CIVIL SOCEITY DAN MASYARAKAT MADANI
(Jalan Panjang Perubahan Menuju Masyarakat Madani Indonesia)
Oleh : Hujair AH. Sanaky
(Dosen Program Pascasarjana FIAI UII dan Dosen Prodi Pendidikan Agama
Islam Fakultas Ilmu Agama Universitas Islam Indonesia Yogyakarta)
A. Pendahuluan
“Civil society dan/atau
“masyarakat madani” merupakan salah satu upaya untuk mengerti bagaimana kita
dapat menjadi bangsa negara [nation-state], yang baik1. Wacana civil society sebetulnya
sudah mulai berkembang sejak dekade 70-an bersama dengan mulai maraknya lembaga
swadaya masyarakat [LSM]2 di
Indonesia. Memasuki dekade 80-an, wacana ini makin merebut perhatian publik.
Pada dekade tersebut, kekuasaan Orde Baru sedang di puncak kejayaannya dengan
wacana tunggal yang sangat hegemonik yang ditandai penetapan “Pancasila”
sebagai asas tunggal. Wacana lain yang muncul diluar Pancasila “ibarat barang
haram” yang bukan saja dilarang, tetapi juga diimbangi dengan tindakan hukum
yang represif3.
Indonesia, menurut Prof. Bernard
Adeney, “sudah memiliki definisi yang cukup hebat tentang masyarakat baik atau civil
atau “madani”, yaitu Pancasila.
Menurutnya, pancasila muncul sebagai hasil dari musyawarah mufakat yang
menyatakan semacam visi4 untuk civil
society5.
Konsep civil society dan “masyarakat madani” merupakan konsep yang
bersifat universal, sehingga perlu adaptasi dan perubahan mendasar, apabila
konsep ini akan disosialisasikan dan
diwujudkan di Indonesia. Kenapa demikian, karena konsep “civil society” dan “masyarakat madani” , tentu saja lahir dari masyarakat
yang memiliki latar belakang dan karakter sosial, budaya serta politik yang
berbeda dengan masyarakat Indonesia.
Civil Society merupakan
semacam konstruksi sosial simbolis yang tidak pernah terwujud secara riel atau
nyata dalam masyarakat manapun. Tidak ada kenyataan yang dapat disebut Civil
Society di dunia nyata. Hal ini juga sama dengan symbol masyarakat madani adalah
suatu simbol tentang salah satu visi dari suatu masyarakat. Menurut Prof. Bernard
Adeney, ada saudara Muslim yang menegaskan bahwa sudah pernah
ada masyarakat madani, yaitu masyarakat Madinah. Namun, Madinah, telah lahir
“ratusan tahun yang lalu bukan sama dengan Indonesia abada 21”. Apabila
masyarakat Indonesia yang madani diusahakan, akan menjadi perbuatan yang kurang
lebih baru di dunia ini dan tidak pernah sempurna6.
Apakah civil society dan masyarakat madani dapat dilaksanakan atau diiaktualisasikan di masyarakat Indonesia. Jawaban sementara, apabila konsep ini akan
diaktualisasikan di masyarakat Indonesia, diperlukan suatu perubahan mendasar
dan langkah-langkah kontinyu sistimatis yang dapat merubah paradigma,
kebiasaan, dan pola hidup masyarakat Indonesia. Walaupun di sisi lain Prof. Bernard, menyatakan bahwa “masyarakat madani” kurang cocok lagi untuk masyarakt Indonesia
pada abad 21 ini. Kedua konsep ekstrim ini [yang liberal Barat dan yang Muslim
Arab], kurang cocok di Indonesia dan kita harus mencari pengertian kedua konsep
tersebut agar sesuai dengan sejarah dan konteks Indonesia7. Menurut hemat pemakala, “karakteristk” atau
ciri-ciri masyarakat madani dapat digunakan dan disesuaikan dengan kondisi
masyarakat Indonesia sekarang ini, artinya dilakukan pembaruan. Maka apabila kita menginginkan untuk
mewujudkan kedua konsep ini, tanpaknya masyarakat dan
bangsa Indonesia harus disiapkan dan siap untuk
“membangun infrastruktur sosial, budaya, ekonomi, agama dan politik
untuk mendukung ciri-ciri atau karakteristik masyarakat madani dan civil
society yang diharapkan”. Walaupun, “cita-cita civil society
atau masyarakat madani yang dapat
diterima oleh keseluruhan bangsa-negara Indonesia belum jelas”8.
Dari pemikiran di atas, pemakalah berkeinginan untuk membahas konsep ini dan titik tolak pembahasan lebih
difokuskan pada “masyarakat madani”. Untuk itu, perlu terlebih dahaulu menelususi
akar sejarah, makna “civil society” dan
"masyarakat madani", kemudian mencari
perbedaan kedua konsep ini. Selanjutnya, membahas perubahan menuju
masyarakat madani Indonesia dengan fokus pada tantangan, peluang, serta terebosan untuk mewujudkan masyarakat madani
Indonesia.
B. Akar Sejarah, Makna Civil Society dan Masyarakat Madani
Sebagai konsep sosial yang lahir pada abad
ke-18, civil society sangat terbukan terhadap perkembangan, pemaknaan
dan penafsiran. Jika dilacak secara emperik istilah civil society merupakan terjemahan dari istilah Latin, civilis
societas, yang mula-mula dicetuskan dan dipakai oleh Cocero [106-43 S.M]
seorang filsuf, orator dan pujangga
Roma - yang berkembang seiring dengan
kemajuan pemikiran waktu itu. Pengertiannya
mengacu kepada gejala budaya perorangan dan masyarakat. Maka masyarakat sipil
disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik [political society]9 yang memiliki kode hukum sebagai dasar
pengaturan hidup10.
Pada mulanya civil society dipahami sebagai komunitas negara yang
anggota-anggotanya adalah warga. Dalam
konteks ini, civil society identik dengan negara. Hegel, termasuk yang membolehkan negara
melakukan intervensi terhadap civil society. Karena, dengan kebebasan
mengembangkan aspirasi dan kepentingan dari setiap warga, maka civil society
dengan sendirinya butuh bantuan negara untuk melakukan pengaturan, lewat
kontrol hukum, administrasi dan politik. Tetapi pada perkembangan
selanjutnya, civil society mengalami
perkembangan makna sebagai entitas yang terpisah dari negara. Tokoh yang memulai adalah Thomas Pain [1792]
yang memaknai civil society dalam posisi diametral dengan negara, bahkan
civil society11 dinilai sebagai antitesis negara12.
Wacana Civil society dan/atau “masyarakat madani” bukan merupakan konsep yang dengan mudah
dapat diapresiasikan dalam konteks Indonesia. Bukan hanya karena karakter sosial,
budaya, serta politik kita berbeda dengan tempat asal konsep ini lahir, tetapi
secara teknis ”kebahasaan” juga sulit ditemukan padanan atau kesamaannya. Ada
yang menerjemahkan sebagai “masyarakat sipil”, yang kemudian diperhadapkan
dengan masyarakat militer. Ada yang menerjemahkan sebagai “masyarakat madani”
dengan merujuk pada ideal type masyarakat Islam di Madinah pada
masa-masa awal kedatangan Islam. Padahal
civil society merujuk pada sebuah
masyarakat yang ada dalam suatu Negara yang disebut nation-state [Negara bangsa], bukan Negara yang didasarkan pada
agama maupun Negara yang didasarkan pada suku [tribal-state]13.
Kemudian ada juga yang menerjemahkan sebagai masyarakat warga atau masyarakat
kewargaan. Tanpaknya, terjemahan
terakhir inilah yang agaknya lebih dekata dengan substansi civil society. Tetapi masih ada juga kelompok lain yang
enggan menerjemahkan istilah ini sehingga tetap menggunakan istilah civil
society, karena kemungkinan sulit dicari padanannya dalam konteks bahasa
Indonesia.
Tanpaknya dari pandangan di atas, kita
mengalami kesulitan dalam mencari padanan kata ”civil society” dalam bahasa
Indonesia, sehingga kata ini diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu
”masyarakat sipil”, ”masyarakat madani”,
”masyarakat warga” atau ”masyarakat kewargaan”. Prof. Bernard Adeney,
mengatakan bahwa makna civil society tidak ada satu kata dalam bahasa
Indonesia yang cocok untuk menerjemahkan kata bahasa Inggris “civil”. Juga
dalam bahasa Inggris sendiri-pun mempunyai banyak makna yang berbeda, tetapi mempunyai banyak nuansa lain. Konsep
ini sangat kaya dan sekaligus agak kabur14.
Prof. Bernard Adeney mencoba mengemukakan tiga makna dari kata civil, yang paling
cocok dengan istilah civil society, yaitu : Pertama, Civil dapat
berarti ”civilized” atau beradab.
Civil Society bearti masyarakat beradab atau madani, walaupun
maknanya kurang jelas. Tetapi dalam bahasa Inggris, paling sedikit, civil berarti hubungan diantara masyarakat yang sopan, halus dan toleran
terhadap satu sama lain. Menurutnya, ini adalah makna civil yang minimal dan bukan maksimal. Artinya, civil tidak bermaksud
mencintai, gotong royong, bersaudara, kerja bahu-membahu atau bahkan simpatik. Civil hanya berarti sopan, toleran, tidak kasar. Kedua, Civil – berarti
seorang, kelompok,lembaga atau instansi yang ”bukan negara” [state]. Biasanya pengertian ini lebih ditekankan
adalah lembaga dan institusi yang diciptakan masyarakat sendiri tanpa campur
tangan pemerintah. Konsep ini lebih
terfokus pada pemisahan kekuasaan [separation of power], yaitu
pemerintah tidak boleh menguasai atau mengendalikan perkumpulan masyarakat
kecuali ketika kebaikan umum [common good] terancam. Maka lembaga masyarakat seperti LSM
atau lembaga pendidikan, atau lembaga agama seharusnya bebas untuk mengatur
diri sendiri, selama mereka tidak melanggar hukum atau mengganggu kelompok
lain. Lembaga-lembaga LSM, tokoh-tokoh universitas, wartawan-wartawan dan
pemimpin-pemimpin agama. Ketiga,
civil - berarti ”bukan militer”. Seorang ”civilian” adalah yang
bukan militer. Dari makna ini dapat
disimpulkan bahwa masyarakat civil [sipil] adalah masyarakat yang
terpisah dari militer dan tidak termasuk militer. Militer tidak boleh campur tangan dengan
kehidupan masyarakat sipil. Dalam hal ini, tidak hanya ada civil society tetapi juga civil government
[pemerintahan sipil]. Pemerintah sipil tidak dikuasai oleh militer dan tidak
boleh memerintah atau mengendalikan masyarakat melalui militer15.
Dari ketiga makna di atas, dapat disimpulkan bahwa ”civil society sebagai
masyarakat yang sopan dan toleran terhadap satu sama lain, yang mampu mengatur
diri sendiri melalui perbagai lembaga, tanpa campur tangan pemerintah, dan yang
bebas dari paksaan, ancaman dan kekerasan militer. Definisi seperti ini bersifat ideal dan minimal.
Ideal dalam arti belum pernah ada masyarakat seperti ini terwujud secara
sempurna dan masyarakat Indonesia masih agak jauh dari gambaran defenisi ini”16 atau protitype masyarakat ini. Begitu juga ”masyarakat madani” yang
merupakan kata lain dari civil society. Kata ini sering disebut sejak kekuatan
otoriter Orde Baru tumbang selang satu tahun. Malah cenderung terjadi sakralisasi pada kata itu
seolah-oleh implementasinya mampu memberi jalan keluar untuk masalah yang
tengah dihadapi bangsa Indonesia.
Identifikasi protitype civil
society dan masyarakat madani semacam ini sebetulnya dapat dipahami dan
ideal untuk suatu masyarakat, meski mungkin masih dapat diperdebatkan. Pada
masa Orde Baru hampir-hampir tidak ada organisasi yang terbebas dari kooptasi
kekuasaan pemerintahan. Katakan saja,
organisasi-organisasi dengan massa dan keanggotaan yang luas biasa besar,
seperti NU dan Muhammadiyah tidak sepenuhnya dapat dianggap mandiri, otonom,
dan steril dari intervensi Negara. Hal ini bukan berarti organisasi itu tidak
mampu bersikap ”independent” dan ”otonom”, tetapi negara dan atau pemerintahan
versi Orde Baru merupakan Negara yang mengurusi hampis segala hal atau segala
aspek kehidupan, bahkan sampai pada hal yang sifatnya paling pribadi seperti
dalam kasus KB, diatur oleh negara. Dari
kondisi ini dapat dipahami bahwa civil society tidak mengalami kemajuan
yang berarti dalam kekuasaan Orde Baru17.
Berbicara tentang wacana dan gagasan
"masyarakat madani" yang berkembang di Indonesia merupakan terjemahan
dari civil society?, tetapi masih
dipertanyakan, apakah sama antara istilah "masyarakat madani" dengan
istilah civil society. Berbagai "pemikiran yang dilontarkan
seputar civil society, yang di
Indonesia telah diterjemahkan menjadi "masyarakat sipil" atau "masyarakat
madani". Padahal kita tahu, bahwa sebenarnya istilah ini merupakan imbas
dari perkembangan pemikiran yang terjadi di dunia Barat, khususnya di
negara-negara industri maju di Eropa Barat dan Amerika, dalam perhatian mereka
terhadap perkembangan ekonomi, politik, sosial-budaya18. Sedangkan masyarakat madani lahir
dari ”masyarakat Muslim Arab” yang juga
memiliki akar budaya yang berbeda dan masyarakat di Madinah berdasarkan syariat
Islam. Tentu saja kedua konsep ini
secara sosial, budaya dan politik berbeda dengan sosial-budaya dan politik
masayarakat dan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Tetapi tidak menutup kemungkinan, menurut
Prof. Bernard Adeney, bahwa ”masyarakat
madani merupakan konsep yang lebih cocok untuk Indonesia, atau untuk sebagian
dari masyarakat Indonesia, dari pada konsep civil society”19.
Kenapa, karena secara sosio-relegius ada kesamaan pandangan dan
pemahaman dengan sebagian besar masyarakat Indonesia, bila dibandingkan dengan
konsep civil society yang berasal dari pemikiran liberal Barat.
Istilah masyarakat madani, pertama kali
dipopulerkan oleh Muhammad an-Naquib al-Attas, yaitu 'Mujtama' madani atau masyarakat kota. Istilah ini secara etimologi mempunyai dua arti,
yaitu : [1] "Masyarakat kota. Ini
berarti madani adalah derivat dari kata
bahasa Arab, ”Madinah” yang berarti kota. [2] Masyarakat yang
berperadaban, karena madani adalah juga merupakan derivat dari kata Arab tamaddun
atau madaniah yang berarti ”peradaban”, dengan demikian masyarakat
madani adalah ”masyarakat yang beradab”.
Peradaban dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah civility
atau civilization. Dari pengertian
ini kemudian istilah masyarakat madani disamakan dengan civil society, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai
peradaban[1]20.
Di Indonesia, Istilah masyarakat madani pertamakali dibawa dan
dipopulerkan Dato Seri Anwar Ibrahim,
pada saat menghadiri Fertival Istiqlal di Jakarta. Istilah "masyarakat
madani" menurutnya sebagai terjemahan "civil society"21. Namun istilah masyarakat madani,
tidak identik dengan civil society.
Walaupun ada kesamaan konsep tentang masyarakat beradab, sopan, toleran,
dan sebagainya, tetapi masyarakat madani di Madinah dibangun berdasarkan
syariat Islam. Ini menunjukkan letak perbedaan anatara konsep masyarakat
madani dan civil society. Maka dalam memperkenalkan pengertian
masyarakat madani di Indonesia, Nurcholis Madjid mengacu pada konsep
"negara kota Madinah" yang
dibangun Nabi Muhammad saw pada 622 M, dengan syariat Islam. Istilah masyarakat
madani juga mengacu pada konsep tamaddun [masyarakat berperadaban] yang
diperkenalkan Ibn Khaldun dan konsep al-madinah al-fadhilah [negara
utama] yang dikemukakan filsof Al-Farabi pada abad pertengahan22.
Nurchalis Madjid, mengatakan perkataan Arab "Madinah" artinya
kota, dan secara etimologis berarti "tempat peradaban". Menurutnya,
pengertian Madinah mirip atau padanan perkataan Yunani "polis"
[seperti dalam nama kota "Constantinopel], dan "Madinah" dalam
pengertiannya sama dengan "hadharah" dan "isaqarah",
yang masing-masing sering diterjemahkan "peradaban" dan
"kebudayaan". Kedua istilah ini
secara etimologis mempunyai arti "pola kehidupan menetap"
sebagai lawan "badawah" yang berarti pola kehidupan mengembara,
"nomad". Maka perkataan
"madinah", dalam peristilah modern, menunjuk kepada semangat dan
pengertian "civil society",
istilah Inggris yang berarti "masyarakat sopan, beradab dan teratur"
dalam bentuk negara yang baik23.
Dari sini, dapat dikatakan bahwa konsep "masyarakat madani"
adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar kewajiban
dan kedasaran umum untuk patuh pada peraturan atau hukum. Dengan demikian,
variabel utama masyarakat madani adalah masyarakat beradab, sopan, teratur,
memiliki kemandirian [otonomi], kebebasan dan keterbukaan untuk berserikat,
berkumpul mengeluarkan pendapat serta kesempatan yang sama dalam mempertahankan
kepentingan di depan umum. Jadi konsep masyarakat berperadaban dalam
masyarakat madani adalah masyarakat yang berpegang teguh pada peradaban dan kemanusiaan,
masyarakat yang bercirikan kebebasan dan demokrasi dalam berinteraksi di dalam
masyarakat yang plural.
Dari paparan di atas, dapat kita lihat perbedaan yang tampak jelas
adalah civil society tidak mengaitkan prinsip tatanan pada agama
tertentu, sedangkan masyarakat madani [al-madaniy]
jelas mengacu pada agama Islam. Konsep masyarakat madani adalah bangunan
politik yang demokratis, menghormati dan menghargai publik seperti: kebebasan
hak asasi, partisipasi, keadilan sosial, menjunjung tinggi etika dan
moralitas, dan lain sebagainya yang didasarkan pada syariat Islam. Hal inilah
yang mungkin dikhawatirkan oleh sebagian masyarakat no-muslim apabila konsep
masyarakat madani diujudkan di Indonesia.
Kekhawatiran itu tidak perlu muncul, apabila konsep masyarakat
madani difahami sebagai masyarakat yang
berperadaban, beradab, masyarakat sipil, menghargai perbedaab agama dan
menghargai pluralistik. Tuntutan masyarakat madani yang diharapkan kaum
reformis adalah "masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan
desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar"24, masyarakat yang "jujur, adil,
mandiri, harmonis, memihak kepada yang lemah, menjamin kebebasan beragama,
berbicara, berserikat dan berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan menghormati
hak-hak asasi manusia"25, dapat
diujudkan di masyarakat Indonesia yang plural.
Melihat konsep masyarakat madani sebagai masyarakat yang beradab, sopan
dan teratur apakah dapat diujudkan di Indonesia. Kelihatannya masyarakat Indonesia mengalami kendala untuk
menerapkan konsep civil society dan masyarakat madani, sebab setelah
rezim Orde Baru tumbang dan dimulai dengan ”era reformasi” yang menggiring
masyarakat Indonesia ke-euforia domokrasi yang berdampak pada “euforia
kebebasan” yang nyaris “kebablasan”.
Indikasinya, masyarakat bertindak bebas dan anarkis, masyarakat main
hakim sendiri, pembunuhan dan pemerkosaan merupakan hal yang biasa, kekerasan terjadi dimana-mana, konflik
bernuansa SARA yang terjadi Maluku [Ambon], Maluku Utara dan Poso, tindak
kekerasan terhadap aliran agama tertentu [Ahmadiyah], peristiwa tragis berdarah di depan Universitas Cendrawasi
Abepura Papua yang bersifat anarkis dan “kebablasan” sehingga menelan korban
jiwa, dan peristiwa kekerasan lain yang terjadi di masyarakat Indonesia. Itulah realitas kehidupan masyarakat
Indonesia sekarang ini. Menurut Prof.
Bernard Adeney, perilaku semacam ini, dikatakan
“kurang civil, bahkan dapat dikatakan “uncivil society [masyarakat biadab]”26.
Dengan realitas ini, mungkinkah kita akan mengatakan bahwa masyarakat
Indonesia masih jauh dari protetype civil society dan “masyarakat
madani” atau yang selalu disebut dengan istilah
“Indonesia Baru”.
Dengan mengetahui akar sejarah dan makna civil society dan
masyarakat madani sebagai masyarakat yang beradab, berperadaban, masyarakat
sipil, masyarakat yang sopan, teratur dan pluralistik, maka perlu untuk
mengkaji karakteristik masyarakat madani sebagai upaya untuk melakukan
pembaruan sosio-kultural masyarakat Indonesia, walaupun akan melalui jalan yang
panjang sekali.
C. Karakteristik
Masyarakat Madani
Dari gambaran "masyarakat madani" dari para ahli
tersebut, timbul pertanyaan protetype
apakah yang menjadi karakteristik
masyarakat tersebut. Secara umum
dapat disimpulan, bahwa karakteristik "masyarakat madani" adalah
masyarakat kota, masyarakat yang berperadaban, masyarakat yang dapat
menciptakan peradaban, masyarakat yang memiliki pola kehidupan yang benar yaitu
pola kehidupan masyarakat yang menetap dan bukan masyarakat nomaden. Masyarakat
terbuka, pluralistik, menjamin kebebasan beragama, jujur, adil, kemandirian,
harmonis, menjamin kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia. Pelaku sosial akan selalu berpegang teguh
pada peradaban dan kemanusian, yang selalu bercirikan demokratisasi dalam
berinteraksi di masyarakat yang plural dan heterogen.
Katakan saja, masyarakat madani yang akan diwujudkan antara lain
memiliki karakteristik sebagai berikut :
[1] Masyarakat beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang
memiliki pemahaman mendalam akan agama serta hidup berdampingan dan saling
menghargai perbedaan agama masing-masing. [2] Masyarakat demokratis dan beradab
yang menghargai adanya perbedaan pendapat. Memberi tempat dan penghargaan
perbedaan pendapat serta mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan
individu, kelompok dan golongan. [3] Masyarakat yang menghargai hak-hak asasi
manusia, mulai dari hak untuk mengeluarkan pendapat, berkumpul, berserikat, hak
atas kehidupan yang layak, hak memilih agama, hak atas pendidikan dan
pengajaran, serta hak untuk memperoleh pelayanan dan perlindungan hukum yang
adil. [4] Masyarakat tertib dan sadar
hukum yang direfleksikan dari adanya budaya malu apabila melanggar hukum, dan
[5] Masyarakat yang kreatif, mandiri dan percaya diri. Memiliki orientasi kuat
pada penguasaan ilmu pengatahuan dan teknologi. [6] Masyarakat yang memiliki
semangat kompetitif dalam suasana kooperatif, penuh persaudaraan dengan
bangsa-bangsa lain dengan semangat kemanusiaan universal [pluralistik]27.
Karakteristik28 yang
dikemukakan ini sangat ideal, perlu upaya untuk membangun infrastruktur sosial,
budaya, ekonomi, politik dan pendidikan. Upaya untuk mengeliminir dan mengatasi
berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di negeri ini, sehingga dapat mewujudkan
cita-cita masyarakat madani Indonesia.
Karakteristik masyarakat madani merupakan ciri yang sangat idial,
sehingga mengesankan seolah-olah tak ada masyarakat seideal itu. Kalau ada,
hanya masyarakat muslim yang langsung dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw yang relatif
memenuhi syarat tersebut. Muncul kesan
seolah-olah tak ada masyarakat seideal masyarakat madinah. Memang hal ini telah
diisyaratkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam sabdanya, "tak ada satupun
masyarakat di dunia ini yang sebaik masyarakat atau sebaik-baik masa adalah
masaku" [ahsanul qurun qarni].
Terlepas dari status sahih dan tidaknya sabda ini, ataupun siapa pun
periwayatnya29. Diakui bahwa masyarakat Madinah yang dibangun Nabi
Muhammad Saw sebagai masyarakat terbaik dan berperadaban, karena masyarakat
Madinah yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad Saw merupakan prototype
masyarakat idial. Dalam wacana ini,
orang cenderung menyamakan konsep
masyarakat madani dengan civil society30,
karena sama-sama membangun peradaban manusia.
Nurchalis
Madjid, menyatakan bahwa "masyarakat madani" yang dibangun Rasul di Madinah dengan azas yang tertuang
dalam "Piagam Madinah", memiliki 6 [enam] ciri utama, yaitu :
[1] egalitarianisme, [2] penghargaan kepada orang berdasarkan
prestasi [bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya], [3] keterbukaan
[partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif], [4] penegakan hukum
dan keadilan, [5] toleransi dan pluralisme serta [6] musyawarah31.
Mungkin saja, ke-enam karakteristik32 ini
dapat dilaksanakan atau diujudkan dalam masyarakat Indonesia, asalkan
masyarakat Indonesia siap merubah semua aspek kehidupan.
Dari uraian di atas, jelas konsep civil soceity berasal dan
muncul dari pandangan pemikir-pemikir Barat, kemudian konsep ini diakomudasikan
dalam wacana pemikiran Islam. Padahal
Islam sendiri telah memiliki konsep yang jelas dan gamblang dalam asas dan
perinciannya tentang masyarakat ideal yang wajib diwujudkan kaum muslimin. Masyarakat tersebut adalah masyarakat yang di
dalamnya dapat merealisasikan nilai-nilai khas yang terpancar dari aqidah. Dari
aqidah tersebut, memancarkan apa yang disebut dengan egaliter, pluralisme,
toleransi, demokrasi.
Nurchalis Madjid, "berusaha menawarkan persepsi yang sama antara
masyarakat madani dalam suatu bentuk yang disebut "Ijtihad
kontemporer" sebagai alternatif ideal masyarakat masa depan Indonesia
dengan protetype masyarakat Rasul di Madinah.
Ide Nurchalis Madjid ini, dikiritik oleh pemikir-pemikir Islam lainnya
di Indonesia, dikatakan bahwa Nurchalis Madjid, telah melakukan suatu
penganalog yang sangat tidak adil dan tidak beralasan karena hanya melihat
masyarakat madani dari segi kemajemukan semata tanpa mengaitkan dengan sistem
khas yang telah mengatur tatanan masyarakat Madinah tersebut sedemikian rupa33, sehingga dipertanyakan apakah konsep
Nurchalis Madjid itu lebih dekat kepada masyarakat Islam di Madinah atau
jangan-jangan lebih mirip dengan masyarakat di Barat liberal. Padahal negara dan masyarakat Madani yang
dibangun Nabi Muhammad Saw adalah negara dan masyarakat yang "kuat"
dan "solid" dengan nilai-nilai khas yang terpancar dari keyakinan
aqidah Islamiyah. Negara yang dibangun
di atas masyarakat yang bersatu tidak hanya karena kepentingan yang sama yang
menjadi sebab terbentuknya mayoritas negara modern, tetapi terbentuk karena
memiliki perpektif yang sama, perasaan yang sama dan misi yang sama dalam
membangun suatu masyarakat. Maka atas dasar persamaan ini menjadikan seluruh
perbedaan yang ada seperti perbedaan suku, warna, ekonomi dan sebagainya hanya
menjadi keberagaman dan kekayaan bukan sebab perpecahan34.
Terlepas dari perdebatan tersebut di atas, karakteristik dan ciri
masyarakat madani yang dikemukakan adalah sangat ideal. Cleary and Watson dalam
Antonio Rosmini [1986:vii], menyatakan bahwa masyarakat madani atau civil soceity adalah "organisasi
manusia yang sempurna, sebagai konsekuensi perkembangan hidup dan kuantitasnya,
dan manakala bakat-bakat alamiah yang ia miliki saling bersinggungan dan
bergesekan35. Banyak pemikir yang
menyatakan, bahwa untuk membangun masyarakat madani diperlukan tingkat
pendidikan yang memadai dan berkualitas, ekonomi yang memadai, suasana dan
kesadaran politik yang kondusip, demokrasi,
hukum yang kondusip serta mendukung, dan jaminan keamana sebagai
prasyarat untuk membangun masyarakat madani. Selain itu, masyarakat madani
dengan karakteristik tersebut hanya dapat diwujudkan melalui pembangunan sumber
daya manusia yang berkualitas dan peran pendidikan untuk membangun masyarakat
tersebut.
D. Proses Perubahan Menuju Masyarakat Madani di
Indonesia
Proses perubahan menuju masyarakat madani sangat terkait dengan
kehidupan politik bangsa, budaya, pendidikan, berpikir kritis, hukum, keadilan,
keterbukaan, kemajemukan atau pluralisme serta perlindungan terhadap kaum
minoritas. Dalam masyarakat madani tercipta "keseimbangan antara kebebasan
individu dan kestabilan masyarakat. Inisiatif individu dalam bidang pemikiran,
seni, ekonomi, teknologi, dan pelaksanaan pemerintahan yang mengikuti
undang-undang dan hukum yang berlaku dengan baik"36. Tercipta "kemandirian individu,
keluarga, lembaga-lembaga sosial lainnya seperti media massa, betul-betul
dihargai tanpa ada pengaruh langsung dari negara atau pemerintah"37, dan
"masyarakat yang dapat mengembangkan sumberdayanya tanpa harus
dikontrol oleh negara secara ketat, dan keadilan sosial berjalan sebagaimana
mestinya"38.
Masyarakat Indonesia sedang berada dalam masa transformasi, era
reformasi telah lahir dan masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam
semua aspek kehidupannya39 menuju
kehidupan masyarakat madani. Muncul tuntutan untuk mewujudkan pemerintahan
bersih, pada satu sisi dan cita-cita mewujudkan masyarakat madani [civil society], nampaknya tidak boleh
ditawar-tawar lagi. Proses untuk menuju dan mewujudkan masyarakat madani tentu
tidak mudah, karena diperlukan beberapa persyaratan untuk mengimplemtasikan
konsep tersebut, tantangan yang dihadapi, serta peluang melakukan perubahan
menuju masyarakat madani yang dicita-citakan, yaitu :
1. Persyaratan Menuju Masyarakat Madani
Sebagai sebuah gagasan tentang sistem kehidupan masyarakat madani, tentu
tidak mudah untuk dicapai begitu saja. Dibutuhkan
beberapa persyaratan agar gagasan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik.
Beberapa persyaratan yang diperlukan untuk mewujudkan masyarakat madani, yaitu
: Pertma, pemahaman yang sama [One Standard], Kedua, adanya keyakinan [Confidence]
dan saling percaya [Social Trust], Ketiga, satu kesatuan atau satu hati dan
saling tergantung, Keempat, perlu
adanya kesamaan pandangan tentang tujuan dan misi40, menuju masyarakat madani41.
Jika keempat persyaratan di atas dapat dipenuhi, maka relatif akan lebih
mudah untuk merumuskan berbagai kebijakan dan strategi untuk mewujudkan
masyarakat madani yang dicita-citakan. Maka, kunci utama dari keberhasil
mewujudkan masyarakat madani yang dicita-citakan itu, secara kultural antara
lain terletak pada prasyarat-prasyarat yang disebutkan di atas. Kemudian selain
keempat persyaratan tersebut, yang harus diperhatikan adalah tantangan yang
hadapi dewasa ini untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan.
2. Tantangan Menuju Masyarakat Madani
Untuk mewujudkan masyarakat madani di Indonesia dengan ciri serta
persyaratan yang dikemukakan tentu bukan merupakan hal yang mudah. Diperlukan
upaya, kerja keras dan daya tahan yang tinggi untuk mengatasi berbagai kendala
dan tantangan yang hadir, baik kendala yang berhubungan dengan struktur sosial,
maupun kendala yang berkaitan dengan keadaan masyarakat Indonesia yang pada
saat ini sedang mengalami berbagai guncangan"[50] sepeti krisis moneter, tuntutan pemerintahan yang demokrasi, bersih
serta berwibawa. Konflik antara masyarakat dibeberapa daerah yang mengarah
kepada disintegrasi bangsa. Secara umum ada dua kendala yang dihadapi dalam
mewujudkan masyarakat madani, yaitu kendala yang bersifat struktural maupun
kultural.
Pertama, secara struktural dominasi negara dan birokrasi kekuasaan masih sangat
kuat, sehingga wilayah masyarakat madani terdesak. Kondisi ini sebagai akibat
dari budaya politik yang ditinggalkan Orde Baru, karena selama Orde Baru telah
tercipta suatu kehidupan bangsa yang tidak sesuai dengan cita-cita UUD 1945.
Pemerintahan Orde Baru yang represif telah menghasilkan manusia-manusia
Indonesia yang tertekan, tidak kritis, manusia yang bertindak dan berpikir
dalam acuan suatu struktur kekuasaan yang hanya mengabdi kepada kepentingan
sekelompok kecil rakyat Indonesia[51]. Masyarakat Indonesia selama 32
tahun telah terkooptasi dengan budaya politik pemerintah Orde Baru. Kehidupan
"demokrasi telah dipasung sehingga tidak ada kebebasan berpendapat apalagi
berbeda pendapat. Pikiran manusia diarahkan kepada hanya ada satu kebenaran
yaitu untuk mempertahankan struktur kekuasaan yang ada"[52].
Kedua, secara kultural, warga masyarakat masih
terperangkap dalam mentalitas dan budaya paternalistik. Orientasi dan
ketergantungan pada pemimpin dan penguasa masih tinggi, membuat kemandirian
kurang berkembang[53]. Tantangan sosial budaya yang
cukup berat adalah pluralitas masyarakat Indonesia. Pluralitas tidak hanya
berkitan dengan budaya saja, tetapi juga persoalan sosial, politik dan ekonomi
masyarakat. Bangsa Indonesia telah lama merdeka, tetapi pluralitas masyarakat
itu kurang dimanfaatkan sebagai potensi yang didinamisasikan untuk memacu
pembangunan. Kebijakan politik pembangunan selama ini justru berkesan
menjadikan masyarakat Indonesia yang majemuk menjadi suatu masyarakat yang
mengarah pada bentuk uniformitas [menyeragamkan]. Usaha uniformitas melahirkan
tuntutan rasa kedaerahan yang menonjol. Kondisi ini dapat dilihat dari semakin
ramainya perdebatan tentang pentingnya putra daerah untuk diangkat menjadi
pejabat[54]. Usaha uniformitas yang dilakukan pemerintah telah membawa kontra
produktif.
3. Peluang Perubahan Menuju Masyarakat Madani
Pada era reformasi, masyarakat menuntut kembali kedaulatan rakyat yang
telah hilang, karena "era reformasi menuntut perubahan total dalam
kehidupan bangsa dan masyarakat untuk mewujudkan cita-cita "masyarakat
madani Indonesia". Reformasi menuntut perubahan dalam semua aspek
kehidupan khususnya bidang politik, pemerintahan, ekonomi dan budaya. Perubahan
dalam bidang politik terutama diarahkan kepada hidupnya kembali kehidupan
demokrasi yang sehat sesuai dengan tuntutan konstitusi 1945[55]. Visi perubahan lebih ditekankan pada pendekatan kemanusiaan untuk
menuju masyarakat madani atau civil
society yang berkeadilan, berkeadaban dan mandiri di segala bidang dalam
tatanan kehidupan yang harmonis.
Kenyataan kehidupan bangsa dan negara Indonesia sekarang, tanpaknya
memang tidak mudah untuk mewujudkan masyarakat madani itu, jika corak budaya
bangsa Indonesia masih berlangsung dengan warna seperti yang dilukiskan pada
tantangan di atas. Karena untuk mewujudkan "masyarakat madani" di
Indonesia tidaklah semudah membalik telapak tangan, memerlukan proses panjang
dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga bangsa untuk mereformasi
diri secara total menuju terwujudnya masyarakat madani. "Diperlukan kerja
keras dan niat lurus untuk merubah budaya masyarakat agar menjadi lebih
demokratis, terbuka luas, dan bebas dari tekanan, agar jalan menuju masyarakat
madani lebih terbuka luas"[56]. Selain itu, keharusan masyarakat untuk ikut mengambil peran dalam
mewujudkan masyarakat berperadaban, masyarakat madani di Indonesia, karena
terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita
kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia49.
Berbagai upaya perlu dilakukan untuk mewujudkan masyarakat madani, baik
yang bersifat berjangka pendek maupun yang "berjangka panjang:
Pertama, peluang perubahan jangka
pendek, menyangkut dengan perubahan pada pemerintahan, politik, ekonomi, hukum
dan jurnalistik. [1] Sesuai dengan
tuntutan masyarakat pada era reformasi, agar terciptanya "pemerintahan
bersih yang menjadi prasarat untuk tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani
yang sehat. Tumbuh dan berkembangnya
masyarakat madani, jelas akan menuntut ”performance” pemerintahan yang
bersih, sebagai sebuah pemerintahan yang efesien dan efektif, bersih dan
profesional"[57], berwibawa, bebas dari korupsi,
kolusi dan nepotisme. Tercipta pemrintahan yang dapat dipercaya [credible], dapat diterima [acceptable], dapat memimpin [capable], dan pemerintahan yang bersih [clean government]. [2] Bidang politik, adanya "upaya sadar
pemerintah dan masyarakat untuk mencapai tingkat kesepakatan maksimal dalam
memberi makna sistem demokrasi, sehingga tercitanya tingkat keseimbangan
relatif dan saling cek dalam hubungan kekuasaan eksekutif, legeslatif dan
yudikatif"[58], sehingga terwujudnya keberdayaan lembaga legislatif dalam melakukan
fungsi-fungsi legislatif, pengawasan yang mencerminkan aspirasi rakyat yang
diwakilinya. "Dimensi demokrasi dari masyarakat adalah tercipta
kesepakatan nilai untuk kesetaraan di depan hukum dan pemerintah, kesetaraan
dalam kompetisi dan politik, kemandirian, dan kemampuan menyelesaikan berbagai
konflik dengan cara-cara damai"[59], yang mencerminkan ciri-ciri masyarakat madani. [3] Bidang ekonomi,
menuntut pemerataan kehidupan ekonomi yang lebih merata dan bukan hanya untuk kepentingan
sekelompok kecil anggota masyarakat. Ekonomi yang sulit, kelaparan, hanya
terdapat pada sistem politik penindasan atau yang nondemokratis. [4] Bidang
hukum, reformasi menuntut ketaatan kepada hukum untuk semua orang dan bukan
hanya untuk kepentingan penguasa. Setiap orang sama di depan hukum dan dituntut
kedisiplinan yang sama terhadap nilai-nilai hukum yang disepakati”[60]. Diharpkan terbentuknya lembaga
penegak hukum yang mencerminkan berlakunya supermasi hukum dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menuju suatu tatanan masyarakat madani
atau civil society Indonesia. [5]
Bidang jurnalistik, terciptanya kebebasan pers, yaitu berkembangnya media massa
baik cetak maupun elektronik yang sanggup berfungsi mendidik dan mencerdaskan
kehidupan bangsa serta melakukan fungsi kontrol secara bertanggungjawab dan
menerapkan etika jurnalistik secara konsekuen.
Kedua, peluang perubahan jangka
panjang pada bidang kebudayaan dan pendidikan. Reformasi budaya, yang
menyangkut orientasi pemikiran, pola-pola perilaku, dan tradisi yang berkembang
dalam kehidupan masyarakat luas yang perlu dikembangkan dalam rangka mendukung
proses pelembagaan dan mekanisme kehidupan kenegaraan yang diidealkan[61]. Reformasi budaya menuntut perkembangan kebhinnekaan budaya Indonesia.
Kebudayaan daerah merupakan dasar bagi perkembangan identitas bangsa Indonesia,
oleh sebab itu harus dibina dan dikembangkan. Pengembangan budaya daerah akan
memberikan sumbangan bagi perkembangan rasa kesatuan bangsa Indonesia yang
menunjang ke arah identitas bangsa Indonesia yang kuat dan benar"[62], yang mencerminkan masyarakat plural sebagai ciri masyarakat madani.
Pengembangan sistem pendidikan, tekanan pada aspek kearifan budaya dan
nilai-nilai lokal sebagai pijakan berbangsa, jangan sampai tercerabut, karena
identitas kebangsaan hanya bertahan jika sosialisasi nilai-nilai kebangsaan
yang mengacu pada nilai-nilai kultural bangsa dilakukan melalui lembaga
pendidikan.
E. Penutup
Sebagai penutup makalah ini, perlu disampaikan beberapa kesimpulan sebagai
berikut: Pertama, konsep civil
society dan masyarakat madani adalah konsep yang sangat ideal,
sehingga tidak ada satu kelompok masyarakat manapun yang sama dengan kedua
konsep ini. Kedua, kedua
konsep [civil society dan masyarakat madani] berakat dari sosial, budaya dan politik yang
berebada. Civil society berakar dari konsep liberal Barat, yang ”tidak
berdasar pada agama tertentu”, sedangkan masyarakat madani, berakar dari
masyarakat Muslim Arab, yang berdasar pada agama. Ketiga, apabila konsep ini akan diaktualisasikan di
masyarakat Indonesia, diperlukan perubahan mendasar dan langkah-langkah
kontinyu dan sistimatis yang dapat merubah paradigma, kebiasaan, dan pola hidup
masyarakat Indonesia. Keempat, perlu melakukan perubahan
dengan membangun infrastruktur sosial, budaya, ekonomi, hukum, pendidikan, dan
politik untuk mendukung cita-cita mewujudkan civil society dan
masyarakat madani Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Adeney, Bernard, 2000, Civil Society dan Abrahamic Religions, UKDW,
Yogyakarta, July, 2000.
Asshiddiqie, Jimly, 2002, Reformasi Menuju Indonesia
Baru; Agenda Restrukturisasi Organisasi Negara, Pembaruan Hukum, dan
Keberdayaan Masyarakat Madani, From: http://www.theceli.com/dok/ dokumen/
jurnal/ jimly/j014.htm.
Editoril, 2000, Menuju
Masyarakat Madani, Jurnal Online, Badan Pekerja MPR RI Tahun 2000, Edisi
No.:09, Tanggal 23 Mei 2000., Prom: http://mpr.wasantara.net.id/ bp_2000/
edisi9/editorial.htm., 31 Desember2001.
Farkan, H., 1999, Piagam
Madinah dan Idealisme Masyarakat Madani, Bernas, 29 Maret 1999, Yogyakarta.
Hatta, Ahmad, 2001, Peradaban Yang Bagaimana? Rincian Misi
Negara Tauhid Madinah, dalam Majalah Suara Hidayatullah:Juli 2001,From: http://www. hidayatullah. com/2001/07/ kajut3. shtml.,tgl.7 Juni 2001.
Hikam, Muhammad AS., 1996, Demokrasi
dan Civil Soceity, LP3ES, Jakarta,
Ibrahim, Anwar, 1995, Islam
dan Pembentukan Masyarakat Madani, Makalah Disampaikan dalam Ferstival Istiqlal, 16 September 1995, Jakarta.
Madjid, Nurchalis 1996, “Menuju Masyarakat Madani”, Jurnal
Kebudayaan dan Peradaban, ULUMUL QUR'AN, Nomor: 2/VII/1996 - ISSN : 0215-9155,
Jakarta.
-------,2000, Kedaulatan Rakyat: Prinsip Kemanusiaan dan
Musyawarah dalam Masyarakat Madani,
dalam: Widodo Usman, dkk., (Editor),
Membongkar Mitos Masyarakat Madani, Pustaka
Pelajar Offset, Yogyakarta.
-------, 2001, Konstitusi Madinah, From.
http://www.pgi.or.id/ balitbang/ bal_06/02_saa_ xvii/10.html., 11 September 2001.
Mufid, 1999, Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani,
dalam buku: Membangun Masyarakat Madani,
Menuju Indonesia Baru Milenium Ke-3, Tim Editor Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Malang, Aditya Media, Yogyakarta.
Muhammad, Agus,
2002, Jalan Panjang Menuju “Civil Society”, Kompas Cyber Media, Jumat, 6
Juli 2001, From: http:/www.kompas.com/kompas-cetak/ 0107/06/ DIKBUD/
jala38.htm, akses, 10/1/2002.
Muzaffar, Chandra, 1998, "Pembinaan
Masyarakat Madani: Model Malaysia", dalam Institusi Strategi Pembangunan Malaysia (MINDS), Masyarakat
Madani: Suatu Tinjauan Awal, Ras Grafika, Kuala Lumpur.
Nordholt, N.S., 1999, Civil Society di Era Kegelisahan, Basis, Np. 3-4, Maret 1999, Yogyakarta.
Raharjo, M. Dawam, 1999, Demokrasi, Agama dan Masyarakat Madani,
Jurnal Ilmu-ilmu Sosial UNISIA, No.39/ XXII/ III/ 1999-ISSN:0215-1412,UII,
1999, Yogyakarta.
-------,1999, “Masyarakat
Madani di Indonesia, Sebuah Penjajakan Awal”, Jurnal Pemikiran Islam
PARAMADINA, Vol.I,Nomor 2, ISSN; 1410-8410, 1999, Jakarta.
Sairin, Sjafri, 1999, Masyarakat Madani Dan Tantangan Budaya,
dalam buku: Membangun Masyarakat Madani,
Menuju Indonesia Baru Milenium Ke-3,
dalam: Taufik Abdullah, dkk., Membangun
Masyarakat Madani, Menuju Indonesia Baru Milenium Ke-3, Tim Editor Program
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Aditya Media, Yogyakarta.
Santoso, Riyadi, 1999, Pemerintahan Yang Bersih dan Masyarakat
Madani, Jurnal Cides Sintesis,No.2,Th.5.
Sufyanto, 2001, Masyarakat Tamaddun, Kritik Hermeneutis
Masyarakat Madani Nurchalis Madjid, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta.
Syarief, Hidayat,
1999, Paradigma Baru Pendidikan Membangun Masyarakat Madani, REPUBLIKA, 30 Oktober 1999.
Tilaar, H.A.R., 1999, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat
Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja
Rosdakarya Offset.
Wahid, Abdurrahman, 2001, [Prediden Republik Indonesia], Pidato Presiden Republik Indonesia di depan
Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 7 Agustus
2000, From:
http://istana.ri.go.id/speech/ind/07 agustus00. htm, 4 Januari 2001.
1Bernard
Adeney-Risakotta, 2000, Civil Society
dan Abrahamic Religions, UKDW, Yogyakarta,
July, 2000,hlm.1.
2Wacana civil society
lebih dimaknai sebagai “masyarakat sipil” yang diperhadapkan secara diameteral
dengan Negara. Dari wacana civil society yang berkembang di
Tanah Air, penekanan makna oposisi terhadap Negara nampak sangat dominant.
Padahal, wacana ini sebetulnya tidak semata-mata sebagai konsep yang secara
diametral berhadap-hadapan dengan Negara, tetapi lebih menunjuk pada keadaan
social di mana masyarakat memiliki cirri-ciri kemandirian, kesukarelaan,
kemampuan mengorganisasi diri untuk memperjuangkan kepentingan, serta ketaatan
terhadap aturan main yang berupa hokum-hukum posetif. ...Pemaknaan
civil society sebagai wacana yang berhadapan secara diameteral dengan kekuasaan
sering kali kemudian diidentifikasikan pada kelompok-kelompok masyarakat yang
tidak terkooptasi oleh Negara. Kelompok-kelompok masyarakat, terutama LSM serta
organisasi massa
seperti NU dan Muhammadiyah, sering kali dianggap representasi dari civil
society, karena kelompok-kelompok ini relative mandiri, otonom, dan tidak
tergantung pada pemerintah. Identifikasi semacam ini sebetulnya dapat dipahami,
meski masih dapat diperdebatkan – karena pada masa Orde Baru hampir-hampir
tidak ada organisasi yang terbebas dari kooptasi kekuasaan. Organisasi dengan massa dan keanggotaan
yang luas seperti NU dan Muhammadiyah saja tidak sepenuhnya dapat dianggap
mandiri, otonom, dan steril dari intervensi Negara. Bukan hanya organisasi itu
tidak mampu bersikap independent dan otonom, tetapi juga karena Negara versi
Orde Baru adalah Negara yang mengurusi hampis segala hal hingga yang paling
pribadi seperti dalam kasus KB. Dari
kondisi ini dapat dipahami bahwa civil society tidak mengalami kemajuan yang
berate dalam kekuasaan Orde Baru [Agus Muhammad,
2002, Jalan Panjang Menuju “Civil Society”, Kompas Cyber Media, Jumat, 6
Juli 2001, From: http:/www.kompas.com/kompas-cetak/ 0107/06/ DIKBUD/
jala38.htm, akses, 10/1/2002, hlm.2].
3Agus
Muhammad, 2002, Jalan Panjang Menuju “Civil Society”, Kompas Cyber
Media, Jumat, 6 Juli 2001, From:
http:/www.kompas.com/kompas-cetak/0107/06/DIKBUD/jala38.htm, akses, 10/1/2002,
hlm.1.
4Prof. Bernard
Adeney, mengatakan bahwa Visi ini dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu : [1]
Pancasila dimengerti sebagai persetujuan [mufakat], tentang apa yang menjadi
landasan bangsa negara yang paling mendasar. “Yang paling dasar” dapat
diterjemahkan sebagai yang paling minimal. Pancasila merupakan visi bangsa negara
yang dapat disetujui oleh semua unsur masyarakat Indonesia, walaupun bukan visi
paling sempurna kelompok-kelompok tertentu. [2] Pancasila diciptakan sebagai
aturan main, yaitu sila-sila yang mangatur proses membangun bangsa negara yang
diinginkan. Hal ini berarti bahwa struktur negara, hukum da kebijaksanaan
pemerintah adalah seyogianya sesuai dengan Pancasila. Proses membangun
negara yang jelas bertentangan dengan Pancasila seharusnya ditolak. [3]
Pancasila juga dimengerti sebagai tujuan ideal bangsa negara Indonesia.
Indonesia bertekad menjadi bangsa negara yang “pancasilais” walaupun tujuan
ideal itu belum terwujud” [Bernard Adeney-Risakotta, 2000, Civil
Society dan Abrahamic Religions, UKDW, Yogyakarta, July, 2000,hlm.1].
5Ibid,hlm.
1
6Ibid,hlm.
2
7Ibid,hlm.
4
8Ibid,
hlm. 3
9Masyarakat
politik [political society],
suatu masyarakat yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan
hidup. Maksudnya, adanya hukum yang mengatur antara individu menandai
keberadaan suatu jenis masyarakat tersendiri dan masyarakat seperti ini, di zaman dahulu
adalah masyarakat yang tinggal di kota.
Dalam kehidupan kota
penghuninya telah menundukkan hidupnya di bawah satu dan lain bentuk hukum
sipil [civil law] sebagai dasar dan mengatur kehidupan bersama. Di zaman
modern, istilah itu diambil lagi dan
dihidupkan John Locke [1632-1704] dan Roesseau [1712-1778] untuk
mengungkapkan pemikirannya mengenai masyarakat dan politik. Locke,
mendefinisikan masyarakat sipil sebagai “masyarakat politik” [political
society]. Roesseau, menyatakan masyarakat politik itu sendiri, merupakan
hasil dari suatu perjanjian kemasyarakatan [social constract] dan
anggota masyarakat telah menerima suatu pola perhubungan dan pergaulan bersama.
Dalam konsep Locke dan Roesseau belum dikenal perbedaan antara masyarakat sipil
dan negara dan perbedaan antara masyarakat sipil dan negara timbul dari
pandangan Hegel [1770-1831] pemikir
Jerman yang banyak menarik perhatian, yang ditentang dan sekaligus diikuti oleh
Marx. Sama halnya dengan Locke dan Roesseau, Hegel melihat masyarakat sipil
sebagai wilayah kehidupan orang-orang yang telah meninggalkan kesatuan keluarga
dan masuk ke dalam kehidupan ekonomi yang kompotitif. Ini adalah arena, di mana
kebutuhan-kebutuhan tertentu atau khusus dan berbagai kepentingan perorangan
bersaing, yang menyebabkan perpecahan-perpecahan, sehingga masyarakat sipil itu mengandung
potensi besar untuk menghancurkan dirinya.
Oleh Hegel, masyarakat sipil dihadapkan dengan negara. Dari teori Hegel
inilah dikenal dikotomi antara negara
dan masyarakat (state and society).M.Dawam Rahardjo, “Demokrasi,Agama dan Masyarakat Madani”,Jurnal
Ilmu-Ilmu Sosial,UNISIA,( No.39/XXII/III/1999, ISSN:0215-1412),hl.27-28.
10Ibid,
hlm. 26-27.
11Dalam
teori-teori liberal, civil society dipahami sebagai prakondisi bagi pembentukan
kesadaran politik, penggalangan political will, terwujudnya kontrol
sosial untuk mengawasi kekuasaan negara. Hak-hak terpenting pada civil
society menurut teori-teori liberal adalah kebebasan berpendapat dan
menyatakan pendapat serta kebebasan berkumpul dan berserikat. Dalam civil
society tidak diperjuangkan
kepentingan privat atau
kepentingan kelas, tetapi kepentingan umum di mana baik kepentingan perorangan
maupun kepentingan kelas sudah dianggap terwakili. Sedangkan pandangan kelompok Marxis
melihatnya sebagai bagian dari kelas borjuasi yang harus dilawan. Dengan
memosisikan civil society pada basic
naterial-nya, ia dianggap hanya mewakili kelompok-kelompok borjuis dan
pemilik modal. Maka ketaatan terhadap hukum sebagai persyaratan civil
society juga dianggap nonsens. Bagi
mereka hukum sebagai aturan main dipandang kelompok ini tak lebih dari sebuah
politik. Sementara politik hanya menjadi
alat bagi kepentingan pemilik modal. [Agus Muhammad, 2002, Jalan Panjang
Menuju “Civil Society”, Kompas Cyber Media, Jumat, 6 Juli
2001,From:http:/www.kompas.com/kompas-cetak/0107/06/DIKBUD/jala38.htm, akses,
10/1/2002, hlm.2-3].
12Agus
Muhammad, 2002, Op.cit, hlm. 2
13Agus
Muhammad, 2002, Op.cit, hlm. 3
14Bernard Adeney-Risakotta, 2000, Op.cit, hlm. 4
15Bernard Adeney-Risakotta, 2000, Op.cit, hlm. 4-6
16Ibid,
hlm. 7
17Baca
: Agus Muhammad, 2002, Op.cit, hlm. 2
18M.Dawam
Raharjo, Demokrasi, Agama dan Masyarakat Madani, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial
UNISIA, No.39/ XXII/ III/ 1999-ISSN:0215-1412,UII, 1999, Yogyakarta,hlm.25.
19Bernard Adeney-Risakotta, 2000, Op.cit, hlm. 4.
20M.Dawam Raharjo, Demokrasi, Agama dan Masyarakat Madani, Op.cit,,hlm.25.
21M. Dawam Rahardjo, “Masyarakat Madani di Indonesia,
Sebuah Penjajakan Awal”, Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA, (Vol.I,Nomor 2,
ISSN; 1410-8410, 1999), hlm. 8.
22Hidayat Syarief, Paradigma Baru Pendidikan Membangun
Masyarakat Madani, REPUBLIKA, (30
Oktober 1999).
23Nurchalis Madjid, Kedaulatan
Rakyat: Prinsip Kemanusiaan dan Musyawarah dalam Masyarakat Madani, dalam: Widodo Usman, dkk., (Editor), Membongkar Mitos Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000), hlm. 79-80., dan Nurchalis Madjid, Konstitusi Madinah, From.
http://www.pgi.or.id/ balitbang/ bal_06/02_saa_ xvii/10.html., 11 September 2001.
26Bernard Adeney-Risakotta, 2000, Op.cit, hlm.5
27Hidayat Syarief,Paradigma
Baru Pendidikan Membangun Masayarakat Madani, REPUBLIKA,(30 Oktober 1999),
hlm.4.
28Selain karakteristik yang
dikemukakan di atas, ada beberapa ciri masyarakat madani yang dikemukakan pada
ahli antara lain: Antonio Rosmini dalam "The Philosophy of Right, Rights in
Civil Society" [1996 : 28-50] yang dikutip Mufid, menyebutkan sepuluh
ciri Masyarakat Madani sebagai berikut : Universalitas, Supermasi, Keabadian
dan pemerataan kekuatan [prevalence of
force] adalah empat ciri yang pertama. Ciri yang kelima, ditandai dengan
"kebaikan dari dan untuk bersama". Ciri ini bisa terwujud jika setiap
anggota masyarakat memiliki akses pemerataan dalam memanfaatkan kesempatan [the tendency to equalize the share of
utility]. Keenam, jika masyarakat
madani "ditujukan untuk meraih kebajikan umum" [the common good], tujuan akhir memang adalah kebajikan publik [the public good]. Ketujuh, sebagai perimbangan kebijakan umum, masyarakat madani juga
memperhatikan kebijakan perorangan dengan cara memberikan alokasi kesempatan
kepada setiap anggotanya meraih kebajikan itu. Kedelapan, masyarakat madani, memerlukan "piranti
eksternal" untuk mewujudkan tujuannya. Piranti eksternal itu adalah
masyarakat eksternal. Kesembilan,
masyarakat madani bukanlah sebuah kekuatan yang berorientasi pada keuntungan [seigniorial or profit]. Masyarakat
madani lebih merupakan kekuatan yang justru memberi manfaat [a beneficial power]. Kesepuluh, kendati masyarakat madani
memberi kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya, tidak berarti
bahwa ia harus seragam, sama dan sebangun serta homogen. Masyarakat madani
terdiri dari berbagai warga beraneka "warna" bakat dan potensi.
Karena itulah masyarakat madani di sebut sebagai masyarakat multi-kuota [a multi- qouta society] [Mufid, Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani,
dalam buku: Membangun Masyarakat Madani,
Menuju Indonesia Baru Milenium Ke-3, Tim Editor Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Malang, (Yogyakarta: Aditya Media, 1999), hlm. 213].
29Sufyanto, Masyarakat Tamaddun, Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurchalis
Madjid, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001), hlm. 99.
30Muhammad AS. Hikam, dengan
mengacu kepada pengertian yang pernah ditanamkan oleh Alexis de Tocqueville,
dalam memahami konsep "masyarakat madani" lebih cenderung menggunakan
istilah aslinya civil society, yang
dapat didefinisikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi
dan bercirikan antara lain : kesukarelaan [voluntary],
keswasembadaan [self generating],
dan keswadayaan [self supporting],
kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara, dan keterkaitan dengan
norma-norma hukum yang diikuti oleh warganya. Dari pandangan ini, setidaknya
minimal ada tiga ciri utama dari masyarakat madani, yaitu: Pertama, adanya
kemandirian yang cukup tinggi individu-individu dan kelompok-kelompok
masyarakat terhadap negara. Kedua, adanya kebebasan menentukan wacana dan
praksis politik di tingkat publik.
Ketiga, kemampuan membatasi kekuasaan negara untuk tidak melakukan
intervensi [Muhammad AS. Hikam, 1996, Demokrasi
dan Civil Soceity, Jakarta, LP3ES, hlm. x-xvi]
31Nurchalis Madjid, 1996, “Menuju
Masyarakat Madani”, Jurnal Kebudayaan dan Peradaban, ULUMUL QUR'AN, (Nomor:
2/VII/1996) - ISSN : 0215-9155, Jakarta, hlm. 52-55
32Nurchalis Madjid, menjelskan 6 ciri utama masyarakat madani, yaitu : [1]
Masyarakat egaliter, masyarakat egaliter atau masyarakat yang mengemban
nilai egalitarianisme yaitu masyarakat yang mengakui adanya kesetaraan dalam
posisi di masyarakat dari sisi hak dan kewajibannya tanpa memandang suku,
keturunan, ras, agama dan sebagainya. Pandang Nurchalis Madjid ini, dibantah
oleh sebagian ahli yang menyatakan bahwa "masyarakat Madinah"
bukanlah masyarakat egaliter seperti yang di sebut Nurchalis. Pandangan ini
didasarkan pada "Piagam Madinah", memang terlihat betapa Islam
memberikan jaminan kesamaan derajat warga negara ketika Islam secara adil
mengatur pemenuhan hak-hak dan kewajiban warganya dan orang-orang yang terikat
perjanjian dengan Rasulullah sebagai pemimpin saat itu. Hanya saja semua ini
berlangsung dalam kerangka ketunduhan terhadap syariat Islam. Artinya, selama
non muslim mematuhi aturan main yang diberikan Rasulullah maka posisi mereka
tersebut tidak akan terzalimi. Jadi dalam masyarakat madinah, sangatlah jelas
posisi masing-masing apakah dia muslim, ahlu dzimmah atau orang-orang yang
terikat perjanjian, maka Islam telah mengatur mereka dengan aturan yang
menjamin ketenangan masing-masing penduduk.
[2] Penghargaan, bahwa dalam masyarakat madani adanya penghargaan kepada
orang berdasarkan prestise, bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya. [3] Keterbukaan [partisipasi seluruh anggota
masyarakat aktif], sebagai ciri masyarakat madani adalah kerendahan hati untuk
tidak merasa selalu benar, kemudian kesedian untuk mendengarkan pendapat orang
lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Keterbukaan ini menurut
Nurchalis Madjid akan memberi peluang adanya pengawasan sosial. Keterbukaan
merupakan kosekuensi dari prikemanusian, suatu pandangan yang melihat sesama
manusia pada dasarnya adalah baik. [4] Penegakan hukum dan keadilan, hukum
ditegakkan pada siapapun dan kapanpun, walaupun terhadap keluarga sendiri,
karena manusia sama di depan hukum. Prinsip hukum harus ditegakkan tanpa
pandang bulu, sehingga kepastian hukum benar-benar dirasakan oleh semua anggota
masyarakat, hukum menjadi supermasi. Prinsip ini yang ditegakkan Nabi Muhammad
Saw dan tertuang dalam Piagam Madinah yang berbunyi "Bahwa orang-orang
yang beriman dan bertaqwa harus melawan orang yang melakukan kejahatan di
antara mereka sendiri, atau orang suka melakukan perbuatan aniaya, kejahatan,
permusuhan atau berbuat kerusakan di antara orang-orang beriman sendiri dan
meraka harus bersama-sama melawannya walaupun terhadap anak sendiri. [5]
Toleransi dan pluralisme, tak lain adalah wujud civility yaitu sikap kewajiban pribadi dan sosial yang bersedia
melihat diri sendiri tidak selalu benar, karena pluralisme dan toleransi
merupakan wujud dari "ikatan keadaban" [bond of civility], dalam arti masing-masing pribadi dan kelompok
dalam lingkungan yang lebih luas, memandang yang lain dengan penghargaan,
betapapun perbedaan yang ada tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat atau
pandangan sendiri. [6] Musyawara dan demokrasi,
merupakan unsur asasi pembentukan masyarakat madani. Nurchalis Madjid,
menyatakan masyarakat madani merupakan masyarakat demokratis yang terbangun
dengan menagakkan musyawarah, karena musyawarah merupakan interpretasi posetif
berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberikan hak untuk menyatakan
pendapat, dan mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat orang lain.
Sedangkan pluralisme dan tolerasni dalam beragama, yang dimaksud oleh Nurchalis
Madjid dan dikuatkan juga oleh Alwi Shihab adalah bahwa setiap pemeluk agama
dituntut bukan hanya mengakui kebenaran dan hak agama lain tetapi juga terlibat
dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapai kerukunan dalam
kebhinekaan [Nurchalis Madjid, 1996, “Menuju
Masyarakat Madani”, Jurnal Kebudayaan dan Peradaban, ULUMUL QUR'AN, Nomor:
2/VII/1996 - ISSN : 0215-9155, Jakarta, hlm. 52-55].
33Ibid, hlm. 5.
34Ahmad Hatta,
2001, Peradaban Yang Bagaimana? Rincian
Misi Negara Tauhid Madinah, dalam Majalah Suara Hidayatullah:Juli
2001,From: http://www.hidayatullah.com/2001/07/kajut3.shtml.,tgl.7 Juni 2001.
35Mufid, 1999, Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani,
dalam buku: Membangun Masyarakat Madani,
Menuju Indonesia Baru Milenium Ke-3, Tim Editor Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Malang, Aditya Media, Yogyakarta, hlm.212.
36Anwar
Ibrahim, Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani, Makalah Disampaikan
dalam Ferstival Istiqlal, 16 September
1995, di Jakarta. dalam Sjafri Sairin, Sjafri Sairin, Masyarakat Madani Dan Tantangan Budaya, dalam buku: Membangun Masyarakat Madani, Menuju
Indonesia Baru Milenium Ke-3, dalam:
Taufik Abdullah, dkk., Membangun
Masyarakat Madani, Menuju Indonesia Baru Milenium Ke-3, Tim Editor Program
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Aditya Media, 1999, Yogyakarta
hlm. 90.
37Chandra Muzaffar,
"Pembinaan Masyarakat Madani: Model Malaysia", dalam Institusi Strategi Pembangunan Malaysia (MINDS), Masyarakat
Madani: Suatu Tinjauan Awal, (Kuala Lumpur: Ras Grafika, 1998), hlm.29.,
dan "masyarakat yang dapat
mengembangkan sumberdayanya tanpa harus dikontrol oleh negara secara ketat,
dan keadilan sosial berjalan sebagaimana mestinya"[Ibid, 90].
38Ibid, 90.
39H.A.R.
Tilaar,1999, Pendidikan, Kebudayaan, dan
Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Remaja
Rosdakarya Offset, Bandung, hlm.3.
40Sjafri Sairin,1999, “Masyarakat
Madani Dan Tantangan Budaya”, dalam: Taufik Abdullah, dkk., Membangun Masyarakat Madani, Menuju
Indonesia Baru Milenium Ke-3., Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Malang, Yogyakarta: Aditiya Media, hlm. 91-92.
41Persyaratan
tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut: Pertama, Pemahaman yang Sama [One Standard]. Pada tingkat awal diperlukan pemahaman bersama dikalangan masyarakat,
tentang apa dan bagaimana karakteristik masyarakat madani. Paling tidak secara
konsepsional prinsip-prinsip dasar masyarakat madani harus dipahami secara
bersama, sehingga relatif semua masyarakat dapat memahami apa yang digariskan
dalam prinsip-prinsip dasar masyarakat madani tersebut. Masyarakat harus
memahami lebih dahulu bagaimana mekanisme sistem yang terdapat dalam masyarakat
madani itu dalam dinamika kehidupan masyarakat. Dengan pemahaman konsep,
relatif akan menjadi lebih mudah bagi masyarakat untuk melangkah untuk menuju
masyarakat madani. Karena itu, sosialisasi tentang sistem masyarakat tersebut
perlu dilaksanakan dengan memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada. Kedua,
Keyakinan [Confidence] dan Saling Percaya [Social Trust]. Perlu
menumbuhkan dan mengkondisikan keyakinan di kalangan masyarakat bahwa masyarakat
madani adalah bentuk masyarakat yang ideal, masyarakat pilihan yang terbaik
dalam mewujudkan suatu sistem sosial yang dicita-citakan. Maka dengan keyakinan
yang tumbuh di kalangan masyarakat, proses untuk menuju masyarakat madani dapat
dilakukan. Seiring dengan itu harus perlu ditumbuhkembangkan rasa saling
percaya di kalangan masyarakat. Penanaman rasa saling percaya sangat
diperlukan, karena dalam sejarah Orde Baru telah menanamkan rasa curiga dalam
kehidupan masyarakat pada awal kekuasaanya. Rasa kuatir akan adanya gangguan
stabilitas dan pembangunan nasional, maka pada awal pemerintahan Orde Baru
"semua orang perlu dicurigai". Maka untuk mewujudkan cita-cita
bersama, yaitu membangun masyarakat madani, rasa curiga perlu dihilangkan dan perlu
ditumbuhkembangkan rasa saling percaya antara komponen yang terdapat dalam
masyarakat dengan baik. Rasa saling percaya antara lain, dapat ditumbuhkan
dengan meningkatkan rasa keadilan dan kejujuran dalam berbagai aspek kehidupan. Ketiga,
Satu Hati dan Saling Tergantung. Apabila
telah terbentuknya saling percaya di kalangan masyarakat, tahap berikutnya
diperlukan juga kondisi kesepakatan, satu hati dan kebersamaan dalam menentukan
arah kehidupan yang dicita-citakan. Untuk itu, refleksi dari kondisi
kesepakatan, satu hati dan kebersamaan akan tergambar dengan semakin menguatnya
rasa saling tergantung (interdependency)
antara individu dengan kelompok dalam masyarakat. Dengan keadaan seperti itu,
tingkat saling membutuhkan antara berbagai segmen masyarakat akan menjadi
bagian terpenting dari moral kehidupan masyarakat dan akan menjamin
keseimbangan antara kebebasan individual dan kestabilan masyarakat. Keempat,
Kesamaan Pendangan tentang Tujuan dan Misi. Jika kondisi
kesepakatan, satu hati dan kebersamaan sudah tertanan dalam kehidupan
masyarakat, maka kesamaan pandangan baik mengenai tujuan dan misi menjadi lebih
mudah untuk dapat diwujudkan, karena semua lapiran segmen masyarakat ingin
mewujudkan cita-cita yang sama dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan perbedaan-perbedaan
yang ada dalam kehidupan masyarakat tentu tidak dapat dinafikan begitu saja,
tetapi perbedaan itu bukan untuk diarahkan menjadi suatu yang bersifat uniformity [menyeragamkan] atau sameness
[kesamaan], tetapi dalam wujud unity [kesatuan] dan Onenees [satu kesamaan][49]. Perbedaan tersebut, juga menjadi kekayaan pluralisme dalam kehidupan
masyarakat yang dicita-citakan bersama [Sjafri Sairin,1999, “Masyarakat Madani Dan Tantangan Budaya”,
dalam: Taufik Abdullah, dkk.,
Membangun Masyarakat Madani, Menuju Indonesia Baru Milenium Ke-3., Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Aditiya
Media, Yogyakarta, hlm. 91-92].
[50]Ibid, hlm. 89-90.
[51]H.A.R. Tilaar, Pendidikan,
Kebudayaan,..., hlm. 4.
[52]Ibid, hlm. 5.
[53]Editoril, 2000, Menuju Masyarakat Madani, Jurnal Online,
Badan Pekerja MPR RI Tahun 2000, Edisi No.:09, Tanggal 23 Mei 2000., Prom:
http://mpr.wasantara.net.id/ bp_2000/ edisi9/editorial.htm., 31 Desember2001,
hlm. 1.
[54]Ibid, hlm. 93.
49Berbagai upaya perubahan perlu dilakukan dalam mewujudkan
"masyarakat madani", berkaitan dengan upaya perubahan tersebut,
Jimly Asshiddiqie, menawarkan tiga agenda perubahan diperjuangkan di Indonesia.
Agenda besar itu mencakup penataan kembali semua institusi umum, baik pada
tingkat supra struktur kenegaraan maupun pada tingkat infra struktur
kemasyarakatan dan kebutuhan untuk reorientasi sikap mental, cara berpikir dan
metode kerja. Tiga agenda perubahan tersebut adalah : [1] Agenda reformasi institusional
[institusional reform], yaitu
terbentuknya institusi yang kuat dan fungsional, [2] reformasi instrumental [instrumental reform], upaya pembaruan
dari mulai dari konstitusi sampai ke peraturan-peraturan pada tingkat terendah,
[3] reformasi budaya [cultural reform],
yang menyangkut orientasi pemikiran, pola-pola perilaku dan tradisi yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat” [Jimly Asshiddiqie, Reformasi Menuju Indonesia Baru; Agenda Restrukturisasi Organisasi
Negara, Pembaruan Hukum, dan Keberdayaan Masyarakat Madani, From:
http://www.theceli.com/dok/ dokumen/ jurnal/
jimly/j014.htm. 2002,, hlm. 1].
Ketiga agenda besar ini, menurut Jimly, sekarang sedang berlangsung
dengan sangat intensif, tetapi tingkat kecepatan antara satu bidang dengan bidang
yang lain tidak sama, di samping itu tidak semua orang memiliki tingkat
kesadaran dan pemahaman yang sama mengenai persoalan-persoalan yang harus
dikembangkan dalam kerangka agenda reformasi menyeluruh.
[57]Riyadi Santoso,
Pemerintahan Yang Bersih dan Masyarakat
Madani,Jurnal Cides Sintesis,No.2,Th.5,1999,hl.19.
[58]KH.Abdurrahman
Wahid, 2001, [Prediden Republik Indonesia], Pidato
Presiden Republik Indonesia
di depan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 7
Agustus 2000, From: http://istana.ri.go.id/speech/ind/07
agustus00. htm, 4 Januari 2001, hlm. 6.
[59]Ibid, hlm. 6.
[60]H.A.R.
Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, ..,hlm.5.
[61]Jimly
Asshiddiqie,2002, Reformasi Menuju Indonesia Baru;
Agenda Restrukturisasi Organisasi Negara, Pembaruan Hukum, dan Keberdayaan
Masyarakat Madani, From: http://www.theceli.com/dok/ dokumen/ jurnal/ jimly/j014.htm. hlm.1.
[61]H.A.R.
Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, ...,
hlm.5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar