat adalah hal yang wajar.  Kerana mereka beranggapan ini adalah bagian dari dinamika kehidupan dalam bermasyarakat. Tapi mungkin saja, mereka lupa bahwa di lingkungan masyarakat adalah tempat bermasyarakat, bergaul, bersosialisasi yang akan membentuk sikap dan tingkah laku seseorang.
Hal-hal yang sering terjadi di lingkungan masyarakat adalah bentuk tindakan yang dapat berupa kekerasan verbal, seperti ejekan, hinaan, fitnah, mengancam, dan membuat komentar-komentar berbau rasis, dan kekerasa secara mental atau psikologis, seperti mengucilkan, mempermalukan di depan umum, meneror lewat telepon genggam, membentak, dan sebagainya, serta tindakan fisik, memukul, menampar, menendang, meludahi,  dan sebagainya.   Memang pelaku biasanya sengaja menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikologis, untuk mendapatkan kepuasan karena merasa lebih berkuasa sehingga target biasanya orang yang lebih lemah dan tidak cukup memiliki dukungan sosial untuk melawan. [22]  Hal lain adalah perilaku para pemimpin masyarakat dan tokoh panutan sendiri juga tidak memberi contoh yang baik.  
Peran media (terutama TV dan Surat Kabar) pun ikut menyebarkan kekerasan, dengan berlomba-lomba mengeksplitir berbagai berita bentuk kekerasan.  Dalam siaran TV,  kita dapat menyaksikan para tokoh yang berdebat dan saling mengancam, karena mempertahan pandangan dan prinsipnya.  Tayangan TV juga selalu menayangkan perkelahian antar pelajar, perkelahian antar mahasiswa, perkelahian antar desa, perkelahian antar sporter bola, pengrusakan rumah warga karena berbeda aliran, perkelahian antar anggota demostrasi yang menuntut pembubar suatu aliran tertentu.    Berita-berita tersebut didesain sedemikian besar-besaran dan ditayangkan secara berulang-ulang,  sehingga semakin menarik pemirsa. Tanpaknya bentuk perilaku kekerasan menjadi tontonan atau komoditas tersendiri yang bisa dijual di tengah masyarakat.  Sunggung ironisnya bangsa ini, yang medianya kurang selektif terhadap hal-hal yang tidak perlu diekspolitir secara besar-besaran dan berlebih-lebihan.    


4.    Penutup
Kata akhir dari tulisan ini, segera hentikan bentuk kekerasan apapun,  baik dilingkungan sekolah, lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat.  Ciptakan budaya yang santun dan sopan, berbudi halus, sikap toleran dan tepaseliro.
Pendidikan kita harus mampu melahirkan manusia-manusia yang berbudaya, berbudi, bermoral, berakhlak. Oleh karena itu, pendidikan budi pekerti yang mendidik kehalusan, sopan santun, menghargai yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, menghormati hak-hak asasi, harus didesan dalam kurikulum l pendidikan yang lebih bersifat aaplikatif.
Para guru harus menghentikan paradigma hukuman fisik sebagai strategi dalam pembelajaran untuk menegakkan wibawanya di mata murid.  Ciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan, memanusiakan, dan memberdayakan potensi anak.  
Pendidikan budi pekerti dan melalui keteladanan seorang guru di sekolah ataupun pembinaan yang lebih intesif terhadap kegiatan-kegiatan siswa dalam wadah ekstrakurikuler kiranya dapat mencegah aksi-aksi kekerasan yang dilakukan kalangan pelajar.    
Pemerintah atau KPI  harus dapat menunjukkan taringnya dalam menindak tegas stasiun-stasiun siaran televisi yang masih menayangkan acara yang mengandung kekerasan atau perilaku-perilaku amoral lainnya.


DAFTAR BACAAN


Anwari WMK, Sebuah Refleksi http://www.jubilee-school.net/jubilee/index. php?option=com_ content& task=view&id= 213&Itemid=38, access, selasa, 3/2/2009, jam. 05.00 wib.


Artikel: Pendidikan tanpa Kekerasan From:http://beutyreligi. wordpress. Com/2007/06/07/pendidikan-tanpa-kekerasan/, access, selasa, 3/2/2009, jam. 12.45 wib.


Assegaf, Abd. Rachman,  dkk, Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan, Ringkasan Laporan Hasil Penelitian "Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan" http://www.ditpertais.net/istiqro/ist02-03.asp, access, selasa, 3/2/3009, jam. 11.45 wib

Guru Gunakan Kekerasan, Ketinggalan Zaman, From:http://www. indoforum. org/showthread. php?t=65709,access, selasa, 3/2/2009, jam. 12.30 wib.

Hasil Seminar Nasional, Reaktualisasi Pendidikan Tanpa Kekarasa, Prodi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 21 Februari 2009.

Komentar: Ancaman Kekerasan di Lembaga Pendidikan, Nopember 26, 2007, http://anggara.org/2007/11/26/ancaman-kekerasan-di-lembaga-pendidikan/, access, selasa, 3/2/2009, jam. 05.00 wib.


 

Kekerasan di Dunia Pendidikan, http://www.bloggaul.com/ foksraad/ readblog/ 74581/kekerasan-dalam-dunia-pendidikan, Diterbitkan Mei 14, 2007 access, selasa, 3/2/2009, jam. 11.30 wib.


Mulyadi, Seto,  Suses dan Profesional Sebagai Guru, makalah disampaikan dalam seminar nasional tentang Reaktualisasi Pendidikan Tanpa Kekerasan, Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Sabtu, 21 Februari 2009.

Pendidikan tanpa Kekerasan, From: http://beutyreligi.wordpress.com/2007/ 06/07/pendidikan-tanpa-kekerasan/, access, selasa, 3/2/2009, jam. 12.45 wib.

Samhadi, Sri Hartati, Budaya Kekerasan di Lembaga Pendidikan, From: http://www2.kompas. com/kompas-cetak/0704/14/Fokus/3456065.htm, access, selasa, 3/2/2009, jam.10.30 wib

Sanaky, Hujair AH., 2015, Pembaruan Pendidikan Islam, Paradigma, Tipologi, dan Pemetaan Menuju Masyarakat Madani Indonesia,  Yogyakarta: Kaukaba Dipantara.

Surat Kabar Kedaulatan Rakyat, Mengapa Kekerasan Ada di Mana-mana?, Opini, Tajuk Rencana Kedaulatan Rakyat, Kamis, 26 Februari 2009, hlm14.

Tilaar, H.A.R., Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999).

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.

 

 

 

 




[1]  Hujair AH. Sanaky, Dr. MSI, adalah Dosen Program Pascasarjana FIAI UII dan Dosen  Prodi  Pendidikan Agama Islam FIAI UII Yogyakarta.
[2]  Baca: Surat Kabar Kedaulatan Rakyat, Mengapa Kekerasan Ada di Mana-mana?, Opini, Tajuk Rencana Kedaulatan Rakyat, Kamis, 26 Februari 2009, hlm14.
[4]  Baca: Sri Hartati Samhadi, Budaya Kekerasan di Lembaga Pendidikan, From: http://www2.kompas. com/kompas-cetak/0704/14/Fokus/3456065.htm, access, selasa, 3/2/2009, jam.10.30 wib

[5]  Hujair AH. Sanaky, Pembaruan Pendidikan Islam, Paradigma, Tipologi, dan Pemetaan Menuju Masyarakat Madani Indonesia,  (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2015), hlm.184.
[6] H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hlm.9.
[7]  Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.

[8] Baca: Komentar, Ancaman Kekerasan di Lembaga Pendidikan, Nopember 26, 2007, http://anggara.org/ 2007/11/26/ancaman-kekerasan-di-lembaga-pendidikan/, access, selasa, 3/2/2009, jam. 05.00 wib.

[9]   Hasil Seminar Nasional, Reaktualisasi Pendidikan Tanpa Kekarasa, Prodi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 21 Februari 2009.
[10]  Abd. Rachman Assegaf, M. Ag., dkk, Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan, Ringkasan Laporan Hasil Penelitian "Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan" http://www.ditpertais.net/istiqro/ist02-03.asp, access, selasa, 3/2/3009, jam. 11.45 wib
[11]             H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hlm.4.
[12]  Abd. Rachman Assegaf, M. Ag., dkk, Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan, Ringkasan Laporan Hasil Penelitian "Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan" http://www.ditpertais.net/istiqro/ist02-03.asp, access, selasa, 3/2/3009, jam. 11.45 wib
[15] Anwari WMK, Sebuah Refleksi http://www.jubilee-school.net/jubilee/index.php?option=com_ content& task=view&id= 213&Itemid=38, access, selasa, 3/2/2009, jam. 05.00 wib.

[16] Artikel: Pendidikan tanpa Kekerasan From:http://beutyreligi. wordpress. Com/2007/06/07/pendidikan-tanpa-kekerasan/, access, selasa, 3/2/2009, jam. 12.45 wib.

[17] Artikel: Pendidikan tanpa Kekerasan From:http://beutyreligi. wordpress. Com/2007/06/07/pendidikan-tanpa-kekerasan/, access, selasa, 3/2/2009, jam. 12.45 wib.

[18] Seto Mulyadi, Suses dan Profesional Sebagai Guru, makalah disampaikan dalam seminar nasional tentang Reaktualisasi Pendidikan Tanpa Kekerasan, Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Sabtu, 21 Februari 2009, hlm.4-5.
[19] Guru Gunakan Kekerasan, Ketinggalan Zaman, From:http://www.indoforum.org/showthread. php?t=65709,access, selasa, 3/2/2009, jam. 12.30 wib.
[20] Guru Gunakan Kekerasan, Ketinggalan Zaman, From:http://www.indoforum.org/showthread. php?t=65709,access, selasa, 3/2/2009, jam. 12.30 wib.
[22] Baca: Sri Hartati Samhadi, Budaya Kekerasan di Lembaga Pendidikan, From: http://www2.kompas. com/kompas-cetak/0704/14/Fokus/3456065.htm, access, selasa, 3/2/2009, jam.10.30 wib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar