Sabtu, 19 Agustus 2017

CIVIL SOCEITY DAN MASYARAKAT MADANI



CIVIL SOCEITY DAN  MASYARAKAT MADANI
(Jalan Panjang Perubahan Menuju Masyarakat Madani Indonesia)

Oleh : Hujair  AH. Sanaky

(Dosen Program Pascasarjana FIAI UII dan Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Universitas Islam Indonesia Yogyakarta)



A.  Pendahuluan
 “Civil society dan/atau “masyarakat madani” merupakan salah satu upaya untuk mengerti bagaimana kita dapat menjadi bangsa negara [nation-state], yang baik1. Wacana civil society sebetulnya sudah mulai berkembang sejak dekade 70-an bersama dengan mulai maraknya lembaga swadaya masyarakat [LSM]2 di Indonesia. Memasuki dekade 80-an, wacana ini makin merebut perhatian publik. Pada dekade tersebut, kekuasaan Orde Baru sedang di puncak kejayaannya dengan wacana tunggal yang sangat hegemonik yang ditandai penetapan “Pancasila” sebagai asas tunggal. Wacana lain yang muncul diluar Pancasila “ibarat barang haram” yang bukan saja dilarang, tetapi juga diimbangi dengan tindakan hukum yang represif3.
 Indonesia, menurut Prof. Bernard Adeney, “sudah memiliki definisi yang cukup hebat tentang masyarakat baik atau civil atau “madani”, yaitu Pancasila.  Menurutnya, pancasila muncul sebagai hasil dari musyawarah mufakat yang menyatakan semacam visi4 untuk civil society5.  Konsep civil society dan “masyarakat madani” merupakan konsep yang bersifat universal, sehingga perlu adaptasi dan perubahan mendasar, apabila konsep ini akan disosialisasikan  dan diwujudkan di Indonesia. Kenapa demikian, karena konsep “civil society”  dan “masyarakat madani” ,  tentu saja lahir dari masyarakat yang memiliki latar belakang dan karakter sosial, budaya serta politik yang berbeda dengan masyarakat Indonesia. 
 Civil Society merupakan semacam konstruksi sosial simbolis yang tidak pernah terwujud secara riel atau nyata dalam masyarakat manapun. Tidak ada kenyataan yang dapat disebut Civil Society di dunia nyata. Hal ini juga sama dengan symbol masyarakat madani adalah suatu simbol tentang salah satu visi dari suatu masyarakat. Menurut  Prof. Bernard Adeney, ada saudara Muslim yang menegaskan bahwa sudah pernah ada masyarakat madani, yaitu masyarakat Madinah. Namun, Madinah, telah lahir “ratusan tahun yang lalu bukan sama dengan Indonesia abada 21”. Apabila masyarakat Indonesia yang madani diusahakan, akan menjadi perbuatan yang kurang lebih baru di dunia ini dan tidak pernah sempurna6.
Apakah civil society dan masyarakat madani dapat dilaksanakan atau diiaktualisasikan di masyarakat Indonesia. Jawaban sementara, apabila konsep ini akan diaktualisasikan di masyarakat Indonesia, diperlukan suatu perubahan mendasar dan langkah-langkah kontinyu sistimatis yang dapat merubah paradigma, kebiasaan, dan pola hidup masyarakat Indonesia. Walaupun di sisi lain Prof. Bernard, menyatakan bahwa “masyarakat madani”  kurang cocok lagi untuk masyarakt Indonesia pada abad 21 ini. Kedua konsep ekstrim ini [yang liberal Barat dan yang Muslim Arab], kurang cocok di Indonesia dan kita harus mencari pengertian kedua konsep tersebut agar sesuai dengan sejarah dan konteks Indonesia7.   Menurut hemat pemakala, “karakteristk” atau ciri-ciri masyarakat madani dapat digunakan dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang ini, artinya dilakukan pembaruan.  Maka apabila kita menginginkan untuk mewujudkan kedua konsep ini, tanpaknya masyarakat dan bangsa Indonesia harus disiapkan dan siap untuk  “membangun infrastruktur sosial, budaya, ekonomi, agama dan politik untuk mendukung ciri-ciri atau karakteristik masyarakat madani dan civil society  yang diharapkan”.  Walaupun, “cita-cita civil society atau masyarakat madani  yang dapat diterima oleh keseluruhan bangsa-negara Indonesia belum jelas”8.
Dari pemikiran di atas, pemakalah berkeinginan untuk membahas  konsep ini dan titik tolak pembahasan lebih difokuskan pada “masyarakat madani”. Untuk itu, perlu terlebih dahaulu menelususi akar sejarah, makna  “civil society” dan "masyarakat madani", kemudian mencari  perbedaan kedua konsep ini.  Selanjutnya, membahas perubahan menuju masyarakat madani Indonesia dengan fokus pada tantangan, peluang, serta  terebosan untuk mewujudkan masyarakat madani Indonesia.   

B. Akar Sejarah, Makna Civil Society  dan Masyarakat  Madani   
Sebagai konsep sosial yang lahir pada abad ke-18, civil society sangat terbukan terhadap perkembangan, pemaknaan dan penafsiran.  Jika dilacak secara emperik istilah civil society  merupakan terjemahan dari istilah Latin, civilis societas, yang mula-mula dicetuskan dan dipakai oleh Cocero [106-43 S.M] seorang filsuf, orator   dan pujangga Roma -  yang berkembang seiring dengan kemajuan pemikiran waktu itu.  Pengertiannya mengacu kepada gejala budaya perorangan dan masyarakat. Maka masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik [political society]9 yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup10.
Pada mulanya civil society dipahami sebagai komunitas negara yang anggota-anggotanya adalah warga.  Dalam konteks ini, civil society  identik dengan negara.  Hegel, termasuk yang membolehkan negara melakukan intervensi terhadap civil society. Karena, dengan kebebasan mengembangkan aspirasi dan kepentingan dari setiap warga, maka civil society dengan sendirinya butuh bantuan negara untuk melakukan pengaturan, lewat kontrol hukum, administrasi dan politik. Tetapi pada perkembangan selanjutnya,  civil society mengalami perkembangan makna sebagai entitas yang terpisah dari negara.  Tokoh yang memulai adalah Thomas Pain [1792] yang memaknai civil society dalam posisi diametral dengan negara, bahkan civil society11  dinilai sebagai antitesis negara12.
Wacana Civil society dan/atau “masyarakat madani”  bukan merupakan konsep yang dengan mudah dapat diapresiasikan dalam konteks Indonesia. Bukan hanya karena karakter sosial, budaya, serta politik kita berbeda dengan tempat asal konsep ini lahir, tetapi secara teknis ”kebahasaan” juga sulit ditemukan padanan atau kesamaannya. Ada yang menerjemahkan sebagai “masyarakat sipil”, yang kemudian diperhadapkan dengan masyarakat militer. Ada yang menerjemahkan sebagai “masyarakat madani” dengan merujuk pada ideal type masyarakat Islam di Madinah pada masa-masa awal kedatangan Islam.  Padahal civil society merujuk pada sebuah masyarakat yang ada dalam suatu Negara yang disebut nation-state [Negara bangsa], bukan Negara yang didasarkan pada agama maupun Negara yang didasarkan pada suku [tribal-state]13. Kemudian ada juga yang menerjemahkan sebagai masyarakat warga atau masyarakat kewargaan.  Tanpaknya, terjemahan terakhir inilah yang agaknya lebih dekata dengan substansi civil society.  Tetapi masih ada juga kelompok lain yang enggan menerjemahkan istilah ini sehingga tetap menggunakan istilah civil society, karena kemungkinan sulit dicari padanannya dalam konteks bahasa Indonesia.  
Tanpaknya dari pandangan di atas, kita mengalami kesulitan dalam mencari padanan kata ”civil society” dalam bahasa Indonesia, sehingga kata ini diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu ”masyarakat sipil”, ”masyarakat madani”,  ”masyarakat warga” atau ”masyarakat kewargaan”.  Prof. Bernard Adeney, mengatakan bahwa makna civil society tidak ada satu kata dalam bahasa Indonesia yang cocok untuk menerjemahkan kata bahasa Inggris “civil”.  Juga dalam bahasa Inggris sendiri-pun mempunyai banyak makna yang berbeda,  tetapi mempunyai banyak nuansa lain. Konsep ini sangat kaya dan sekaligus agak kabur14.  
Prof. Bernard Adeney mencoba mengemukakan tiga makna dari kata civil, yang paling cocok dengan istilah civil society, yaitu :   Pertama, Civil dapat berarti ”civilized” atau beradab.  Civil Society bearti masyarakat beradab atau madani, walaupun maknanya kurang jelas. Tetapi dalam bahasa Inggris, paling sedikit, civil berarti hubungan diantara masyarakat yang sopan, halus dan toleran terhadap satu sama lain. Menurutnya, ini adalah makna civil yang minimal dan bukan maksimal. Artinya, civil tidak bermaksud mencintai, gotong royong, bersaudara, kerja bahu-membahu atau bahkan simpatik. Civil hanya berarti sopan, toleran, tidak kasar.  Kedua, Civil – berarti seorang, kelompok,lembaga atau instansi yang ”bukan negara” [state].  Biasanya pengertian ini lebih ditekankan adalah lembaga dan institusi yang diciptakan masyarakat sendiri tanpa campur tangan pemerintah.  Konsep ini lebih terfokus pada pemisahan kekuasaan [separation of power], yaitu pemerintah tidak boleh menguasai atau mengendalikan perkumpulan masyarakat kecuali ketika kebaikan umum [common good] terancam.  Maka lembaga masyarakat seperti LSM atau lembaga pendidikan, atau lembaga agama seharusnya bebas untuk mengatur diri sendiri, selama mereka tidak melanggar hukum atau mengganggu kelompok lain. Lembaga-lembaga LSM, tokoh-tokoh universitas, wartawan-wartawan dan pemimpin-pemimpin agama.  Ketiga, civil - berarti ”bukan militer”. Seorang ”civilian” adalah yang bukan militer.  Dari makna ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat civil [sipil] adalah masyarakat yang terpisah dari militer dan tidak termasuk militer.  Militer tidak boleh campur tangan dengan kehidupan masyarakat sipil. Dalam hal ini, tidak hanya ada civil  society tetapi juga civil government [pemerintahan sipil]. Pemerintah sipil tidak dikuasai oleh militer dan tidak boleh memerintah atau mengendalikan masyarakat melalui militer15.
Dari ketiga makna di atas, dapat disimpulkan bahwa ”civil society sebagai masyarakat yang sopan dan toleran terhadap satu sama lain, yang mampu mengatur diri sendiri melalui perbagai lembaga, tanpa campur tangan pemerintah, dan yang bebas dari paksaan, ancaman dan kekerasan militer.  Definisi seperti ini bersifat ideal dan minimal. Ideal dalam arti belum pernah ada masyarakat seperti ini terwujud secara sempurna dan masyarakat Indonesia masih agak jauh dari gambaran defenisi ini”16 atau protitype masyarakat ini.  Begitu juga ”masyarakat madani” yang merupakan kata lain dari civil society.  Kata ini sering disebut sejak kekuatan otoriter Orde Baru tumbang selang satu tahun. Malah  cenderung terjadi sakralisasi pada kata itu seolah-oleh implementasinya mampu memberi jalan keluar untuk masalah yang tengah dihadapi bangsa Indonesia.
Identifikasi protitype civil society dan masyarakat madani semacam ini sebetulnya dapat dipahami dan ideal untuk suatu masyarakat, meski mungkin masih dapat diperdebatkan. Pada masa Orde Baru hampir-hampir tidak ada organisasi yang terbebas dari kooptasi kekuasaan pemerintahan.  Katakan saja, organisasi-organisasi dengan massa dan keanggotaan yang luas biasa besar, seperti NU dan Muhammadiyah tidak sepenuhnya dapat dianggap mandiri, otonom, dan steril dari intervensi Negara. Hal ini bukan berarti organisasi itu tidak mampu bersikap ”independent” dan ”otonom”, tetapi negara dan atau pemerintahan versi Orde Baru merupakan Negara yang mengurusi hampis segala hal atau segala aspek kehidupan, bahkan sampai pada hal yang sifatnya paling pribadi seperti dalam kasus KB, diatur oleh negara.  Dari kondisi ini dapat dipahami bahwa civil society tidak mengalami kemajuan yang berarti dalam kekuasaan Orde Baru17. 
Berbicara tentang wacana dan gagasan "masyarakat madani" yang berkembang di Indonesia merupakan terjema­han dari civil society?, tetapi masih dipertanyakan, apakah sama antara istilah "masyarakat madani" dengan istilah civil society.  Berbagai "pemikiran yang dilontarkan seputar civil society, yang di Indonesia telah diterjemahkan menjadi "masyarakat sipil" atau "masyarakat madani". Padahal kita tahu, bahwa sebenarnya istilah ini merupakan imbas dari perkembangan pemikiran yang terjadi di dunia Barat, khususnya di negara-negara industri maju di Eropa Barat dan Amerika, dalam perhatian mereka terhadap perkembangan ekono­mi, politik, sosial-budaya18. Sedangkan masyarakat madani lahir dari ”masyarakat Muslim Arab”  yang juga memiliki akar budaya yang berbeda dan masyarakat di Madinah berdasarkan syariat Islam.  Tentu saja kedua konsep ini secara sosial, budaya dan politik berbeda dengan sosial-budaya dan politik masayarakat dan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila.  Tetapi tidak menutup kemungkinan, menurut Prof. Bernard Adeney, bahwa  ”masyarakat madani merupakan konsep yang lebih cocok untuk Indonesia, atau untuk sebagian dari masyarakat Indonesia, dari pada konsep civil society”19.  Kenapa, karena secara sosio-relegius ada kesamaan pandangan dan pemahaman dengan sebagian besar masyarakat Indonesia, bila dibandingkan dengan konsep civil society yang berasal dari pemikiran liberal Barat.
Istilah masyarakat madani, pertama kali dipopulerkan oleh Muhammad an-Naquib al-Attas, yaitu 'Mujtama' madani atau masyarakat kota. Istilah ini secara etimologi mempunyai dua arti, yaitu : [1]  "Masyarakat kota. Ini berarti  madani adalah derivat dari kata bahasa Arab, ”Madinah” yang berarti kota. [2] Masyarakat yang berperadaban, karena madani adalah juga merupakan derivat dari kata Arab tamaddun atau madaniah yang berarti ”peradaban”, dengan demikian masyarakat madani adalah ”masyarakat yang beradab”.  Peradaban dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah  civility atau civilization. Dari pengertian ini kemudian istilah masyarakat madani disamakan dengan civil society, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban[1]20.
Di Indonesia, Istilah masyarakat madani pertamakali dibawa dan dipopulerkan  Dato Seri Anwar Ibrahim, pada saat menghadiri Fertival Istiqlal di Jakarta. Istilah "masyarakat madani" menurutnya sebagai terjemahan "civil society"21. Namun istilah masyarakat madani, tidak identik dengan civil society.  Walaupun ada kesamaan konsep tentang masyarakat beradab, sopan, toleran, dan sebagainya, tetapi masyarakat madani di Madinah dibangun berdasarkan syariat Islam. Ini menunjukkan letak perbedaan anatara konsep masyarakat madani dan civil society. Maka dalam memperkenalkan pengertian masyarakat madani di Indonesia, Nurcholis Madjid mengacu pada konsep "negara kota Madinah" yang dibangun Nabi Muhammad saw pada 622 M, dengan syariat Islam. Istilah masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamaddun [masyarakat berperadaban] yang diperkenalkan Ibn Khaldun dan konsep al-madinah al-fadhilah [negara utama] yang dikemukakan filsof Al-Farabi pada abad pertengahan22.
Nurchalis Madjid, mengatakan perkataan Arab "Madinah" artinya kota, dan secara etimologis berarti "tempat peradaban". Menurutnya, pengertian Madinah mirip atau padanan perkataan Yunani "polis" [seperti dalam nama kota "Constantinopel], dan "Madinah" dalam pengertiannya sama dengan "hadharah" dan "isaqarah", yang masing-masing sering diterjemahkan "peradaban" dan "kebudayaan". Kedua istilah ini  secara etimologis mempunyai arti "pola kehidupan menetap" sebagai lawan "badawah" yang berarti pola kehidupan mengembara, "nomad".  Maka perkataan "madinah", dalam peristilah modern, menunjuk kepada semangat dan pengertian "civil society", istilah Inggris yang berarti "masyarakat sopan, beradab dan teratur" dalam bentuk negara yang baik23.
Dari sini, dapat dikatakan bahwa konsep "masyarakat madani" adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kedasaran umum untuk patuh pada peraturan atau hukum. Dengan demikian, variabel utama masyarakat madani adalah masyarakat beradab, sopan, teratur, memiliki kemandirian [otonomi], kebebasan dan keterbukaan untuk berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat serta kesempatan yang sama dalam mempertahankan kepentingan di depan umum. Jadi konsep masyara­kat berperadaban dalam masyarakat madani adalah masyarakat yang berpegang teguh pada peradaban dan kemanusiaan, masyarakat yang bercirikan kebebasan dan demokrasi dalam berinteraksi di dalam masyarakat yang plural.
Dari paparan di atas, dapat kita lihat perbedaan yang tampak jelas adalah civil society tidak mengaitkan prinsip tatanan pada agama tertentu, sedangkan masyarakat madani [al-madaniy] jelas mengacu pada agama Islam. Konsep masyarakat madani adalah bangunan politik yang demokratis, menghormati dan menghargai publik seperti: kebebasan hak asasi, partisi­pasi, keadilan sosial, menjunjung tinggi etika dan moralitas, dan lain sebagainya yang didasarkan pada syariat Islam. Hal inilah yang mungkin dikhawatirkan oleh sebagian masyarakat no-muslim apabila konsep masyarakat madani diujudkan di Indonesia.  Kekhawatiran itu tidak perlu muncul, apabila konsep masyarakat madani  difahami sebagai masyarakat yang berperadaban, bera­dab, masyarakat sipil, menghargai perbedaab agama dan menghargai pluralistik. Tuntutan masyarakat madani yang diharapkan kaum reformis adalah "masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar"24, masyarakat yang "jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak kepada yang lemah, menjamin kebebasan bera­gama, berbicara, berserikat dan berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia"25, dapat diujudkan di masyarakat Indonesia yang plural.
Melihat konsep masyarakat madani sebagai masyarakat yang beradab, sopan dan teratur apakah dapat diujudkan di Indonesia. Kelihatannya masyarakat Indonesia mengalami kendala untuk menerapkan konsep civil society dan masyarakat madani, sebab setelah rezim Orde Baru tumbang dan dimulai dengan ”era reformasi” yang menggiring masyarakat Indonesia ke-euforia domokrasi yang berdampak pada “euforia kebebasan” yang nyaris “kebablasan”.  Indikasinya, masyarakat bertindak bebas dan anarkis, masyarakat main hakim sendiri, pembunuhan dan pemerkosaan merupakan hal yang biasa,  kekerasan terjadi dimana-mana, konflik bernuansa SARA yang terjadi Maluku [Ambon], Maluku Utara dan Poso, tindak kekerasan terhadap aliran agama tertentu [Ahmadiyah], peristiwa tragis  berdarah di depan Universitas Cendrawasi Abepura Papua yang bersifat anarkis dan “kebablasan” sehingga menelan korban jiwa, dan peristiwa kekerasan lain yang terjadi di masyarakat Indonesia.  Itulah realitas kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini.  Menurut Prof. Bernard Adeney, perilaku semacam ini, dikatakan  “kurang civil, bahkan dapat dikatakan “uncivil society  [masyarakat biadab]”26.  Dengan realitas ini, mungkinkah kita akan mengatakan bahwa masyarakat Indonesia masih jauh dari protetype civil society dan “masyarakat madani” atau yang selalu disebut dengan istilah  “Indonesia Baru”.     
Dengan mengetahui akar sejarah dan makna civil society dan masyarakat madani sebagai masyarakat yang beradab, berperadaban, masyarakat sipil, masyarakat yang sopan, teratur dan pluralistik, maka perlu untuk mengkaji karakteristik masyarakat madani sebagai upaya untuk melakukan pembaruan sosio-kultural masyarakat Indonesia, walaupun akan melalui jalan yang panjang sekali.

C.  Karakteristik  Masyarakat Madani
Dari gambaran "masyarakat madani" dari para ahli tersebut,  timbul pertanyaan protetype apakah yang menjadi karakteristik  masyarakat tersebut.  Secara umum dapat disimpulan, bahwa karakteris­tik "masyarakat madani" adalah masyarakat kota, masyarakat yang berperadaban, masyara­kat yang dapat menciptakan peradaban, masyarakat yang memiliki pola kehidupan yang benar yaitu pola kehidupan masyarakat yang menetap dan bukan masyarakat nomaden. Masyarakat terbuka, pluralistik, menjamin kebebasan beragama, jujur, adil, kemandir­ian, harmonis, menjamin kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia.  Pelaku sosial akan selalu berpegang teguh pada perada­ban dan kemanusian, yang selalu bercirikan demokratisasi dalam berinteraksi di masyarakat yang plural dan heterogen.
Katakan saja, masyarakat madani yang akan diwujudkan antara lain memiliki karakteristik sebagai berikut :  [1] Masyarakat beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki pemahaman mendalam akan agama serta hidup berdampingan dan saling menghargai perbedaan agama masing-masing. [2] Masyarakat demokratis dan beradab yang menghargai adanya perbedaan pendapat. Memberi tempat dan penghargaan perbedaan pendapat serta mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan individu, kelompok dan golongan. [3] Masyarakat yang menghargai hak-hak asasi manusia, mulai dari hak untuk mengeluarkan pendapat, berkumpul, berserikat, hak atas kehidupan yang layak, hak memilih agama, hak atas pendidikan dan pengajaran, serta hak untuk memperoleh pe­layanan dan perlindungan hukum yang adil. [4]  Masyarakat tertib dan sadar hukum yang direfleksikan dari adanya budaya malu apabila melanggar hukum, dan [5] Masyarakat yang kreatif, mandiri dan percaya diri. Memiliki orientasi kuat pada penguasaan ilmu pengatahuan dan teknologi. [6] Masyarakat yang memiliki semangat kompetitif dalam suasana kooperatif, penuh persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain dengan semangat kemanusiaan universal [pluralistik]27.  Karakteristik28 yang dikemukakan ini sangat ideal, perlu upaya untuk membangun infrastruktur sosial, budaya, ekonomi, politik dan pendidikan. Upaya untuk mengeliminir dan mengatasi berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di negeri ini, sehingga dapat mewujudkan cita-cita masyarakat madani Indonesia.
Karakteristik masyarakat madani merupakan ciri yang sangat idial, sehingga mengesankan seolah-olah tak ada masyarakat seideal itu. Kalau ada, hanya masyarakat muslim yang langsung dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw yang relatif memenuhi syarat tersebut.  Muncul kesan seolah-olah tak ada masyarakat seideal masyarakat madinah. Memang hal ini telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam sabdanya, "tak ada satupun masyarakat di dunia ini yang sebaik masyarakat atau sebaik-baik masa adalah masaku" [ahsanul qurun qarni]. Terlepas dari status sahih dan tidaknya sabda ini, ataupun siapa pun periwayatnya29. Diakui  bahwa masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad Saw sebagai masyarakat terbaik dan berperadaban, karena masyarakat Madinah yang dipim­pin langsung oleh Nabi Muhammad Saw merupakan prototype masyarakat idial.  Dalam wacana ini, orang  cenderung menyamakan konsep masyarakat madani dengan civil society30, karena sama-sama membangun peradaban manusia.
 Nurchalis Madjid, menyatakan bahwa "masyarakat madani" yang dibangun  Rasul di Madinah dengan azas yang ter­tuang dalam "Piagam Madinah", memiliki 6 [enam] ciri utama, yaitu : [1] egalitarianisme, [2] penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi [bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya], [3] keterbukaan [partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif], [4] penegakan hukum dan keadi­lan, [5] toleransi dan pluralisme serta [6] musyawarah31.  Mungkin saja, ke-enam karakteristik32  ini  dapat dilaksanakan atau diujudkan dalam masyarakat Indonesia, asalkan masyarakat Indonesia siap merubah semua aspek kehidupan.
Dari uraian di atas, jelas konsep civil soceity berasal dan muncul dari pandangan pemikir-pemikir Barat, kemudian konsep ini diakomudasikan dalam wacana pemikiran Islam.  Padahal Islam sendiri telah memiliki konsep yang jelas dan gamblang dalam asas dan perinciannya tentang masyarakat ideal yang wajib diwujudkan kaum muslimin.  Masyarakat tersebut adalah masyarakat yang di dalamnya dapat merealisasikan nilai-nilai khas yang terpancar dari aqidah. Dari aqidah tersebut, memancarkan apa yang disebut dengan egaliter, pluralisme, toleransi, demokrasi.
Nurchalis Madjid, "berusaha menawarkan persepsi yang sama antara masyarakat madani dalam suatu bentuk yang disebut "Ijtihad kontemporer" sebagai alternatif ideal masyarakat masa depan Indonesia dengan protetype masyarakat Rasul di Madinah.  Ide Nurchalis Madjid ini, dikiritik oleh pemikir-pemikir Islam lainnya di Indonesia, dikatakan bahwa Nurchalis Madjid, telah melakukan suatu penganalog yang sangat tidak adil dan tidak beralasan karena hanya melihat masyarakat madani dari segi kemajemukan semata tanpa mengaitkan dengan sistem khas yang telah mengatur tatanan masyarakat Madinah tersebut sedemikian rupa33, se­hingga dipertanyakan apakah konsep Nurchalis Madjid itu lebih dekat kepada masyar­akat Islam di Madinah atau jangan-jangan lebih mirip dengan masyarakat di Barat liberal.  Padahal negara dan masyarakat Madani yang dibangun Nabi Muhammad Saw adalah negara dan masyarakat yang "kuat" dan "solid" dengan nilai-nilai khas yang terpancar dari keyakinan aqidah Islamiyah.  Negara yang dibangun di atas masyarakat yang bersatu tidak hanya karena kepentingan yang sama yang menjadi sebab terbentuknya mayoritas negara modern, tetapi terbentuk karena memiliki perpektif yang sama, perasaan yang sama dan misi yang sama dalam membangun suatu masyarakat. Maka atas dasar persamaan ini menjadikan seluruh perbedaan yang ada seperti perbedaan suku, warna, ekonomi dan sebagainya hanya menjadi keberagaman dan kekayaan bukan sebab perpecahan34.
Terlepas dari perdebatan tersebut di atas, karakteristik dan ciri masyarakat madani yang dikemukakan adalah sangat ideal. Cleary and Watson dalam Antonio Rosmini [1986:vii], menyatakan bahwa masyarakat madani atau civil soceity adalah "organi­sasi manusia yang sempurna, sebagai konsekuensi perkembangan hidup dan kuantitasnya, dan manakala bakat-bakat alamiah yang ia miliki saling bersinggungan dan bergesekan35. Banyak pemikir yang menyatakan, bahwa untuk membangun masyarakat madani diper­lukan tingkat pendidikan yang memadai dan berkualitas, ekonomi yang memadai, suasana dan kesadaran politik yang kondusip, demokrasi,  hukum yang kondusip serta mendukung, dan jaminan keamana sebagai prasyarat untuk membangun masyarakat madani. Selain itu, masyarakat madani dengan karakteristik tersebut hanya dapat diwujudkan melalui pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dan peran pendidikan untuk membangun masyarakat tersebut.

D. Proses  Perubahan Menuju Masyarakat Madani di Indonesia
Proses perubahan menuju masyarakat madani sangat terkait dengan kehidupan politik bangsa, budaya, pendidikan, berpikir kritis, hukum, keadilan, keterbukaan, kemaje­mukan atau pluralisme serta perlindungan terhadap kaum minoritas. Dalam masyarakat madani tercipta "keseimbangan antara kebebasan individu dan kestabilan masyarakat. Inisiatif individu dalam bidang pemikiran, seni, ekonomi, teknol­ogi, dan pelaksanaan pemerintahan yang mengikuti undang-undang dan hukum yang berlaku dengan baik"36. Tercipta "kemandirian individu, keluarga, lembaga-lembaga sosial lainnya seperti media massa, betul-betul dihargai tanpa ada pengaruh langsung dari negara atau pemerintah"37, dan   "masyarakat yang dapat mengembangkan sumberdayan­ya tanpa harus dikontrol oleh negara secara ketat, dan keadilan sosial berjalan sebagaimana mestinya"38.
Masyarakat Indonesia sedang berada dalam masa transformasi, era reformasi telah lahir dan masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidu­pannya39 menuju kehidupan masyarakat madani. Muncul tuntu­tan untuk mewujudkan pemerintahan bersih, pada satu sisi dan cita-cita mewujudkan ma­syarakat madani [civil society], nampaknya tidak boleh ditawar-tawar lagi. Proses untuk menuju dan mewujudkan masyarakat madani tentu tidak mudah, karena diperlukan beberapa persyaratan untuk mengimplemtasikan konsep tersebut, tantangan yang dihadapi, serta peluang melakukan perubahan menuju masyarakat madani yang dicita-citakan, yaitu :
1.   Persyaratan Menuju Masyarakat Madani
Sebagai sebuah gagasan tentang sistem kehidupan masyarakat madani, tentu tidak mudah untuk dicapai begitu saja. Dibutuhkan beberapa persyaratan agar gagasan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik. Beberapa persyaratan yang diperlukan untuk mewujudkan masyarakat madani, yaitu : Pertma, pemahaman yang sama [One Stan­dard], Kedua, adanya keyakinan [Confidence] dan saling percaya [Social Trust], Ketiga, satu kesatuan atau satu hati dan saling tergantung, Keempat, perlu adanya kesamaan pandangan tentang tujuan dan misi40, menuju masyarakat madani41.
Jika keempat persyaratan di atas dapat dipenuhi, maka relatif akan lebih mudah untuk merumuskan berbagai kebijakan dan strategi untuk mewujudkan masyarakat madani yang dicita-citakan. Maka, kunci utama dari keberhasil mewujudkan masyarakat madani yang dicita-citakan itu, secara kultural antara lain terletak pada prasyarat-prasyarat yang disebutkan di atas. Kemudian selain keempat persyaratan tersebut, yang harus diperha­tikan adalah tantangan yang hadapi dewasa ini untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan.


2.   Tantangan Menuju Masyarakat Madani
Untuk mewujudkan masyarakat madani di Indonesia dengan ciri serta persyaratan yang dikemukakan tentu bukan merupakan hal yang mudah. Diperlukan upaya, kerja keras dan daya tahan yang tinggi untuk mengatasi berbagai kendala dan tantangan yang hadir, baik kendala yang berhubungan dengan struktur sosial, maupun kendala yang berkai­tan dengan keadaan masyarakat Indonesia yang pada saat ini sedang mengalami berbagai guncangan"[50] sepeti krisis moneter, tuntutan pemerintahan yang demokrasi, bersih serta berwibawa. Konflik antara masyarakat dibeberapa daerah yang mengarah kepada disintegrasi bangsa. Secara umum ada dua kendala yang dihadapi dalam mewujudkan masyarakat madani, yaitu kendala yang bersifat struktural maupun kultural.
Pertama, secara struktural dominasi negara dan birokrasi kekuasaan masih sangat kuat, sehingga wilayah masyarakat madani terdesak. Kondisi ini sebagai akibat dari budaya politik yang ditinggalkan Orde Baru, karena selama Orde Baru telah tercipta suatu kehidupan bangsa yang tidak sesuai dengan cita-cita UUD 1945. Pemerintahan Orde Baru yang represif telah menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang tertekan, tidak kritis, manusia yang bertindak dan berpikir dalam acuan suatu struktur kekuasaan yang hanya mengabdi kepada kepentingan sekelompok kecil rakyat Indonesia[51].  Masyarakat Indonesia selama 32 tahun telah terkooptasi dengan budaya politik pemerintah Orde Baru. Kehidupan "demokrasi telah dipasung sehingga tidak ada kebebasan berpendapat apalagi berbeda pendapat. Pikiran manusia diarahkan kepada hanya ada satu kebenaran yaitu untuk mempertahankan struktur kekuasaan yang ada"[52]. 
Kedua,  secara kultural, warga masyarakat masih terper­angkap dalam mentalitas dan budaya paternalistik. Orientasi dan ketergantungan pada pemimpin dan penguasa masih tinggi, membuat kemandirian kurang berkembang[53].  Tantangan sosial budaya yang cukup berat adalah pluralitas ma­syarakat Indonesia. Pluralitas tidak hanya berkitan dengan budaya saja, tetapi juga persoalan sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Bangsa Indonesia telah lama merdeka, tetapi pluralitas masyarakat itu kurang dimanfaatkan sebagai potensi yang didinami­sasikan untuk memacu pembangunan. Kebijakan politik pembangunan selama ini justru berkesan menjadikan masyarakat Indonesia yang majemuk menjadi suatu masyarakat yang mengarah pada bentuk uniformitas [menyeragamkan]. Usaha uniformitas melahirkan tuntu­tan rasa kedaerahan yang menonjol. Kondisi ini dapat dilihat dari semakin ramainya perde­batan tentang pentingnya putra daerah untuk diangkat menjadi pejabat[54]. Usaha uniformitas yang dilakukan pemerintah telah membawa kontra produktif.

3.   Peluang Perubahan Menuju Masyarakat Madani
Pada era reformasi, masyarakat menuntut kembali kedaulatan rakyat yang telah hilang, karena "era reformasi menuntut perubahan total dalam kehidupan bangsa dan ma­syarakat untuk mewujudkan cita-cita "masyarakat madani Indonesia". Reformasi menuntut perubahan dalam semua aspek kehidupan khususnya bidang politik, pemerintahan, ekonomi dan budaya. Perubahan dalam bidang politik terutama diarahkan kepada hidupnya kembali kehidupan demokrasi yang sehat sesuai dengan tuntutan konstitusi 1945[55]. Visi perubahan lebih ditekankan pada pendekatan kemanusiaan untuk menuju masyarakat madani atau civil society yang berkeadilan, berkeadaban dan mandiri di segala bidang dalam tatanan kehidupan yang harmonis.
Kenyataan kehidupan bangsa dan negara Indonesia sekarang, tanpaknya memang tidak mudah untuk mewujudkan masyarakat madani itu, jika corak budaya bangsa Indonesia masih berlangsung dengan warna seperti yang dilukiskan pada tantangan di atas. Karena untuk mewujudkan "masyarakat madani" di Indonesia tidak­lah semudah membalik telapak tangan, memerlukan proses panjang dan waktu serta menun­tut komitmen masing-masing warga bangsa untuk mereformasi diri secara total menuju terwujudnya masyarakat madani. "Diperlukan kerja keras dan niat lurus untuk merubah budaya masyarakat agar menjadi lebih demokratis, terbuka luas, dan bebas dari tekanan, agar jalan menuju masyarakat madani lebih terbuka luas"[56]. Selain itu, keharusan masyarakat untuk ikut mengambil peran dalam mewujudkan masyarakat berperadaban, masyarakat madani di Indonesia, karena terbentuknya masyara­kat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadi­lan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia49.
Berbagai upaya perlu dilakukan untuk mewujudkan masyarakat madani, baik yang bersifat berjangka pendek maupun yang "berjangka panjang:
Pertama, peluang perubahan jangka pendek, menyangkut dengan perubahan pada pemerintahan, politik, ekonomi, hukum dan jurnalistik.  [1] Sesuai dengan tuntutan masyarakat pada era reformasi, agar terciptanya "pemerintahan bersih yang menjadi prasarat untuk tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani yang sehat.  Tumbuh dan berkembangnya masyar­akat madani, jelas akan menuntut ”performance” pemerintahan yang bersih, sebagai sebuah pemerintahan yang efesien dan efektif, bersih dan profesional"[57],  berwibawa, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Tercipta pemrintahan yang dapat dipercaya [credible], dapat diterima [acceptable], dapat memimpin [capable], dan pemerintahan yang bersih [clean government].  [2] Bidang politik, adanya "upaya sadar pemerintah dan masyarakat untuk mencapai tingkat kesepakatan maksimal dalam memberi makna sistem demokrasi, sehingga tercitanya tingkat keseimbangan relatif dan saling cek dalam hubungan kekuasaan eksekutif, legeslatif dan yudikatif"[58], sehingga terwujudnya keberdayaan lembaga legislatif dalam melakukan fungsi-fungsi legislatif, pengawasan yang mencerminkan aspirasi rakyat yang diwakilinya. "Dimensi demokrasi dari masyarakat adalah tercipta kesepakatan nilai untuk kesetaraan di depan hukum dan pemerin­tah, kesetaraan dalam kompetisi dan politik, kemandirian, dan kemampuan menyelesaikan berbagai konflik dengan cara-cara damai"[59], yang mencerminkan ciri-ciri masyarakat madani. [3] Bidang ekonomi, menuntut pemerataan kehidupan ekonomi yang lebih merata dan bukan hanya untuk kepentingan sekelompok kecil anggota masyarakat. Ekonomi yang sulit, kelaparan, hanya terdapat pada sistem politik penindasan atau yang nondemokratis. [4] Bidang hukum, reformasi menuntut ketaatan kepada hukum untuk semua orang dan bukan hanya untuk kepentingan penguasa. Setiap orang sama di depan hukum dan dituntut kedisiplinan yang sama terhadap nilai-nilai hukum yang disepakati”[60].  Diharpkan terbentuknya lembaga pene­gak hukum yang mencerminkan berlakunya supermasi hukum dalam kehidupan bermasyara­kat, berbangsa dan bernegara menuju suatu tatanan masyarakat madani atau civil society Indonesia.  [5] Bidang jurnalistik, terciptanya kebebasan pers, yaitu berkembangnya media massa baik cetak maupun elektronik yang sanggup berfungsi mendidik dan mencer­daskan kehidupan bangsa serta melakukan fungsi kontrol secara bertanggungjawab dan menerapkan etika jurnalistik secara konsekuen.
Kedua, peluang perubahan jangka panjang pada bidang kebudayaan dan pendidi­kan. Reformasi budaya, yang menyangkut orientasi pemikiran, pola-pola perilaku, dan tradisi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat luas yang perlu dikembangkan dalam rangka mendukung proses pelembagaan dan mekanisme kehidupan kenegaraan yang diideal­kan[61]. Reformasi budaya menuntut perkembangan kebhinnekaan budaya Indonesia. Kebudayaan daerah merupakan dasar bagi perkembangan identitas bangsa Indonesia, oleh sebab itu harus dibina dan dikembangkan. Pengembangan budaya daerah akan memberikan sumbangan bagi perkembangan rasa kesatuan bangsa Indonesia yang menunjang ke arah identitas bangsa Indonesia yang kuat dan benar"[62], yang mencerminkan masyarakat plural sebagai ciri masyarakat madani. Pengembangan sistem pendidikan, tekanan pada aspek kearifan budaya dan nilai-nilai lokal sebagai pijakan berbangsa, jangan sampai tercer­abut, karena identitas kebangsaan hanya bertahan jika sosialisasi nilai-nilai kebangsaan yang mengacu pada nilai-nilai kultural bangsa dilakukan melalui lembaga pendidikan.


E. Penutup
Sebagai penutup makalah ini, perlu disampaikan beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pertama,  konsep civil society dan masyarakat madani adalah konsep yang sangat ideal, sehingga tidak ada satu kelompok masyarakat manapun yang sama dengan kedua konsep ini.  Kedua, kedua konsep [civil society dan masyarakat madani]  berakat dari sosial, budaya dan politik yang berebada. Civil society berakar dari konsep liberal Barat, yang ”tidak berdasar pada agama tertentu”, sedangkan masyarakat madani, berakar dari masyarakat Muslim Arab, yang berdasar pada agama. Ketiga,   apabila konsep ini akan diaktualisasikan di masyarakat Indonesia, diperlukan perubahan mendasar dan langkah-langkah kontinyu dan sistimatis yang dapat merubah paradigma, kebiasaan, dan pola hidup masyarakat Indonesia. Keempat, perlu melakukan perubahan dengan membangun infrastruktur sosial, budaya, ekonomi, hukum, pendidikan, dan politik untuk mendukung cita-cita mewujudkan civil society dan masyarakat madani Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Adeney, Bernard, 2000,  Civil Society dan Abrahamic Religions, UKDW, Yogyakarta, July, 2000.

Asshiddiqie, Jimly, 2002, Reformasi Menuju Indonesia Baru; Agenda Restrukturisasi Organisasi Negara, Pembar­uan Hukum, dan Keberdayaan Masyarakat Madani, From: http://www.theceli.com/dok/ dokumen/ jurnal/  jimly/j014.htm.

Editoril, 2000, Menuju Masyarakat Madani, Jurnal Online, Badan Pekerja MPR RI Tahun 2000, Edisi No.:09, Tanggal 23 Mei 2000., Prom: http://mpr.wasantara.net.id/ bp_2000/ edisi9/editorial.htm., 31 Desember2001.

Farkan, H., 1999, Piagam Madinah dan Idealisme Masyarakat Madani, Bernas, 29 Maret 1999, Yogyakarta.

Hatta, Ahmad, 2001, Peradaban Yang Bagaimana? Rincian Misi Negara Tauhid Madinah, dalam Majalah Suara Hidaya­tullah:Juli 2001,From: http://www. hidayatullah. com/2001/07/ kajut3. shtml.,tgl.7 Juni 2001.

Hikam, Muhammad AS., 1996, Demokrasi dan Civil Soceity, LP3ES, Jakarta,

Ibrahim, Anwar, 1995,  Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani, Makalah Disampaikan dalam  Ferstival Istiqlal, 16 September 1995,  Jakarta.

Madjid, Nurchalis 1996, “Menuju Masyarakat Madani”, Jurnal Kebudayaan dan Peradaban, ULUMUL QUR'AN, Nomor: 2/VII/1996 - ISSN : 0215-9155, Jakarta.
-------,2000, Kedaulatan Rakyat: Prinsip Kemanusiaan dan Musyawarah dalam Masyarakat Madani, dalam: Widodo Usman, dkk., (Editor), Membongkar Mitos Masyarakat Madani, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta.
-------, 2001, Konstitusi Madinah, From. http://www.pgi.or.id/ balitbang/ bal_06/02_saa_ xvii/10.html.,  11 September 2001.

Mufid, 1999, Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, dalam buku: Membangun Masyarakat Madani, Menuju Indonesia Baru Milenium Ke-3, Tim Editor Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Aditya Media, Yogyakarta.

Muhammad, Agus, 2002, Jalan Panjang Menuju “Civil Society”, Kompas Cyber Media, Jumat, 6 Juli 2001, From: http:/www.kompas.com/kompas-cetak/ 0107/06/ DIKBUD/ jala38.htm, akses, 10/1/2002.

Muzaffar, Chandra, 1998, "Pembinaan Masyarakat Madani: Model Malaysia", dalam Institusi Strategi Pemban­gunan Malaysia (MINDS), Masyarakat Madani: Suatu Tinjauan Awal, Ras Grafika, Kuala Lumpur.

Nordholt, N.S., 1999, Civil Society di Era Kegelisahan,  Basis, Np. 3-4, Maret 1999, Yogyakarta.

Raharjo, M. Dawam, 1999, Demokrasi, Agama dan Masyarakat Madani, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial UNISIA, No.39/ XXII/ III/ 1999-ISSN:0215-1412,UII, 1999, Yogyakarta.
-------,1999, “Masyarakat Madani di Indonesia, Sebuah Penjajakan Awal”, Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA, Vol.I,Nomor 2, ISSN; 1410-8410, 1999, Jakarta.

Sairin, Sjafri, 1999, Masyarakat Madani Dan Tantangan Budaya, dalam buku: Membangun Masyarakat Madani, Menuju Indonesia Baru Milenium Ke-3,  dalam: Taufik Abdullah, dkk., Membangun Masyarakat Madani, Menuju Indonesia Baru Milenium Ke-3, Tim Editor Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Aditya Media, Yogyakarta.

Santoso, Riyadi, 1999, Pemerintahan Yang Bersih dan Masyarakat Madani, Jurnal Cides Sintesis,No.2,Th.5.

Sufyanto, 2001, Masyarakat Tamaddun, Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurchalis Madjid, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta.

Syarief, Hidayat, 1999, Paradigma Baru Pendidikan Membangun Masyarakat Madani,  REPUBLIKA, 30 Oktober 1999.

Tilaar, H.A.R., 1999, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Re­formasi Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.

Wahid, Abdurrahman, 2001, [Prediden Republik Indonesia], Pidato Presiden Republik Indonesia di depan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 7 Agustus 2000,  From: http://istana.ri.go.id/speech/ind/07 agustus00. htm, 4 Januari 2001.





1Bernard Adeney-Risakotta, 2000,  Civil Society dan Abrahamic Religions, UKDW, Yogyakarta, July, 2000,hlm.1.
2Wacana civil society lebih dimaknai sebagai “masyarakat sipil” yang diperhadapkan secara diameteral dengan Negara.  Dari wacana civil society yang berkembang di Tanah Air, penekanan makna oposisi terhadap Negara nampak sangat dominant. Padahal, wacana ini sebetulnya tidak semata-mata sebagai konsep yang secara diametral berhadap-hadapan dengan Negara, tetapi lebih menunjuk pada keadaan social di mana masyarakat memiliki cirri-ciri kemandirian, kesukarelaan, kemampuan mengorganisasi diri untuk memperjuangkan kepentingan, serta ketaatan terhadap aturan main yang berupa hokum-hukum posetif. ...Pemaknaan civil society sebagai wacana yang berhadapan secara diameteral dengan kekuasaan sering kali kemudian diidentifikasikan pada kelompok-kelompok masyarakat yang tidak terkooptasi oleh Negara. Kelompok-kelompok masyarakat, terutama LSM serta organisasi massa seperti NU dan Muhammadiyah, sering kali dianggap representasi dari civil society, karena kelompok-kelompok ini relative mandiri, otonom, dan tidak tergantung pada pemerintah. Identifikasi semacam ini sebetulnya dapat dipahami, meski masih dapat diperdebatkan – karena pada masa Orde Baru hampir-hampir tidak ada organisasi yang terbebas dari kooptasi kekuasaan. Organisasi dengan massa dan keanggotaan yang luas seperti NU dan Muhammadiyah saja tidak sepenuhnya dapat dianggap mandiri, otonom, dan steril dari intervensi Negara. Bukan hanya organisasi itu tidak mampu bersikap independent dan otonom, tetapi juga karena Negara versi Orde Baru adalah Negara yang mengurusi hampis segala hal hingga yang paling pribadi seperti dalam kasus KB.  Dari kondisi ini dapat dipahami bahwa civil society tidak mengalami kemajuan yang berate dalam kekuasaan Orde Baru [Agus Muhammad, 2002, Jalan Panjang Menuju “Civil Society”, Kompas Cyber Media, Jumat, 6 Juli 2001, From: http:/www.kompas.com/kompas-cetak/ 0107/06/ DIKBUD/ jala38.htm, akses, 10/1/2002, hlm.2].
3Agus Muhammad, 2002, Jalan Panjang Menuju “Civil Society”, Kompas Cyber Media, Jumat, 6 Juli 2001, From: http:/www.kompas.com/kompas-cetak/0107/06/DIKBUD/jala38.htm, akses, 10/1/2002, hlm.1.
4Prof. Bernard Adeney, mengatakan bahwa Visi ini dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu : [1] Pancasila dimengerti sebagai persetujuan [mufakat], tentang apa yang menjadi landasan bangsa negara yang paling mendasar. “Yang paling dasar” dapat diterjemahkan sebagai yang paling minimal. Pancasila merupakan visi bangsa negara yang dapat disetujui oleh semua unsur masyarakat Indonesia, walaupun bukan visi paling sempurna kelompok-kelompok tertentu. [2] Pancasila diciptakan sebagai aturan main, yaitu sila-sila yang mangatur proses membangun bangsa negara yang diinginkan. Hal ini berarti bahwa struktur negara, hukum da kebijaksanaan pemerintah adalah seyogianya sesuai dengan Pancasila.  Proses membangun negara yang jelas bertentangan dengan Pancasila seharusnya ditolak. [3] Pancasila juga dimengerti sebagai tujuan ideal bangsa negara Indonesia. Indonesia bertekad menjadi bangsa negara yang “pancasilais” walaupun tujuan ideal itu belum terwujud” [Bernard Adeney-Risakotta, 2000,  Civil Society dan Abrahamic Religions, UKDW, Yogyakarta, July, 2000,hlm.1].
5Ibid,hlm. 1
6Ibid,hlm. 2
7Ibid,hlm. 4
8Ibid, hlm. 3
9Masyarakat politik [political society],  suatu masyarakat yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup. Maksudnya, adanya hukum yang mengatur antara individu menandai keberadaan suatu jenis masyarakat tersendiri dan  masyarakat seperti ini, di zaman dahulu adalah masyarakat yang tinggal di kota. Dalam kehidupan kota penghuninya telah menundukkan hidupnya di bawah satu dan lain bentuk hukum sipil [civil law] sebagai dasar dan mengatur kehidupan bersama. Di zaman modern, istilah itu diambil lagi dan  dihidupkan John Locke [1632-1704] dan Roesseau [1712-1778] untuk mengungkapkan pemikirannya mengenai masyarakat dan politik. Locke, mendefinisikan masyarakat sipil sebagai “masyarakat politik” [political society]. Roesseau, menyatakan masyarakat politik itu sendiri, merupakan hasil dari suatu perjanjian kemasyarakatan [social constract] dan anggota masyarakat telah menerima suatu pola perhubungan dan pergaulan bersama. Dalam konsep Locke dan Roesseau belum dikenal perbedaan antara masyarakat sipil dan negara dan perbedaan antara masyarakat sipil dan negara timbul dari pandangan Hegel [1770-1831]  pemikir Jerman yang banyak menarik perhatian, yang ditentang dan sekaligus diikuti oleh Marx. Sama halnya dengan Locke dan Roesseau, Hegel melihat masyarakat sipil sebagai wilayah kehidupan orang-orang yang telah meninggalkan kesatuan keluarga dan masuk ke dalam kehidupan ekonomi yang kompotitif. Ini adalah arena, di mana kebutuhan-kebutuhan tertentu atau khusus dan berbagai kepentingan perorangan bersaing, yang menyebabkan perpecahan-perpecahan,  sehingga masyarakat sipil itu mengandung potensi besar untuk menghancurkan dirinya.  Oleh Hegel, masyarakat sipil dihadapkan dengan negara. Dari teori Hegel inilah dikenal  dikotomi antara negara dan masyarakat (state and society).M.Dawam Rahardjo,  Demokrasi,Agama dan Masyarakat Madani”,Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial,UNISIA,( No.39/XXII/III/1999, ISSN:0215-1412),hl.27-28.
10Ibid, hlm. 26-27.
11Dalam teori-teori liberal, civil society  dipahami sebagai prakondisi bagi pembentukan kesadaran politik, penggalangan political will, terwujudnya kontrol sosial untuk mengawasi kekuasaan negara. Hak-hak terpenting pada civil society menurut teori-teori liberal adalah kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat serta kebebasan berkumpul dan berserikat. Dalam civil society  tidak diperjuangkan kepentingan privat  atau kepentingan kelas, tetapi kepentingan umum di mana baik kepentingan perorangan maupun kepentingan kelas sudah dianggap terwakili.  Sedangkan pandangan kelompok Marxis melihatnya sebagai bagian dari kelas borjuasi yang harus dilawan. Dengan memosisikan civil society  pada basic naterial-nya, ia dianggap hanya mewakili kelompok-kelompok borjuis dan pemilik modal. Maka ketaatan terhadap hukum sebagai persyaratan civil society  juga dianggap nonsens. Bagi mereka hukum sebagai aturan main dipandang kelompok ini tak lebih dari sebuah politik.  Sementara politik hanya menjadi alat bagi kepentingan pemilik modal. [Agus Muhammad, 2002, Jalan Panjang Menuju “Civil Society”, Kompas Cyber Media, Jumat, 6 Juli 2001,From:http:/www.kompas.com/kompas-cetak/0107/06/DIKBUD/jala38.htm, akses, 10/1/2002, hlm.2-3].
12Agus Muhammad, 2002, Op.cit, hlm.  2
13Agus Muhammad, 2002, Op.cit, hlm.  3
14Bernard Adeney-Risakotta, 2000, Op.cit, hlm. 4
15Bernard Adeney-Risakotta, 2000, Op.cit, hlm. 4-6
16Ibid, hlm. 7
17Baca : Agus Muhammad, 2002, Op.cit, hlm. 2
18M.Dawam Raharjo,  Demokrasi, Agama dan Masyarakat Madani, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial UNISIA, No.39/ XXII/ III/ 1999-ISSN:0215-1412,UII, 1999, Yogyakarta,hlm.25.
19Bernard Adeney-Risakotta, 2000, Op.cit, hlm. 4.
20M.Dawam Raharjo,  Demokrasi, Agama dan Masyarakat Madani, Op.cit,,hlm.25.
21M. Dawam Rahardjo, “Masyarakat Madani di Indonesia, Sebuah Penjajakan Awal”, Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA, (Vol.I,Nomor 2, ISSN; 1410-8410, 1999),  hlm. 8.
22Hidayat Syarief, Paradigma Baru Pendidikan Membangun Masyarakat Madani,  REPUBLIKA, (30 Oktober 1999).
23Nurchalis Madjid, Kedaulatan Rakyat: Prinsip Kemanusiaan dan Musyawarah dalam Masyarakat Madani, dalam: Widodo Usman, dkk., (Editor), Membongkar Mitos Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000),  hlm. 79-80., dan Nurchalis Madjid, Konstitusi Madinah, From. http://www.pgi.or.id/ balitbang/ bal_06/02_saa_ xvii/10.html.,  11 September 2001.
24 N.S. Nordholt, Civil Society di Era Kegelisahan, Basis, Np. (3-4, Maret 1999), hlm. 16.
25 H. Farkan, Piagam Madinah dan Idealisme Masyarakat Madani, Bernas, (29 Maret 1999).
26Bernard Adeney-Risakotta, 2000, Op.cit, hlm.5
27Hidayat Syarief,Paradigma Baru Pendidikan Membangun Masayarakat Madani, REPUBLIKA,(30 Oktober 1999), hlm.4.
28Selain karakteristik yang dikemukakan di atas, ada beberapa ciri masyarakat madani yang dikemukakan pada ahli antara lain: Antonio Rosmini dalam  "The Philosophy of Right, Rights in Civil Society" [1996 : 28-50] yang dikutip Mufid, menyebutkan sepuluh ciri Masyarakat Madani sebagai berikut : Universalitas, Supermasi, Keabadian dan pemerataan kekuatan [prevalence of force] adalah empat ciri yang pertama. Ciri yang kelima, ditandai dengan "kebaikan dari dan untuk bersama". Ciri ini bisa terwujud jika setiap anggota masyarakat memiliki akses pemerataan dalam memanfaatkan kesempatan [the tendency to equalize the share of utility]. Keenam, jika masyarakat madani "ditujukan untuk meraih kebajikan umum" [the common good], tujuan akhir memang adalah kebajikan publik [the public good]. Ketujuh, sebagai perimbangan kebijakan umum, masyarakat madani juga memperhatikan kebijakan perorangan dengan cara memberikan alokasi kesempatan kepada setiap anggotanya meraih kebajikan itu. Kedelapan, masyarakat madani, memerlukan "piranti eksternal" untuk mewujudkan tujuannya. Piranti eksternal itu adalah masyarakat eksternal. Kesembilan, masyarakat madani bukanlah sebuah kekuatan yang berorientasi pada keuntungan [seigniorial or profit]. Masyarakat madani lebih merupakan kekuatan yang justru memberi manfaat [a beneficial power]. Kesepuluh, kendati masyarakat madani memberi kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya, tidak berarti bahwa ia harus seragam, sama dan sebangun serta homogen. Masyarakat madani terdiri dari berbagai warga beraneka "warna" bakat dan potensi. Karena itulah masyarakat madani di sebut sebagai masyarakat multi-kuota [a multi- qouta society] [Mufid, Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, dalam buku: Membangun Masyarakat Madani, Menuju Indonesia Baru Milenium Ke-3, Tim Editor Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, (Yogyakarta: Aditya Media, 1999), hlm. 213].
29Sufyanto, Masyarakat Tamaddun, Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurchalis Madjid, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001), hlm. 99.
30Muham­mad AS. Hikam, dengan mengacu kepada pengertian yang pernah ditanamkan oleh Alexis de Tocqueville, dalam memahami konsep "masyarakat madani" lebih cenderung mengguna­kan istilah aslinya civil society, yang dapat didefinisikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain : kesukarelaan [voluntary], keswasem­badaan [self generating], dan keswadayaan [self supporting], kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara, dan keterkaitan dengan norma-norma hukum yang diikuti oleh warganya. Dari pandangan ini, setidaknya minimal ada tiga ciri utama dari masyarakat madani, yaitu: Pertama, adanya kemandirian yang cukup tinggi individu-individu dan kelompok-kelompok masyarakat terhadap negara. Kedua, adanya kebebasan menentukan wacana dan praksis politik di tingkat publik.  Ketiga, kemampuan membatasi kekuasaan negara untuk tidak melakukan intervensi [Muhammad AS. Hikam, 1996, Demokrasi dan Civil Soceity, Jakarta, LP3ES, hlm. x-xvi]
31Nurchalis Madjid, 1996, “Menuju Masyarakat Madani”, Jurnal Kebudayaan dan Peradaban, ULUMUL QUR'AN, (Nomor: 2/VII/1996) - ISSN : 0215-9155, Jakarta, hlm. 52-55
32Nurchalis Madjid, menjelskan 6 ciri utama masyarakat madani, yaitu : [1] Masyarakat egaliter, masyarakat egaliter atau masyarakat yang men­gemban nilai egalitarianisme yaitu masyarakat yang mengakui adanya kesetaraan dalam posisi di masyarakat dari sisi hak dan kewajibannya tanpa memandang suku, keturunan, ras, agama dan sebagainya. Pandang Nurchalis Madjid ini, dibantah oleh sebagian ahli yang menya­takan bahwa "masyarakat Madinah" bukanlah masyarakat egaliter seperti yang di sebut Nurchalis. Pandangan ini didasarkan pada "Piagam Madinah", memang terlihat betapa Islam memberikan jaminan kesamaan derajat warga negara ketika Islam secara adil mengatur pemenuhan hak-hak dan kewajiban warganya dan orang-orang yang terikat perjanjian dengan Rasulullah sebagai pemimpin saat itu. Hanya saja semua ini berlangsung dalam kerangka ketunduhan terhadap syariat Islam. Artinya, selama non muslim mematuhi aturan main yang diberikan Rasulullah maka posisi mereka tersebut tidak akan terzalimi. Jadi dalam masyarakat madinah, sangatlah jelas posisi masing-masing apakah dia muslim, ahlu dzimmah atau orang-orang yang terikat perjanjian, maka Islam telah mengatur mereka dengan aturan yang menjamin ketenangan masing-masing penduduk.  [2] Penghargaan, bahwa dalam masyarakat madani adanya penghargaan kepada orang berdasarkan prestise, bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya.  [3] Keterbukaan [partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif], sebagai ciri masyarakat madani adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesedian untuk mendengarkan pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Keterbukaan ini menurut Nurchalis Madjid akan memberi peluang adanya pengawasan sosial. Keterbukaan merupakan kosekuensi dari prikemanusian, suatu pandangan yang melihat sesama manusia pada dasarnya adalah baik. [4] Penegakan hukum dan keadilan, hukum ditegakkan pada siapapun dan kapanpun, walaupun terhadap keluarga sendiri, karena manusia sama di depan hukum. Prinsip hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, sehingga kepastian hukum benar-benar dirasakan oleh semua anggota masyarakat, hukum menjadi supermasi. Prinsip ini yang ditegakkan Nabi Muhammad Saw dan tertuang dalam Piagam Madinah yang berbunyi "Bahwa orang-orang yang beriman dan bertaqwa harus melawan orang yang melakukan kejahatan di antara mereka sendiri, atau orang suka melakukan perbuatan aniaya, kejahatan, permusuhan atau berbuat kerusakan di antara orang-orang beriman sendiri dan meraka harus bersama-sama melawannya walaupun terhadap anak sendiri. [5] Toleransi dan pluralisme, tak lain adalah wujud civility yaitu sikap kewajiban pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selalu benar, karena pluralisme dan toleransi merupakan wujud dari "ikatan keada­ban" [bond of civility], dalam arti masing-masing pribadi dan kelompok dalam lingkungan yang lebih luas, memandang yang lain dengan penghargaan, betapapun perbedaan yang ada tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat atau pandangan sendiri.  [6] Musyawara dan demokrasi, merupakan unsur asasi pembentukan masyarakat madani. Nurchalis Madjid, menyatakan masyarakat madani merupakan masyarakat demokratis yang terbangun dengan menagakkan musyawarah, karena musyawarah merupakan interpretasi posetif berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberikan hak untuk menyatakan pendapat, dan mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat orang lain. Sedangkan pluralisme dan tolerasni dalam beragama, yang dimaksud oleh Nurchalis Madjid dan dikuatkan juga oleh Alwi Shihab adalah bahwa setiap pemeluk agama dituntut bukan hanya mengakui kebenaran dan hak agama lain tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapai kerukunan dalam kebhinekaan [Nurchalis Madjid, 1996, “Menuju Masyarakat Madani”, Jurnal Kebudayaan dan Peradaban, ULUMUL QUR'AN, Nomor: 2/VII/1996 - ISSN : 0215-9155, Jakarta, hlm. 52-55].

33Ibid, hlm. 5.
34Ahmad Hatta, 2001, Peradaban Yang Bagaimana? Rincian Misi Negara Tauhid Madinah, dalam Majalah Suara Hidaya­tullah:Juli 2001,From: http://www.hidayatullah.com/2001/07/kajut3.shtml.,tgl.7 Juni 2001.
35Mufid, 1999, Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, dalam buku: Membangun Masyarakat Madani, Menuju Indonesia Baru Milenium Ke-3, Tim Editor Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Aditya Media, Yogyakarta, hlm.212.

36Anwar Ibrahim,  Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani, Makalah Disampaikan dalam  Ferstival Istiqlal, 16 September 1995, di Jakarta. dalam Sjafri Sairin, Sjafri Sairin, Masyarakat Madani Dan Tantangan Budaya, dalam buku: Membangun Masyarakat Madani, Menuju Indonesia Baru Milenium Ke-3,  dalam: Taufik Abdullah, dkk., Membangun Masyarakat Madani, Menuju Indonesia Baru Milenium Ke-3, Tim Editor Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Aditya Media, 1999, Yogyakarta hlm. 90.
37Chandra Muzaffar, "Pembinaan Masyarakat Madani: Model Malaysia", dalam Institusi Strategi Pemban­gunan Malaysia (MINDS), Masyarakat Madani: Suatu Tinjauan Awal, (Kuala Lumpur: Ras Grafika, 1998), hlm.29., dan   "masyarakat yang dapat mengembangkan sumberdayan­ya tanpa harus dikontrol oleh negara secara ketat, dan keadilan sosial berjalan sebagaimana mestinya"[Ibid, 90].
38Ibid, 90.
39H.A.R. Tilaar,1999, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Re­formasi Pendidikan Nasional, Remaja Rosdakarya Offset, Bandung, hlm.3.

40Sjafri Sairin,1999, “Masyarakat Madani Dan Tantangan Budaya”, dalam: Taufik Abdullah, dkk., Membangun Masyarakat Madani, Menuju Indonesia Baru Milenium Ke-3., Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Yogyakarta: Aditiya Media, hlm. 91-92.
41Persyaratan tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut: Pertama, Pemahaman yang Sama [One Standard]. Pada tingkat awal diperlukan pemahaman bersama dikalangan masyarakat, tentang apa dan bagaimana karakteristik masyarakat madani. Paling tidak secara konsepsional prin­sip-prinsip dasar masyarakat madani harus dipahami secara bersama, sehingga relatif semua masyarakat dapat memahami apa yang digariskan dalam prinsip-prinsip dasar masyarakat madani tersebut. Masyarakat harus memahami lebih dahulu bagaimana mekanisme sistem yang terdapat dalam masyarakat madani itu dalam dinamika kehidupan masyarakat. Dengan pemahaman konsep, relatif akan menjadi lebih mudah bagi masyarakat untuk melangkah untuk menuju masyarakat madani. Karena itu, sosialisasi tentang sistem masyarakat tersebut perlu dilaksanakan dengan memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada.  Kedua, Keyakinan [Confidence] dan Saling Percaya [Social Trust]. Perlu menumbuhkan dan mengkondisikan keyakinan di kalangan masyarakat bahwa masyarakat madani adalah bentuk masyarakat yang ideal, masyarakat pilihan yang terbaik dalam mewujudkan suatu sistem sosial yang dicita-citakan. Maka dengan keyakinan yang tumbuh di kalangan masyarakat, proses untuk menuju masyarakat madani dapat dilakukan. Seiring dengan itu harus perlu ditumbuhkembangkan rasa saling percaya di kalangan ma­syarakat. Penanaman rasa saling percaya sangat diperlukan, karena dalam sejarah Orde Baru telah menanamkan rasa curiga dalam kehidupan masyarakat pada awal kekuasaanya. Rasa kuatir akan adanya gangguan stabilitas dan pembangunan nasional, maka pada awal pemerintahan Orde Baru "semua orang perlu dicurigai". Maka untuk mewujudkan cita-cita bersama, yaitu membangun masyarakat madani, rasa curiga perlu dihilangkan dan perlu ditumbuhkembangkan rasa saling percaya antara komponen yang terdapat dalam masyarakat dengan baik. Rasa saling percaya antara lain, dapat ditumbuhkan dengan meningkatkan rasa keadilan dan kejujuran dalam berbagai aspek kehidupan.  Ketiga, Satu Hati dan Saling Tergantung.  Apabila telah terbentuknya saling percaya di kalangan masyarakat, tahap berikutn­ya diperlukan juga kondisi kesepakatan, satu hati dan kebersamaan dalam menentukan arah kehidupan yang dicita-citakan. Untuk itu, refleksi dari kondisi kesepakatan, satu hati dan kebersamaan akan tergambar dengan semakin menguatnya rasa saling tergantung (interde­pendency) antara individu dengan kelompok dalam masyarakat. Dengan keadaan seperti itu, tingkat saling membutuhkan antara berbagai segmen masyarakat akan menjadi bagian ter­penting dari moral kehidupan masyarakat dan akan menjamin keseimbangan antara kebeba­san individual dan kestabilan masyarakat.  Keempat,  Kesamaan Pendangan tentang Tujuan dan Misi. Jika kondisi kesepakatan, satu hati dan kebersamaan sudah tertanan dalam kehidu­pan masyarakat, maka kesamaan pandangan baik mengenai tujuan dan misi menjadi lebih mudah untuk dapat diwujudkan, karena semua lapiran segmen masyarakat ingin mewujud­kan cita-cita yang sama dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan perbedaan-perbedaan yang ada dalam kehidupan masyarakat tentu tidak dapat dinafikan begitu saja, tetapi perbedaan itu bukan untuk diarahkan menjadi suatu yang bersifat uniformity [menyeragamkan] atau sameness [kesamaan], tetapi dalam wujud unity [kesatuan] dan Onenees [satu kesamaan][49]. Perbedaan tersebut, juga menjadi kekayaan pluralisme dalam kehidupan masyarakat yang dicita-citakan bersama [Sjafri Sairin,1999, “Masyarakat Madani Dan Tantangan Budaya”, dalam: Taufik Abdullah, dkk., Membangun Masyarakat Madani, Menuju Indonesia Baru Milenium Ke-3., Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Aditiya Media, Yogyakarta, hlm. 91-92].

[50]Ibid, hlm. 89-90.
[51]H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan,...,  hlm. 4.
[52]Ibid, hlm. 5.
[53]Editoril, 2000,  Menuju Masyarakat Madani, Jurnal Online, Badan Pekerja MPR RI Tahun 2000, Edisi No.:09, Tanggal 23 Mei 2000., Prom: http://mpr.wasantara.net.id/ bp_2000/ edisi9/editorial.htm., 31 Desember2001, hlm. 1.
[54]Ibid, hlm. 93.
[55]H.A.R. Tilaar,1999, Pendidikan, Kebudayaan,... Op.cit, hlm.5.



49Berbagai upaya perubahan perlu dilakukan dalam mewujudkan "masyarakat mada­ni", berkaitan dengan upaya perubahan tersebut, Jimly Asshiddiqie, menawarkan tiga agenda perubahan diperjuangkan di Indonesia. Agenda besar itu mencakup penataan kembali semua institusi umum, baik pada tingkat supra struktur kenegaraan maupun pada tingkat infra struktur kemasyarakatan dan kebutuhan untuk reorientasi sikap mental, cara berpikir dan metode kerja. Tiga agenda perubahan tersebut adalah : [1] Agenda reformasi institusional [institusional reform], yaitu terbentukn­ya institusi yang kuat dan fungsional, [2] reformasi instrumental [instrumental reform], upaya pembaruan dari mulai dari konstitusi sampai ke peraturan-peraturan pada tingkat terendah, [3] reformasi budaya [cultural reform], yang menyangkut orientasi pemikiran, pola-pola perilaku dan tradisi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat” [Jimly Asshiddiqie, Reformasi Menuju Indonesia Baru; Agenda Restrukturisasi Organisasi Negara, Pembar­uan Hukum, dan Keberdayaan Masyarakat Madani, From: http://www.theceli.com/dok/ dokumen/ jurnal/  jimly/j014.htm. 2002,, hlm. 1].  Ketiga agenda besar ini, menurut Jimly, sekarang sedang berlangsung dengan sangat intensif, tetapi tingkat kecepa­tan antara satu bidang dengan bidang yang lain tidak sama, di samping itu tidak semua orang memiliki tingkat kesadaran dan pemahaman yang sama mengenai persoalan-persoalan yang harus dikembangkan dalam kerangka agenda reformasi menyeluruh.
[57]Riyadi Santoso, Pemerintahan Yang Bersih dan Masyarakat Madani,Jurnal Cides Sintesis,No.2,Th.5,1999,hl.19.
[58]KH.Abdurrahman Wahid, 2001, [Prediden Republik Indonesia], Pidato Presiden Republik Indonesia di depan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 7 Agustus 2000,  From: http://istana.ri.go.id/speech/ind/07 agustus00. htm, 4 Januari 2001, hlm. 6.
[59]Ibid, hlm. 6.
[60]H.A.R. Tilaar,  Pendidikan, Kebudayaan, ..,hlm.5.
[61]Jimly Asshiddiqie,2002, Reformasi Menuju Indonesia Baru; Agenda Restrukturisasi Organisasi Negara, Pembar­uan Hukum, dan Keberdayaan Masyarakat Madani, From: http://www.theceli.com/dok/ dokumen/ jurnal/  jimly/j014.htm. hlm.1.
[61]H.A.R. Tilaar,  Pendidikan, Kebudayaan, ...,  hlm.5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar