RADIKALISME AGAMA DALAM PERRSPEKTIF PENDIDIKAN
Edy Safitri
Abstrak
Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, maka
diperlukan pendidikan
yang harus memberikan gambaran dan idealitas moral
agamanya secara kontekstual. Dalam proses pendidikan diperlukan peninjauan ulang terhadap doktrin-doktrin agama yang
kaku,seperti halnya doktrin jihad.Artinya,
jihad bukan
lagi dipahami sebagai persetujuan Islam untuk menggunakan kekerasan dalam
menyebarkan agama. Pluralitas agama dan keyakinan tidak lagi dipahami sebagai
potensi kerusuhan, melainkan menjadi potensi untuk diajak bersama melaksanakan ajaran demi
kepentingan kemanusiaan. Seluruh agama harus mengklaim perdamaian dan keselamatan manusia. Dalam
konteks ini pendidikan memiliki peran penting
untuk menumbuhkan sikap awal, agar tidak hanya dapat menerima keberdaan
agama lain saja, tapi juga mampu bekerja sama dengan keyakinan atau agama yang
berbeda. Ini berarti,pendidikan harus memungkinkan tumbuhnya
persaudaraan dalam kebersamaan tersebut,
sehingga dapat bersama membangun dunia baru yg lebih
bermakna bagi seluruh manusia. Disain pendidikanharus mengakomodasi
pluralis
dan toleran. Diperlukan sikap guru-guru agama yang toleran
dan pluralis pula.
Kata kunci; Pendidikan yang humanis.
Tulisan Redikalisme Agama Dalam Perspektif Pendidikan, Millah, Jurnal Studi Agama, Vol,XIV, No. 2,
Februari 2015, ISSN: 1412-0992, Magister Studi Islam (MSI) UII, Yogyakarta.
PENDAHULUAN
Era reformasiditandai dengan tergulingnya reszim pemerintahan Soeharto,dibarengi dengan krisis moneter,
ekonomi, dan politik telah mendorong arus pembaruan dalam semua aspek kehidupan.Pembaruan dan reformasi[2] telah menggerakkan perubahan dalam
semua aspek kehidupan, bahkan berdampak pada euforia[3] kebebasan yang nyaris kebablasan.[4]Era reformasi, selain memberikan harapan besar hadirnya kebebasan,
keamanan, dan kenyaman untuk hidup di bumi
pertiwi Indonesia ini, namun di sisi lain, era ini oleh kelompok keagamaan
tertentu justru dijadikan momentum emas untuk mendorong bangkitnya radikalisme
agama yang berujung aksi-aksi kekerasan dan terorisme berbasiskan agama. Sebagai refleksi, mulai
dari kasus bom Bali I, bom bali II, bom
kedutaan Besar Australia, bom Hotel Mariot I, Bom Hotel mariot II, Bom Hotel
Ritz Carlton, Bom buku yang disasarkan ke sejumlah figur, Bom jum’at di masjid
Maporles Cirebon, dan bom bunuh diri di gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo.
Selain itu aksi-aksi radikalisme agama juga tidak kalah
merebaknya di era reformasi ini. Sebut saja di antaranya, penyerbuan kampus Al-Mubarok, Ahmadiyah di
Parung, Jemaat Ahmadiyah di Cikeussik, Pandeglang, Banten, penutupan rumah
ibadah kristiani di bandung Jawa Barat, dan terakhir masuknya gerakan radikalisme yang
mengatasnamakan Islamic State Of Iraq and Syiria (ISIS). Lebih ironis, dari pelaku
baik yang tertangkap ataupun terbunuh oleh Densus 88, justru dari kalangan muda
muslim usia sekolah. Berbagai kasus di atas, mencitrakan Islam sebagai agama
yang rahmatan lil’alamin, tentu bukanlah
persoalan yang mudah.
Radikalisme itu sendiri merupakan suatu paham yang
menghendaki adanya perubahan, pergantian, dan penjebolan terhadap suatu sistem
di masyarakat sampai ke akar-akarnya. Jika perlu perubahan tersebut dilakukan
dengan cara kekerasan. Bagi kaum radikal ini, bahwa rencana-rencana yang
digunakan merupakan rencana-rencana yang ideal.[5]Radikalisme
seringkali beralaskan pemahaman sempit agama yang berujung pada aksi teror bom
tumbuh bersama sistem. Dan sikap ekstrim ini berkembang biak dan menguat di
tengah-tengah panggung yang mempertontonkan kemiskinan, kesenjangan sosial,
atau ketidakadilan sosial. Prilaku elit
politik yang tidak akomudatif terhadap kepentingan rakyat dan hanya memikirkan
kelompok dan partainya menjadi tempat dan persemaian subur bagi tumbuhnya
radikalisme.[6]
Dengan demikian radikalisme atau bahkan terorisme, tidak
hanya gerakan sosial semata, namun juga gerakan ideologis.Idiologi tidak
mungkin dapat dibasmi hanya dengan pendekatan militer saja.Namun dibutuhkan
berbagai pendekatan lainnya.Salah satunya pendekatan pendidikan.Problemnya adalah
dunia pendidikan kita, khususnya pendidikan agama (Islam) sampai hari ini masih
dianggap menjadi bagian dari persoalan
ketimbang bagian dari solusi.
DUNIA PENDIDIKAN MENJADI TERTUDUH
Pendidikan merupakan proses di mana bangsa mempersiapkan
generasi mudanya untuk menjalankan kehidupannya. Pendidikan
merupakan proses menaburkan benih-benih budaya dan perdaban manusia yang hidup
dan dihidupi oleh nilai-nilai atau visi yang berkembang dan dikembangkan di
dalam suatu masyarakat. Inilah
pendidikan sebagai suatu proses pembudayaan.[7]Berarti pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa.Bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Idealnya dunia pendidikan khususnya pendidikan agama Islam menjadi solusi
ampuh dan jituuntuk meredam berbagai aksi kekerasan berbasiskan agama.Pendidikan
dianggap memiliki peran yang luhur dan agung. Pendidikan juga dipahami sebagai
sarana efektif dalam memberikan berbagai bekal kehidupan bagi peserta didik,
sarana mencerdaskan individu masyarakat, negara dan bangsa.Ini berati dalam
relasi antar agama, khususnya nilai-nilai kedamaian, toleransi, inklusif dan
keharmonisan dapat ditanamkan pada generasi muda bangsa melalui pendidikan. Pendidikan
menjadi “panglima” dalam membentuk peradaban bangsa.
Ironisnya, faktanya justru sebaliknya, lembaga pendidikanjustru diposisikan sebagai
“tertuduh” utama penyebab terjadinya berbagai kasus kekerasan atas nama agama di tengah
masyarakat. Pendidikan Agama Islam dituding menjadi mesin pencetak intoleransi,
radikalismedan terorisme pada peserta didik.Banyaknya pelaku terorisme dan
radikalisme Islam yang melibatkan kaum muda terpelajar, baik pelajar, mahasiswa
maupun lulusan perguruan tinggi menjadi
penguat dari berbagai tuduhan minor di atas.
Indikasi lainnya, munculnya gerakan sistematis yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok keagamaan tertentu untuk mengajarkan doktrin keagamaan garis
keras dikalangan pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA).[8]Hasil riset tentang politik Ruang Publik Sekolah yang
dilakukan Hairus Salim memperkuat sinyalemen tersebut. Dalam riset yang
dilakukan,Salim menyimpulkan bahwa ada upaya-upaya menjadikan sekolah yang
seharusnya menjadi ruang publik yang
bebas untuk semua golongan siswa, ditafsirkan dan dibentuk berdasarkan paham
dan kepentingan satu golongan saja.[9]
DERADIKALISASI GURU AGAMA MENDESAK DILAKUKAN
Meskipun faktor lahirnya aksi-aksi terorisme dan
radikalisme sangatlah kompleks, namun maraknya fenomena kekerasan
mengatasnamakan agama terlebih dilakukan oleh para pelaku dari kalangan muda
usia sekolah, maka fenomena tersebut seharusnya menjadi catatan tersendiri bagi
penyelengaraan PAI di Indonesia selama ini.Harus diakui pendidikan agama selama
ini tidak berdaya melakukan penanaman nilai-nilai universal keagamaan, seperti
kemajemukan/pluralitas, toleransi kemanusiaan dan sebagainya.Pelajaran agama
yang diajarkan di lembaga pendidikan oleh banyak pihak dianggap lebih banyak
bersifat ritual dan dogmatik.
Selain itujuga masih berkutat pada persoalan hukum-hukum,
aturan-atauran, larangan-larangan.Pelajaran agama kurang menyentuh hal yang
sangat mendasar yang berkaitan dengan persoalan iman, harapan dan kasih
sayang.Tekanan pengajaran agama masih terletak pada to have religion,
bukannya padato be religion.Menekankan pada kesalehan individual
daripada kesalehan sosial.Pendeknya pelajaran agama belum menyentuh hal-hal
mendasar bagi keberlangsungan kehidupan umat manusia.Lebih khusus keberlangsungan
kehidupan umat dalam konteks kemajemukan bangsa. Dan ketika kegelisahan terkait
problem tersebut mencuat dipermukaan, solusi yang ditawarkan biasanya adalah
melakukan deradikalisasi pendidikan agama Islam yang menitik beratkan pada redesign kurikulum pendidikan agama
Islam yang berperspektif pluralis atau multikultural.
Menitikberatkan
perhatian deradikalisasi PAI lewat pembenahan
kurikulum tentu tidaklah salah. Kurikulum, sebagaimana dikemukakan Nana Syaodih
Sukmadinata, mempunyai posisi sentral dalam seluruh proses pendidikan.
Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan dalam rangka mencapai
tujuan-tujuan pendidikan. Selainitu kurikulum juga merupakan suatu rencana
pendidikan yang memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup urutan
isi dan proses pendidikan. Kurikulum bukan sekadar rencana tertulis bagi
pengajaran tetapi juga sesuatu yang fungsional yang beroprasi dalam kelas, yang
membeir pedoman dan mengatur lingkungan dan kegiatan yang berlangsung di dalam
kelas.[10]
Karenanya perumusan kurikulum PAI untuk menyelesaikan maraknya radikalisme dan
tindakan terorisme di kalangan muda usia sekolah merupakan langkah mendesak
yang harus dilakukan.
Umat Islam
sesungguhnya sudah menyadari bahwauntuk membangun peradaban umat masa depan,
harus terlebih dahulu memperbaiki,
memperjelas, dan mengukuhkan eksistensi lembaga pendidikan sebagai satu
sarana utama dalam mewujudkan keinginan tersebut. Namun hingga saat ini usaha-usaha yang dilakukan
baru sebatas mencari model pendidikan, dan model kurikulum yang islami. Hal ini
tentunya karena lembaga pendidikan Islam yang sudah ada belum mampu memenuhi
kreteria yang diinginkan umat dan belum memiliki model yang jelas. Sehingga antara
label dan isi terdapat jurang pemisah yang sangat dalam.[11]
Terkait masalah redisain kurikulum berperspektif pluralis
dipandang sebagai solusiyang mendesakdalam
meminimalisir radikalisme dan terorisme
di kalangan muda di Indonesia, dalam pandangan penulis tidak akan efektif,
tanpa menghadirkan guru yang pluralis pula. Guru yang notabenenya selaku pelaksana dan
perancang pengajaran, keberadaannya jelas menjadi ujung
tombak penyampai pesan-pesan kurikulum. Sayangnya aspek guru ini belum menjadi
prioritas untuk dilakukan pembenahan.Bagaimana mungkin pendidikan agama yang
ingklusif dan pluralis dapat terealisasi, jika gurunya ternyata tidak memiliki
perspektif yang senada.
Pandangan yang menyatakan bahwa menyelesaikan persoalan
radikalisme dan terorisme pada kalangan
muda di sekolah atau lembaga perguruan tinggi, harus diawali dengan mendisain
ulang kurikulum yang berperspektif pluralis dan multicultural telah
mengandaikan bahwa selama ini kurikulum dalam proses pembelajaran sudah berperan
sebagaimana mustinya. Padahal faktanya, antara kurikulum dan pendidik dalam praktiknya selama ini berjalan sendiri-sendiri, seolah tidak saling berkait. Melihat
realitas demikian, penulis sampai hari
ini, secara ekstrim, masih meyakini, bahwa meskipun kurikulumnya didisain anti toleransi
sekalipun tetapi, jika dijalankan oleh guru yang berpandangan pluralis, pesan-pesan
yang disampaikan akan pluralis pula dan begitu pula sebaliknya.[12]
Karenanya saya berpandangan,
fenomena menguatnya aksi-aksi radikalisme dan terorisme yang terus marak dan melibatkan
kalangan muda sebagai pelaku, tidak bisa dilepaskan dari kontribusi para guru
agamanya. Dalam hal ini menarik menyimak hasil survei yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan
Perdamaian (LaKIP) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Menurut survey
yang dilakukan tahun 2010/2011 terhadap guru PAI dan murid SMP dan SMA di
Jabodetabek ini menunjukkan sebanyak 62,4 persen guru agama -termasuk dari
kalangan NU dan Muhammadiyah, menolak untuk mengangkat pemimpin non-muslim.
68.6 persen guru agama menentang diangkatnya orang non-muslim sebagai kepala
sekolah mereka. Presentase guru agama yang menolak kehadiran rumah ibadah non
muslim di lingkungan mereka cukup besar, yakni 73, 1 persen. Sedangkan ada 85.6
persen guru agama yang melarang murid mereka untuk ikut merayakan apa yang
dipersepsikan sebagai “tradisi Barat”.
Demikian pula terdapat 87 persen yang menganjurkan
muridnya untuk tidak mempelajari agama-agama laindan 48 persen lainnya lebih
menyukai pemisahan laki-laki dan perempuan dalam kelas yang berbeda.75,4 persen dari responden
yang meminta agar murid-murid mereka mengajak guru-guru non-muslim untuk masuk
Islam, sementara 61,1 persen menolak sekte baru dalam Islam. Sebanyak 67,4
persen responden yang lebih merasa sebagai muslim ketimbang sebagai orang
Indonesia.
Lebih dari itu, mayoritas
responden juga mendukung penerapan syariah Islam untuk mengurangi angka
kriminalitas: 58,9 persen mendukung hukum rajam dan 47,5 persen mendukung hukum
potong tangan untuk pencuri serta 21,3 persen setuju hukuman mati bagi orang
murtad dari agama Islam.[13] Membaca fakta tersebut di
atas, sangat kecil kemungkinan mereka ini akan merujuk pada pedoman kurikulum
yang tersedia. Yang terjadi, mereka akan meletakkan panduan kurikulum dalam
laci meja dan mengajarkan materi pelajaran sesuai dengan subyektifitas
keyakinan mereka. Relaitas demikian yang selasma ini berl;angsung dalam konteks
pembelajaran agama di sekolah-sekolah.
Tentunya banyak faktor yang
memicu mengapa guru agama berperilaku anti pluralis.Bisa karena
pemahaman individu guru, kurikulum, dan rendahnya dialog antar agama di kalangan masyarakat. Pandangan
keagamaan para guru yang masih eksklusif ini sebagaimana dikemukakan data LaKIP
ini tentu sangat memperihatinkan, lebih-lebih terjadi pada guru yang mengajar
peserta didik di jenjang SMA/SMK yang merupakan salah satu fase yang mempunyai
arti strategis bagi perkembangan siswa dari masa transisi remaja menuju dewasa.
Berangkat
dari fakta di atas tidak sedikit yang
kemudian berpandangan bahwa kecenderungan sikap keberagamaan masyarakat yang intoleran ini khususnya kalangan mudadi
Indonesia, di antaranya dipengaruhi pendidikan agama yang diajarkan di sekolah
yang cenderung ekskulsif dan anti pluralis. Ada kecenderungan menguatnya sikap
keberagamaan yang eksklusif justru diperoleh dari interaksi peserta didik
dengan gurunya dalam pembelajaran di kelas atau interaksi mereka di
lingkungan seklolah.
Hasil survey di atas,
menunjukkan keterkaitan yang sangat kuat antara pandangan anti-pluralis para
guru agama dengan prilaku keagamaan
peserta didiknya. Paham-paham keagamaan para guru lebih terefleksikan dalam
pelajaran mereka dan berkontribusi menumbuhkan konservatisme dan radikalisme
agama di masyarakat, khususnya di
kalangan muda. Karenanya penulis berpandangan, berbagai upaya deradikalisasi
pendidikan Islam tidak akan bermakna signifikan atau bahkan sia-sia, jika tidak
diimbangi dengan kesiapan guru agama (selaku pelaksana dan perancang
pengajaran), baik pada aspek paradigma keagamaanya maupun metode pengajarannya;
dari doktrinasi menuju dialogis.
Untuk menghadirkan gura
agama yang berperspektif pluralis dan toleran, tentu dibutuhkan proses yang
tidak sebentra, karena ini berkaitan dengan perubahan mindset. Namun dalam jangka pendek, menurut Ahmad Asroni
sebagaimana dikutip Indriyani Ma’rifah,
ada beberapa cara yang bisa ditempuh. Pertama, menyelenggrakan secara intens berbagai training, workshop,
seminar dan kegiatan- kegiatan lainnya yang berwawasan multicultural, pluralis
kepada para pendidik/guru agama.Kedua,
menyelenggarakan dialog keagamaan dengan pendidik agama, pemuka atau umat
beragama lainnya. Dengan demikian para pendidik agama Islam ini dan pendidik
agama lain dapat berbaur dan mengenal satu sama lain. Sehingga pada gilirannya
akan melahirkan sikap apresiatif dan toleran terhadap agama lain. Ketiga,memperkenalkan bahan bacaan atau
berbagairefernsi yang bernuansa pendidikan multicultural sejak dini kepada para
pendidik.
Jika kegiatan-kegiatan
seperti ini dilakukan secara intens dan serius maka meskipun tidak mudah tapi
memberikan ruang terjadinya perubahan maindset
para guru; dari paham anti-pluralis menjadi pluralis dan toleran.
KESIMPULAN
Dalam masyarakat yang
sangat majemuk seperti Indonesia, pendidikan harus memberikan gambaran dan
idealitas moral agamanya secara kontekstual.Di sini diperlukan
dipersyaratkan
peninjauan ulang atas doktrin-doktrin agama yang kaku dan
keras,seperti
halnya doktrin jihad.Dalam artian, jihad bukan lagi dipahami sebagai
persetujuan Islam untuk menggunakan kekerasan dalam menyebarkan agama.Pluralitas
agama dan keyakinan,tidak lagi dipahami sebagai potensi
kerusuhan, melainkan menjadi potensi untuk diajak bersama melaksanakan ajaran demi
kepentingan kemanusiaan dan peradaban manusia. Seluruh agama harus mengklaim demi perdamaian dan
keselamatan manusia.
Di sini pendidikan memiliki
peran penting menumbuhkan sikap awal
agar tidak hanya bisa menerima keberdaan agama lain, tapi juga mampu bekerja
sama dengan keyakinan ataun agama yang berbeda. Pendidikan harus memungkinkan
tumbuhnya persaudaraan dalam kebersamaan tersebut,
sehingga dapat bersama membangun dunia baru berperadaban
yang lebih bermakna bagi
seluruh umat manusia. Itu semua akandapat terwujud, jika disain pendidikan
agama Islam mengakomodasi pluralis dan toleran yang diimbangi dengan guru-guru
agama yang toleran dan pluralis pula.
Daftar Pustaka
Achmad, Amrullah,
dalam A. Syafii Maarif dkk, 1991, Pendidikan Islam di Indonesia; Antara Cita
dan Fakta,
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogja.
Azra,Azyumardi,2002, Paradigma
Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi,Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2002.
http://www.detiknews.com/read/2011/04/28/205903/1628139/159/ini-dia-hasil-survei-lakip-yang-menghebohkan-itu?nd991107159. Di
akses pada tanggal 3 Juli 2013.
Ma’rifah,Indriyani,Rekonstruksi
Pendidikan Agama Islam: Sebuah Upaya Membangun Kesadaran untuk Mereduksi
Terorisme dan Radilasime Islam.
Stompka,Pior, 2009,Sosiologi Perubahan Sosial,Jakarta: Kencana
Prenanda Media Group.
Qodir,Zuly,2013, Deradikalisasi
Islam dalam Perspektif Pendidikan Agama) dalam Jurnal Pendidikan AgamaIslam, Deradikalisasi Pendidikan Islam,Volume II, Nomor 1, Juni
2013.
Salim HS, Hairus, dkk, 2011, Politik Ruang Publik Sekolah: Negosiasi dan Resistensi di SMUN di
Yogyakarta, Jogjalarta; CRCS.
Stompka,Pior, 2009,Sosiologi Perubahan Sosial,Jakarta: Kencana
Prenanda Media Group.
Tilaar,H.A.R.,1998, Beberapa
Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21,Magelang:
Tera Indonesia.
____,1999,Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung:
Remaja Rosdakarya.
[1]Direktur
Pascasarjana (PPs)
Fakultas Ilmu Agama Islam UII dan Dosen
tetap FIAI UII jurusan Tarbiyah.
[2]Reformasi
muncul dengan berbagai penafsiran mengenai arti reformasi seperti antara lain
yang dikemukakan oleh Emil Salim dan Din Syamsuddin dalam polemik perumusannya.
Emil Salim menekankan arti reformasi untuk perubahan dengan melihat keperluan
masa depan. Din Syamsuddin menekankan kepada kembali dalam bentuk asal. Tilaar
mengatakan bahwa kedua penafsiran reformasi tersebut sah-sah saja, karena
keduanya menginginkan perubahan.Tilaar menggunakan definisi kerja mengenai
reformasi sebagai “to make better by putting a stop to abuses or
malpractices or by introducing better procedures”.Di dalam definisi ini
ditunjukkan perlu adanya suatu perombakan menyeluruh dari suatu sistem
kehidupan dalam aspek-aspek politik, ekonomi, hukum, juga termasuk pendidikan.
H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam
Perspektif Abad 21 (Magelang: Tera Indonesia, 1998), hal. 25.
[3]Euforia
demokrasi yang sedang marak dalam masyarakat melahirkan berbagai pemikiran,
pendapat, pandangan, dan konsep mengenai bentuk masyarakat dan bangsa Indonesia
yang dicita-citakan di masa depan, tetapi kadang-kadang satu sama lain
bertentangan.H.A.R. Tilaar,Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani
Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional,(Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999), hal. 3. Untuk membangun suatu masyarakat yang
disebut dengan “masyarakat madani” atau sering juga disebut dengan istilah
masyarakat “Indonesia Baru,” sebagai ciri dari masyarakat demokrasi.
[4]“Kebablasan”
diartikan atau dikonotasikan dengan “kebebasan tanpa aturan”. Azyumardi Azra
menyatakan sekarang ini di kalangan masyarakat semakin berkembang “kelatahan
sosial” seperti tuntutan demokrasi yang diartikan sebagai “kebebasan tanpa
aturan,” tuntutan otonomi sebagai kemandirian tanpa kerangka acuan dan tuntutan
hak asasi manusia yang mendahulukan hak tanpa memperhatikan kewajiban, pada
akhirnya berkembang ke arah berlakunya hukum rimba yang memicu kesukubangsaan (ethnicity).
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan
Demokratisasi (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hal. xiv.
[6]Zuly Qodir, Deradikalisasi Islam dalam
Perspektif Pendidikan Agama) dalam Jurnal Pendidikan AgamaIslam , Deradikalisasi Pendidikan Islam,Volume II, Nomor 1, Juni
2013.
[7]H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat
Madani Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hal.9.
[8]Indriyani Ma’rifah, Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Sebuah
Upaya Membangun Kesadaran untuk Mereduksi Terorisme dan Radilasime Islam, hal. 241.
[9]Selengkapnya bisa
dibaca dalam Hairus Salim HS dkk, Politik
Ruang Publik Sekolah: Negosiasi dan Resistensi di SMUN di Yogyakarta,
(Jogjalarta; CRCS, 2011)
[11]Amrullah Achmad dalam
A. Syafii Maarif dkk, Pendidikan Islam di
Indonesia; Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogja,
1991) hal. 109
[12]Dalam konteks ini
penulis memilikipengalaman empirik.Saat duduk di bangku Sekolah Dasar (SD)
terdapat pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (sekarang menjadi Pendikan
kewarganegaraan).Dalam mata pelajaran tersebut diajarkan tentang kerukunan umat
beragama. Meskipun pesan yang hendak disampaikan adalah tentang kerukunan antar
umat beragama, bahkan dalam buku yang menjadi pegangan siswa secara jelas
digambarkan kelima rumah ibadah (masjid, gereja, wihara dst), dan
ditempatkan secara berdampingan yang
tentunya dimaksudkan memberikan pesan kerukunan terhadap para peserta didik.
Akan tetapi karena diampu oleh guru yang
eksklusif justru pesan-pesan kerukunan tersebut tidak tersampaikan sama sekali.
Yang terjadi justru guru tersebut mengajarkan berdasarkan subyektifitas
keyakinannya.
[13]Dalam http://www.detiknews.com/read/2011/04/28/205903/1628139/159/ini-dia-hasil-survei-lakip-yang-menghebohkan-itu?nd991107159.Di
akses pada tanggal 3 Juli 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar